Part 6
Jika menilik dari bahasa tubuh Ray yang menjauh usai melayangkan pandangannya, Tinky jadi tahu kalau mereka tidak akan sekelas selama setahun ke depan.
Ray hendak membuang wajah, tetapi tidak jadi saat ekor matanya menangkap sosok seseorang yang mendekati Tinky dari belakang.
Dia adalah Jemmy, yang berhasil membuat Tinky terkejut dengan berteriak ke telinganya. Lantas seolah sudah diatur oleh semesta, ekor mata Jemmy turut membalas tatapan tajam Ray. Lantas tanpa kata, dia menunjukkan seringai samar.
Jemmy sengaja mengalungkan lengannya ke bahu Tinky meski situasi tersebut tidak berlangsung lama sebab cewek itu spontan beringsut menjauh.
Seringai Jemmy tercetak semakin dalam. "Asal lo tahu, ya. Gue telat, kan, gara-gara lo. Jadi, lo mesti bantu gue nyari alasan biar nggak dihukum."
"Lo cuma antarin gue ke ruang BK, bukan nemanin."
Nada bicaranya dingin dan sinis, tetapi Jemmy malah tertawa alih-alih merasa tersinggung. Dia bersiul keras selagi mengekor langkah Tinky yang mengetuk pintu dengan canggung sebelum masuk ke dalam kelas.
Siapa sangka, Ray yang memasang ekspresi tidak suka, berputar haluan dan menyusul keduanya.
Semua mata dalam ruangan tertuju pada duo Tinky dan Jemmy, kemudian membola secara estetik saat melihat Ray masuk.
Bila dibandingkan, ekspresi Tinky adalah yang paling syok, terbalik dengan Jemmy yang tampak tidak peduli.
"So... you guys are coming late," kata Bu Hana yang memicingkan mata dengan tajam. Sepertinya, beliau termasuk guru yang galak. "Tell me your reasons—–setidaknya sebagai bentuk kesopanan kalian. Benar begitu, bukan?"
"Your name?" Bu Hana menyensor ketiganya dengan galak, terutama pada Tinky.
"I'm Tinky Michiru, Ma'am. Maaf, Bu. Saya terlambat karena dipanggil guru BK."
"Di hari pertama saja kamu sudah dipanggil guru BK?" sindir Bu Hana, tetapi ekspresinya lebih lembut ketika mengalihkan atensinya ke Jemmy. "Jemmy, Ibu rasa kamu salah masuk kelas. Bukankah kamu sudah kelas XI?"
"Ibu jelas tahu kalau saya nggak naik kelas," jawab Jemmy dengan nada tidak tulus seakan sedang diinterogasi dengan kasar. "Jadi, saya memutuskan untuk kembali ke kelas sesuai peraturan."
Bu Hana berdeham sedikit. "Hmm... bukannya kamu sendiri yang bersikukuh nggak mau turun kelas? Baiklah, nanti Ibu jelaskan ke bagian administratif."
"How about you, Ray Nathaniel? I'm pretty sure this class doesn't belong to you. You should go to special one." Fokus Bu Hana tertuju pada Ray.
Perhatian murid-murid di kelas juga masih terpancang pada Ray, tetapi cowok itu sama sekali tidak peduli. Wajar saja, ketenarannya di sekolah membuatnya terbiasa ditatap seperti itu, berbeda dengan Tinky yang masih canggung jika disensor oleh banyak orang. Sebagian murid masih menunjuk-nunjuknya dan berbisik ke teman di sebelahnya. Jelas saja rumor tentang dia adalah anak haram Brayden Nathaniel telah menyebar luas seperti wabah virus.
"Start from now on, I'm in." Ray mengucapkannya dengan nada otoriter. Lantas setelahnya, dia melangkah dan duduk di bangku paling belakang.
Bu Hana berdeham sekali lagi dan menarik sudut bibir. "Baik, akan Ibu sampaikan ke bagian administratif juga."
Tinky menghela napas. Bahkan guru-guru saja tidak berdaya bila dihadapkan dengan sesuatu yang berbau kekuasan.
Kelasnya mempunyai beberapa bangku yang belum berpenghuni, tetapi semua menolak duduk bersamanya, terbukti dari reaksi spontan yang ditunjukkan dengan meletakkan tas di bangku sebelah masing-masing.
"Sori, ya, gue nggak mau kena imbasnya kalo duduk sama orang yang bakal dibuli satu sekolah. Gue terlalu takut," tutur siswi bernama Jenni yang menjadi harapan terakhir Tinky.
Jemmy sendiri telah menghuni bangku di depan Ray yang sebelahnya sudah diisi oleh siswa lain sedari awal.
"Lagi ngapain lo?" tanya Jemmy ketika dia melihat Tinky masih belum menemukan tempat duduknya. "Duduk aja sama Ray."
Ray menendang kursi Jemmy di depannya dengan kasar. "Apa-apaan lo?"
Aksinya segera mengundang tatapan ingin tahu dari semua murid, tidak terkecuali Bu Hana.
"Nggak salah, dong, gue. Kalau lo sejijik itu sama dia, kenapa lo mau masuk kelas ini? Bukannya seharusnya lo kembali ke kelas spesial?"
Ray langsung speechless sementara Jemmy mengalihkan tatapannya ke Tinky. "Duduk saja sama Ray. Toh udah jadi saudara juga kalian. Serumah pula. Kenapa harus bertingkah kayak pisah ranjang, gitu? Ups, my bad."
Salah satu siswi yang duduk di barisan depan dekat jendela, menyaksikan mereka dengan ekspresi tidak suka. Rambutnya pendek sebahu, dengan sepasang lesung pipi manis yang setia menemani senyumannya. Namun sayang, gadis itu tidak sedang berada dalam suasana hati yang baik.
Teman sebangkunya yang berkacamata refleks memiringkan tubuhnya dan berbisik, "Dia, kan, saudari tirinya Ray. Lo tahu, 'kan?"
Siswi yang berambut pendek sebahu itu mengangguk. "Tentu aja gue tahu. Gue, kan, calon tunangannya Ray."
"Berarti Ray pindah ke sini karena elo dong, Sher? Wah... gue iri banget."
Sherina tidak menjawab lagi, tetapi tatapannya tidak lepas dari duo Ray dan Tinky. Meskipun demikian, durasinya terpaksa harus dipersingkat gara-gara teguran galak Bu Hana untuk memperhatikan pelajaran.
*****
Tinky seharusnya terbiasa duduk bersama Ray karena mereka sudah mempraktekkannya selama tiga tahun di masa SMP. Teruntuk hubungan teman sebangku, sejujurnya tidak ada insiden khusus selain emosi Ray yang meledak seperti bom waktu bahkan untuk hal yang sepele sekali pun.
Kecuali....
Ingatan Tinky melayang ke masa lalu, tepatnya pada tahun ketiga. Situasi kelas sedang ribut sebab guru yang seharusnya mengisi kelas, sedang rapat demi persiapan ujian akhir sehingga mereka diwajibkan untuk mengerjakan bank soal. Mayoritas memilih untuk menghabiskan sisa waktu di luar kelas, yang kemudian disusul murid lain satu demi satu hingga pada akhirnya menyisakan dirinya dan Ray di kelas.
Tinky yang tidak mempunyai teman lebih suka menyendiri sementara Ray tampaknya lebih suka menghabiskan waktu untuk membaringkan kepalanya di atas tas punggung yang ia letakkan di atas meja.
Ray tertidur pulas, sisi wajahnya menghadap Tinky. Tidak disangka wajahnya benar-benar polos, sangat berbeda saat dia sadar karena alis matanya selalu menyatu. Bagi Tinky, dia memang tampan, tetapi menurutnya, dia jauh lebih tampan saat tidur sebab membuatnya betah menatap lama-lama.
Gadis itu menopang dagu pada salah satu tangan dan memperhatikan wajah Ray lebih saksama. Melihat bagaimana alis matanya yang tebal, bulu matanya yang panjang, dan....
Mata Ray tiba-tiba terbuka lebar, seolah-olah tahu kalau dia sedang diperhatikan. Tinky yang baru sadar segera membuang wajah, tetapi terlambat karena cowok itu sudah melihatnya.
Rona merah segera menguasai wajah Tinky. Dia benar-benar malu karena ketahuan sedang 'menikmati' wajah Ray. Lalu konyolnya, dia refleks menyentuh sudut bibirnya yang untung saja tidak ada jejak saliva di sana. Apakah Ray memang se-'lezat' itu?
Alih-alih menuntut penjelasan, cowok itu membalikkan wajahnya ke sisi lain. Untunglah tepat pada saat itu, bel istirahat berdering dan Tinky bisa langsung kabur dari kelas.
Namun sayangnya, ada insiden lain menyusul usai bel masuk berdering kembali. Rupanya, ada salah seorang murid yang melapor kehilangan sesuatu.
"Pak, saya mau lapor. Dompet saya hilang. Pasti Tinky yang ambil soalnya cuman dia yang terakhir di kelas sebelum jam istirahat."
Namanya Cindy. Cewek itu melempar tatapan benci pada Tinky karena telah mengambil barangnya yang hilang, tetapi teman-teman sekelompoknya tertawa diam-diam. Mereka pastilah ingin memfitnah Tinky karena gadis itu dijadikan sasaran untuk menjadi korban bulian gara-gara karakternya yang terlalu kalem dan lemah. Tidak hanya itu, dia juga murid terpintar di kelas sehingga mengundang rasa iri.
Kelas menjadi ribut karena menyalahkan Tinky dan mengejeknya. Berhubung sudah terbiasa, maka gadis itu hanya bisa berpasrah dan mengeluarkan tasnya untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah, lalu betapa terkejutnya dia saat melihat ada dompet asing yang sama sekali belum pernah dilihatnya.
Ray melihat hal itu, lantas merebut dompet tersebut dan menyembunyikannya di bawah meja, lalu mengacungkan telunjuknya ke atas sebagai isyarat untuk nimbrung. "Di kelas nggak cuman Tinky doang, kok. Ada saya juga."
Semua syok karena untuk pertama kalinya Ray bersikap heroik, yang membedakan dirinya dari yang biasa.
Pak Leo selaku wali kelas juga turut heran, tetapi beliau mengambil sikap netral dengan menyuruh semua murid untuk mengeluarkan dan memeriksa isi tas masing-masing.
Lantas ketika pada akhirnya Pak Leo sampai di bangku Ray, dompet itu ada di sana.
"Saya tahu siapa pelakunya," kilah Ray selepas Pak Leo mengangkat dompet itu tinggi-tinggi dan Cindy memekik riang. "Cindy, lebih baik lo ngaku karena gue tahu salah satu kacung lo yang masukin dompetnya waktu Tinky keluar pas jam istirahat. Gue memang tidur, tapi gue bisa rasain kalau ada yang mendekat atau perhatiin gue. Kacung lo diam-diam masukin dompet itu."
Wajah Tinky memerah lagi setelah mendengar penuturan Ray. Jadi... dia pasti tahu kalau cewek itu memperhatikan wajahnya selagi dia memejamkan matanya. Oh... ya, ampun!
Momen itu masih terbayang hingga sekarang, di saat wajah Tinky yang memerah dan tidak berani memandang Ray, tetapi dia menunjukkan senyum manisnya ketika tatapan mereka bertemu.
Namun di waktu yang sama pula, Tinky ragu pada kemungkinan dia bisa melihat senyuman manis dari Ray lagi.
Sama tidak mungkinnya dengan dirinya yang bisa tersenyum bahagia setelah semua yang terjadi dan digariskan untuknya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top