・18; finding someone

"TIDAK ada bukti yang kuat. Tidak ada yang tahu siapa yang menaruh kertas itu di tas Soo Jin. Saat bapak menggeledah, kertas itu sudah tidak ada. Aku mengerti kerisauanmu, tapi mengambil kesimpulan sekarang sangat berisiko karena seperti yang kita tahu, CCTV kelas tidak berfungsi. Tetapi ..." Tuan Jung menjeda. Sesaat aku bisa merasakan tatapannya menuju padaku, menambah keringat dan rasa gugup. "Saya bisa jamin pengerjaan Soojin di ujian terakhir adalah hasil murni."

Aku tidak salah dengar, 'kan?

Menanggapi itu, Gaheen langsung memajukan tubuhnya beberapa senti. Ia nyaris terlihat seperti hendak mengamuk di ruang BK layaknya yang ia lakukan pada Seungkwan saat pemuda itu mengatakan lelucon konyol di depan kelas. Untungnya hari ini, Gaheen masih bisa mengendalikan diri. "Atas dasar apa Bapak mengatakan hal itu? Maaf, Pak, bukannya saya ingin menjatuhkan atau menuduh Soojin. Tapi bukti adalah bukti, dan ini sangat tidak adil untuk siswa yang sungguh-sungguh mempersiapkan ujian."

Tuan Jung membenarkan letak kacamatanya, masih tampak tenang walau sudah disudutkan. "Soojin juga telah mempersiapkan ujiannya sungguh-sungguh, itulah kenapa nilainya meningkat pesat."

Gaheen menyipitkan mata sinis. "Bagaimana Bapak tahu?"

"Begini, Gaheen." Tuan Jung menghela napas, kedua telapak tangannya di atas pangkuan. "Sebagai salah satu peraih peringkat tinggi di kelas, apa kau tahu apa yang membedakanmu dengan siswa lain?"

Raut wajah Gaheen sudah cukup menunjukkan bahwa ia tidak mengerti arah pertanyaan Tuan Jung. Jadi tanpa berlama-lama, pria itu melanjutkan, "Jawabanmu selalu terkesan lugas, sederhana, dan mengena. Kau tidak perlu hitungan panjang, caramu singkat tapi rumusmu selalu tepat sasaran. Dan aku menghargai itu, walau pengerjaanmu selalu timpang dibanding dengan siswa lain yang harus menghitung semua komponen satu per satu. Itu karena aku tahu, bahwa kau benar-benar mengerjakannya dengan kemampuanmu sendiri."

Gaheen terdiam.

"Sama halnya dengan Soojin. Saat kau menjadi seorang guru dan mengenal karakter tiap siswa, kau bukan hanya tahu pengerjaan yang benar dan salah, tetapi juga mana yang asli dan palsu."

Aku terenyuh.

Dari semua guru, Tuan Jung adalah orang terakhir yang kupikirkan akan berkata hal sebijak itu. Ia terkesan kaku, raut wajahnya datar dan jarang memberi pujian (kecuali pada anak secerdas Wonwoo dan Gaheen yang berhasil mendapat nilai sempurna secara konstan pada ujiannya). Ia juga guru kimia―yang mana langsung masuk daftar hitam versiku sebab aku paling anti perhitungan stoikiometri. Namun hari ini, di ruang BK, aku mulai memandangnya sebagai orang berbeda.

Andai tidak ada guru BK dan Gaheen di sini, aku pasti sudah menunduk dan berterima kasih pada Tuan Jung.

"Baiklah, kau sudah dengar alasan Tuan Jung. Apa kau masih ingin mengajukan ketidakberatanmu, Gaheen?"

Tidak. Itu terbukti ketika Gaheen langsung berdiri, memaksa senyum dan membungkuk. Ia sempat melirikku sebentar sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Ini dimulai ketika pengumuman final tentangku sudah keluar. Melalui sebuah kertas putih yang ditempel di mading, keputusan final dari guru BK diumumkan. Di sana tertulis bahwa aku dinyatakan tidak bersalah. Boo Seungkwan menjadi orang pertama yang memberitahuku ini―ketahuilah, ia berlari dari lantai satu ke kelas, tak peduli ketika keringat menetesi wajahnya dan tetap dengan mata berbinar dan senyum semangat memberitahuku, "Pengumuman final sudah keluar! Kau dinyatakan tak bersalah! HAHA, makan tuduhan palsu itu!"

Awalnya aku tak percaya, jadi aku sendiri yang berlari ke mading untuk membuktikannya. Dan, ternyata benar.

Para guru sepakat menyatakan bahwa semua bukti itu tidak berdasar. Gaheen dan gengnya tidak terima, jadi mereka mencabut pengumuman itu dari mading dan mengajukan keberatan pada Tuan Jung. Itulah yang kemudian menghantarkan pertemuan singkat antara aku, Song Gaheen, guru konseling, dan guru mata pelajaran Kimia, Tuan Jung.

"Baiklah, masalah sudah selesai. Soojin, kau boleh kembali ke kelas."

Aku menggigit bibir, membungkuk sembari menggumamkan kata "terima kasih" sebelum pergi. Setelah sampai ke koridor baru aku menyesali keputusanku untuk pergi tanpa mengucapkan terima kasih pada Tuan Jung secara langsung. Bukan hanya untuk membelaku di depan Gaheen, tetapi juga karena telah percaya bahwa aku mengerjakan seluruh soal itu dengan kemampuanku sendiri.

Banyak orang yang tak kusangka mengubah sikapnya seratus delapan puluh derajat setelah pengumuman final tersebar. Salah satunya, anggota klub drama. Mereka menerimaku kembali dan anehnya, naskah yang kukirim kemarin berhasil masuk dalam seleksi.

Entah karena merasa bersalah atau justru kualitas menulisku benar-benar bagus (yang mana aku ragu, sebab naskah itu kubuat setengah tergesa-gesa dengan kepala kalut), yang terpenting kini, naskah itu akan menjadi bahan pertunjukkan musim panas.

Mau tak mau, aku harus bekerja keras untuk mewujudkannya menjadi nyata.

"Dari 60 scenes, harus dipotong sampai 35?" Seungkwan sampai ternganga setelah kujelaskan teknis revisinya. Pemuda itu berdecak sembari geleng-geleng kepala, terdengar jauh lebih kesal dariku saat melanjutkan, "Mereka pikir mudah untuk memotong 25 adegan dalam waktu 2 minggu? Kau juga, kenapa mau-mau saja disuruh seperti itu, sih?!"

Aku memijit pelipis pening. "Kau tidak ingat aku penulis utama di sini?"

"Tapi ada tim penulis lain yang bisa membantumu, 'kan? Aku tahu tim drama penuh oleh orang-orang berbakat, kemana mereka?"

"Cara kerjanya tidak seperti itu, Seungkwan," ucapku, entah karena lelah atau geram―aku rasa campuran keduanya. Kuseruput kopi instan milikku hingga tersisa separuh, sebelum kembali menatap layar sembari menjelaskan, "Ada aturan tak tertulis di sini. Bila naskahmu diterima, maka kamu harus bekerja ekstra dalam revisi dan pagelaran drama. Sisi baiknya, namamu akan ditampilkan pada kredit pertunjukkan. Sisi buruknya ... yah, kau harus bekerja sangat keras untuk itu. Malah dengar-dengar, Senior Lee sampai tidur 3 jam setiap hari selama satu minggu sebelum pagelaran drama dimulai."

Seungkwan menatapku dengan mata menyipit. "Aturan yang aneh," cibirnya, sebelum kembali menatap pada layar laptop. Hari ini hari Jumat siang. Seperti biasa, aku menumpang di ruang broadcast untuk mengerjakan tugas drama. Ditemani nyinyiran Seungkwan jauh lebih baik ketimbang harus mengetik sendirian.

Pintu tiba-tiba terbuka. Ketika itu aku segera mengangkat kepala dan senyumku terulas melihat siapa yang datang.

"Aku sempat mencarimu di ruang drama." Joshua langsung mengambil posisi duduk di sampingku. Ia mengenakan kardigan biru dongker polkadot. Rambutnya terlihat sedikit berantakan di bagian poni, tapi senyum serta binar matanya tampak tulus saat mengatakan, "Selamat, akhirnya kasusmu selesai. Sudah kubilang, mereka akan menyelesaikannya dengan adil."

Aku membalas senyumnya. "Terima kasih."

Joshua adalah orang kedua yang kuberitahu kabar bahwa kasus ini selesai. Selepas aku kembali ke kelas, aku diam-diam mengambil ponsel dan mengirim pesan padanya―sembari menahan senyum kuat-kuat. Orang pertama? Tidak usah bertanya. Aku juga tidak tahu ada apa denganku ketika tadi sampai ke kelas, dan orang pertama yang kulihat ialah Wonwoo. Dan dari ekspresiku, dia langsung tahu bahwa kasus ini selesai dengan sempurna.

Aku ingin menraktirnya kopi bersama Joshua dan Seungkwan. Bagaimanapun, Wonwoo adalah satu-satunya orang yang memberi solusi aktif untuk memecahkan masalahku, terlepas dari hasil akhirnya. Namun, Wonwoo harus pulang cepat hari ini. Jadi aku hanya berkumpul bertiga di ruang broadcast bersama Seungkwan dan Joshua.

Tak apa, mungkin lain kali.

"Ehm ... halo," Seungkwan tiba-tiba melambai canggung pada Senior Hong. Kedua alisnya menyatu saat ia menatapku bingung. "Maaf Soo Jin, aku yakin ada yang belum kauceritakan padaku."

"Ah, aku belum memperkenalkan temanku. Joshua, ini, Seungkwan. Seungkwan, ini senior Hong yang sering kuceritakan dulu."

Seungkwan langsung menutup laptopnya dan memasang senyum ramah. "Oh, halo! Jadi kau senior Hong yang sering disebut-sebut itu? Astaga, sudah lama aku ingin bertemu dengan kakak. Kakak tahu, Soo Jin sering menceritakan kakak saat kita berkumpul, aku jadi curiga ada sesuatu di―AWW, Hei lepaskan!"

Aku merapatkan gigiku dengan senyum. "Jangan bicara macam-macam, langsung ke intinya saja," gumamku setelah melepas cubitan di perut Seungkwan.

"Iya, iya," gerutu pemuda itu kesal. Ia kemudian mencondongkan tubuh pada Joshua dan berbisik, "Jangan kaget, Kak. Walau kelihatan seperti anak manis, Soo Jin juga punya sisi preman yang galak. Kakak tidak pernah tahu, ya?"

Joshua hanya tertawa sembari melirikku, tawa manis yang langsung membuat pipiku terasa panas. Memalukan sekali. Seharusnya aku tidak usah mempertemukan Seungkwan dan Joshua tanpa aba-aba kalau tahu ia akan menggodaku begini.

"Tidak usah terlalu formal, panggil saja Joshua."

Seungkwan dengan keahlian sok akrabnya, langsung menjabat tangan Joshua. "Wah, yang benar? Hoho, padahal aku sangat menghormati senior yang dipuja-puja sahabatku ini."

"Wah, aku jadi tidak enak." Joshua mengibas tangan, larut dalam candaan Seungkwan. Sesuai dugaanku, tidak butuh waktu lama untuk mereka saling akrab. Terkadang, lucu membayangkan bagaimana Boo Seungkwan, pemuda super supel yang memiliki banyak teman bisa menjadi sahabat dekatku.

Kami menghabiskan waktu mengobrol, sebelum Joshua mengajakku pulang bersama. Kami sedang melangkah melewati jalanan ketika pemuda itu bertanya, "Masalah itu selesai dengan cepat. Syukurlah."

"Benar." Aku tersenyum. "Banyak orang menuduhku sebagai pencurang."

"Maaf aku tidak bisa ada di sana bersamamu."

"Tidak apa-apa. Aku ... aku masih punya dukungan."

"Seungkwan?"

Wonwoo, batinku refleks menyahut. Tapi teringat betapa buruk hubungan keduanya, aku hanya mengangguk singkat. Tidak usah mengungkit nama Wonwoo.

"Aku benar-benar menyesal ... minggu lalu aku sibuk oleh masalah keluarga." Senyumnya berubah sedih. Ekspresinya persis seperti ketika ia membicarakan keluarganya. "Ayahku pulang dari US. Begitu tiba-tiba."

"Oh."

Aku terkejut, saking terkejut sampai tidak bisa memikirkan repson terbaik untuk itu. Aku ingin mengatakan, "Apa ia pria baik?" tapi dari raut sedihnya, aku tahu itu bukan pertanyaan yang tepat. Jadi alih-alih, aku hanya menjawab singkat, "Kau pasti punya minggu yang sibuk."

Ia mengangguk. Di luar ekspetasiku, ia malah bercerita, "Ayahku tidak selalu datang ke Seoul. Ia punya bisnis untuk diurus di Amerika ... kau tahu, tipikal pria pekerja keras yang hanya memedulikan sahamnya."

Dari kalimat itu, aku tidak butuh petunjuk lain untuk tahu betapa buruk ayah Joshua ini.

"Tapi, ia tetap peduli denganmu. Buktinya, ia jauh-jauh datang dari Amerika untuk mengunjungi putranya," hiburku. "Aku tahu ia ayah yang baik."

Joshua tersenyum tipis. Saat hendak menyebrang lampu merah, Joshua tiba-tiba meraih pergelangan tanganku.

Ia baru melepaskannya setelah sampai di seberang jalan.

"Aku harap kau benar," balasnya. "Ia hanya datang sekali dalam beberapa bulan―itupun kalau bisnisnya baik-baik saja."

"Apa ia tidak mencarimu sekarang? Maksudku, ini sudah cukup larut."

Joshua menatapku."Menurutmu, seorang ayah yang bahkan tidak peduli dengan anaknya yang tinggal di negara lain, akan khawatir ketika anaknya tidak pulang semalaman?" Ia tertawa, pedih. "Aku rasa tidak."

Aku hanya memainkan tali tas dengan perasaan canggung. Aku tidak pernah terlibat dalam konversasi sebelumnya, dan berusaha sebisa mungkin untuk menghindari percakapan bertopik sensitif. Aku ingin bertanya mengapa ayahnya tidak tinggal di Korea saja, atau kenapa Joshua harus repot-repot ke Korea Selatan dan berpisah ribuan kilo dengan sang ayah. Maksudku, apa ia tidak kesepian?

Namun seolah bisa membaca pikiranku, aku nyaris terkejut kala ia tiba-tiba membuka suara, "Aku tidak tinggal di Seoul tanpa alasan."

Jeda yang cukup lama.

"Aku datang untuk mencari seseorang."

Seseorang?

Tatapannya jatuh pada kerikil jalanan. Sekilas aku bisa melihat seringai tipis kala ia berkata, "Orang yang bertanggung jawab atas kepergian ayahku sekarang. Dan aku rasa, aku sudah menemukannya: aku malah semakin dekat dengannya." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top