Part 16

Berita pertunangan Ray dan Sherina yang belum mereda menjadikan topik tersebut menghangat secara konsisten  hingga seminggu ke depan, bahkan diprediksi akan berlanjut hingga hari H. Semua mendukung, tetapi tak ayal, mereka juga tidak menyembunyikan rasa iri. Bagaimana tidak? Keduanya berasal dari keluarga konglomerat yang ketenarannya sampai mengalahkan artis ternama yang sedang naik daun.

Meskipun demikian, sepertinya hanya Gea yang terlihat tidak puas. Awalnya Tinky tidak mengerti, tetapi dia menemukan alasannya saat sedang menuruni tangga dan melihat Gea bersama salah satu sahabatnya. Mereka berhadapan satu sama lain dalam jarak yang terlalu dekat di pertengahan tangga yang menghubungkannya ke tangga lain.

Tadinya, Tinky merasa tidak akan sopan jika melewati mereka dan sedang berpikir untuk berputar haluan saja, tetapi gerakannya otomatis membeku kala mendengar namanya disebut-sebut. Beruntung area di sekitar mereka sedang sepi sehingga suara duo sepupu Ray dan sahabatnya terpantul di ruangan sempit dengan sangat baik.

Ekspresi Gea yang kesal bisa disaksikan oleh Tinky secara jelas. "Rencana yang udah gue susun setelah Bibi Leyna meninggal jadi sia-sia sekarang! Ini semua gara-gara Tinky sialan itu!"

"Ssstt! Jangan keras-keras, Gea! Gue tau lo kesal, tapi kalau ada yang denger, semua rahasia akan terbongkar! Setidaknya, sampai sekarang Ray masih benci setengah mati sama Tinky! Itu bisa jadi senjata kita untuk menyerang Ray di saat yang tepat!" ujar teman Gea, yang Tinky tahu bernama Bernice.

"Gue udah nggak sabar lagi!" Gea menarik rambutnya dengan setengah frustasi. "Bisnis keluarga gue masih belum membaik sejak Bibi Leyna meninggal! Lo tau sendiri dari dulu Bibi yang selalu sponsorin keuangan keluarga gue dan sekarang auto kalang kabut jadinya! Seharusnya warisan itu udah jatuh ke kami sebelum wanita jalang dan anaknya menghalangi semuanya! Trus, gue harus nunggu sampai kapan lagi? Ray bentar lagi tunangan sama Sherina dan ini adalah kabar terakhir yang mau gue denger!"

Bernice berusaha menghibur Gea dengan menepuk bahunya sembari menghela napas. "Yang sabar, ya, Gea. Lo udah berusaha yang terbaik. Rencana itu seharusnya bisa berjalan lancar hanya jika tunangan itu batal, 'kan? Jadi, nggak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Gimana kalau lo ngomong aja sama Om Brayden? Walau Om Brayden udah tau rencana Bibi atas warisan itu, Om Brayden mungkin masih punya sisa simpati ke keluarga elo. Yahhh... lo mungkin bisa lebay dikit waktu mohon sama Om Brayden."

Gea tampak tidak puas, tetapi sebuah ide tiba-tiba muncul dari pikirannya jika diperhatikan dari bahasa tubuhnya. Dia menjentik jari selagi memasang tampang penuh keceriaan. "Lo bener-bener sobat karib gue, Bern. Beruntung banget gue curhat sama lo. Lo udah kasih gue pencerahan! Terima kasih banyak, Sista!"

"Pencerahan? Maksud lo?" tanya Bernice tidak mengerti. Keningnya berkerut selagi penasaran.

Gea menaikkan sudut bibirnya. "Ini masih rahasia. Gue harus persiapkan dulu secara matang. Yang jelas, lo bakal lihat pertunjukan di hari H acara pertunangan. Gue bakal lakuin segala cara untuk selamatin bisnis keluarga besar gue. Lo tunggu aja, Ray Nathaniel."

"Jangan bilang kalau lo mau...." Bernice menggantung, tetapi tatapannya langsung memahami maksud sahabatnya.

Gea masih saja menyeringai. "Tebakan lo bener, Sayang. Gue akan percepat rencana lebih awal. Gue jadi nggak sabar."

Meski Tinky tidak tahu apa rencana Gea yang sebenarnya, tetapi dia yakin rencana itu pastilah bukan sesuatu yang baik. Jika ditilik dari ekspresi Gea sekarang, sepertinya Ray akan berada dalam bahaya.

Tinky tentu tidak akan membiarkan rencana itu terjadi.

*****

"Mama!" panggil Tinky ketika melihat Bella sedang berada di kamarnya. Wanita itu tersenyum sumringah saat didekati sang anak semata wayang dan mendapat hadiah pelukan.

"Tumben Mama udah pulang jam segini?" tanya Tinky.

"Maafin Mama, ya. Kamu pasti kesepian," ucap Bella dengan nada sedih. "Mama merasa bersalah sama kamu."

Tinky tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok, Ma. Seperti yang Mama lihat, aku baik-baik aja, 'kan? Lagian rumah ini gede, banyak asisten rumah tangga, trus makanannya enak-enak. Siapa, sih, yang nggak iri sama aku?"

"Mama tau kamu luar dalem, Tink. Kamu bukan tipikal anak matre yang gila kekayaan. Yang kamu inginkan hanya kasih sayang dan perhatian. Mama bersalah sama kamu karena nggak bisa memenuhi semuanya sejak kejadian itu. Mama khawatir sama kamu."

"Mama pulang lebih awal karena Om Brayden cerita, 'kan?" tebak Tinky dan spontan menghela napas saat melihat ekspresi Bella. "Tuh, kan, bener. Aku udah bilang berapa kali, sih, Ma. Mama nggak usah khawatir sama aku. Bisnis Om Brayden jauh lebih penting. Mama nggak lupa, kan, kita cuma perlu bertahan selama setahun? Setelah setahun itu berlalu, kita bisa kembali lagi, kok. Kembali ke kehidupan kita sebelumnya. Mama lihat, deh, sekarang udah masuk pertengahan bulan keempat kita di sini."

Bella mengembuskan napas lega setelah mendengar hiburan dari Tinky. Jujur saja, wanita itu segera menunda semua aktivitasnya ketika mendengar cerita dari Brayden yang turut cemas dengan keadaan Tinky.

"Setahun itu cukup untuk bantu usaha Om Brayden, Ma. Jadi, kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membantu mereka. Seperti harapan Mama, 'kan? Karena Om Brayden adalah Peter Pan-nya Mama dan aku akan mendukung Mama. Jadi, Mama jangan cemas, ya? Nggak sulit, kok, bertahan selama setahun."

Bella menyentuh kedua pipi Tinky dengan kedua tangan, lalu menatapnya lamat-lamat. "Tinky, anak Mama. Makasih, ya, Sayang. Kamu bener-bener sesuai dengan apa yang Mama impikan selama ini. Kamu Tinkerbell-nya Mama yang benar-benar baik hati dan senang membantu."

"Makasih, Ma. Ohya, Ma, aku boleh tanya nggak?"

"Iya. Tanya apa, Sayang?"

"Tentang keluarganya mama Ray... Mama kenal? Anaknya bernama Gea, dia juga satu sekolah sama kami."

"Oh, keluarga Raphael?" Bella langsung tahu karena kepala keluarganya adalah adik kandung Leyna. Lebih tepatnya, Gea adalah sepupu Ray pihak ibu. "Iya, Mama tau. Kenapa, Tink?"

"Warisan yang seharusnya milik Ray... apa akan jatuh ke tangan mereka jika Mama nggak menikah sama Om Brayden?" Tinky bertanya dengan hati-hati. Sebisa mungkin dia berharap agar tidak terlalu kentara dalam mengajukan pertanyaan.

Bella mengangguk. "Benar, Tink. Isi wasiat itu jelas menyatakan demikian jika salah satu orang tua Ray meninggal. Sebenarnya Tante Leyna berencana mengorbankan Om Brayden supaya bisa memiliki warisan itu. Namun karena secara tidak terduga Tante Leyna yang meninggal, kamu tau sendiri kesimpulannya bagaimana. Kalo kita berdua nggak bantu Om Brayden, mungkin warisan itu udah jatuh ke tangan mereka."

"Kalau gitu... nasib mereka sekarang gimana, Ma?"

"Tumben kamu tertarik dengan hal seperti ini." Bella tidak tahan untuk tidak berkomentar selagi tersenyum kecil. "Jujur aja kondisi keuangan mereka jadi labil, apalagi selama ini rupanya Tante Leyna yang mendukung penuh bisnis mereka."

"Apa ada yang lain, Ma? Maksud aku yang berkaitan dengan warisan itu? Seperti semisal... apa yang akan terjadi kalau terjadi sesuatu sama Ray yang adalah ahli waris sahnya?"

Bella tampak bingung karena sepertinya Tinky terlalu berambisius bertanya meski pada akhirnya, wanita itu menganggapnya sebagai hal yang wajar. Mungkin saja karena Tinky belum pernah bertanya sebelumnya dan sekarang mendadak penasaran dengan hal itu.

"Jelas aja warisan itu akan dialihkan ke keluarga Raphael sesuai isi dari wasiat itu, Tink. Karena warisan itu belum sah ke tangan Ray yang belum berumur 17 tahun. Ohya, Tink. Apa ini sebabnya Ray memutuskan menikah dengan keluarga Monarf, ya? Bagaimana dia bisa mempunyai ide seperti itu? Kalau aja dari awal Ray meresmikan pertunangan ini, kita nggak perlu membantu mereka sampai sejauh ini."

Namun, Tinky tak lagi mendengarkan. Fokusnya sekarang adalah... dia akhirnya memahami apa rencana Gea yang sebenarnya.

Ray benar-benar dalam bahaya sekarang.

"Ma, aku boleh minta tolong, nggak? Saat acara pertunangan Ray udah tiba, aku minta tolong keamanannya diperbanyak. Bisa, kan, Ma? Maksudku... Mama harus menambah jumlah bodyguard lebih banyak dari yang biasanya."

Bella kelihatan kaget dengan permintaan Tinky yang sangat di luar dugaan, tetapi—–lagi-lagi—–sama seperti reaksinya yang tadi, wanita itu mengiakan dan tersenyum.

Tinky jadi lebih lega sekarang.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top