・Prologue
LAYAKNYA partikel mungil atom yang tersusun rapat dalam tiap rajutan materi alam, aku percaya, manusia pun pada dasarnya adalah hasil bentukan dari tiap pelajaran hidup yang ditelan mentah-mentah selama puluhan tahun.
Konsep kimia itu sederhanaーwalau tak dapat dipungkiri hitungannya membuat penat otak, hafalannya berpotensi memupuk emosi dalam dada, pula selalu ada tuntutan tinggi untuk memutar logika dalam tiap soal. Namun seperti yang selalu dikumandangkan, akan ada pelajaran berharga di balik sesuatu buruk yang mencekam. Well, kendati aku mengaku benci setengah mati pada pelajaran yang mengharuskan konfigurasi dan penyetaraan itu, kimia setidaknya menggiringku pada sebuah pemikiran lugas tetapi berharga;
Bahwa hidup tidak semudah yang digambarkan kartun anak-anak. Hal sederhana pun pada dasarnya memiliki titik kompleksnya sendiri.
Sebuah materi tersusun oleh atom, atom terbentuk oleh sub-partikel atom dengan kandungan bermuatan, inti atom tersusun oleh proton dan neutron yang tergabung bersama.
Jadi bila benda mati saja begitu pelik dan memiliki detil yang rumit, lantas bagaimana dengan manusia yang jelas dapat bernapas dan punya jutaan sel bekerja dalam tubuhnya?
"Tiap individu itu unik dan berbeda," Mama pernah mengatakannya. Kala itu aku masih berusia tujuh tahun, menangis sesenggukan sebab mendapat peringkat lima terendah pada ujian matematika. "Kegagalan itu hal lumrah. Kemampuan berhitungmu mungkin kurang, tetapi kau berhasil menyabet juara umum untuk lomba mewarna tahun lalu."
Aku mengerjap lugu, mengangguk dan menepis air mata yang jatuh. Perlahan aku paham, ini hanya masalah kemampuan. Aku tahu bahwa aku tidak payah, aku hanya seorang dengan kemampuan luar biasa dan perhitungan bukanlah salah satunya.
Beranjak dewasa, anganku perlahan retak. Agaknya hidup memang pandai memberi fantasi indah, sebelum meremukkannya dengan mudah dan membuat kita terduduk sendu; memikirkan garis takdir yang buruk. Oh, ada yang lebih mengerikan dari Matematika, ternyata. Bukankah itu lucu? Kukira matematika adalah kutuk yang harus kuhindari jauh-jauh, sebab berpotensi membuat rapotku tampak menyedihkan dengan beragam nilai merah.
Namun, tidak, aku keliru. Matematika bukanlah satu-satunya.
Kimia itu bak neraka. Aku tak henti merutuk pada semester awal. Bukan hanya hafalan tabel periodik yang melelahkan, melainkan juga perhitungan bilangan kuantum, konsep mol, serta konfigurasi elektron yangーkendati terkenal mudah dan menjadi materi favorit siswa, nyatanya tetap berhasil membuatku menahan geram saking gemasnyaーaku lupa urutannya, satu s satu, dua s dua, dua p enam, lalu apa? Aku lupa. Aku tidak pernah dapat mengingat rumus atau hitungan Kimia secara detil dan lengkap.
Kemudian aku sadar;
Aku se-payah itu.
Tidak, aku tidak akan menggunakan istilah bodoh. Aku tidak bodoh dan kau pun tidakーaku berani bertaruh untuk fakta tersebut. Tidak ada manusia yang benar-benar terlahir dengan otak sebesar tahi kucing dan tak mampu melakukan apapun kendati sudah dijejeli berkali-kali. Tiap insan punya jutaan sel dalam otak, makhluk terpandai yang pernah ada di semesta. Jadi tidak ahli dalam satu hal tidak akan membuatmu menjadi payah. Tidak pandai memecahkan soal bukan berarti kau menyedihkan.
Well, aku sendiri juga tak akan membuang waktu dengan terisak dan mengasihani diri hanya karena nilai dua puluh yang kudapat di ujian akhir Kimia. Tidak apa, semua pasti ada jalan keluar, semua pasti akan menemukan solusinya.
Ini hanya masalah waktu dan usaha.
Benar, bukan?
Namun persetan dengan jalan keluar, hidup akan selalu punya cara untuk menyengatmu dari rajutan mimpi indah soal kesempurnaan. Di saat kau mulai mengidamkan paripurna, di situlah titik krusialmu bermula.
Dalam kasusku, tujuan sederhana yang menjadi tenggat kesuksesan malah menjadi pintu masuk dalam bilik anugerahーatau malah, ruang kehancuran.
Awalnya, aku tidak pernah peduli dengan nilai-nilai ujian. Toh semua hanya alat tolak ukur untuk siswa, tidak usah terlalu serius sampai menganggapnya bak kompetisi hidup dan mati. Memang mendapat nilai jelek akan mencekikmu hidup-hidup? Tidak, 'kan? Tidak seluruh siswa harus memiliki nilai bagus di seluruh mata pelajaran, tidak semua siswa terlahir dengan kemampuan kognitif yang sama.
Tetapi tepis jauh-jauh pikiran tersebut. Oh, ayolah! Ini Seoul tempat 'ku berpijak, dimana nilai yang kurang berarti kau harus berusaha lebih giat, dimana guru dan sekolah hanya tahu cara menekan dengan memberi semakin banyak ceramah sebelum ujian, dimana orangtua hanya dapat tersenyum bangga ketika melihat rapot putranya mendapat nilai sempurna.
Dimana kau akan dianggap dan diperlakukan sebagai manusia, saat kau mendapat prestasi akademis yang luar biasa.
Menyebalkan, memang.
Saat memasuki SMA, aku sadar, persaingan dalam hal meraih peringkat merupakan hal lumrah. Aku yang awalnya santai perlahan mulai dirayap gelisah. Aku yang awalnya ingin menikmati masa SMA dengan tenang tanpa gangguan, malah mengalami satu titik terendah saat ucapan seseorang pernah menjadi bilah pisau terdahsyat yang menancap di ulu dada.
Semua bermula pada akhir semester satu pada kelas 10. Tuan Kangーpria bersurai putih abu-abu, dengan kacamata tebal yang sayangnya menjabat menjadi wali kelasーpernah memujiku di depan kelas, "Semua orang bisa berbahasa, tetapi hanya sedikit yang dapat menganalisis soal dengan baik dan teliti." Senyuman terselip pada wajahnya yang keriput, tepat saat itu bola matanya mengarah pada bangkuku. "Selamat, Kwan Soo Jin. Kau satu-satunya siswa yang berhasil mendapat nilai sempurna pada ujian akhir Bahasa Korea semester ini."
Bangga? Tidak usah ditanya. Aku bahkan menggertakkan gigi dan menahan diri untuk tidak berteriak kesenangan, sementara riuh tepuk tangan dan atensi kelas tertuju padaku. Aku berdiri sopan, tersenyum lebar dan membungkuk sebagai tanda terima kasih. Baru lima detik kebahagiaan itu kusesap, baru lima detik aku ditinggikan, tiba-tiba Tuan Kang melanjutkan dengan nada sarkas yang luar biasa mengesalkan, "Meski jago dalam bidang sastra, tidak seharusnya kau mengabaikan mata pelajaran yang lain."
Air mukanya berubah datar, kini senyumku perlahan lenyap.
"Nilai dua puluh untuk mata pelajaran Kimia." Wali kelasku itu menghela napas panjang-panjang, entah maksudnya menghina atau memang sudah pasrah dengan nilaiku yang tidak ada kemajuan. "Apa kau serius saat memutuskan masuk ke sekolah IPA?"
Tepuk tangan siswa berubah menjadi cekikikan, sebagian memberi lirikan sinis dan tawa merendahkan. Seolah aku dapat mendengar mereka mendesis tajam, "Itulah mengapa jangan mudah merasa bangga. Lihat? Kau sama sekali bukan tandingan."
Bahkan ada yang menyelutuk tajam, "Pindah sekolah bahasa saja kalau begitu. Kau menghancurkan reputasi kelas kami."
Saat itu, aku sudah menggigit lidah menahan tangis. Bahuku bergetar, jemariku terkepal erat. Bahkan sempat terpikir niat untuk keluar kelas detik itu juga.
Tetapi, tidak. Lari dari masalah sama sekali bukan jawaban. Aku malah menahan diri dan mengempaskan tubuh keras-keras ke atas bangku, entah malu, kesal, atau justru campuran keduanya. Sementara Tuan Kang melanjutkan pembacaan nilai siswa lain tanpa merasa bersalah, lanjut menceramahi siswa lain dengan nilai buruk, memuji beberapa siswa cerdas yang berhasil meraih nilai sempurna. Adalah hal biasa bagi wali kelas membacakan peringkat siswa setelah musim ujian. Untuk mengevaluasi kemampuan siswa, katanya. Aku mengembuskan napas dalam geram.
Memang perlu, ya, mempermalukan siswa di depan kelas?
Sistem pendidikan terkadang sekejam itu.
Jadi bermodal nekad dan setengah getir akibat pengalaman itu, pada ujian semester berikutnya, entah apa yang merasuki benak, aku memutuskan untuk mulai melakukan tindak kecurangan yang 'katanya' bisa membuatmu terperangkap dalam masalah besar. Aku tak peduli, pikiranku kalang kabut saat itu, slogan 'raih-prestasi-dengan-kejujuran' mendadak hanya menjadi gaungan radio rusak yang kuabaikan.
Persetan, aku harus mendapat nilai bagus. Minimal, mencapai rata-rata dan tidak menjadi bahan bualan kelas. Titik.
Karena itu pada ujian akhir semester dua, tepatnya pelajaran Kimia, aku membawa lipatan kertas kusut penuh rumus yang kuselipkan dalam kaos kaki.
Dan ya, tak ada yang melihat.
Atau setidaknya, begitu yang kupikirkan.
Kukira seluruh rencanaku berjalan mulus; guru pengawas sering melamun dan mengecek ponsel alih-alih mengawasi kelas, para siswa tampak serius memelototi soal ujian, sementara aku duduk di bangku paling pojok yang terasing dari pusat atensi. Untungnya letak tempat dudukku juga strategisーdiapit dinding di samping kanan dan ransel biru yang sengaja kuletakkan tepat di gantungan kiri mejaーsehingga meminimalisir kemungkinan siswa lain untuk melihat. Seharusnya aksiku tidak ketahuan, seharusnya semua berjalan damai tanpa seorangpun saksi mata.
Namun seperti kata pepatah tua, bangkai tikus yang disimpan rapat-rapat pun perlahan tercium baunya.
Detik itu aku tak sadar, hidup SMA penuh ketenangan yang dari dulu kuidamkan kini harus kukubur dalam-dalam. Bodohnya lagi, aku masih bisa tertawa lepas bersama Seungkwan tanpa benar-benar tahu bahwa ancaman sudah mengepung.
Bahwa aku bisa tamat kapanpun.
Tatkala senja datang, aku berlari menuju loker di koridor lantai satu. Masih dapat bersenandung dan terkekeh membayangkan betapa konyol pengawas ujian sebab tak tahu aku membawa catatanーya, walau dihantui sebersit rasa bersalah tetapi ayolah, merayakan keberhasilan sedikit tidak apa-apa, bukan?
Sampai kemudian, loker terbuka, secarik kertas lusuh jatuh. Alisku tertekuk.
Sebuah surat?
Aku menoleh lugu. Mengerjap linglung.
Untukku?
Kalau kalian pikir ini drama romansa dimana tokoh utama akan mendapat pengakuan cinta dari surat tanpa nama yang diselipkan dalam lokernya, maka bersiaplah untuk kecewa. Yang terjadi malah jauh dari ekspetasi manis. Percayalah, aku pun sudah membayangkan banyak hal berkecamuk dalam kepalaーefek membaca banyak novel roman remaja; bagaimana kalau ternyata aku punya penggemar rahasia? Bagaimana kalau dia memaksaku untuk berkencan, padahal aku belum siap punya pasangan? Bagaimana?
Idiot, memang.
Mulai membaca kalimat pertama, tubuhku lantas menegang. Mataku membulat. Suatu sensasi dalam lambung seolah menampar pikiran aroganku keras-keras.
Astaga, tidak. Ini tidak benar.
Tenggorokanku tersekat. Jantungku seolah berhenti berdetak. Bagaimana bisa?
Aku buru-buru menengok ke sekitar loker, bahkan sampai menelusuri ujung koridor untuk menemukan siapa dalang di balik semua ini. Namun, tak ada siapapun. Hari itu koridor lantai satu sangat lenggang, barangkali seluruh siswa menikmati waktu belajarnya di perpustakaan.
Keringat menyucuri keningku deras, maka kuputuskan untuk menenangkan diri di toilet seraya membaca ulang isi surat ini. Di kertas itu tertulis seseorang melihat aksi curangku ujian tadi. Di kertas itu tertulis, seseorang mengaku mendapati aku menyontek beberapa jam lalu. Di kertas yang sama tertulis pula, bahwa ia akan melaporkan aksiku pada guru.
Dan untuk mencegah hal mengerikan tersebut, aku harus menemuinya secepat mungkin.
Aku membolak-balikkan kertas kusut itu dengan tergesa. Saat itulah kutemukan satu informasi baru yang membuat napasku tertahan mendadak. Jantungku berdenyar resah, jemariku mencengkram ujung kertas kuat-kuat. Hal mengejutkan lain adalah, surat ini bernamaーseolah pengirimnya ingin memberi tahu bahwa ia serius dengan ucapannya, bahwa ancaman yang ia tuliskan akan benar-benar menjadi nyata.
Kau tahu siapa pengirimnya?
Oh, tidak, kau akan ternganga. Ini benar-benar di luar dugaan.
Sial sekali, sebab di pojok bawah kertas, tertulis rentetan hangeul begitu rapi; Jeon Wonwoo.
Baiklah, katakan selamat tinggal pada masa depan cerah. Hidupku yang indah tamatlah sudah. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top