Part 27
"Kamu jangan macam-macam ya, Kevin, karena aku nggak akan diam aja!"
Kevin tertawa. "Harusnya itu kalimat aku, Brayden. Lucu sekali, padahal kamu udah di ujung tanduk tapi masih bisa ngancam balik. Mungkin kamu sudah terlalu lama berada di posisi atas sampai-sampai kamu nggak tau caranya mengalah. Bukankah seharusnya kamu melakukan negosiasi untuk kesepakatan yang lebih menguntungkan? Mungkin aja aku bisa kasih keringanan."
"Waktu kamu lima menit untuk menjelaskan," perintah Brayden dingin sebelum melepas genggamannya pada kerah Kevin dengan sentakan kasar.
Kevin tertawa lagi. Lantas, dia berjalan beberapa langkah untuk mendaratkan bokongnya di salah satu bagian sofa empuk dalam ruangan itu, seakan mereka sedang membicarakan proyek yang penting. "Itulah sebabnya aku selalu benci dengan apa saja yang menghalangi rencana aku. Kita seumpama merawat tanaman. Aku selalu rutin melakukan penyiangan supaya tanaman kesayanganku jadi tanaman unggul dan berkualitas karena satu gulma saja cukup untuk merusak semuanya."
"Langsung ke intinya!" perintah Brayden sinis.
"Itu intinya, Bray. Ayolah... kenapa sih kamu buru-buru?" kilah Kevin dengan tatapan mencela.
Ekspresi Brayden terlihat bersusah payah untuk tidak menonjok wajah Kevin sebelum akhirnya mengalah dan duduk di seberangnya.
"Apa kamu nggak paham maksud aku? Apa kamu nggak mengerti apa akibat dari batalnya pertunangan Ray dan Sherina? Sebagai orang yang pernah jadi adik iparmu, aku masih peduli."
"Itu karena kamu punya tujuan!" sahut Brayden dengan gigi menggertak.
"Baiklah. Kamu ternyata naif juga," ejek Kevin sembari mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Brayden setelah menemukan sebuah video. "Kamu lihat sendiri."
Brayden menonton isi video itu. Terlihat Ray yang sedang mendekat ke arah Tinky dan menyisir rambutnya dengan jemari sebelum memutar tubuhnya ke hadapan semua orang. "Mulai sekarang gue mau lo denger baik-baik perkataan gue! Ini berlaku buat kalian juga! Tinky Michiru yang berdiri di samping gue sekarang ini adalah milik gue! Dan gue nggak suka kalo ada yang nyentuh dia! Karena kalo ada yang berani, harus berhadapan sama gue! NGERTI KALIAN?!"
Ray lalu menoleh ke sisi kanannya. "Mulai sekarang, lo nggak boleh ke manapun selain berada di samping gue. Ngerti?"
Usai mengatakan semua itu, Ray menggenggam erat tangan Tinky dan menariknya keluar dari kerumunan.
Rekaman video berhenti sampai di titik itu. Ekspresi Brayden tidak terbaca, tetapi Kevin yakin sudah bisa memenangkan apa yang dia inginkan. Pria itu mengambil kembali ponselnya, lalu berkata, "Nah jadi... kamu udah mulai paham, 'kan? Inilah yang dinamakan gulma yang perlu disiangi, Bray. Pertanyaannya; bagaimana jika video ini tersebar? Berita ini bakalan lebih hangat dari berita pertunangan Ray-Sherina. Semua pasti bertanya-tanya; bagaimana mungkin anak istri kedua kamu bisa berhubungan sama anak tunggalmu? Apakah ini yang namanya hubungan terlarang?"
Karena Brayden diam saja, seringai Kevin semakin dalam dan pria itu semakin menikmati perannya. "Yang aku dengar, Tinky memang bukan anak kandung kamu, tapi siapa peduli? Manusia, kan, memang dilahirkan untuk mendengar dan menggosipkan berita yang buruk. Bisa dibayangkan seberapa anjloknya sahammu nantinya, Brayden. Apa kamu siap? Kalo kamu nggak berani nerima risiko itu, aku bisa membatalkan penyebaran video ini asal kamu mengikuti semua perintah aku. Sudah jelas, 'kan?"
"Sebelum aku memilih, ceritakan dulu bagaimana kamu merencanakan pembunuhan atas orang tuaku," perintah Ray, saraf di keningnya tampak menegang selagi dia berbicara.
"Apa itu jauh lebih penting dari kondisi sekarang?" tanya Kevin jengah. "Sori ya, tapi di sini nggak ada CCTV, 'kan? Nggak lucu kalo aku ditangkap karena mengaku perbuatanku. Lagian ini udah lama sekali, nggak mungkin bisa membuka ulang sidang atas kasus yang terlalu lama. Setauku... paling banter sepuluh tahun terakhir."
"Itulah sebabnya aku ingin tahu," kata Brayden. "Supaya aku bisa terus memperingatkan diri sendiri untuk tidak mengampunimu. Aku selalu melewatkan kesempatan yang ada di depan mata hanya karena masih menganggapmu sebagai ipar. Tapi mulai sekarang, kesempatan itu sudah hilang. Nggak bersisa lagi."
"Kesempatan itu nggak akan ada lagi, Bray, karena aku udah menemukan cara untuk bertahan hidup. Setidaknya aku berharap ini yang terakhir karena aku sedang memegang kartu As-mu," kata Kevin, seringainya tampaknya sudah terlalu lama ditunjukkannya. "Baiklah. Hmm... mulai dari mana, ya? Oh benar. Waktu itu aku mengancam papamu untuk menerima Leyna sebagai menantunya. Tentu saja saat itu papamu tahu kelicikan kami, tapi beliau nggak berdaya karena sama seperti kamu sekarang, kami memegang kartu As-nya, yaitu diam-diam menyimpan dana ilegal dalam jumlah besar—–meski pada akhirnya tetap jatuh ke tangan kami, sih. Pokoknya ancaman itu berhasil. Kamu menikah sama Leyna dan secara perlahan kami memberinya obat tidur dalam dosis yang besar. Mamamu juga. Jadi kesannya, mereka meninggal secara alamiah. Kamu beruntung karena Leyna tidak memberimu dosis yang sama karena dia juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mengubah prosedur warisan supaya nggak terlalu kentara. Namun sayangnya, kakak semata wayangku harus meninggal waktu kabur dari perjalanan menuju penjara. Oleh sebab itu, aku nggak bisa tinggal diam kecuali berusaha untuk bertahan hidup. Seperti sekarang ini."
Tepat saat itu, pintu ruangan Brayden terbuka dari luar dan Bella berada di sana, menatap tajam Kevin yang sempat melongo.
Wanita itu mendekat, lantas merebut ponsel Kevin sebelum membantingnya dengan empasan yang terlalu keras. Alhasil, layar ponsel itu pecah dan langsung padam saat itu juga.
"KAMU GILA, YA?!" teriak Kevin histeris, menatap pilu ponselnya yang dirusak tanpa ampun.
Bella menyeringai. "Ya, aku sudah gila, tapi aku tidak sekeji kamu yang menghalalkan segala cara demi tujuanmu. Lihat saja, aku akan membuatmu menyesal karena udah dilahirkan! Sekarang pergi dari sini sebelum aku memerintahkan satpam untuk menyeretmu keluar!"
Kevin mengentakkan kaki dengan emosi dan meninggalkan ruangan itu dengan membanting pintu keras-keras sebagai backsound-nya.
"Bray, aku ingatin ya! Kamu nggak boleh halangin hubungan Tinky sama Ray, karena kalo nggak—–"
"Siapa bilang aku mau halangin hubungan mereka?" potong Brayden dan ekspresi Bella yang galak jadi melunak. "Kalo aku tebak, kamu sengaja hancurin ponsel Kevin karena ada rencana, 'kan?"
Bella tampak kaget dengan kepekaan Brayden. "Kenapa kamu bisa tahu? Aku cuma berpikir mungkin saja ada sesuatu di dalam ponselnya."
"Aku mengenalimu dengan baik, tapi kenapa kamu nggak bisa mengenaliku dengan cara yang sama?" protes Brayden kesal, tetapi itu tidak serius karena pria itu tersenyum setelahnya. "Kita perlu memikirkan cara untuk membereskan semua ini. Aku nggak bisa biarkan orang seperti Kevin dan keluarganya terus tamak. Karena bukan hanya kita saja yang akan diancamnya, pasti akan ada banyak korban ketamakan lain setelah ini."
"CCTV yang Ray pasang diam-diam ternyata berguna, Bray. Posisinya benar-benar strategis dan aku yakin kejadian hari ini terekam semuanya tanpa pengecualian," kata Bella sambil mengacungkan jempolnya pada Brayden yang dibalas dengan senyuman sumringah.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top