Part 14 plus Trailer II

"Eh... lo tau, nggak, Tink? Masa si Sherina tega sama gue! Masa, nih, ya pas nyari pita bareng, dia nyuruh gue manjat pohon? Katanya gue cowok, so udah sewajarnya gue yang manjat. Masalahnya, udah dibilangin takut ketinggian, ehhh... dia-nya nggak percaya. Emang siapa juga, sih, yang mau punya fobia sama ketinggian? Dia aja yang belum nyoba berada di posisi gue!" Jemmy curhat panjang lebar ketika semua sudah kembali ke bus untuk pulang.

"Heh, Jemmy! Jangan kira gue nggak denger lo ngatain di belakang, loh, ya! Gue denger, loh!" teriak Sherina dari depan, tepatnya posisi gadis itu berada di arah jam dua.

Formasi duduk mereka kini berubah. Tinky malah merasa ini jauh lebih baik demi kepentingan bersama. Sherina tentu mengekor Ray, sedangkan Jemmy memilih duduk di sebelah Tinky.

"Eh, iya. Kayaknya kaki lo lagi luka, ya? Soalnya tadi kayak agak timpang gitu pas gue lihat dari jauh," tanya Jemmy sambil mencuri pandang ke bawah kursi.

"Iya, sempat jatuh, tapi udah agak baikan kok." Entah mengapa kalimat tadi memberikan kesan yang ambigu. Oleh sebab itu, dia mendengkus sinis, menertawakan dirinya yang sangat bodoh karena rela menanggung semuanya sendirian.

Bodoh karena masih menyukai Ray sampai sekarang. Juga... bodoh karena memilih tidak jujur dan menutupi kebenaran, padahal dia berhak mengatakan yang sebenarnya.

Tinky membuang pandangannya ke jendela, berpura-pura sedang menikmati pemandangan walau sejujurnya, tidak ada yang bisa diharapkan dari kegelapan malam di luar sana sebab senja telah berlalu. Efek mabuk seharusnya bereaksi lebih cepat dengan menoleh ke samping seperti ini, tetapi menurutnya, jika efek pusing bisa mengalihkan rasa sakit di hatinya, dia lebih bersedia berlama-lama menatap ke luar jendela.

*****

Hari sudah malam sepenuhnya sewaktu mereka sampai di sekolah sehingga Tinky tidak menolak saat Jemmy menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

Sama halnya dengan Sherina meski dalam situasi yang berbeda. Cewek itu meminta tolong kepada Ray untuk ikut bergabung di mobilnya. Tawa riang yang menyusul setelahnya segera memberitahu orang-orang di sekitar bagaimana dia mendapat tanggapan yang positif dari calon tunangannya itu. Mobil tersebut melesat mulus menembus jalanan yang masih padat, melewati Tinky dan Jemmy yang berjalan menuju area parkir mobil yang mana supirnya sudah menunggu.

"Lo kenapa, Tink? Kok, kayaknya sedih banget. Apa ada sesuatu yang terjadi antara lo sama Ray?"

Tinky berusaha tersenyum meski ekspresinya malah semakin payah seolah-olah sedang dipaksa mencicipi makanan yang sebenarnya tidak layak dimakan. "Hmm... nggak ada, kok. Cuma lelah aja."

"Come on, Tink. You can share with me. I'm your Peter Pan, right?"

"Yeah, you're Peter Pan. If I'm the Tinkerbell, who will you choose; me or Wendy?"

Jemmy tampak tidak paham, tetapi dia berusaha mengikuti alur yang dibawa oleh Tinky. "As I know, Peter Pan is human like Wendy, right? So, there'll be a fine relationship between them. Tinkerbell may be a real good friend for him, but we all know they can't be together. That would never happen."

Jemmy kemudian menyadari bahwa apa yang diduganya benar setelah melihat ekspresi Tinky yang seakan wajahnya sedang ditampar.

Sebuah ingatan mampir ke dalam pikirannya, ketika dia sedang bersama Sherina sewaktu mencari pita di area yang rupanya tidak jauh dari posisi Ray dan Tinky berada.

"Gue sama sekali nggak tertarik sama perlombaan ini. Kalo lo mau lanjut... ya, terserah lo. Gue mau nyari Ray aja," ujar Sherina sebelum berbalik, tetapi Jemmy spontan menahannya.

"Gue mau jujur sama lo," kata Jemmy. Auranya terlihat berbeda dari kesehariannya yang kocak dan childish, membuat Sherina penasaran dengan perubahannya yang tiba-tiba.

"Lo agresif banget, ya?" ejek Jemmy, sengaja memberikan jeda selama beberapa saat supaya momennya lebih terasa. Sherina lantas mendengkus keras, memilih untuk tidak membalas ejekan itu karena merasa waktunya akan terbuang sia-sia. Akan lebih bijak, menurutnya, jika dia memanfaatkan kesempatan yang terbuang untuk mengejar Ray.

"Sori kalau lo merasa tersinggung. Gue hanya berterus terang aja. Dari pengalaman gue, jarang banget cowok bisa tertarik sama cewek agresif," kata Jemmy lagi di belakang Sherina.

"Kalau gitu, biarkan gue berterus terang juga sama lo," balas Sherina lugas usai berbalik untuk kedua kalinya. "Dari pengalaman gue, jarang banget cewek bisa tertarik sama cowok yang bertahan jadi teman dekatnya. Lo perlu berusaha mengejar kalau suka sama seseorang. Setidaknya walau berakhir ditolak, orang itu tau bagaimana perasaan lo ke dia. Itu saran gue untuk sikap lo ke Tinky."

Jemmy sudah bersiap untuk membalas perkataan Sherina, tetapi terhalang oleh teriakan Ray yang tidak jauh dari mereka.

Ray berteriak memanggil Tinky. Ada nada cemas yang tersirat di dalamnya sehingga baik Jemmy maupun Sherina segera menyusul. Mereka segera menduga kalau Tinky sedang berada dalam bahaya dan membutuhkan bantuan.

Kemudian terdengar rintihan. Suara cewek.

"LO KE MANA AJA SIH?! GUE NYARIIN LO SUSAH PAYAH TAU NGGAK?!" Teriakan Ray menggema seakan sedang berbicara menggunakan alat pengeras suara saking kerasnya.

Jemmy dan Sherina telah menemukan mereka pada akhirnya, tetapi saat itu Ray sudah menggendong Tinky ke punggungnya. Sherina sudah berancang-ancang untuk menunjukkan eksistensinya, tetapi Jemmy lagi-lagi menahannya.

"Lo nggak perlu cemburu gitu. Tinky itu saudari tirinya."

"Lepasin gue!" perintah Sherina dengan nada kesal, tetapi tidak ada yang bergerak saat mendengar pertanyaan Ray yang sungguh di luar perkiraan.

"Gue mau tanya dan lo harus jawab dengan jujur! Apa sampai sekarang lo masih punya perasaan sama gue?"

Tidak ada jawaban dari Tinky, tetapi Jemmy bisa melihat ekspresinya dengan jelas dan mengerti apa maksudnya, bahkan Sherina tampak sangat syok.

"Kenapa... kenapa bisa?" tanya Sherina pelan, hampir berbisik.

"Gue bisa denger detak jantung lo, Tink. Jadi lo nggak bisa--"

Terdengar suara Tinky yang memotong perkataan Ray. ""Sekarang gantian gue yang nanya. Apa jawaban gue bisa mengubah kenyataan? Dengan mengetahui apakah gue ada perasaan suka atau tidak, kenyataan tentang kita adalah saudara seayah nggak akan berubah, Ray! Jadi berhenti nanyain sesuatu yang nggak masuk akal!"

"Ini penting bagi gue karena gue juga suka sama lo!"

"Bukannya lo benci karena gue adalah penyebab meninggalnya mama lo? Apa sekarang lo lupa sama pembalasan dendam? Waktu itu bukannya lo nyuruh gue untuk bisa membedakan yang mana saudara sebagai manusia, bukannya binatang?"

Ray terdiam lalu menyeringai. "Gue akhirnya mengerti sekarang. Izinkan gue menebak; lo suka sama gue tapi di satu sisi, lo juga harus melindungi mama lo. Lo begitu takut tentang rencana yang kalian susun bakal hancur dengan sia-sia. Bener, 'kan? Jangan kira gue nggak tau apa rencana busuk kalian! Gue tau tentang hak saham atas nama gue dan hak tersebut akan jatuh ke tangan gue secara sah setelah berumur 17 tahun!

Rupanya gue bener. Gue bisa lihat semua itu dari ekspresi lo. Jadi, apa perlu gue lanjutkan persepsi gue? Kalau gue tebak; sebelum gue berumur 17 tahun, kalian berencana mengubah isi dari warisan itu. Bener, 'kan?"

Tidak lama kemudian, Ray pergi meninggalkan Tinky yang langsung menangis setelahnya. Jemmy sebenarnya ingin mendekat, setidaknya mengutarakan kata-kata penghiburan sama seperti insiden di atap sekolah, tetapi di satu sisi, dia tahu kalau cewek itu tidak ingin diganggu.

Sherina menoleh ke Jemmy, lalu tersenyum getir. "Istilah 'cewek mempunyai indera keenam' ternyata relate banget maknanya. Sedari awal gue udah bisa rasain kalau ada yang nggak beres."

Sherina mengembuskan napas panjang dan berbicara lagi pada Jemmy yang sepertinya sedang diatur mode diam seribu bahasa. "Nah jadi... apa yang bakal lo lakuin? Apa lo milih diem aja? Kalau iya, lo bakal jadi cowok terbodoh yang pernah gue kenal."

Jemmy akhirnya membalas tatapan Sherina. "Mereka jelas nggak bisa bersama karena mereka saudara seayah. Kita harus bantu mereka. Lo punya rencana?"

Jemmy kembali ke alam sadar dan membuka pintu mobil untuk Tinky.

Maaf, Tink, karena sebenarnya jawaban gue akan berbeda kalo gue nggak tau lo sesuka itu sama Ray. Sebagai teman dekat, setidaknya gue harus membantu lo membuang perasaan sama Ray karena kalian yang akan terluka pada akhirnya.

"Kita makan malam, yuk? Gue yang traktir," ajak Jemmy setelah mereka menempati posisi di belakang supir, bersiap untuk meninggalkan area sekolah.

Bersambung

NB: Perbesar maksimal supaya bisa baca tulisannya, ya. Kalau mau lebih enak nton lagi bisa di Reel IG / Tiktok (@yunitachearrish)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top