Part 25

Bel pulang sekolah berdering, menandakan aktivitas belajar-mengajar telah selesai. Murid-murid tampak berbahagia selagi memasukkan semua barang ke dalam tas dan bersiap untuk pulang.

"Okay, Guys. I need two of you to bring the books as usual," kata guru asing yang mengajar sebelum meninggalkan kelas dan buku-buku yang bertumpuk di meja depan. Biasanya, dua murid yang bertugas adalah mereka yang mendapat jadwal piket di hari itu juga.

Hari ini kebetulan Tinky yang bertugas piket, juga Jemmy. Gadis itu merasa harus berinisiatif karena sudah lama absen dari sekolah sehingga dia maju dan membawa sebagian buku, disusul Jemmy. Ray tampak hendak protes, tetapi ketika melihat bagaimana situasi canggung di antara keduanya membuat Ray merasa kalau mereka memang perlu berbicara.

Walau bagaimanapun, Jemmy adalah satu-satunya orang yang mau membantu Tinky dan menjadi temannya. Oleh karena itu, Ray berjalan lebih cepat, berbisik sebentar ke Tinky sebelum melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi. "Gue tunggu di mobil. Hari ini lo harus pulang sama gue. Oke?"

"Hmm... rasanya udah lama, ya, kita nggak bawa buku bareng." Jemmy membuka percakapan usai tumit Ray menghilang di balik koridor. "Eh, tapi gitu-gitu... anak-anak merasa sepi pas lo nggak masuk seminggu soalnya pada bilang nggak ada pertunjukan, jadi nggak bisa alasan buat bolos dari pelajaran."

Tinky tersenyum. "Ternyata gue bisa membuat semua orang kangen di saat banyak yang mencemooh gue, ya."

"Lo jadi lebih banyak senyum sekarang," puji Jemmy sembari ikut tersenyum. "Nggak salah lagi, cewek memang harus bersama dengan cowok yang lebih mencintainya supaya lebih bahagia."

Langkah Tinky terhenti ketika mendengar penuturan dari Jemmy, tetapi saat itu mereka sudah hampir sampai di ruang guru sehingga dia tidak menyadarinya. Cowok itu mendorong pintu hingga terbuka dengan sisi tubuh--berhubung tangannya penuh oleh buku, disusul oleh Tinky yang ikut masuk.

"Jemmy," panggil Tinky usai beberapa menit setelahnya mereka keluar dari ruang guru dan tangan keduanya bebas dari tumpukan buku.

"Hm?"

"Gue udah ngomong berdua sama Sherina dan katanya lo tahu soal kabar menyenangkan dari dia. Hmm... maksud gue... Sherina bilang, gue boleh nanya itu ke lo."

"Oh, itu." Jemmy tampak sedang menyusun kata-kata di dalam hati. Meskipun demikian, dia bisa menutupinya dengan melangkah di sepanjang koridor, yang lagi-lagi diekori Tinky. "Jujur aja, Tink. Gue sama Sherina secara tidak langsung saling berbagi luka, walau bagian Sherina lebih banyak karena--seperti yang lo tahu--dia harus membatalkan pertunangan dan Ray adalah orang yang menolaknya, padahal dia udah setuju untuk berkomitmen."

Sekali lagi, Tinky memasang ekspresi bersalah dan mendadak seperti ada batu yang menyumbat di tenggorokannya. Namun tetap saja, Jemmy menepuk pundaknya dengan lembut.

"Sedangkan gue... gue memang udah tahu jawabannya dari malam itu, tapi tetap aja gue merasa sedih. Sebenarnya gue tuh sedih bukan karena ditolak, Tink. Lo tahu nggak, sedih karena apa?"

Jemmy menghentikan langkah mendadak, lantas menatap langsung ke dalam mata Tinky seolah membornya di sana.

"Sedih karena walau sedari awal udah tahu jawabannya, gue masih aja membebani lo dengan memaksakan apa yang nggak mungkin. Gue minta lo bersandar ke gue, padahal gue tahu perasaan lo udah bersandar ke siapa. Gue sadar waktu Ray nyuruh gue sebutin, hal apa aja yang udah lo lakuin ke gue sejauh ini. Yang benar adalah, gue nggak bisa sebutin hal apa aja yang udah gue lakuin ke elo selama ini. Nggak ada, Tink. Gue bahkan nggak tahu kalau ternyata selama ini lo nggak ada hubungan darah sama Ray dan harus terbebani dengan semua cemoohan orang. Gue, sebagai satu-satunya yang paling dekat dengan lo sebagai teman, nggak tahu cerita yang sebenarnya."

"Itu bukan salah lo," kilah Tinky sembari menghela napas berat. "Gue yang nggak cerita. Gue--"

"Tapi terlepas dari itu semua... walau gimanapun, seorang teman tetap harus memahami situasinya," potong Jemmy, seolah-olah tidak terinterupsi sama sekali. "Maka dari itu, gue nggak mau kejadian itu terulang lagi. Untuk Sherina, gue berharap bisa menjadi teman yang bisa menyembuhkan luka tanpa harus membebaninya dengan perasaan yang nggak penting. Kesalahan terbesar gue adalah... gue mengira perasaan seseorang bisa dialihkan. Itu sebenarnya... sebenarnya pemikiran yang bodoh.

Lagian perasaan suka gue ke lo baru permulaan dan faktanya memang jauh dari kuat untuk mempertahankannya," lanjut Jemmy. "Apa yang lo bilang bener, Tink. Sesuatu yang dipaksakan bakal berujung luka. Lo udah memperingatkan gue sebelumnya, tapi gue-nya aja yang keras kepala. Sekarang setelah gue pikir kembali, gue bersyukur kita nggak jadi memaksakannya sebelum terluka lebih dalam."

Mereka tersenyum bersama, lalu berjalan beriringan lagi. Mereka bisa melihat kalau Ray memperhatikan dari jauh karena mereka sudah berada dalam jarak pandang.

"Ohya, jadi... hal menyenangkan apa sih tentang Sherina?" tanya Tinky sebelum dia dan Jemmy berpisah di ujung koridor.

"Lo udah tahu jawabannya," jawab Jemmy sembari tersenyum penuh misterius. Dalam situasi ini, lesung pipinya juga muncul walau tidak sedalam Sherina. "Lo cukup tunggu dan perhatikan aja. Kami cuman merasa bersyukur mempunyai lo sebagai teman. Soalnya kalau nggak ketemu lo, kejadian kayak gini nggak bakal terjadi."

Tinky tampak bingung, tetapi sebuah pemahaman mampir dalam benaknya saat dia mengerti apa maksudnya. Dia lantas membulatkan bibir dan menunjuk Jemmy seakan mendapat sebuah ilham.

"Jangan bilang kalau kalian berdua--"

Jemmy sudah telanjur tertawa sebelum Tinky menyelesaikan kalimatnya.

"Itu masih jauh, Tink. Tapi kalo memang jawabannya seperti itu, who knows? Gue nggak masalah siapa pun yang masuk ke dalam hati gue. Yang jelas, gue bakal berusaha sepenuh hati buat membahagiakan orang yang bersedia bersandar ke gue dengan tulus. Seperti yang tadi gue bilang, Tink, cewek selalu lebih bahagia jika bersama dengan cowok yang lebih mencintainya. Bukan sebaliknya. Setidaknya... Sherina udah memahami hal itu dengan baik."

Tinky dan Jemmy telah sampai di ujung koridor, tetapi Ray sudah beringsut mendekat dengan tidak sabar. Cowok itu terlihat kesal. Jelas, dia cemburu berat.

"Lama banget, sih! Yuk, kita pulang!" perintah Ray sambil menarik tangan Tinky seolah Jemmy sengaja berlama-lama. Tinky menoleh ke Jemmy dan melempar tatapan memelas agar dia mengerti, tetapi sebelum Tinky benar-benar ditarik pergi oleh Ray, Jemmy berbisik padanya.

"Ini salah satu contohnya, Tink. So you must be grateful for this. You have someone who love you more than you now."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top