Part 18

Tinky segera dibawa ke ruang operasi. Pintu menutup sejurus kemudian, melarang siapa saja masuk kecuali pihak medis yang bertugas sehingga Ray harus menunggu di bangku panjang yang terletak di sepanjang koridor. Cowok itu gemetar, tidak henti-hentinya meremas rambutnya dengan frustasi selagi berdoa di dalam hati.

Bella dan Brayden menyusul tidak lama setelahnya. Bella sangat syok dan terpukul dengan kejadian ini. Wanita itu tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri.

"Aku terlalu bodoh!" Bella memukul dada berkali-kali selagi tangisnya memuncak. "Seharusnya aku curiga waktu Tinky meminta agar aku menambah jumlah bodyguard di hari pertunangan Ray!"

"Apa maksud kamu?" tanya Brayden dengan ekspresi syok, sedangkan Ray merasa jantungnya meluncur bebas ke usus. Satu pertanyaan yang muncul seketika adalah; apakah Tinky tahu ada seseorang yang mencoba membunuhnya?

Selagi terisak, Bella berusaha menceritakan dari awal. "Waktu aku mengunjungi Tinky ke kamar, dia nanya tentang Gea—–sepupu Ray. Mungkin dia mendengar sesuatu yang nggak beres. Tinky juga bertanya apa yang akan terjadi pada Ray selaku ahli waris jika terjadi sesuatu. Aku nggak mengira ini ada kaitan dengan perencanaan pembunuhan! Itulah sebabnya dia memohon padaku untuk menambah jumlah bodyguard!"

Brayden menepuk pundak Bella dan memberinya sapu tangan untuk menenangkan wanita itu. Meski dalam hidupnya Brayden jarang menangis, sorotan matanya terlihat begitu hampa, juga tersirat syok yang kentara. "Kita doakan yang terbaik semoga Tinky selamat. Tinky adalah gadis yang kuat. Selama ini dia bisa bertahan tanpa hambatan dan sekarang kita juga harus yakin kalau kali ini dia bisa melewatinya."

Bella mengangguk bertepatan dengan kemunculan dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.

Ray yang paling cepat menghampiri dokter itu. "Gimana keadaan Tinky, Dok?"

Dokter melepas maskernya, lalu berkata dengan intonasi nada yang berat, "Nona Tinky masih kritis dan memerlukan darah sebab tusukannya cukup dalam. Apakah ada di antara Bapak atau Ibu yang bergolongan darah B?"

Ray menoleh ke Bella, tetapi herannya, wanita itu malah mengalihkan atensinya ke Brayden. "Golongan darahku A. Kamu juga, 'kan?"

Situasi ini cukup tak terduga bagi Ray mengingat jika Tinky bergolongan darah B, seharusnya salah satu dari keduanya memiliki kesamaan dengan gadis itu. Namun, bukan saatnya untuk berfokus pada hal yang tidak terlalu penting. Yang mendesak tentunya adalah kondisi Tinky yang memerlukan darah.

Beruntung, Ray bergolongan darah O, yang dia warisi dari Leyna. "Golongan darah saya O. Dokter bisa ambil darah saya sebanyak yang diperlukan. Yang penting, tolong selamatkan Tinky."

*****

Hari sudah berganti, tetapi Tinky belum kunjung sadarkan diri. Bella masih seruangan dengan Ray, sedangkan Brayden baru saja pamit untuk pergi ke kantor polisi.

Pelaku yang menusuk Tinky berhasil ditangkap dan kini sedang diinterogasi. Brayden telah bertekad tidak akan melepaskan siapa pun yang telah mencederai Tinky dan dalam hal ini, Ray mendukung penuh tindakan papanya.

"Tante nggak usah paksakan diri. Biar saya saja yang nemani Tinky. Saya bakal hubungi Tante jika dia sudah sadar."

Bella bergeming. Ternyata wanita itu terkejut atas kesopanan Ray saat berbicara dengannya. Mereka belum pernah berinteraksi satu sama lain, bahkan saling menjalin kontak mata saja tidak karena Ray tidak pernah mau memandangnya.

Oleh karena itu, Bella begitu senang mendengarnya, padahal aksi tersebut terkesan sepele di balik musibah yang terjadi baru-baru ini. "Nggak apa-apa, Ray. Tante masih mampu."

Meski jarak mereka cukup jauh sebab Ray duduk di sofa sementara dirinya duduk di kursi sebelah brankar, Bella bisa merasakan sebesar apa kecemasan Ray terhadap keadaan Tinky. Pemahaman tersebut lantas membuat wanita itu tersenyum diam-diam.

"Hmm... apa boleh saya bertanya?" Lagi-lagi secara tidak terduga, Ray bertanya dengan sopan, "Apa benar kalau golongan darah Tante nggak sama dengan Tinky? Golongan darah Papa memang A dan saya O karena ikut Mama. Lalu... kenapa Tinky bisa beda?"

"Karena Tinky yang sedang berbaring ini sebenarnya bukan anak kandung Tante. Anak kandung Tante yang asli, yang seharusnya adalah saudari tirimu, sudah lama meninggal."

Ray syok lagi, kali ini efek mencelus terasa lebih ekstrem sebab pernyataan Bella sukses membuatnya bergeming cukup lama.

Bella memutuskan kalau ini adalah saatnya untuk menceritakan semuanya. Lagi pula, cepat atau lambat, Ray perlu tahu kebenaran tentang Leyna yang kenyataannya tidak sebaik yang dikira. Kebenaran itu lantas diceritakan secara detail oleh Bella selama seperempat jam ke depan. Ekspresi Ray yang tadinya syok segera berubah menjadi sedih sampai tiba akhirnya Bella bercerita tentang rencana Leyna yang sebenarnya.

"Kamu bisa pegang omongan Tante," kata Bella dengan nada tegas. "Setelah kamu resmi berumur 17 tahun, Tante akan bercerai dengan papamu dan kembali ke kehidupan kami yang dulu bersama Tinky. Kalau kamu belum tau, Tinky-lah yang sedari awal maju untuk melindungi kamu, Ray. Dia bertahan dalam kebohongan hanya untuk mempertahankan warisan kamu. Dia melarang Brayden mengatakan semuanya karena merasa nggak pantas. Dia lebih memilih kamu tetap membencinya dan bertunangan sama Sherina. Lantas dengan demikian, warisan tersebut bisa resmi menjadi hak kamu.

Juga," tambah Bella dengan tatapan sedih. "Tinky yang memotivasi Tante untuk membantu bisnis Brayden walau ini adalah hal yang sulit karena status Tante sangat jauh. Tapi Tante bisa melewati semua setelah menyaksikan sendiri kalau Tinky jauh lebih kuat menghadapi orang-orang yang membuli dan mencemoohnya. Dia bilang akan tetap bertahan dengan menghibur diri bahwa dia hanya perlu bertahan selama setahun penuh sampai kamu berumur 17 tahun dan sah memiliki warisan itu."

Kalimat demi kalimat dari Bella menohok perasaan Ray. Lantas tanpa bisa dicegah, serentetan makian serta hinaan kepada Tinky segera memenuhi pikirannya. Rasa bersalah membuatnya menangis terisak. Dia benar-benar menyesal telah melukai cewek itu.

"Plis jangan permainkan perasaan gue."

"Lo boleh benci, tapi plis jangan permainkan perasaan gue."

"Lo cowok paling egois yang pernah gue kenal. Apa gue segitu rendahnya sampai-sampai senyuman gue juga harus dibeli sama lo? Kenapa nggak sekalian aja minta gue jadi pelayan?"

"Masalahnya gue menderita karena lo, jadi gimana mungkin gue bisa tersenyum? Bahkan senyuman palsu juga nggak bakalan mungkin!"

"Bukannya lo benci karena gue adalah penyebab meninggalnya mama lo? Apa sekarang lo lupa sama pembalasan dendam? Waktu itu bukannya lo nyuruh gue untuk bisa membedakan yang mana saudara sebagai manusia, bukannya binatang?"

Bak film dokumenter yang diputar, semua perkataan yang selama ini dikatakan Tinky terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Rasa bersalah semakin memenjarai Ray, yang sepertinya tidak akan membiarkannya lepas sesederhana itu.

Sebuah tepukan pelan pada bahu segera memberitahu Ray bahwa Bella telah berdiri dari kursi dan mendekatinya. Jika saja dia belum tahu kebenaran tadi, cowok itu pasti akan menatap wanita di hadapannya dengan tatapan tidak suka. Namun kini, Ray membiarkan dirinya menangis sesenggukan, tidak peduli apakah dia akan dianggap cengeng. "Walau gimanapun ini semua keinginan Tinky, jadi kamu jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, ya. Tinky pernah bilang, alasan dia mau melindungi kamu adalah karena dia merasa kalian punya kesamaan, yaitu sama-sama kehilangan seorang ibu. Tante memang ibunya, tapi begitu tahu kenyataan tentang Tante bukan ibu kandungnya, dia juga sangat sedih hingga menanggung semuanya sendirian."

"Maafin saya, Tante, karena udah salah paham atas semuanya. Juga... Tante sampai membantu keluarga saya, saya sangat berterima kasih," ucap Ray setelah lebih tenang dan menghapus jejak air mata di pipi.

Bella tersenyum. "Nggak ada yang perlu dimaafkan karena kamu nggak salah sama sekali. Dipikir-pikir, wajar kamu seperti itu karena belum tau kebenarannya. Tinky-lah yang keras kepala karena terlalu pesimis. Dia merasa tidak pantas walau sebenarnya... dia sangat pantas buat kamu."

"Benar, Tante. Tinky sudah melakukan lebih dari cukup buat saya," kata Ray sembari menatap jauh ke depan, tepatnya ke arah Tinky yang masih berbaring di atas brankar.

Bertepatan pada saat itu Ray melihat jemari Tinky yang bergerak secara perlahan. "Tante, Tinky udah siuman."

Bella memutar kepala dan terlonjak dari sofa, kemudian memanggil perawat yang bertugas. Ray ikut beranjak, walau haluannya berbeda karena tujuannya adalah kursi yang letaknya di dekat brankar.

Cowok itu mendudukkan dirinya di sana dan menggenggam tangan Tinky yang sempat bergerak barusan.

"Thanks, Tinky. Kamu udah siuman."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top