・11; reporter club

SEJAUH yang kutahu, Boo Seungkwan memang benar dalam banyak hal.

Salah satunya, gagasan bahwa hari olahraga merupakan salah satu hal yang seharusnya tidak pernah ada di muka bumi. Baiklah, terlalu hiperbola. Biar kuralat: hari olahraga adalah hari yang seharusnya dihapus dari jadwal siswa. Aku mengerti bagaimana pihak sekolah mencoba untuk menyediakan satu hari khusus agar siswa bisa melepas stres dengan berbagai macam aktivitas fisik di lapangan.

Namun, tentu dalam acara seperti ini selalu ada pihak-pihak yang akan 'tersisihkan': antara kau tak bisa olahraga atau memang, kau hanya salah satu dari orang yang benci keramaian. Jujur saja sebenarnya, aku tidak bermasalah dengan kedua poin tersebut hingga hari ini tiba. Sejak menelan makian dari Gaheen dan klub tari, insiden memalukan dengan Jeon Wonwoo di ruang ganti, serta pertandingan voli kelas yang jatuh pada kegagalan, aku mulai berpikir bahwa agaknya, hari olahraga memang tidak semenyenangkan itu.

Alih-alih melepas stres, aku mendapat berlapis-lapis masalah baru.

Hubunganku dengan Wonwoo bertambah rumit. Kompleks, kikuk, dan canggung. Oh, demi kerang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana aku harus bersikap di hadapannya saat kerja kelompok besok. Tiap aku melihat figur Wonwoo di kelas, atau siluet pemuda itu saat tengah berjalan di selasar koridor, satu-satunya hal yang muncul dalam benak ialah bayangan buram kotor mengenai tubuh kotak-kotak dan perut datarnya yang terekpos di ruang ganti.

Sial.

Tidak seharusnya aku berpikiran seperti itu tentang pemuda cuek yang sudah membantu menyembunyikanku dalam ruang ganti pria. Terlepas dari berbagai rumor buruk tentangnya, sebuah fakta yang tak dapat disangkal malah membuatku semakin bertanya-tanya; Apa sebenarnya motif Wonwoo?

Oh, baiklah. Harus diakui, aku sedikit—atau mungkin banyak—merasa skeptis dengan niat tulusnya dalam membantuku. Ini Jeon Wonwoo yang kita bicarakan—pemuda yang sama yang mengancamku mengenai kejadian menyontek ujian lalu. Pemuda itu keras, sulit ditebak, dan penuh kejutan. Lagipun kalau direka ulang, ini bukan pertama kalinya ia membantuku kala terjepit di situasi sulit. Saat kelas kimia dulu, buktinya. Semua itu membuatku bertanya-tanya, sebenarnya apa rencana Wonwoo? Mengapa ia mau membantuku secara percuma untuk dua kali berturut-turut?

Memikirkannya hanya semakin membuat pelipisku berkedut pening. Hari ini sudah cukup melelahkan, aku tidak mau membebani kepala sendiri dengan topik berat lainnya. Barangkali kalau ada satu hal untuk disyukuri, maka itu berarti peristiwa langkah di siang ini; tatkala sinar matahari bersinar terik, angin musim semi berembus sementara aku berjalan kaki keluar gerbang sekolah.

Tentu saja tidak sendirian.

Di sampingku, senior Hong menendang kerikil di atas aspal, tertawa puas saat tendangannya berhasil mengirim beberapa butir kerikil masuk dalam lobang selokan. Senyumku bangkti tanpa sadar, hatiku perlahan menghangat. Gumpalan rasa kesal yang sedari tadi menggerogoti kepala mulai bubar.

Setidaknya, hari ini aku bisa menghabiskan waktu bersama senior Hong.

"Pertandingan voli tadi cukup menyenangkan. Aku tak pernah menduga kau bisa melakukan smash sebaik itu pada tiga detik terakhir."

Oh, tidak. Jangan topik itu.

Aku meringis, sedikit tak menyangka Senior Hong masih membawa topik pertandingan tadi ke permukaan. Acaranya berantakan, kalau kau penasaran. Pertandingan sampai tertunda sepuluh menit dengan omelan wasit sebab aku terlambat datang. Seungkwan mendukungku di kursi penonton dengan meneriakkan namaku keras-keras—yang mana aku tak tahu adalah hal yang harus kusyukuri atau justru kurutuki. Ia juga membawa spanduk yang entah dari mana bertulis nama lengkapku, dan hal tersebut cukup memalukan sebab performaku di lapangan tak sebagus itu.

Dan soal smash di tiga detik terakhir ...

Ayolah, ketua kelasku saja sampai merutuk payah kala tahu aku mengambil pilihan seimpulsif itu.

"Senior melihatnya, ya." Aku tersenyum kecut, hanya dapat meremas tali tasku erat. "Aku hanya anggota cadangan yang dengan tidak beruntung terpaksa ikut pertandingan karena salah satu anggota tim sakit mendadak. Dan lihat yang terjadi. Datang terlambat, pukulan smash yang tidak tepat sasaran, lalu memimpin tim pada kekalahan."

Senior Hong tak langsung membalas, aku pun tak dapat membaca ekspresinya sebab langsung beralih menatap aspal yang dipenuhi kerikil-kerikil. Tidak, tidak, tak boleh menangis. Aku menggertakkan gigi dan mengeraskan rahang, tak peduli ketika gigiku gemeretak dan memimpin pada rasa pedih. Namun sesaat setelah aku hendak mengusap wajah, terdengar suara khawatir Senior Hong berkata, "Kau baik-baik saja?"

"Ya, tentu saja," sahutku, sejenak menelan saliva. "Hanya merasa ... lelah. Seharusnya hari olahraga seperti bisa digunakan sebagai ajang senang-senang, bukan?"

Tawaku mengudara kikuk. Senior Hong tidak membalas dengan tawa. Kudengar helaan napas panjang, sebelum pemuda itu kemudian menyahut pendek, "Tidak juga."

Keningku mengernyit. Kini tak tahan untuk tidak menoleh dan menatap wajahnya dengan ekspresi bertanya-tanya. "Senior tidak menikmati pertandingan tadi?"

Dalam beberapa sekon, ekspresinya meredup. Dalam iris gelap pemuda itu, tebersit sebuah kesedihan—begitu sarat dan tipis, menyerupai gumpalan awan kelabu yang mampir tiba-tiba dan begitu singkat. Hanya sekejap, sebelum pemuda itu mengedipkan mata, mengulas senyum yang tak sampai menyentuh mata dan menyahut pelan, "Tim lawan bermain curang tadi."

"Apa?"

"Memang tidak tertangkap oleh wasit dan penonton. Tapi aku melihatnya sendiri—persis di depan mataku. Ada satu pemain yang menyentuh bola dengan tangan, lalu ada juga pemain lain—ehm, kalau tidak salah ia menggunakan kaos nomor sebelas—yang sengaja menyikutku kala bola sudah mendekati gawang."

Aku mengerjap, kali ini tak dapat berkata-kata.

Setengah menggebu, senior Hong melanjutkan, "Seharusnya aku bisa mencegah goal bola kedua dan ketiga. Tapi, well, kurasa lebih baik aku diam dibanding membuat keributan. Sesekali kalah dalam pertandingan biasa toh hal yang lumrah."

Bagiku kecurangan sama sekali bukan hal yang dapat ditoleransi. Aku ingat tahun lalu ketika masih berstatus junior, beberapa senior dari kelas 12.1 dengan 12.3 sempat berkelahi sengit setelah hari olahraga. Usut punya usut, ditemukan sebuah kecurangan pelik pada salah satu anggota tim basket yang saat itu ikut berlomba. Sikap jujur dan adil tetap dituntut meski sekadar kompetisi antarkelas.

"Senior tidak melapor ke wasit?" Aku bertanya, tepat saat langkah kami menapaki tanjakan dekat sebuah supermarket kecil. "Tapi yang lebih membingungkan, kenapa wasit tidak memberi peringatan kalau sudah terbukti ada kekerasan? Minimal, mendapat kartu kuning. Atau diganti dengan pemain lain."

Senior hanya mengedikkan bahu—sejenak membuat keningku berkerut lebih dalam. "Entahlah, mungkin wasitnya tidak melihat. Padahal sebenarnya, tidak sesulit itu untuk menangkap gerak-gerik pemain yang curang."

Walau kalimat itu tidak menjawab pertanyaanku secara spesifik, aku hanya mengangguk pelan, memilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan berkata, "Sepertinya senior benar-benar berpengalaman dalam olahraga."

"Ah, kau bisa saja." Sekilas, aku menangkap rona merah berpendar pada pipinya dan pemuda itu tertawa. Wajahnya kembali cerah, nadanya mengandung keceriaan yang meluap-luap. "Pertandingan olahraga seperti ini juga populer di Amerika. Aku pernah mengikuti football bersama teman-teman sekelas. Rasanya menyenangkan ketika aku bisa berpartisipasi langsung dan menjadi salah satu jejeran pemain terbaik dalam tim. Kami juga sering ikut kompetisi melawan sekolah lain, mengumpulkan banyak pengalaman bersama, dan dihadiahi seragam jersey oleh sekolah."

Cara dia menatap, tersenyum, dan berbicara—semua berhasil menarikku ikut masuk dalam dunia nostalgia miliknya. Kenangan itu memang selalu memabukkan. Memori manis selalu berhasil menghantui seseorang dengan perasaan rindu. Dari apa yang kulihat, semua rasa tersebut ada dalam iris hazel Senior Hong; teraduk, tercampur, kemudian meletup dalam bentuk senyum dan tawa. Diam-diam, aku dapat merasa hatiku ikut menghangat. Perasaan bahagia itu menular, kata orang. Hanya dengan mendengar cerita lawas itu kembali terputar, aku lantas membangkitkan senyum dan berkata, "Kehidupan di sana pasti menyenangkan. Senior tampak begitu bahagia."

Ia mengangguk, poninya yang panjang jatuh menutupi mata segera ditepis. "Ah, kita sudah sering berbicara tapi kau masih memanggilku dengan formal. Tidak apa-apa, kau bisa memanggilku Joshua."

"Joshua?"

"Nama Amerika-ku dulu," pemuda itu tersenyum kecut, "Joshua."

Ah, nama lama.

Aku tersenyum tak enak. "Apa tidak apa-apa memanggil Senior dengan nama itu?"

"Kau tahu, kau orang pertama yang membuatku merasa nyaman di Seoul. Setelah bertahun-tahun aku ingin pulang ..." Tatapannya beralih pada cakrawala. Padahal di sekitar kami bising lalu lintas bersahut-sahutan dengan suara langkah pejalan kaki, tapi aku tak sedikitpun terdistraksi. Lagi-lagi, kalimat Senior Hong bagai serangkaian mantra magis yang berhasil memikat seluruh atensiku siang ini. Kemudian ia menoleh, tatapan kami bertemu. "Kau orang pertama yang berhasil membuatku lupa sekaligus rindu pada masa lalu. Jadi, tidak usah sungkan lagi. Kita sudah berteman, bukan?"

Sesuatu dalam dadaku bergetar. Lambungku mendadak terpilin, tapi sedetik kemudian ada gerakan menggebu di dasar perut yang membuatku tak bisa menahan senyum. Pipiku bersemu merah. Sekarang aku mengerti mengapa buku romansa selalu mengumpamakan kepak sayap kupu-kupu dalam perut sebagai buncahan kebahagiaan yang meledak dalam diri seseorang.

Percayalah, hari ini pun aku merasakan hal yang sama.

Menit-menit selanjutnya berlalu dengan konversasi hangat yang penuh dengan senyum dan tawa. Sesekali Senior Hong—ehm, Joshua, maksudnya—melempar candaan dan aku tak dapat menahan diri untuk tidak terbahak. Perjalanan ratusan meter pun tak terasa melelahkan, tiba-tiba saja kami sudah sampai di halte. Tepat saat mengempaskan tubuh di atas kursi tunggu, aku dapat merasakan getaran ponsel dalam saku. Sebuah pesan, ternyata. Saat kubaca aku tak dapat menahan diri untuk tidak mendengkus kasar.

"Ada apa?" Joshua tiba-tiba sudah duduk di sampingku, menatapku dengan raut cemas. "Kau tidak terlihat senang dengan pesan itu. Sesuatu mengganggumu?"

"Ah, tidak," jawabku, enggan. "Hanya masalah tugas. Mendekati semester akhir, ada banyak tugas berdatangan."

Untuk beberapa detik, pemuda itu tak membalas. Joshua bahkan terlihat seolah menimbang-nimbang, tengah berpikir sebelum bertanya lirih, "Pesan dari pemuda itu, ya?"

Aku mengernyit.

Ia melanjutkan, "Partner projekmu. Jeon Wonwoo. Ah, kalau dipikir-pikir, kalian juga sering bersama, ya."

Aku mengerjap. Bayangan akan kejadian tadi lantas terlintas di kepala, dan mulutku spontan menyahut, "Tidak!" Joshua memandangiku dengan tatapan bingung, jadi aku menarik napas dan mengulang—kali ini lebih pelan dan tenang, "Maksudku, bukan. Ini bukan dari Wonwoo. Ini partner projek yang lain, tahu sendiri sesibuk apa semester dua ini. Kalau dibilang sering bersama ya mau bagaimana lagi, ia teman sekelas sekaligus partner kimiaku."

"Oh."

Aku penasaran. "Memang ada apa?" Sedikit aneh kalau pemuda itu menanyakan tentang Wonwoo.

"Ah, tidak. Aku sempat berpas-pasan dengannya tadi sebelum pulang. Sepertinya, ia tidak terlalu aktif di lapangan tadi."

"Wonwoo memang bukan tipe orang yang terbuka dan aktif di lapangan." Aku mengedikkan bahu, meluruskan kedua kaki agar lebih nyaman. "Tapi tadi ia sempat ikut pertandingan lari estafet—kata teman sekelasku. Dan ia memenangkan juara pertama. Itu pun karena paksaan dan dorongan guru. Biasanya ia tak mau memedulikan hal-hal kecil semacam itu."

Joshua hanya mengangguk pelan.

"Apa kau mengenal pemuda itu sebelumnya?"

"Tidak juga," jawabnya, nyaris terdengar seperti gumaman. "Kau tahu," ia menjeda, wajahnya tampak ragu saat melanjutkan, "Ini memang terdengar aneh, tapi ... firasatku buruk tentnag pemuda itu."

Aku mengernyit. "Maksudnya?"

"Ia hanya ... entahlah. Aku tidak bisa menjelaskannya secara langsung, tapi ia tidak tampak seperti pemuda baik-baik. Berhati-hatilah."

Kemudian, bus datang.

Joshua tersenyum dan pamit. "Busmu sudah datang, cepatlah masuk. Aku akan pulang sekarang. Sampai jumpa di sekolah besok."

Namun belum sempat aku membalas, pemuda itu sudah keburu berbalik dan melangkah menjauh, meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya kecil dalam kepala.

***

Selepas hari olah raga, hari selanjutnya dalam sekolah persis bak neraka.

"X plus 8 dikuadratkan menjadi x kuadrat plus 16x plus 64. Bagaimana kau menulisnya hanya x kuadrat plus 16?" Suara pekak Seungkwan masuk begitu saja dalam telingaku. Aku meliriknya sebal, hendak membalas omelannya kembali sebelum pemuda itu berkata, "Aku saja yang mendapat dua puluh di ujian lalu masih mengerti cara menyelesaikan permasalahan seperti ini."

Ouch. Tak usah berbohong, saat kau terlalu sering bergaul dengan ibu-ibu maka gaya mengomelmu pun persis bak ibu-ibu. Dan jujur saja, itu cukup menyakitkan. Namun aku hanya menghela napas, menggumamkan maaf dan kembali mengoreksi kertas jawabanku.

Baiklah, hari yang payah ini dimulai dengan kelas Matematika yang tak kalah payah. Nyonya Lee memiliki rapat dadakan, jadi sebagai ganti, ia memberi pekerjaan kelompok berisi dua puluh soal campuran limit, integral, dan turunan.

Rasanya otakku mau pecah.

Sesungguhnya, aku sama sekali tidak merasa keberatan bila harus mengerjakan soal ini bersama Seungkwan. Ingat, hanya bersama Seungkwan. Sayangnya, pembagian kelompok dilakukan dengan undi dan lagi-lagi, keberuntungan tak lagi memihakku dan malah memberi teman-teman sekelompok yang sangat-amat baik (jangan lupakan nada sarkas ketika membacanya): Boo Seungkwan, Song Gaheen, dan Jeon Wonwoo.

Boom. Dua bom dalam satu waktu.

"Sebentar, kau membuatku tak bisa berkonsentrasi!" kataku, buru-buru menghapus dan menyalin jawaban baru di kertas.

Dari sisi depan aku dapat merasakan tatapan sinis Gaheen mengarah padaku, bahkan decakannya terdengar begitu keras sebelum ia berkata gemas, "Serius, Soo Jin? Bahkan perkalian sederhana itu kau tak paham? Seingatku, kau pernah daftar kursus matematika di daerah Seocho."

Aku hanya meringis, menunduk lebih dalam dan buru-buru membenahi pekerjaanku. "Aku berhenti di bulan dua." Itu benar, sebab biayanya terlalu mahal dan guru kursus berpikir bahwa materiku tertinggal jauh dengan siswa lainnya. Jadi antara dua pilihan: aku didepak secara tidak terhormat atau mengundurkan diri dengan sebuah alasam. Jelas pilihan kedua terdengar jauh lebih baik demi menjaga citra diri.

Gaheen hanya memutar bola mata. Kudengar ia sempat menggumamkan sesuatu di bawah napasnya—kalau tidak salah, ada kata 'lintah' dan 'lambat'. Mungkin kalau digabung, ia menyamakanku dengan seekor lintah lambat yang tak melakukan apa-apa selain menghisap jawaban teman sekelompok. Tugas dua puluh soal yang harusnya bisa dikerjakan dalam hitungan jam harus tertunda lama sebab aku tidak paham-paham.

Seungkwan saja sampai menyerah mengajariku sekarang.

Barangkali sebab terlampau bosan, Gaheen tiba-tiba berdiri dari bangku, sempat melihat seisi kelas sebelum berkata—hanya pada Wonwoo, "Aku akan pergi ke kantin sebentar. Kau mau menitip kopi atau snack?"

Tanpa melirik lawan bicara, Wonwoo—masih menulis sesuatu pada bukunya—hanya membalas singkat, "Tidak."

"Bagaimana kalau susu stroberi? Kudengar kau suka itu," kata Gaheen, sedikit mendesak tapi masih berusaha terdengar ramah kala menyambung, "Tidak apa-apa, tak usah pikirkan guru atau hukuman. Biasanya semua guru sibuk mengajar siang-siang begini, aku hanya akan pergi ke kantin dan—"

Wonwoo mendongak. "Sudah kubilang, aku tidak berminat."

Gaheen pun bungkam.

Di sebelahku, Seungkwan menyindir, "Hanya Wonwoo saja yang ditawari, nih?"

Namun Gaheen tidak mengindahkan kalimatnya dan malah pergi dengan wajah ditekuk. Seungkwan yang kelewat bosan memilih untuk pergi ke toilet sekaligus mencari angin di koridor.

Kini, tersisa aku dan Wonwoo.

Oke, ini canggung.

"Ehm, aku sudah menyelesaikan soal nomor lima," kataku. "Aku ingin melihat cara nomor 6."

Wonwoo menyerahkan kertasnya tanpa suara. Kelas ramai dengan bisikan serta suara diskusi siswa, tapi di bangku kami hanya ada hening yang memeluk. Duduk berdua dengannya kembali mengingatkanku akan surat ancaman itu.

Juga tentang peristiwa memalukan kemarin.

"Aku hanya ingin berkata, aku ingin berkata maaf untuk kejadian kemarin. Aku benar-benar tidak sengaja. Hari itu aku sedang terburu-buru dan—"

"Lupakan saja."

Ia menulis lagi.

Baiklah, sikapnya yang tak acuh malah membuatku tak tenang. Mengenyahkan surai di balik telinga, melirik sekitar dan memastikan tak ada yang mencuri dengan percakapan kami sekarang, aku lantas berkata pelan, "Aku tahu ini sedikit lancang, tapi bisakah kau berjanji untuk merahasiakan kejadian itu?"

Untuk pertama kali, pemuda itu mengangkat pandangan dari bukunya dan menatapku.

"Terima kasih," kataku, menunduk. "terima kasih karena sudah membantuku semalam. Walau jujur, aku tak mengerti bagaimana siswa yang memergokiku curang ujian lalu juga siswa yang sama yang membantuku keluar dari ruang ganti pria secara diam-diam."

Beberapa detik berlalu dalam hening. Ucapan terima kasih itu bukan sepenuhnya ucapan terima kasih, kau tahu? Sedikit ditaburi bumbu sinis toh tak akan melukai siapapun.

"Lalu?" balas Wonwoo. "Apa yang membuatmu melakukan itu?"

"Sudah kubilang," Aku mulai membalas tatapannya sekarang. "Tidak semua orang dilahirkan dengan otak sesempurnamu."

"Dan demi nilai kau berani melakukan hal curang?"

Demi nilai, katanya. Aku meringis. Nilai yang dibangga-banggakan tiap orang tua, guru, dan orang dewasa. Nilai yang bisa membawamu pergi ke universitas ternama. Nilai yang katanya tidak mempengaruhi masa depan tapi toh masih diagung-agungkan juga. Dan orang sepintar Wonwoo tidak akan pernah mengerti rasanya bekerja keras, belajar semalam suntuk, membaca banyak catatan tapi masih gagal juga. Wonwoo tidak tahu apa-apa.

"Lupakan." Aku mengarahkan tatapan pada catatan matematika, mendadak merasa kesal. "Kau tidak pernah tahu rasanya direndahkan, bukan?"

Setelahnya, Wonwoo tidak membalas. Hening kembali melungkup dengan rasa bersalah menggerogoti hati. Seharusnya aku tidak sekasar itu. Seharusnya aku tidak perlu membicarakan hal-hal personal pada satu antisosial ini. Jelas Wonwoo tak akan mengerti. Jelas pemuda itu tidak tahu apa-apa tentangku.

Namun lagi-lagi, bukan Jeon Wonwoo namanya kalau tidak penuh dengan kejutan. Pemuda itu kemudian berkata, "Klub reporter."

Gerakan tanganku terhenti.

"Kau berhasil meraih prestasi dalam klub reporter tahun lalu. Tapi saat petisi diedarkan, kenapa kau setuju agar klub itu bubar?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top