Part 19

Meski wajah Tinky masih pucat dan belum sepenuhnya pulih, nyatanya, dia sudah divonis cukup sehat oleh dokter untuk melepas atribut bantuan pernapasan beserta kelengkapan lain. Ini lebih dari cukup bagi Bella untuk mengambil keputusan pulang. Selain mendapat kepastian anak gadisnya berhasil melewati masa kritis, Ray pastilah hendak berbicara empat mata dengan Tinky usai mengetahui kebenarannya.

Namun, situasi ini jadi membingungkan bagi Tinky yang baru saja siuman. Dia sangat tidak mengerti akan sikap Ray yang jauh lebih lembut daripada biasanya. Apakah ini semua adalah wujud empati ataukah perasaan bersalah karena telah menggantikan Ray ditusuk pisau?

Seharusnya Ray tidak seperti ini. Sesuai dengan sifatnya, seharusnya dia membentaknya karena telah bersikap sok pahlawan. Teriakan seperti, 'Emangnya lo siapa melindungi gue kayak gitu? Gue jadi harus balas budi ke lo' pastilah jadi sapaan pada detik dia siuman.

Oleh karena ketidakpahaman atas sikap Ray dan belum terbiasa dengan sikap baiknya seperti menyuapi dia makan, Tinky memilih jalur aman untuk tetap diam meski sangat canggung akan situasi ini. Ray, sementara itu, memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa karena yang menjadi prioritasnya sekarang adalah pemulihannya.

Ray mengarahkan sendok yang entah sudah berapa kalinya untuk menyuapi Tinky yang sekarang sudah sangat kenyang. Gadis itu menggeleng, tetapi mendapat pelototan oleh Ray sebagai gantinya. Seperti biasa, sifat otoriternya tidak bisa ditoleransi. Tinky mengalah, makan lagi dan lagi hingga lima sendok berikutnya.

"Gue udah benar-benar kenyang, Ray," ujar Tinky pelan sembari mengangkat tangan untuk melindungi bibirnya.

"Sesendok lagi kalo gitu. Lo harus sembuh." Ray bersikukuh. Dia sengaja menyendok suapan terakhir penuh-penuh, membuat Tinky menghujatnya dengan tatapan geram, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Setelah mengembuskan napas panjang, gadis itu akhirnya membuka mulut, memenuhi permintaan Ray yang tampak senang karena dituruti.

"Padahal porsinya dikit banget, tapi lo nggak bisa habisin. Payah banget, deh!" ledek Ray dengan ekspresi lucu. Ekspresinya lebih cocok disebut demikian karena dia tidak sepenuhnya meledek Tinky. Tatapannya tersirat jenaka, jelas sedang bermain-main.

"Gue nggak suka makan bubur. Oke?" kilah Tinky. "Makan bubur bikin gue lebih cepat kenyang daripada makan nasi."

"Udah sakit masih mau milih-milih makan!" omel Ray, membuat Tinky tak habis pikir dengan sikap anehnya. "Pokoknya nanti sore lo harus makan lebih banyak dari ini! Sekarang lo boleh minum obat dan istirahat lagi. Nggak ada penolakan!"

Lantas seolah bisa melakukan sihir, dalam sekejap Ray telah menyiapkan obat yang sepaket dengan segelas air di tangan lain.

Tinky merespons dengan helaan napas berat. Minum obat juga termasuk aktivitas yang tidak disukainya selain makan bubur. Kenapa keduanya harus dilakukan pada saat sekarang?

Meski dengan berat hati, Tinky toh tetap meminum semua obat itu. Dibanding menolak, dia lagi-lagi memilih untuk mengalah karena berdebat dengan Ray adalah opsinya yang paling terakhir.

Gadis itu akhirnya berbaring, tetapi tidak bisa tidur. Bagaimana tidak? Dengan eksistensi Ray yang tepat berada di sisinya dan menatap dengan tajam, bagaimana dia bisa beristirahat?

"Gue nggak bisa tidur," ucap Tinky dengan nada meminta maaf.

"Apa gue harus nyanyi atau baca dongeng?" tanya Ray, jelas sedang mengejeknya.

Tinky mendelik, langsung tersinggung. "Itu karena lo di sini, jadi gue nggak bisa tidur."

Sama cepatnya dia tersinggung, sama cepatnya pula seluruh wajahnya memerah. Karena tidak mau ketahuan, Tinky memalingkan wajah dan bermaksud membalikkan tubuh ke arah sebaliknya, tetapi dia lupa tentang lukanya. Otomatis, rasa sakitnya meradang hebat dan Tinky meringis kesakitan hingga tremor.

"Lo bisa hati-hati nggak, sih?!" hardik Ray. "Lo masih belum sembuh total! Dan lo masih aja ngeluh nggak bisa tidur!

Lo bilang nggak bisa tidur karena gue? Kalo gitu gue baring di sofa, tapi dengan catatan lo harus tidur. Oke?" lanjut Ray, lalu tanpa menunggu reaksi Tinky, dia beranjak dan berbaring di ujung ruangan. Punggungnya menghadap Tinky yang masih saja tidak bisa menerima akan perubahan sifat Ray.

*****

Pemulihan Tinky membaik dengan cukup cepat. Jujur saja, ini berkat kegigihan Ray dalam mengingatkannya makan dan mengonsumsi obat tepat waktu. Oleh karena itu, ketika Tinky terbangun sewaktu hari sudah malam, staminanya sudah jauh lebih sehat dan dia yakin tidak lama lagi dia akan diizinkan check out.

Jemmy datang menjenguk ketika Tinky sedang menonton acara di televisi sementara Ray streaming lewat ponselnya.

"Tink, lo udah baikan?" tanya Jemmy, tangannya membawa sebuket bunga dan beberapa macam buah-buahan yang dia letakkan di nakas samping brankar.

Tinky mengangguk. "Udah lebih baik. Thanks, ya, udah jenguk gue."

Ray tidak mengatakan apa pun, tetapi ekspresinya terbaca jelas kalau dia tidak senang dengan kedatangan Jemmy. Hal tersebut membuat yang ditatap auto menaikkan sudut bibirnya sedikit, tetapi juga memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

Lantas, Jemmy menoleh kembali ke arah Tinky. "Sori banget, gue seharusnya jenguk lo lebih awal. Sherina pingsan waktu lihat lo ditusuk, jadi gue yang bawa dia ke rumah sakit."

"Oh, ya?" Saking kagetnya mendengar berita itu, dia refleks menegakkan tubuh dan lagi-lagi lupa kalau lukanya masih belum sembuh benar. Alhasil, terdengar rintihan yang menyusul. "Jadi... gimana keadaan Sherina sekarang?"

Oh ya, Ray melupakan calon tunangannya yang hampir menjadi tunangan sah. Cowok itu mengunci layar ponsel dan bertanya pada Jemmy. "Lo di sini bakal lama nggak, Jem?"

Jemmy mengangguk atas pertanyaan Ray yang kemudian bertanya, "Di mana Sherina sekarang?"

"Di bangsal Matahari," jawab Jemmy, yang segera direspons oleh Ray dengan bahasa tubuh. Tentu, sudah jelas tujuannya ke mana.

"Jadi, gimana ceritanya?" Tinky bersikap seolah-olah tidak ada interupsi dan Jemmy langsung tersenyum padanya.

"Udah baikan, sih. Dokter bilang karena tekanan darahnya terlalu rendah dan agak syok. Setelah istirahat penuh, dia bakal baik-baik aja kok. Mungkin besok udah diizinkan pulang. Gue baru bisa ke sini setelah orang tuanya datang. Maaf, ya, kalo kesannya gue lebih mentingin dia soalnya Sherina sendirian pas kejadian. Orang tuanya kira Ray yang dampingi dia."

Tinky merasa bersalah mendengar penjelasan itu. Jika saja dia mendengar kabar Sherina masuk rumah sakit sedari awal, pastilah dia akan menyuruh Ray untuk menjaga gadis itu.

Sebab jelas, bukankah Ray adalah tunangan Sherina Monarf?

"Seharusnya Ray yang mendampingi Sherina, jadinya malah lo yang dampingi dia. Gue jadi nggak enak dengernya," kata Tinky sembari tersenyum canggung.

"Sherina pasti ngerti, kok. Risiko lo lebih gede daripada dia. Juga... gue udah denger kejadian yang sebenarnya. Pelakunya adalah Gea, Tink. Nggak kebayang, ya? Motifnya hanya karena mau merebut warisannya Ray."

Terdengar helaan napas Tinky yang lagi-lagi lebih panjang dari biasanya.

"Kalo gue tebak, lo udah tau sedari awal tentang rencananya Gea, 'kan? Itulah sebabnya, lo bisa gantiin posisi Ray waktu ditusuk. Padahal... gimana bisa, Tink? Lo sampai mengorbankan diri. Gue bener-bener salut sama keberanian lo."

"Gue denger pembicaraan Gea sama temennya. Dari situ gue punya firasat buruk kalo Gea mau lakuin sesuatu ke Ray karena sempat menyebut-nyebut soal warisan."

"Dan... lo melindungi Ray. Bener, 'kan?"

Tinky mengangguk dan tampak agak canggung mengakui perbuatannya ke Jemmy. Bisa jadi, dia baru sadar kalau sudah terlalu banyak yang dia lakukan untuk Ray dan kesannya seperti dia adalah cewek terbodoh di dunia.

"Gue iri sama lo," kata Jemmy yang berusaha mencairkan suasana.

"Jangan iri sama gue. Gue yang terlalu bodoh untuk melakukan semua itu," hibur Tinky. "Jujur aja, gue ingat perkataan lo waktu malam itu dan gue jadi semakin yakin untuk mengakhiri semua ini."

Tinky menatap Jemmy langsung ke dalam matanya, menunjukkan keseriusan yang begitu kentara. "Gue butuh bantuan lo."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top