Part 3
Bella menarik kursi, lalu duduk di depan Brayden yang menatapnya dengan penuh kekagetan seakan sedang melihat mayat hidup.
"I-ini benar-benar kamu, Bella?"
"Iya, ini aku Bella—–si Tinkerbell yang dulu kamu tinggalkan demi Wendy."
"Sepertinya kamu tidak berubah, Bell, masih saja suka sama karakter dalam dongeng itu." Brayden tampaknya sudah lebih menguasai diri. Dia lantas menegakkan punggung untuk meneliti lebih jelas wanita di hadapannya sekarang.
"Karena cerita itu persis yang terjadi dalam kehidupan nyata," jelas Bella dengan tatapannya yang serius. "Sebenarnya, aku udah lupain kamu dan memutuskan untuk melanjutkan sisa hidupku bersama Tinky, tapi Kepala Asisten menemuiku dua bulan yang lalu. Aku bisa saja berpura-pura tidak peduli, tapi ternyata aku baru sadar kalau aku nggak mampu lakuin itu. Hingga pada akhirnya... aku juga diberi kesadaran lain bahwa aku masih mempunyai perasaan yang tersisa buat kamu."
Brayden tidak langsung merespons, tetapi dia menyesap kopinya dalam diam seakan sedang melamunkan sesuatu, sementara Bella mengaduk kopi susu yang baru saja disiapkan oleh pelayan kafe.
"Bibi Carla, ya? Dia memang selalu simpatik dengan kita berdua sejak dulu," kata Brayden akhirnya setelah selesai menikmati kopinya. "Dia adalah saksi bisu yang menyaksikan kisah cinta kita."
"Benar. Beliau mencariku setelah tahu kebenarannya," timpal Bella. "Katanya Leyna mau celakain kamu demi warisan. Apa kamu udah tahu?"
Alih-alih terkejut, Brayden malah tersenyum miring. "Aku mengenalnya, jadi aku tahu apa keinginannya. Dia memang begitu; nggak pernah puas dengan apa yang dia punya. Walaupun begitu, aku salut dengan usahanya mempertahankan keluarga. Kalau bukan karena dia, mungkin rumah tangga kami udah hancur sejak dulu. Cuma... Ray sampai sekarang masih belum tahu kebenarannya. Aku juga nggak tega memberitahunya sebab dia terlalu sayang sama Leyna."
Brayden sengaja memberi jeda beberapa saat sebelum menatap Bella dengan lebih intens. "Aku sebenarnya udah persiapkan segalanya dan berencana mencarimu setelah semuanya beres, tapi nggak disangka kamu udah nyari aku duluan. Aku mau minta maaf, ya."
"Kamu salah paham, Bray," kata Bella sembari menyesap kopinya dalam-dalam. "Aku bantuin kamu bukan untuk kembali. Keinginan itu malah sudah lama pupus sejak anak kandung kita pergi."
Brayden hampir saja menjatuhkan cangkir kopi yang dipegangnya. Tangannya yang menggantung di udara bergetar hebat. "Ap-apa maksud...."
"Tinky yang kamu lihat kemarin itu anak tetangga sahabatku. Singkat cerita, mereka menitipkannya padaku karena nggak mampu membesarkan dia dan waktu itu Tinky yang asli belum lama meninggal. Jadi, aku mengadopsinya dan menamainya dengan nama yang sama; Tinky Michiru. Kepergiannya membuatku sadar bahwa aku nggak mungkin diberi kesempatan lagi untuk kembali sama kamu. Aku memang masih mencintaimu, tapi itu nggak cukup buat bikin aku kembali sama kamu."
Brayden menundukkan kepala, menyalahkan diri sendiri karena tidak pernah tahu bahwa dia mempunyai anak di luar nikah. Dalam sekejap, dia dirundung perasaan bersalah karena telah membuat wanita itu menderita selama ini.
Lantas, usai memikirkan apa yang harus dikatakannya, akhirnya Brayden berkata, "Entah kenapa aku merasa terluka mendengar ini padahal udah belasan tahun kita berpisah." Sebuah seringai muncul di bibirnya. "Benar. Aku beruntung karena setidaknya kamu masih mempunyai sisa kepedulian sama aku. Terima kasih karena udah bersedia membantuku, Bell. Kamu benar-benar sosok Tinkerbell yang suka membantu Peter Pan."
Bella tersenyum. "Jadi... apa rencanamu sekarang?"
"Tepat seperti pikiranmu, aku ikut rencanamu."
*****
"Apa-apaan ini?" pekik Leyna ketika di hadapannya berdiri dua pria yang memakai seragam polisi dan memberi hormat.
"Selamat siang, Nyonya Nathaniel. Kami dari kepolisian setempat membawa surat perintah untuk menginterogasi Anda. Silakan ikut dengan kami."
"Su-surat perintah?" ulang Leyna, seketika warna di wajah mulusnya berubah menjadi lebih pucat.
"Benar, Bu. Ibu ditangkap karena menjadi tersangka utama dalam memalsukan dokumen dan percobaan pembunuhan atas suami Anda—–Brayden Nathaniel," jawab salah satu petugas polisi. "Mohon ikuti kami untuk keterangan lebih lanjut. Ibu memiliki hak untuk menyewa pengacara, memberikan penjelasan, ataupun menolak pernyataan setelahnya."
"A-apa?" Leyna mendengus keras. "Siapa yang berani melaporkan saya? Apa kalian punya bukti konkret dalam hal ini? Kalian nggak bisa seenaknya menangkap saya seperti ini!"
"Ma, ada apa ini?" Tepat pada saat itu, Ray berlari mendekati Leyna sebelum menghalangi kedua polisi dengan tubuhnya yang tinggi. "Apa-apaan kalian?"
"Ibu Anda akan kami interogasi. Kami sudah membawa surat perintahnya. Jika ibu Anda tidak terbukti bersalah, maka beliau akan kami pulangkan dengan aman. Mohon kerja samanya."
"Kalau gitu, siapa yang udah laporin Mama saya?"
"Bapak Brayden Nathaniel."
"A-apa?"
"Benar. Saya yang melaporkan Leyna," kata sebuah suara di belakang mereka semua. Brayden Nathaniel berjalan mendekati mereka dengan langkahnya yang berwibawa, berkebalikan dengan Ray menunjukkan ekspresi kaget dan Leyna yang mematung di tempat.
"PAPA UDAH GILA?!" teriak Ray. "KENAPA PAPA TEGA LAKUIN HAL INI?!"
Leyna menangis di samping Ray, membuatnya refleks merengkuh sang ibu sambil memelototi Brayden dengan sorot mata yang penuh kebencian.
"Kamu nggak usah berpura-pura lagi, Leyna. Sudah cukup lama kamu mempertahankan rumah tangga ini dan untuk itulah, udah saatnya kita akhiri."
"Papa benar-benar tega, ya! Papa udah fitnah Mama dan sekarang mau cerai? Apa Papa udah dibutakan sama wanita itu?" Ray mengepalkan tinju dan hampir saja berhasil menonjok Brayden kalau tidak dihalangi oleh Leyna.
"Sudah, Ray. Cukup," bisik Leyna dengan tangannya yang dia tahan di lengan Ray agar cowok itu tidak melayangkan tinjunya. "Dengerin Mama, Ray. Hanya kamu satu-satunya yang percaya sama Mama. Mama mohon sama kamu, jika memang takdir Mama berakhir di penjara seperti kemauan Papa, Mama cuman minta satu hal; kamu harus tetap percaya sama Mama."
Emosi Ray sudah di ubun-ubun, tetapi mendengar permintaan Leyna yang begitu pilu, membuatnya melunak dan secara perlahan, dia bersedia mengiakan.
"Maafin Ray, ya, Ma, karena nggak ada yang bisa aku lakuin sekarang ini. Tapi aku janji. Aku bakal nyari bukti buat bebasin Mama."
Leyna mengangguk. Air mata telah membasahi wajah dan terus mengalir hingga membuatnya terisak.
"Papa puas sekarang?!" tanya Ray dengan nada penuh kebencian setelah mobil polisi yang membawa mamanya menjauh.
"Kebenarannya memihak pada Papa, Ray. Bukti itu sudah jelas, makanya polisi bisa bertindak. Gunakan akal sehatmu, Ray."
"Akal sehat?" ulang Ray sinis. "Yang bener itu, gunakan akal sehat untuk bisa bedain mana yang bener dan walau aku belum bisa ngebuktiin Mama nggak salah, aku yakin ini adalah rencana Papa untuk kembali bersama wanita itu, 'kan? Jangan pikir aku nggak tahu karena udah dari dulu aku curiga sama Papa!"
"Papa selalu mau berusaha yang terbaik untuk mempertahankan rumah tangga ini, tapi Mamamu udah keterlaluan! Sifat tamaknya semakin hari semakin parah dan akhirnya kesabaran Papa udah nggak bersisa lagi. Papa—–"
"Baik! Kalo gitu sekarang kasih tahu aku, apa rencana Papa selanjutnya setelah Mama diinterogasi polisi? Apa Papa tega mau menjebloskan Mama ke penjara? Gimanapun, Mama adalah istri sahnya Papa!" potong Ray dengan suara keras.
"Sekonkret apa pun bukti yang ditunjukkan, tetap saja akan sia-sia jika mamamu memang terbukti nggak bersalah. Dan kamu akan tahu sendiri kebenaran itu akan berpihak pada siapa."
*****
Dua minggu kemudian....
Ray menatap nanar batu nisan yang pada bagian permukaannya terukir nama 'LEYNA RAPHAEL', disusul keterangan tanggal kematian dan kalimat berisi doa di bawahnya. Dua minggu sudah lewat sejak peristiwa dua polisi yang membawa mamanya, tetapi durasi itu terasa sangat panjang baginya. Rentetan peristiwa tersebut seperti menghantamnya sedemikian rupa sehingga membuatnya sesak dan dia ingin sekali melepaskan belenggu yang menyelimuti dadanya, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya.
Mamanya begitu cepat meninggalkannya. Meninggalkannya tepat tiga hari setelah masa interogasi itu. Sesuai rencana Brayden, Leyna telah dijatuhi hukuman penjara karena bukti-bukti yang diserahkan benar adanya dan ketika wanita itu sedang dalam perjalanan menuju sel penjara, tersirat keinginannya untuk melarikan diri tetapi sayang, takdir hidupnya harus berakhir saat itu juga karena Tuhan telah merenggut nyawa Leyna.
Dalam perjalanannya kabur, sebuah truk menabrak Leyna hingga tidak bernyawa. Ray merasa seperti terjun bebas dari gedung pencakar langit saat mendengar berita itu.
"PAPA PUAS SEKARANG?!" teriak Ray sejadi-jadinya saat bertemu dengan Brayden pada momen jasad Leyna baru saja dimakamkan.
Cowok itu mendorong tubuh Brayden sekuat tenaga hingga pria itu terhuyung dan jatuh, tetapi dia tidak peduli. Dia malah berharap papanya bisa lenyap dari bumi sekalian atau kalau perlu, menggantikan posisi mamanya sebab dia sebenci itu pada papanya, bahkan merasa jijik melihat wajahnya yang berkulit tebal itu.
"PERGI DARI SINI!" Ray hampir saja roboh karena depresi, tetapi dia tidak ingin menunjukkannya pada Brayden. Berpangku pada nisan yang ada di sampingnya, cowok itu menatap pria itu dengan sorot mata yang dingin. "Anda tidak layak jadi papa saya! Jadi tolong pergi dari sini! Saya tidak akan menghalangi Anda bersama wanita jalang itu! Anda bisa melakukan apa yang Anda mau sepuasnya!"
Brayden meremas bahu Ray dan mengguncangkannya dengan gemetar. "Ini sama sekali bukan keinginan Papa, Ray! Bukan kematian yang Papa inginkan dari mamamu! Papa hanya ingin dia sadar dengan kesalahannya! Papa minta tolong, Ray, tolong jangan siksa diri kamu lagi! Kamu udah benar-benar lemah sekarang!"
Ray tertawa parau dan menatap Brayden seakan pria itu sedang mengajaknya bercanda. "Lemah? Bukannya itu yang Anda inginkan, 'kan? Bukannya seharusnya Anda puas sekarang? Nggak ada yang bakal menghalangi kalian mulai detik ini! Jadi, biarkan saya menemani Mama mulai sekarang!"
Ray berusaha melepaskan diri dari Brayden, tetapi pada saat itu, fisiknya tidak bisa menuruti perintah dari otaknya sehingga dalam sekejap cowok itu jatuh ke tanah dan pingsan.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top