Part 23

Berita keterlibatan Gea Raphael sebagai tersangka utama dalam kasus perencanaan pembunuhan terhadap sepupu kandungnya, Ray Nathaniel, menyebar sama hebohnya dengan berita pertunangan. Meskipun demikian, tidak ada satu pun yang memuji sikap heroik Tinky yang menyelamatkan Ray, padahal bagian itu sempat ditayangkan sekilas di berita, yang mana seorang pelayan hotel menghadang melindungi Ray lalu ditusuk di bagian belakang pinggangnya sehingga korban yang ditargetkan selamat.

Mungkin saja wajah Tinky tidak jelas karena tertutup oleh topi hitam sehingga tidak ada yang mengenalinya, tetapi ocehan tentang pelayan hotel dan dirinya semakin keras saat oknum yang dimaksud sedang melewati koridor menuju kelas. Gadis itu sudah benar-benar prima dan diizinkan untuk beraktivitas seperti biasa setelah opname selama tiga hari penuh di rumah sakit dan dilanjutkan selama lima hari di rumah.

"Eh eh lo liat deh, itu si Tinky, beneran dia kan yang berani ngorbanin diri demi Ray?"

"Nggak mungkin! Gue yakin dia pasti udah rencanain semua buat hancurin pertunangan Ray sama Sherina!"

"Sampai ditusuk? Rasanya nggak masuk akal deh kalo itu akal-akalannya dia! Mungkin aja ini memang rencananya Gea seperti yang diberitain!"

"Gue nggak percaya! Mereka itu sepupuan—–si Ray sama Gea! Yang gue percaya itu kalo ini semua akal-akalannya si Tinky! Dari awal dia sama Ray kan nggak pernah akur! Lo tau sendiri, nyokapnya aja sampai rela lakuin segalanya buat merebut Om Brayden!"

"Iya, lo bener! Sedari awal Ray udah benci sama dia! Gue denger Tinky udah nyusun rencana buat deketin Ray sewaktu SMP! Itulah sebabnya mereka duduk bareng selama tiga tahun dan rencanain aksi itu setelahnya!"

"Bener-bener, deh, ya! Nggak nyangka dari luar nampak polos banget! Kayak serigala berbulu domba!"

Tinky menebalkan kedua telinga seperti biasa, toh dia memang selalu dicemooh semua orang. Namun, berhubung hampir semua jalur koridor sedang ramai mengingat bel masuk hampir berdering, dia lebih memilih berjalan menyusuri lapangan basket meski dia harus rela berpanas-panasan gegara terik matahari.

Dia memang sudah terbiasa dengan segala cemooh baik secara langsung mau pun dari balik punggung, tetapi jadinya terlalu merepotkan jika terlalu banyak orang yang menggunjingnya. Tinky hanya khawatir mereka akan melempar sesuatu jika dia memaksakan diri berjalan melewati koridor. Setidaknya, dia masih ingin mempertahankan kebersihan seragamnya.

Setidaknya untuk saat ini.

Mendadak gerombolan murid mengelilingi Tinky dan membentuk lingkaran besar sehingga gadis itu merasakan firasat yang buruk. Sebagian besar tampak geram, tetapi tertawa ketika melihat ekspresi Tinky.

Teman-teman yang satu geng dengan Gea ikut bergabung di dalamnya dan mereka maju beberapa langkah untuk berhadapan dengan Tinky.

Rupanya ini adalah idenya Bernice, sahabat Gea, yang menyeringai ketika meneliti wajah Tinky.

"Rupanya lo masih berani ke sekolah," sindir Bernice dengan congkak. "Sudah bosan jadi putri di rumah rupanya, ya?"

Terdengar tawa mengejek. Bel berdering saat itu juga, tetapi tidak ada satu pun yang beranjak. Bisa jadi, teman-teman Gea sudah membayar untuk mengintimidasi Tinky sampai selesai.

"Gue nggak ada urusan sama lo," jawab Tinky kalem. Diintimidasi sudah bukan lagi hal yang menakutkan baginya karena sejak ditusuk oleh suruhan Gea, dia merasa ada banyak hal yang lebih penting. Malahan, dia sekarang jadi lebih berani.

"Gue selalu salut sama keberanian lo," puji Bernice. "Tapi jangan kira hanya karena Gea udah dipenjara, lo bisa seenaknya, ya! Lo harus inget, kita akan tetap selalu cari perhitungan sama lo! Lo harus bayar semua perbuatan lo ke Gea!"

"Perbuatan gue?" ulang Tinky dingin. "Yang gue lakukan hanya melindungi Ray dari rencana yang udah Gea susun sama lo! Kalo lo belum tau, gue denger semua pembicaraan lo sama Gea di pertengahan tangga."

"Kalian liat, deh!" tuduh Bernice, ekspresinya sama sekali tidak bersalah. Tangannya dibentangkan ke semua orang dengan senyum miring. "Tinky ini bukan main-main. Itulah sebabnya banyak yang salut sama kegigihan dia selama dibuli! Rencananya mulus banget! Dia pasti udah nyusun kata-katanya sejak awal. Gue jadi penasaran sampai kapan lo bisa terus berbohong seperti ini, Tinky!"

"Kalau gue bohong," kilah Tinky dingin. "Seharusnya Gea nggak akan dipenjara. Kaki tangannya saja udah mengakui kalau itu memang rencana dia. Belum lagi bukti-bukti lain, termasuk pembicaraan lo sama Gea di tangga. Kalian lengah, nggak sadar ada CCTV yang letaknya cukup strategis dari tempat kalian berdiri."

Bernice tampak pucat, tetapi dia berusaha menutupinya dan bergaya seolah-olah tidak terpengaruh dengan perkataan Tinky.

Sebenarnya ini hanyalah akal-akalan Tinky, padahal tidak ada CCTV di area itu.

"Meski cukup jauh, tapi teknologi udah canggih sekarang. Siapa tau, 'kan? Mereka bisa mendeteksi gerak mulut suara kalian. Jadi...."

Tinky sengaja menggantung kalimatnya, membuat semua orang terpengaruh. Mayoritas tampaknya sudah berubah pikiran meski mereka masih bergeming.

Bernice tampak terguncang dan gemetaran sekarang. "Lo... lo ngancem gue? Berani-beraninya lo—–"

Tanpa pikir panjang, Bernice menerjang dengan menarik rambut Tinky, disambut pekikan spontan karena kesakitan. Situasi menjadi huru-hara dalam sekejap. Tidak hanya dari zona kerumunan, tetapi banyak murid lain yang otomatis mendekati lapangan. Alhasil, guru-guru yang mengajar lagi-lagi harus menarik murid semampu yang mereka bisa untuk kembali ke kelas.

Tidak ada gunanya. Semua tampak bersemangat menonton pertunjukan itu dan bersorak. Keabsenan Tinky selama seminggu sepertinya membuat mereka merindukan momen seperti ini. Banyak di antara mereka yang mendukung Tinky dari kejauhan, tetapi hanya sebatas itu. Tidak ada yang berniat untuk melerai.

Seseorang masuk di antara mereka dan melerai Bernice dan Tinky dengan tenaga yang kuat. Bernice kesal karena aksinya ditunda sementara Tinky tampak lega karena bisa lepas dari cengkeraman pada rambutnya.

Meski keduanya bertahan pada ekspresi mereka, keduanya sama-sama melongo saat melihat siapa pelaku yang melerai.

Dia adalah Ray, yang tidak disangka-sangka ikut nimbrung. Benar-benar tidak sesuai gayanya.

Ray mendekati Tinky dan menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, yang kontan saja membuat semuanya syok, jauh lebih syok dari semua berita terhangat yang menyebar di sekolah.

Setelah merapikan Tinky, Ray memutar tubuh untuk menghadap Bernice yang masih membeku di tempat. Tatapannya tajam, sinar matanya terlihat seperti singa yang marah karena acara makannya terganggu.

"Mulai sekarang gue mau lo denger baik-baik perkataan gue!" kata Ray galak pada Bernice. Dia juga mengedarkan pandangan ke semua orang. "Ini berlaku buat kalian juga!"

Ray memberi jeda selama beberapa detik sebelum melanjutkan, "Tinky Michiru yang berdiri di samping gue sekarang ini adalah milik gue! Dan gue nggak suka kalo ada yang nyentuh dia! Karena kalo ada yang berani, harus berhadapan sama gue! NGERTI KALIAN?!"

Ray menoleh ke Tinky, mengabaikan ekspresi syok semua orang seolah-olah dipaksa menceburkan diri ke samudra. "Mulai sekarang, lo nggak boleh ke manapun selain berada di samping gue. Ngerti?"

Tinky tercengang, tetapi masih bisa mengangguk pada akhirnya. Semua mata lantas menyaksikan bagaimana tangan Ray menggenggam erat tangan Tinky, lalu mengajaknya meninggalkan lapangan basket untuk kembali ke kelas.


Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top