Part 4 plus Trailer I

"Kamu harus setuju, Bella! Dengarkan aku!" Brayden menarik pergelangan tangan Bella yang kini memasang ekspresi tidak terima.

"Setuju apa? Sedari awal rencana kita bukan kayak gini, Bray!"

"Memang, tapi itu berlaku sebelum Leyna pergi! Kita nggak pernah menyangka Leyna benar-benar pergi seperti ini! Aku juga prihatin sama Ray kalau kayak gini masalahnya!"

Bella membuang napas berat. Sejujurnya, apa yang dikatakan Brayden benar adanya. Di satu sisi, dia merasa senang telah berhasil membantu pria yang pernah dicintainya itu, tetapi di sisi lain, dia juga merasa simpati atas apa yang terjadi dengan Ray. Meski Leyna bersalah, di mata Rey, wanita itu adalah ibu sempurna yang menyayangi dan mengisi ruang di hati anak itu.

Bella lebih dari mengerti bagaimana rasanya kehilangan, tetapi jika menuruti rencana susulan Brayden, dia harus menghadapi konsekuensi lain sebab bukan cuman dirinya yang terimbas, melainkan juga Tinky.

Risikonya terlampau besar untuk ditanggung.

"Bell, tolonglah... setidaknya sampai Ray berumur 17 tahun karena persetujuan itu harus disahkan oleh kedua orang tuanya. Aku membutuhkan bantuanmu sebagai pengganti Leyna supaya warisan itu bisa tetap resmi menjadi milik Ray ketika masanya tiba."

"Tapi bantuan itu cukup berat, Bray. Menikah denganmu hanya akan digunjing oleh banyak pihak, apalagi Leyna belum lama pergi."

"Ini demi Ray, Bella. Masalahnya, Leyna mengubah isi warisan tanpa sepengetahuan aku. Jika terjadi apa-apa antara aku atau Leyna selaku orang tua kandung Ray, maka warisan akan jatuh ke keluarga inti Leyna. Itulah sebabnya, dia mau celakain aku. Alasannya klasik, warisan itu baru bisa dipindahtangankan setelah Ray genap berusia 17 tahun."

"Jadi... hanya setahun aja, kan, Om?" tanya suara lembut dari belakang, membuat duo orang dewasa berpaling. Ternyata, pelakunya adalah Tinky yang menunjukkan ekspresi serius. "Kami hanya perlu bertahan selama setahun untuk memenuhi isi warisan itu, kan, Om?"

Brayden mengangguk selagi Tinky menoleh ke arah Bella, lalu tersenyum. Lebih tepatnya disebut sebagai senyuman yang dipaksakan sebab tersirat kesedihan di dalamnya.

"Mama tahu, nggak, waktu aku tahu ternyata aku bukan anak kandung Mama? Sejak saat itu, aku sadar kalau aku nggak akan bisa tersenyum lagi soalnya fakta bahwa aku bukan anak kandung Mama selalu dan akan terus terngiang-ngiang di dalam kepala aku."

"Tinky, plis. Kamu jangan--"

"Dengerin aku sampai selesai dulu," potong Tinky. Sepasang netra itu masih saja menyiratkan luka. Jelas sekali dia berusaha untuk tegar, meski air matanya sudah menumpuk di pelupuk mata, bersiap untuk tumpah. "Itulah sebabnya dalam hal ini... aku merasa kalau Ray berada di posisi yang sama. Mamanya meninggal dan dia merasakan kehilangan. Sama seperti aku yang juga pada satu titik merasa kehilangan ibu kandung meski Mama masih ada di samping aku.

Jadi, demi mama kami yang sudah pergi, aku mohon, Ma. Penuhi apa yang bisa kita lakukan. Setidaknya aku merasa lebih baik jika bisa melakukan sedikit kebaikan. Sesuai kata Om Brayden, warisan itu jangan sampai jatuh ke orang yang salah," lanjut Tinky.

Lantas setelahnya, dia berjalan beberapa langkah untuk mendekati Bella yang tampaknya sudah dibungkam mulutnya oleh sesuatu yang tak tampak. Wanita itu hampir saja menangis ketika gadis itu menggenggam tangannya dengan erat. "Aku juga merasa, kok, kalau Mama sebenarnya masih cinta sama Om Brayden, hanya aja... Mama merasa nggak pantas karena merasa bersalah sama aku. Iya, 'kan? Aku nggak apa-apa kok, Ma. Mama berhak bahagia sekarang."

Bella merengkuh Tinky. Hanya pelukan itulah yang bisa menafsirkan seperti apa rasa sayangnya itu. "Gunjingan orang-orang pasti akan berat untuk kamu. Apa kamu sadar dengan apa yang kamu bicarakan? Mama sebenarnya nggak benar-benar ingin kembali ke Om Brayden. Yang Mama prioritaskan sekarang ini adalah kamu."

Tinky mengurai pelukan itu dan menatap Bella dengan mata besarnya. "Mama lupa, ya? Nama aku, kan, berasal dari nama Tinkerbell. Tinkerbell itu kuat, Ma."

*****

"KELUAR!" Suara itu terdengar memekakkan telinga, disusul benturan piring yang pecah. Ray mulai menyiksa diri setelah sadar dari pingsan dan emosinya menjadi lebih berbahaya. Hal tersebut memprihatinkan siapa saja yang peduli, tetapi bagi Ray, ini adalah satu-satunya jalan untuk memberontak dan membunuh dirinya sendiri secara perlahan. Akhir-akhir ini, Ray menggunakan cara tersebut setelah gagal memutuskan eksistensinya di dunia dengan benda-benda tajam yang dia temui.

Mungkin hanya Tinky satu-satunya yang bertahan atas kebrutalan Ray. Agak mirip seperti masa SMP meski kali ini jauh lebih mengenaskan. Tinky seolah-olah adalah samsak tinjunya Ray yang diperlakukan brutal seenaknya.

Setidaknya, Tinky bisa menghibur diri sendiri dengan terus mengingat bahwa dia cukup bertahan selama setahun. Lagi pula untuk sementara ini, Ray belum pernah memukulnya dan dia bersyukur akan hal tersebut.

"LO TULI, YA? GUE JIJIK SAMA LO! KELUAR DARI RUMAH GUE!"

Oh, ya. Bella dan Brayden telah resmi menikah secara sederhana seminggu yang lalu. Otomatis, Tinky juga resmi menjadi saudari tiri Ray dan mereka berempat tinggal seatap bersama para asisten rumah tangga yang lain. Rumah itu memang sangat mewah, terlampau mewah hingga dia sama sekali tidak menikmatinya. Jujur saja, dia lebih merindukan masa-masa sebelum semuanya terjadi selama dia tinggal di rumah super besar ini.

Tinky berjongkok untuk mengambil pecahan piring yang dibuang asal oleh Ray, tetapi terhalang oleh beberapa asisten rumah tangga yang mengatakan kalau itu adalah tugas mereka.

Ray menolehkan wajah setelah mendengar penuturan dari salah satu pembantu yang mengatakan semua itu, lalu menatap Tinky dengan tatapan mencemooh. "Gue mau lo yang pungut piring itu sampai bersih! Bukannya lo juga sama kayak mereka? Malah lo yang lebih rendah!"

Tinky memberi isyarat untuk meninggalkan tempat dan segera membereskan pecahan piring dengan perlengkapan bersih-bersih, tetapi suara Ray menggelegar lagi, "Pungut pake tangan!"

Tinky menurut, lantas berjengit kala merasakan nyeri akibat jari terlunjuknya tergores oleh pecahan piring, yang menyebabkan gerakannya terhenti secara tiba-tiba.

Siapa sangka, Ray yang menyaksikan lantas mendekat dan ikut membungkuk di dekatnya. Suatu tindakan yang membuat ambigu sampai dia menarik jemari Tinky yang berdarah, lalu meremasnya dengan kuat hingga darah tersebut semakin merembes dan mengalir ke bawah.

Ray menyeringai melihat hal itu. "Lo pikir gue akan simpati? Jangan harap! Selama gue masih hidup, lo akan menderita dan menyesal selama sisa hidup lo!"

Tinky meringis kesakitan bukan karena luka yang didapatnya, melainkan kesakitan karena Ray meremas jemarinya terlalu kuat hingga dia merasa jemarinya kebas.

"Semuanya berawal dari lo! Seharusnya dari awal gue tahu kalau lo punya motif tersembunyi pas SMP! Lo pasti ikut merencanakan semua ini dan juga lo pasti yang..."

Ray menggantung tiba-tiba, berusaha menahan emosi yang memuncak hingga kelanjutan kata-katanya menjadi lebih gemetar dari sebelumnya. "... yang merencanakan untuk membunuh mama gue! Gue nggak akan lepasin lo sampai lo hancur berkeping-keping! Gue nggak akan pernah maafin lo! NGERTI?!"

Tinky merasakan tubuhnya bergetar. Air mata yang sejak tadi berusaha dibendungnya, tumpah begitu saja tanpa ampun meski dia masih bisa melihat tatapan Ray yang seakan mau menelannya hidup-hidup. Sorot kebencian yang terpancar kini menjadi lebih mengerikan sebab untuk kali pertama, dia melihat tatapan tersebut dari jarak yang sangat dekat.

Ray melempar tangan Tinky dengan terlalu bertenaga sebelum meninggalkan kamarnya.

*****

Bus yang ditumpangi Tinky semakin lama semakin penuh dan sesak karena mayoritas tidak bersedia mengalah untuk menunggu bus berikutnya. Tinky yang posisinya paling belakang, sukses tergencet ke sudut tatkala mendengar supir berteriak agar yang lain tidak memaksa masuk sebab bus sudah terlampau penuh.

Walau berseragam sama, Tinky bisa merasakan adanya jenjang sosial yang berbeda. Mereka semua jelas berasal dari keluarga yang berada jika diperhatikan dari tas-tas yang bermerek serta aksesoris mewah yang dikenakan. Sepatu mereka tampak berkilauan di bawah sinar matahari dan Tinky bisa mendengar obrolan yang didominasi oleh investasi saham dengan bahasa Inggris yang fasih.

Tinky terpaksa harus masuk di sekolah yang sama dengan Ray, yaitu sekolah bergengsi yang berbasis internasional--SMA Bernard--atas permintaan langsung dari Brayden. Lagi pula, sekolah tersebut berada di bawah naungan nama Nathaniel sehingga akan menjadi lebih mudah bila ingin mengawasi Ray dan Tinky.

Tinky sadar kalau dia jauh dari mereka dan merasa sangat pesimis. Dia yakin tidak akan ada yang mau berteman dengannya, ditambah sifat yang tertutupnya, lengkap sudah kekurangannya.

Bus akhirnya sampai di gerbang SMA Bernard yang sekali lagi disadari oleh Tinky, betapa mewah dan luasnya sekolah itu hingga merasa tidak pantas.

Mereka semua turun. Tinky adalah orang terakhir yang memijakkan kaki di lapangan berbata dan takjub dengan apa saja yang melekat di SMA Bernard. Bahkan beberapa artis ternama yang pernah dilihatnya di layar televisi juga bersekolah di sini. Untungnya, rekap nilai semasa SMP cukup memuaskan dan pengantar bahasa Inggris-nya juga cukup berbobot sehingga gadis itu berharap bisa melewati masa-masa di SMA Bernard dengan baik.

Namun, Tinky belum lagi sampai ke ruang kelas ketika ada seseorang yang menghentikan perjalanannya. Ternyata, caranya menghentikannya tidak cukup sebatas panggilan sebab sepaket dengan cara melemparkan kotak kosong minuman kemasan ke sudut kepalanya.

Seorang gadis menyeringai di belakangnya selagi Tinky berbalik. "Kamu Tinky, anak haramnya Om Brayden, ya?"

Bersambung

NB: Perbesar maksimal supaya bisa baca tulisannya, ya. Kalau mau lebih enak nton lagi bisa di Reel IG / Tiktok (@yunitachearrish)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top