CJ-1
Cerita ini mundur beberapa waktu dari cerita Semestaku
🐝🌻🐝🌻🐝🌻
Happy Reading
.
.
.
Awas typo
Sudah menjelang tahun-tahun terakhir kuliah, Bryna juga sudah mulai menyusun skripsinya. Meski pening kepala di buatnya, namun Bryna harus tetap mengerjakannya demi masa depan, demi sebuah gelar di belakang namanya.
Hampir empat tahun ini Bryna menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia dan selama itu pula banyak pengalaman yang ia dapatkan. Di awal mungkin terasa berat karena harus menyesuaikan kembali dengan lingkungan baru juga teman-teman baru tentu ada saja yang kadang merundung Bryna dengan kata-kata menusuk menyakitkan karena Bryna salah satu mahasiswa yang kedua orang tuanya adalah Dokter, pure blood they say.
Bryna pernah ada di titik terendah di masa-masa awal kuliah namun ia tak pernah ambil pusing dan memilih memendam semuanya sendiri apalagi setelah Mommy nya juga mengajar di kampus. Bryna lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat dari semua yang ia rasakan.
Tak jarang juga ada yang hanya memanfaatkan kebaikan juga kepintaran yang Bryna punya namun seleksi alam akhirnya membuka siapa saja yang hanya pura-pura baik padanya. Lagi-lagi Bryna tak ambil pusing, ia hanya membiarkan semuanya berlalu seperti angin.
"Dek..." panggil Adrian membuat putrinya itu berjingkat kaget karena terlalu fokus dengan skripsi di layar laptopnya.
"Iih! Daddy bikin kaget ajaa..." sahut Bryna sambil menepuk-nepuk dadanya perlahan.
"Hehehehe, lagian serius banget sih anak Daddy ini. Sudah oke bab satunya?" tanya Adrian sambil menarik kursi di sebelah Bryna dan duduk di sana.
"Alhamdulillah sudah daddy. Ini baru mau susun bab duanya." jawabnya sambil tersenyum manja pada daddynya itu.
Bryna menyandarkan kepalanya di bahu Daddynya. Sungguh ia lelah dengan semua ini dan ingin sekali istirahat sejenak namun tak bisa, semua harus dijalaninya, lagi-lagi demi masa depan.
Dahinya mengeryit beberapa kali seperti sedang merasakan sakit pada perutnya, Bryna berusaha tidak bersuara agar tidak di ketahui Daddynya.
"Capek ya dek?" tanya Adrian, Bryna hanya mengangguk.
"Yaa gitu aja dy, namanya sekolah, ya capek. But it's okay..." Bryna berusaha tersenyum lagi meski perutnya terasa seperti ditusuk-tusuk karena ia sama sekali belum makan padahal sudah hampir jam 9 malam.
"Kamu pulang jam berapa tadi dek?"
"Baru sejam yang lalu," jawabnya pelan.
Adrian hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikan wajah Bryna yang tampak pucat seperti menahan sakit. Tapi tetap saja, mau bertanya seperti apa pun Bryna takkan jujur kecuali sudah benar-benar kesakitan.
"Mas Adri, anak lanang ditelepon dong." kata Aliya saat keluar dari kamar bersama si bungsu.
"Iya daddy, Zie kangen Mamasss..." rengek si bungsu.
"Pakai laptop dedek aja, Dy, Mom. Sini-sini." Bryna menutup laman pekerjaannya dan membuka aplikasi Skype untuk menelepon Bryan yang masih berada di Belanda, juga sedang menyelesaikan sekolah kedokterannya di Leiden University.
Aliya, Adrian, Kavin juga si bungsu Zie ikut bergabung di meja makan, panggilan telepon video masih berdering menunggu Bryan di seberang sana menjawab beberapa detik kemudian wajah Bryan tampil di layar laptop.
"Assalamualaikum.."
"Wa'alaikumsalam, Mamas..." jawab mereka.
"Hai, rame bener lagi ngapain?"
"Hallo anak mom. Gimana di sana nak?" tanya Aliya tersenyum, ia sudah rindu dengan si sulung karena dua tahun terakhir tidak bisa pulang ke Jakarta karena sibuk dengan kuliahnya.
"Miss you mom, Alhamdulillah. Mom, daddy, adek-adek apa kabar? Sehat kan?"
"Alhamdulillah semua sehat di sini, Mas." sahut Adrian. "Kamu sendiri gimana? Kok jam segini udah rebahan sambil selimutan aja?"
"Iya dy, Mas sebenarnya lagi demam. Kemarin kehujanan, deras banget."
"Duh Mas, kamu lho jaga kesehatan. Kok bisa kehujanan kan punya mantel." oceh Aliya.
"Hehehe iya mom, lupa."
"Maass kangeennn..." teriak tiga adiknya dengan ekspresi mencebik.
"Iyaa sabar yaa. Nanti mas pulang."
Distance means nothing when someone means everything. Walau hanya bisa lewat video call namun sedikit saja rindu itu bisa terobati.
Biasa bersama namun harus terpisah beberapa waktu demi sebuah ilmu yang bermanfaat bagi banyak orang di kemudian hari. Tak mengapa, meski di awal sempat kaget dan kesepian karena keramaian di rumah ini berkurang tapi jarak mengalahkan segalanya, selang setahun akhirnya bisa berkumpul untuk beberapa minggu berlibur ke Belanda bersama keluarga besar.
"Ehm, mom, dad. Bryna pindah ke kamar ya? Mau sambil tiduran kayaknya enak." kata Bryna setelah video call itu selesai.
"Di sini aja sih dek, kan seharian kita nggak ketemu." sahut Aliya mencegah putrinya pergi dari ruang makan.
"Capek Mom..." gumam Bryna memelas.
Aliya menghela napasnya tak bisa lagi menolak Bryna jika sudah memelas begitu. Dari wajahnya memang nampak lelah, Aliya tahu, hampir 80% waktu Bryna habis di perpustakaan kampus mengerjakan skripsinya.
"Ya sudah gih naik." kata Aliya akhirnya.
"Iya mom." Bryna merapikan jurnal-jurnal yang berserakan di meja dan menutup laptopnya lalu naik ke kamarnya.
Aliya mengamati Bryna dari jauh saat naik ke atas, kadang ada rasa tak percaya melihatnya kini sudah dewasa meski manja tetap jadi nama tengahnya. Namun itu yang tak mungkin hilang dari Bryna, itu yang selalu Aliya rindukan.
"Kayaknya dedek nggak enak badan, yang." cerita Adrian saat sudah duduk di sofa dengan Aliya dan dua putranya yang lain.
"Kenapa Mas?" Aliya menatap suaminya heran.
"Aku perhatiin itu pegangin perut terus. Apa maghnya kumat ya?"
"Kamu nggak tanya?"
Adrian lantas menggelengkan kepalanya. "Aku tanya pun adek mesti nggak jujur."
"Hmmm... Anak wedok..." gumam Aliya sambil memangku bungsunya yang nampak sudah mengantuk.
"Nanti sebelum tidur cek dulu."
"Iya Mas."
🌻🐝🌻🐝🌻🐝
Sementara di dalam kamar setelah ganti baju dan beres-beres Bryna kembali terpaku di depan laptop. Jemarinya tak henti menari di atas tuts keyboard walau kadang berhenti beberapa saat karena perih perutnya.
Jangan lupa makan. Sebuah sticky notes menempel di papan jurnal selalu mengingatkan Bryna yang sering abaik dengan masalah makan. Sudah berulang kali ia bermasalah dengan si lambung tapi seolah tidak kapok Bryna masih saja lalai.
"Laper banget tapi nanti pasti dimuntahin lagi. Shhh..." Bryna memejamkan matanya saat perih melanda.
"Ayo Bryn, tanggung dua paragraf lagi!" Bryna menyemangati dirinya sendiri untuk terus mengerjakan bagian terakhir bab dua karena semua materi yang dibutuhkan sudah ada, Bryna takkan menyia-nyiakannya.
Dengan sekuat tenaga meski keringat dingun terus turun dan membuat wajah juga tubuh Bryna basah padahal AC sudah menyala sesuai suhu biasanya.
Bryna menarik napasnya dalam-dalam berharap bahwa rasa sakit di perutnya akan berkurang namun justru semakin sakit saat mengambil napas dalam.
"Aaawww... Ya Allah..." gumam Bryna lagi lalu menjauhkan tubuhnya dari laptop.
Perlahan Bryna kembali ke tempat tidurnya, gemetar sudah tubuhnya. Ia duduk di pinggir tempat tidur dan membuka lacinya mencari obat lambung yang biasa ia minum tapi rasa sakit itu mengalahkan semuanya.
Tak tahan, Bryna menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan meringkuk di sana sambil menangis tertahan.
"Dek..." Aliya membuka pintu kamar Bryna perlahan. " Astagfirullah adek!"
"Mom, sakit... Sakit..." ucap Bryna sambil terus memegangi perutnya yang kesakitan.
"Adek belum makan ya?"
Bryna menggeleng sementara Aliya hanya bisa beristigfar dengan kelakuan Bryna yang sering kali terulang jika sudah terlalu sibuk.
Aliya membaringkan tubuh Bryna lalu menyiapkan obatnya untuk segera di minum.
"Sesek mom,... Hhhhhh...."
Lalu semuanya gelap dan membuat Aliya histeris.
"Adek!! Mas!! Mas Adri!!"
To be continued.....
🌻🐝🌻🐝🌻🐝🌻🐝🌻
Ciluk baaa!! Hehehehe buka lapak baru nih, jangan lupa klik Bintang dan tambahkan ke library kalian ya 💕💕❤️❤️
Leave some comments and vote please 💋
#dahgituaja
#awastypo
Dudui
Danke,
Ifa 💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top