Part 10
Kepopuleran Tinky kian melambung tinggi hingga menarik empati para guru. Tidak sedikit dari mereka yang menunjukkan rasa empati; dimulai dari menepuk bahu Tinky dengan sorot tatapan penuh iba, memberi sejumlah permen atau cokelat sebagai penyemangat, hingga—–yang terekstrem—–memberi kartu yang memuat nama psikiater sebagai aksi berjaga-jaga jika jiwa Tinky terguncang.
Pak Fian turut senang dengan perkembangan Tinky. Secara tidak terduga, ternyata gadis itu jauh lebih kuat dan memahami nasihatnya tentang pentingnya berusaha menolong diri dengan cara sendiri. Pak Fian jadi merasa bangga akan hal itu dan beliau tidak perlu membayangkan keterlibatan Brayden dalam permasalahan ini. Bagaimanapun, situasinya akan terasa lebih ribet dan pelik jika sang atasan turun tangan secara langsung.
Tinky mau tidak mau harus menyesuaikan diri dan ekstra menebalkan muka. Kini, tidak ada yang segan-segan menghinanya meski mereka belum seberani Gea cs untuk mengerjainya secara langsung. Bisa jadi, kemampuan bertahan Tinky telah diakui dan tidak bisa dianggap remeh sehingga menghina adalah cara mereka untuk menunjukkan ketidaksukaan secara nyata.
Mata Tinky bisa saja berpura-pura melihat ke arah yang lain, tetapi tidak berlaku untuk indra pendengarannya. Dalam situasi seperti ini, kenyataan tentang Jemmy berjalan di sisinya dan berusaha mengajaknya berbicara membuat gadis itu merasa sedikit rileks.
Gea cs menghadang di depan dengan mata yang menyalang marah. Situasi tersebut—–lagi-lagi seolah tidak ada habisnya—–mengundang kerumunan.
"HEH! LO GENIT BANGET, SIH?! UDAH TAU RAY PUNYA CALON TUNANGAN MASIH AJA LO REBUT! LO BEGO APA SAMPAH? LO LUPA, YA, KALAU LO SAMA RAY ADA HUBUNGAN DARAH? KAYAK BINATANG AJA NGGAK BISA BEDAIN YANG MANA SAUDARA SAMA YANG BUKAN! MEMANGNYA NGGAK ADA COWOK LAIN, APA?!"
"Ralat, Gea!" timpal salah satu teman sesama geng, seperti biasa. "Itu karena nggak ada cowok mana pun yang suka sama dia, makanya dia embat si Ray!"
"Kasian banget dia! Untung aja Ray masih punya akal sehat dan nolak dia mentah-mentah! Di depan orang banyak lagi! Kalo gue jadi dia, sih, mendingan gue pindah sekolah aja!"
Jemmy maju selangkah dan menatap mereka semua dengan tatapan kesal. "Kalian lagi, kalian lagi! Nggak bosan, ya, buli Tinky terus? Lo juga, Gea! Meskipun lo sepupunya Ray, nggak perlu juga ikut campur! Kalian kayak Mamang-mamang penjual es campur aja! Seneng banget, ya, main campur topping seenak jidat kalian. Harusnya tanyain dulu, kek, ke pembelinya, mau topping apaan sebelum dicampur! Alahhh... payah kalian ini!"
Mereka tampak meresapi tuturan konyol Jemmy hingga membeku selama beberapa saat. Lantas, tepat di saat mereka memahami apa maksud perkataan Jemmy dan merasa konyol akan hal itu, dia sudah telanjur menarik Tinky untuk menerobos kerumunan. Dalam sekejap, keduanya tiba di koridor kelas yang lebih sepi.
"Thanks, Bro. Should I laugh for your silly joke? It's not funny at all honestly," sindir Tinky, tetapi untuk pertama kalinya dia tersenyum.
"But you smile. Finally. I can hardly wait for the next."
Tinky tidak tahu harus merespons apa, tetapi terselamatkan oleh momen bel yang berdering, menandakan jam belajar-mengajar telah tiba. Kemudian, ketika gadis itu sedang dalam perjalanan menuju bangkunya, ada seseorang yang meletakkan tas di bangku Ray. Sesuai keterangan yang tersemat pada name tag, namanya adalah Sherina Monarf—–calon tunangan Ray. Wajahnya sangat cantik dengan potongan rambut sebahu dan lesung pipi yang terlihat begitu jelas karena otomatis muncul setiap dia menipiskan bibir. Jika dia tertawa lepas, Tinky yakin kecantikannya akan bertambah hingga dua kali lipat.
Benar saja. Gadis itu tersenyum dan lesung pipi kembar kontan mendominasi visualnya. "Hai, gue Sherina. Boleh, kan, kalau gue yang duduk di sini?"
Tinky tidak punya pilihan selain mengangguk. Lagi pula, dia tidak yakin apakah masih bisa menghadapi Ray seperti sedia kala setelah apa yang terjadi hari ini. Bila dibandingkan, tentu jauh lebih baik jika dia duduk bersama Sherina yang belum dikenalnya sama sekali.
Ray menyusul ke kelas pada akhirnya sebelum melakukan serangkaian gerakan ambigu. Tidak mengherankan, sebab melihat Sherina duduk di bangkunya, terlebih ada tas yang diletakkan di atas mejanya seolah menjadi peresmian bahwa pemiliknya telah berganti. Maka, cowok itu memutuskan untuk mendekat demi mengambil tas serta buku pelajaran, lantas duduk di bangku kosong lain. Penghuni di sebelahnya adalah siswa terakhir yang menolak Tinky, tetapi kepada Ray, dengan senang hati dia berbagi. Sungguh tidak adil.
"Hmm... kita berteman, yuk?" ajak Sherina dengan senyum yang masih nangkring di bibir. Kentara sekali kalau dia adalah tipikal cewek yang murah senyum. Saking ramahnya, Tinky langsung menduga dia terlahir dengan senyuman seperti yang biasa dikatakan oleh orang-orang tua pada zaman dahulu.
"Gue ragu kenapa lo mau berteman dengan gue, sedangkan semua orang jelas-jelas menunjukkan kebencian mereka," jawab Tinky dengan nada bingung.
"Gue nggak benci, kok, sama lo." Jemmy menyeletuk dari depan, ternyata menguping pembicaraan mereka sedari tadi. "Gue teman yang lebih spesial dari mereka."
"Gue mau berteman sama lo karena gimanapun lo udah jadi keluarganya Ray dan itu berarti ada hubungannya sama gue. Lagian gue dari awal pengen berteman sama lo, kok, cuman bangku gue agak jauh dan belum ada kesempatan buat deketin lo."
"Oh, gitu." Tinky menanggapi dengan singkat, merasa canggung, tetapi lagi-lagi terselamatkan oleh keadaan sebab guru telah memasuki kelas sehingga basa-basi antara dirinya dengan Sherina bisa ditunda untuk sementara waktu.
Posisi duduk Ray berada di arah pukul dua dari bangku Tinky. Seharusnya tidak menjadi masalah, tetapi ceritanya jadi berbeda jika mata Tinky secara otomatis tertuju pada punggung Ray setiap kali memperhatikan guru dan papan tulis di hadapannya. Situasi tersebut membuat konsentrasinya pecah. Hinaan serta cacian Ray terus menggema dalam pikirannya seolah menjadi siaran yang diputar berulang-ulang. Tanpa sadar, kedua mata Tinky berkaca-kaca dan pada akhirnya dia memilih untuk memperhatikan tulisan di dalam buku.
*****
Tinky buru-buru pulang dan sengaja mengurung diri di kamar sepanjang siang hingga sore agar tidak bertemu Ray dan baru berani keluar ketika langit telah gelap sepenuhnya. Itu pun terpaksa dilakukannya karena cacing di dalam perut sedang berdemo keras, minta diisi.
Gadis itu sedang dalam perjalanan kembali ke kamar ketika retinanya menangkap bayangan Ray yang sedang duduk di gazebo dengan botol beling di dalam genggamannya seperti biasa, tetapi malam ini akan menjadi momen pertama dia tidak akan mendatangi Ray.
Tidak ada lagi momen menyelimuti Ray. Tidak ada lagi momen penghiburan. Juga, tidak ada lagi momen memperhatikan dalam diam.
Tidak, tidak lagi. Dia tidak akan mendatangi Ray. Tidak lagi setelah insiden yang menyakitinya sedemikian rupa.
Namun sayangnya, sama seperti cara Tinky menangkap siluet Ray dari jauh, cowok itu juga melakukan hal yang sama. Dia telanjur melihat bayangan seorang gadis yang berjalan melewati pintu belakang, membuatnya tergerak untuk menyusul sebelum menarik pergelangan tangannya agar bisa berhadapan satu lawan satu.
Sialnya, entah tenaga yang Ray keluarkan terlalu besar atau Tinky yang terlalu lemah gara-gara kekurangan asupan gizi, yang jelas, tarikan tersebut terkesan berlebihan sebab Tinky jadi oleng dan jatuh ke dalam pelukannya.
Mata keduanya membola secara bersamaan, jelas syok dengan situasi yang tidak disangka-sangka ini.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top