Part 5

Dia cantik, tetapi dengan senyum miring yang menghiasi wajahnya membuat gadis itu lebih cocok memerankan karakter antagonis. Padahal parasnya terlihat imut, begitu pula dengan postur tubuh yang lebih pendek dari Tinky.

Meskipun demikian, beberapa siswa yang berdiri di sisi kanan dan kirinya membuat dia terlihat lebih mendominasi seolah-olah menunjukkan sebesar apa pengaruhnya di sekolah.

Cewek yang mengeluarkan suara tadi lantas mengarahkan jari telunjuk pada Tinky, lalu memberi isyarat agar mendekat. Awalnya Tinky ragu, tetapi dia tahu dia tidak mempunyai pilihan lain. Namun sialnya, sebelum gadis itu sampai di hadapan cewek bertubuh mungil yang diduga sebagai senior atau ketua geng, salah seorang siswa menumpahkan isi minuman kemasan ke atas kepala Tinky sehingga rambut dan seragamnya basah.

Terdengar gelak tawa dari semua yang berada di sana, tidak terkecuali untuk mereka yang kebetulan lewat. Banyak yang menunjuk-nunjuk Tinky dan menghujat heboh meski yang ditunjuk lebih memilih untuk menunduk.

"Gue cuman mau ngasih salam aja karena kalau lo belum tahu gue siapa, gue adalah salah satu kerabat dekat mamanya Ray. Jadi, lo mestinya bersyukur karena gue nggak ngasih sambutan yang lebih parah dari ini. Oh ya, satu lagi. Gue senior lo, jadi tunjukkan rasa hormat."

Lagi-lagi terdengar gelak tawa. Lalu seakan belum cukup, salah satu dari mereka mendorong bahu Tinky hingga oleng dan mengolok-oloknya tanpa ampun.

"Kok, lo diem?" tanya siswa lain yang menumpahkan minuman tadi. "Mana sopan santun lo ke sepupu Ray?"

"Jangan bilang saking terpesonanya dia sama sekolah ini sampai-sampai jadi bisu!"

"Dia pasti nggak nyangka bisa masuk sekolah ini, padahal tanpa bantuannya Om Brayden, nggak mungkin banget dia bisa lolos seleksi! Lo lihat, deh, penampilannya! Lebih kucel dari babu gue di rumah!"

"Dari yang gue denger, mamanya yang godain Om Brayden."

"Oh, ya? Masa, sih?! Lo denger dari siapa? Ray, ya?"

"Ya, iyalah! Siapa lagi? Mana sudi Ray tinggal sama dia, apalagi... kan, dia biang penyebab mamanya meninggal. Katanya, dia yang ngaku sendiri kalau dia anak Om Bray. Tujuannya apa lagi kalau bukan porotin uang keluarga Nathaniel?"

"Hebat juga, ya, bisa buat rencana kejam kayak gitu! Mamanya Ray sampai meninggal karena dia, loh!"

"Memang ya, muka polos itu jauh berbahaya daripada yang lain! Dalemnya, tuh, kayak uler!"

"Heh! Lo tunggu apa lagi? Cepetan kasih hormat ke Gea!"

Lalu ada sebuah tangan yang tiba-tiba saja menekan tengkuk Tinky dengan kasar hingga kepalanya tertunduk ke bawah, jelas memaksa dirinya untuk menghormati Gea yang mengaku sebagai sepupunya Ray itu.

Semua tampak bersenang-senang dengan hal ini, terkecuali Tinky tentunya. Gadis itu memang sudah menduganya sejak awal. Yang benar saja! Siapa, sih, yang bisa menerima kalangan bawah seperti dia di sekolah yang bergengsi ini?

Namun, tepat di saat Tinky sedang berpikir bagaimana bisa keluar dari situasi yang sangat tidak menyenangkan dan berisiko mengganggu mentalnya, ada seseorang yang menyeruak masuk ke dalam kerumunan persis salah satu adegan dalam drama. Tinky melongo dengan mata yang membeliak, yang sejurus kemudian tidak percaya atas kesinkronan cuplikan dunia halu dengan dunia nyata di hadapannya.

Dia berjenis kelamin laki-laki, berkulit putih, dan yang jelas tinggi. Wajahnya kelewat tampan hingga Tinky yakin dia keturunan Cina bercampur darah bule. Cowok itu menarik bagian belakang kerah seragam Tinky dan dalam sekejap dia sukses berpindah ke sisinya.

Aksi tersebut tentu membuat syok semua orang.

Gea adalah yang pertama kali mengendalikan diri dan kesal karena aksinya membuli Tinky jadi terganggu.

Cowok itu mengangkat bahunya dengan cuek. "Gue bukannya mau ganggu. Sori-sori aja, ya. Masalahnya, gue disuruh Pak Fian sebab beliau ada urusan sama dia. So, tenang aja. Setelah selesai, kalian boleh lanjut kok. Feel free to continue."

Tinky mendesah dalam hati. Apa, sih, yang dipikirkannya di saat seperti ini? Adegan dalam drama yang dipikirkannya tidak masuk akal jika benar-benar terjadi. Sangat tidak masuk di akal jika cowok berwajah tampan nan populer seperti dia, rela membuang waktu untuk menyelamatkannya dari kerumunan orang-orang yang menggunjingnya sebagai anak haram Brayden yang terkenal itu.

Semua terpaksa membubarkan diri tidak lama kemudian. Tinky terhuyung karena serangan bahu ke bahu dari antek-anteknya Gea dan hampir saja menjadi sasaran empuk pijakan berbata di bawahnya, tetapi berhasil diselamatkan oleh cowok itu meski dibalas Tinky dengan cara yang terlalu impulsif.

"Tenang aja, gue nggak ada niat buat berteman karena konsekuensinya gue harus berurusan sama mereka nantinya," jelas cowok itu dengan nada sok yang membuat Tinky langsung ilfil saat itu juga. "Gue udah tahu nama lo Tinky Michiru karena Pak Fian yang sebutin tadi. Nama gue Jemmy Sebastian."

Jemmy mengulurkan sapu tangan dari dalam saku celananya untuk membersihkan rambut Tinky dari minuman manis. Alih-alih menerima, cewek itu menghadiahinya sorot tatapan yang dingin.

"Kalau nggak ada niat berteman, seharusnya nggak perlu nunjukin tanda-tanda mau berteman. Lo malah udah dua kali melakukan itu; memperkenalkan diri dan menawarkan sapu tangan."

Tinky bermaksud mengabaikan Jemmy dengan meneruskan langkah, tetapi cowok itu menahan tangannya. "Kalimat gue belum selesai. Sekarang gue jadi berubah pikiran."

Jemmy tersenyum untuk pertama kalinya. "Lo menarik juga. Gue jadi mau berteman sama lo. Lo pasti senang, 'kan? Gue punya pengaruh gede di sekolah, jadi bisa dipastikan lo beruntung berteman sama gue."

"Tapi gue nggak mau berteman sama lo," jawab Tinky dengan nada menutup pembicaraan. "Lo tunjukin aja di mana gue harus ketemu Pak Fian."

Tinky berjalan duluan sementara Jemmy menaikkan sudut bibirnya. "Katanya, cewek suka ngomong kebalikannya. So, gue yakin lo juga demikian."

*****

Pak Fian rupanya adalah guru BK di sekolah dan beliau jugalah yang menyuruh Jemmy untuk melerai kerumunan tadi.

Ada alasan Jemmy menjadi sang terpilih di antara murid lain. Saking seringnya bolak-balik ruang BK karena kenakalannya, cowok itu jadi dekat dengan Pak Fian. Jemmy sering terlibat kasus yang membuatnya sering diceramahi guru-guru, tetapi berhubung papanya adalah orang yang berpengaruh nomor dua setelah Brayden, otomatis tidak ada yang benar-benar bisa 'menaklukkan' cowok itu.

"Jadi," kata Pak Fian sembari menyeruput teh herbal. "Gimana hari pertama kamu di sekolah?"

Tinky mengecek jam dinding yang menunjukkan bel masuk akan berdering sebentar lagi, tetapi Pak Fian tidak menunjukkan tanda-tanda untuk berbicara singkat, terbukti dari teh herbal yang juga disajikan untuknya seolah-olah mereka akan bergosip ria.

Pak Fian menggeser sebuah totebag ke arah Tinky dari atas meja. "Tenang aja, nggak akan ada yang hukum kamu," ujar Pak Fian menenangkan seolah bisa membaca isi pikiran Tinky. "Lagian kamu juga perlu ganti seragam dan sedikit... hmm... berbenah diri."

Tinky menunduk untuk mengecek dirinya dan baru sadar kalau penampilannya agak berantakan. Hal tersebut membuat Pak Fian tersenyum simpul.

"Terima kasih, Pak." Tinky berucap canggung sebelum mengambil kantong yang isinya adalah seragam baru.

"Kamu nggak usah sungkan karena Pak Brayden sendiri yang meminta pertolongan untuk mengawasi dan menolong kamu. Sebenarnya yang paling efektif menurut Bapak adalah diri kamu sendiri. Walau berat, tapi Bapak harap kamu bisa melewati semua cobaan ini dengan lebih sabar, ya? Walau gimanapun, kalian sedang dalam masa mencari jati diri, jadi emosi kalian pasti lagi heboh-hebohnya."

Tinky mengangguk. "Iya, Pak. Saya pamit dulu kalau begitu."

"Kapan pun butuh teman curhat, temui Bapak saja. Kebetulan profesi saya memang di bidang ini."

Tinky mengangguk lagi dan meninggalkan ruangan usai menunduk kepada Pak Fian sebagai wujud hormatnya.

Lingkungan sekolah sudah sepi berhubung kelas sudah dimulai sejak tadi. Tinky berlari kecil, tas punggungnya bergoyang ke kiri dan ke kanan tatkala mencari kelasnya yang beruntung tidak sulit untuk dicari. Namun, bertepatan langkahnya tinggal semeter lagi menuju kelas yang dimaksud, dalam jarak pandangnya, dia melihat sosok Ray yang berjalan mendekat dari ujung koridor. Kesialannya bertambah hingga dua kali lipat saat pandangan mereka bertemu.

Jika Ray benar-benar mendatanginya, apakah kesialannya akan bertambah menjadi tiga kali lipat?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top