・17; how could?

PEMUDA yang dulu kukenal bernama lengkap Jeon Wonwoo dan boleh dipanggil Wonwoo, atau kalau ingin lebih panjang bisa juga ditambahkan 'Wonwoo-Si-Genius-Sombong-Yang-Aneh-Dan-Menyebalkan' ternyata jauh dari deskripsi 'aneh dan menyebalkan'.

Oh, well. Di satu waktu ia bisa menjadi begitu arogan, memang. Tetapi setelah menghabiskan―setidaknya―dua jam selama empat hari berturut-turut untuk mengerjakan tugas bersama, aku rasa, tingkat kebencianku padanya mulai menurun. Jangan salah. Ia masih membentakku kadang-kadang, "Turunan sin x itu cos x, jangan menjawab asal kalau kau tidak tahu", terlebih saat aku tidak teliti menulis tanda negatif (-) menjadi positif (+), dan Si Genius itu akan langsung meracau kesal, "Itu jelas-jelas kesalahan kecil. Tanda negatif pindah melewati tanda sama dengan (=) seharusnya jadi positif. Kalau begini terus, kita bisa menghabiskan 3 jam untuk 3 nomor saja".

Anehnya, aku tak lagi merasa tersinggung. Sebab tujuh sampai depuluh detik setelah Wonwoo membentakku, ia akan menghela napas, menggaruk tengkuk atau mengusap leher canggung dan dengan decakan pelan berkata, "Itulah pentingnya memperhatikan kelas. Aku tidak berniat membentakmu tapi kesalahan seperti itu benar-benar payah. Ah, maaf. Bukan payah, hanya ... buruk ... Pokoknya, maaf."

Biar kuberitahu, Jeon Wonwoo yang canggung adalah favoritku sekarang.

Aku bahkan tidak bisa berhenti tertawa untuk bermenit-menit setelah melihat Wonwoo bersikap kikuk setelah meminta maaf akan sikapnya yang kasar. Biasanya aku meledeknya dengan, "Oh? Bisa merasa bersalah juga, ternyata."

Dan kemudian Wonwoo akan langsung mengelak, tapi wajahnya semerah tomat.

Ah, aku belum memberitahu ini. Tapi selama empat hari terakhir, Wonwoo dan aku sepakat untuk mengerjakan tugas bersama―di samping projek kimia yang memang hanya dijadwalkan untuk hari Selasa. Aku tidak tahu apa yang meracuni pikirannya sehingga ia mau membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Dulu kukira, ia salah satu siswa ambisius yang pelit membagi jawaban―dunia persaingan itu ketat.

Aku juga tidak tahu alasan Wonwoo mengajakku membuat PR di sekolah setiap hari, antara ia kasihan denganku yang masih diasingkan layaknya zombie (sebab kasusku tidak menemukan titik terang dan Tuan Jung masih belum dapat mengonfirmasi apa nilaiku asli atau bukan), atau ia merasa bersalah sebab pernah mengancamku dulu (mengingat akhir-akhir ini, Wonwoo mudah sekali merasa bersalah).

Mungkin inilah mengapa aku harus berhenti menghakimi orang berdasarkan rumor.

Aroma roti yang segar menyambut indra penciumanku, seketika membuatku mengerjap dan kembali ke realitas. Aku melirik pemuda itu tengah membawakan sebuah nampan plastik dengan dua piring croissant rasa almon. Setelah ia duduk, kalimat pertama yang diucapkannya adalah, "Kita harus cepat makan dan pergi."

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Ini sudah jam 11, tidak ingat rencana awal?"

Benar. Melanjutkan pekerjaan rumah matematika sekaligus merampungkan catatan kimia di perpustakaan. "Seharusnya kita langsung ke perpustakaan," kataku tak enak, mengambil satu gigitan besar croissant. "Jadi tidak perlu terburu-buru begini."

"Telan dulu baru bicara," katanya, mendadak membuat aku memutar bola mata.

Update terbaru, Wonwoo versi baru lebih sering mengomel. Catat itu.

"Tidak apa-apa, sekalian sarapan," ucapnya, menyeruput kopi dengan hati-hati. Ia menunggu kunyahannya habis sebelum melanjutkan, "Lagipula, kau pernah bilang bakery di sini paling enak."

Aku mengangguk antusias. "Mereka punya croissant terbaik di Seoul. Terima kasih telah mengajakku kemari."

Menanggapi itu, Wonwoo hanya mengangguk singkat. Kami menyelesaikan sarapan kami dengan tenang, sebelum bersiap untuk berangkat ke destinasi selanjutnya. Hari ini akhir pekan, Wonwoo mencetuskan ide bagus untuk belajar bersama di luar, sekaligus melepas stres dan penat.

Awalnya aku hendak menolak ajakannya, tapi mengingat betapa banyak kontribusi Wonwoo selama hari-hari kelamku di sekolah, maka aku menerima.

Hanya aku lupa, bahwa pemuda ini tak dapat ditebak.

Aku membelalak, menoleh dengan alis terangkat tak percaya. "Kau serius?"

Wonwoo menatapku dengan tatapan aneh. "Ada yang salah dengan tempat ini?"

Salah, katanya?

Ia mengajakku ke book café. Catat, itu book café, bukan perpustakaan atau ruang belajar atau apapun sejenisnya.

Aku jelas mengernyit protes. "Kau bilang kita akan mengerjakan tugas?" Tahu begitu, aku tidak akan membawa tas ransel yang berat dengan dua paket Matematika dan Kimia yang tebalnya melebihi serial Harry Potter.

"Memangnya ada larangan untuk mengerjakan tugas di sini?"

"Tidak, tapi―"

"Kalau begitu, ayo masuk."

Aku mendengkus tak percaya. Tanpa merasa bersalah Wonwoo langsung membuka pintu dan masuk, meninggalkanku di luar sendirian. Serius, aku mulai merasa takut. Kemana perginya sisi ambisius pemuda itu? Maksudku, rata-rata anak pintar pergi belajar di ruang belajar. Minimal, perpustakaan umum. Tapi ...

Book café?

Kendati demikian, aku tidak bisa menyangkal perasaan bahagia dan nyaman yang kudapat saat menapaki café itu. Area dalamnya cukup luas, ada banyak tempat duduk berbahan kayu dengan berbagai model. Yang paling kusuka, bagaimana mereka menata juga memadukan buku-buku dengan nuansa artistik café bertema woody. Tampak cantik dan elegan di satu waktu. Seperti biasa, Wonwoo memilih di pojok―tepat di dekat rak buku fiksi.

Hal pertama yang kulihat di sana adalah koleksi bukunya.

"Bagaimana? Masih berpikir belajar di perpustakaan menarik?"

Aku menatap Wonwoo dengan kernyitan. "Seharusnya kau bilang sebelum mengajakku kemari. Tahu begini, aku tidak perlu membawa ini."

Ia tertawa melihat tas ransel besarku yang kujinjing bagai tempurung kura-kura (itu kata Seungkwan, ia pernah mengucapkannya dengan keras di koridor dan saat itu Wonwoo juga ada di sana, sialan memang). "Selesaikan dua tugas, lalu kau bisa membaca apapun yang kau mau."

Mataku sontak berbinar. "Serius?"

Ia mengangguk mantap.

"Oke!" Mendadak aku jadi bersemangat. Kukeluarkan buku, catatan, dan tempat pensil. Mulai mencoba memecahkan satu per satu masalah. Saat aku tidak mengerti, aku bertanya pada Wonwoo. Ia melakukan tugasnya dengan baik sebagai tutor sekaligus teman satu kelasku, ngomong-ngomong. Dan informasi tambahan yang kutahu tentang pemuda itu, Hidrolisis dan Buffer adalah materi favoritnya.

Misalnya saat aku bertanya, "Bagaimana cara membedakan soal larutan penyangga dan soal hidrolisis?"

"Lihat reaksinya."

Aku memutar-mutar pensil di atas meja. "Lalu, kalau senyawanya sama? Bagaimana kita tahu itu termasuk buffer atau hidrolisis?"

"Lihat asam-basanya habis atau tidak."

Keningku berkerut. "Habis maksudnya?"

Ia menaruh pensilnya, lantas menatapku dengan mode 'guru-killer-serius', tatapan yang sering ia keluarkan saat sedang belajar. "Kau tahu cara membuat reaksi?"

Di sinilah ketegangan itu dimulai.

Aku mencoba mengingat-ingat pelajaranku dengan Joshua. "Asam ditambah basa menghasilkan garam dan air?"

"Lalu, buat M-R-S."

"M-R-S?"

Ia mendengkus. "Mula-mula, reaksi, dan sisa. Masih tidak ingat, juga?"

"Ah, itu ..." Aku buru-buru mengalihkan pandang pada kertas. Walau masih tidak paham, aku berlagak seolah paham dan menulis sesuatu di atas buku.

Tapi agaknya, Wonwoo punya indra keenam yang bisa menilai apa kau bohong atau tidak. Agaknya ia memang titisan Tuan Jung yang menjelma sebagai siswa SMA biasa.

Ia kemudian mengambil bukuku, menulis beberapa saat sebelum mengembalikannya. "KOH tambah HCl menghasilkan KCl dan H2O. Cari mol KOH dan HCL."

Mol, ya ...

"Kau juga tidak ingat rumus mol?"

Nadanya meninggi, aku lantas mengerjap dan mengangguk. "Kau pikir aku sebodoh itu?" sungutku walau dengan suara bergetar. Kadang-kadang aku masih terkejut dengan suara lantang Jeon Wonwoo. "Masa dibagi Mr."

"Berapa massa molekul relatif KOH?"

Hah? "Bukannya sudah diketahui di soal?"

Irisnya menatapku meledek. "Kau tidak hafal?"

Aku buru-buru mencari tabel periodikku dari dalam ransel.

"Lima puluh enam."

Gerakan tanganku terhenti, aku refleks mendongak.

Wonwoo mengulang kalimatnya dengan tatapan masih terfokus pada kertas. "Massa molekul relatif KOH 56, massa molekul relatif HCl 36,5."

"Wah ... anak olimpiade memang beda."

Ia mengendikkan bahu. "Itu sering muncul di soal. Sedikit mengejutkan kau tidak tahu."

Aku hanya membalas cibirannya dengan dengkusan pelan sebelum kembali pada soal. Mencari mol, memasukkannya dalam persamaan MRS.

Pengerjaanku nyaris rampung kala tiba-tiba Wonwoo berujar, "Mol yang habis adalah mol yang paling kecil. 0,05 lebih kecil dari 0,5." Ia menyipitkan mata, menunjuk pada satu titik di bukuku. "Kalau kau menguranginya begitu, nanti hasilnya akan minus."

Benar juga. Tidak kusangka Wonwoo memperthatikan pengerjaanku begitu detail.

Dua jam berlalu sangat cepat sata kau mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah menyelesaikan setiap tugas sekolah, aku berjalan ke kasir memesan Vanilla Latte gelas kedua. Saat Wonwoo bertanya kenapa, aku menjawab lugas, "Memang kau pikir aku akan menghabiskan waktu membaca buku tanpa memesan kopi kedua?"

Wonwoo mengangkat alis, tapi tidak memberi komentar. Aku merasa ia masih menatapku bahkan saat aku melihat koleksi judul buku di rak fiksi. Kukira ia hendak mengatakan sesuatu, tapi ketika aku menoleh, pemuda itu langsung memalingkan wajah.

Itu jadi mengingatkanku akan sesuatu. "Kenapa kau mengajakku kemari?"

"Kurasa, tempat ini lebih nyaman untuk mengerjakan tugas," sahutnya, "lagipula, kau suka membaca."

Dan itu yang membuat alisku semakin tertekuk dalam. "Bagaimana kau tahu?"

Ia mendengkus. "Karena kau penulis. Klub jurnalis? Drama? Bagaimana bisa seorang penulis tidak menyukai buku fiksi?"

Aku mengangkat alis. Belum sempat membalas, aku dikejutkan oleh sebuah sapaan yang datang dari sebelahku, "Soo Jin?"

Aku menoleh, senyumku sontak mengembang kala melihat siapa yang datang. "Joshua? Wah, kebetulan yang sangat tepat!"

Joshua tersenyum. "Aku tidak tahu kau sering kemari."

"Ah, tidak sering. Hanya aku sedang kerja kelompok." Aku melirik Wonwoo. "Jeon Wonwoo, partnerku."

Joshua ikut melirik Wonwoo, tatapannya sedikit meredup namun ia tetap memaksakan senyum. "Hong Jisoo."

Wonwoo hanya mengangguk sekilas, tidak repot-repot menawarkan tangan atau memberi hormat. Alih-alih, pemuda itu malah kembali menatap bukunya. Aku sudah berdeham beberapa kali memberi kode, tapi Si Es itu tidak peka juga. Dasar, antisosial!

Aku kembali paada Joshua. "Kupikir kau sedang ada janji dengan keluargamu."ーwell, kalau kau pikir hubunganku dengan Joshua renggang sejak ada konflik, maka kau salah besar. Joshua tetap mendukungku walau tidak terang-terangan. Ia juga pernah menemaniku menemui guru BK untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Kami bahkan semakin sering bertukar pesan, itu yang membuatku tahu jadwalnya selama akhir pekan.

"Aku sedang ada sedikit urusan di mall sebelah, tapi sudah selesai," jawabnya, mengibas tangan ringan, "kau sendiri? Tumben mengerjakan tugas di book café?"

"Ah, itu ide Wonwoo," jawabku enggan, yang entah mengapa menambah kecanggungan. Aku ingin sekali mengajak Joshua duduk di bangku kami, tapi pertama, Wonwoo yang mengajak jadi aku tidak punya hak untuk "mengundang" orang lain, dan kedua, pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan gestur ramah atau tertarik dengan tamu kita sekarang.

Joshua pun tampaknya paham. Tak butuh waktu lama untuknya berkata, "Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu. Nanti kuhubungi."

Aku tersenyum, balas melambai. Sejak kedatangan Joshua, Wonwoo tidak mengatakan apa-apa. Ia bahkan tetap diam sampai perjalanan pulang. Tidak menatap, tidak melirikku sedikitpun.

Seolah menyapa Joshua di cafe adalah kesalahan besar.

Terkadang, aku lupa bagaimana buruk hubungan Senior Hong dengan Jeon Wonwoo. Walau sampai sekarang pun aku tak tahu, bagaimana dua orang yang tidak saling kenal bisa saling membenci satu sama lain. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top