・10; second secret revealed
DALAM kamus kehidupan Boo Seungkwan, hari olahraga merupakan salah satu dari jejeran hari yang seharusnya tak pernah ada dalam jadwal sekolah.
Tapi tidak, jangan salah sangka. Jangan pikir Seungkwan adalah siswa berat kaki yang tiap hari hanya diam dan bermalas-malasan di bangku kelas sembari bermain ponsel layaknya kelompok gamers Donghee. Well, kendati membenci segala jenis permainan olahraga dan tetek bengeknya, tapi percayalah, Boo Seungkwan termasuk salah satu pemuda hiperaktif yang tak betah duduk diam di bangku selama dua jam pelajaran berturut-turut. Setidaknya dalam tiap pergantian jam, pemuda itu akan menyempatkan diri izin ke toilet demi dapat mengitari koridor dengan leluasa.
Dengan riwayat seaktif itu, agak mengherankan Seungkwan tidak menyukai olahraga apapun.
"Terlalu panas!" rengeknya pagi hari, saat kami duduk pada deretan bangku di tepi lapangan, menyaksikan pertandingan lari estafet pria dari kelas senior. Sekolah lebih memilih menggunakan lapangan outdoor dengan rumput hijau dan sinar matahari yang menembus kulit alih-alih menggunakan ruangan gymnasium dalam acara musim semi seperti ini. Riuh supporter beserta bunyi musik dari speaker bercampur menjadi satu, membumbung di udara dan membangkitkan gairah sekaligus atmosfer menyenangkan di antara siswa. "Serius, Soo Jin, apa yang kau harapkan dari kompetisi seperti ini, hah?!" sungut Seungkwan heran, mengibas-ngibaskan telapak tangan di sekitar kepala.
Aku menghela napas, memilih untuk mengabaikan gerutuan pemuda itu dan malah menyahut asal, "Tidak usah berisik. Sebentar lagi klub tari Sora juga akan tampil. Kau yakin akan mengabaikan kesempatan emas ini dengan diam di kelas?"
Pemuda itu mengerjap, ternganga dalam ketidakpercayaan. "Kau yang benar?"
"Kau tahu sendiri klub tari Sora sering tampil dalam acara-acara resmi sekolah."
Aku mati-matian menahan tawa kala melihat Seungkwan mengangguk-angguk lugu sebagai balasan, menurut bak bocah umur lima tahun yang tak sadar dirinya baru dijejeli kebohongan. Well, aku tidak sepenuhnya berbohong. Memang benar Han Sora adalah anggota klub tari sekolah―bersama Gaheen, tentu saja. Keduanya merupakan dua ketua tim tari unggulan yang memimpin dua grup berbeda namun sama-sama berprestasinya.
Kalau kata orang, tim Gaheen bagai kumpulan ratu sementara tim Sora ialah kelompok bidadari―dilihat dari konsep grup Gaheen yang lebih dewasa sementara konsep tari Sora mencerminkan kehidupan princess lugu dan imut. Kedua tim itu pula yang berhasil mengangkat nama sekolah dengan menggugah video dance cover di media sosial dan meraih ratusan ribu penonton.
Sora dan Gaheen memang visualisasi tepat untuk menggambarkan kehidupan gadis-gadis populer dalam drama atau novel-novel roman.
Aku tersentak saat tiba-tiba seseorang mendaratkan pukulan pada punggungku keras-keras. Setengah mendelik pada Seungkwan, nyaris kulayangkan protes kalau saja ia tak terlebih dulu berkata, "Kau menipuku, ya? Ketua kelas bilang, hari ini tim Gaheen yang akan tampil, bukan tim Sora!"
Yah, ketahuan.
Ekspresi marahku menguap, terganti oleh seringai miris kala ia kembali menghujamiku dengan omelan panjang. "Ya, maaf. Habisnya kau tidak berhenti mengomel, sih."
Seungkwan berdecak. "Tahu begini aku ke kelas dari tadi," sungutnya, seketika bangkit berdiri dan meninggalkanku sendirian. Kalau sudah marah, sahabatku itu juga punya sisi menakutkannya sendiri.
Sejujurnya hari olahraga tidak terlalu buruk. Setidaknya hari ini bisa melupakan rasa stresku berkenaan dengan kuis dan tugas―sekadar informasi, aku baru menerima hasil kuis matematika hari ini dan hasilnya membuatku meringis. Mendapati angka '45' tertulis dengan tinta merah pada kolom nilai barangkali merupakan salah satu hal yang patut disyukuri. Well, berapapun hasilnya yang penting aku telah melakukan yang terbaik. Aku belajar empat jam malam sebelum kuis untuk menghafal rumus dan mengerjakan latihan soal―kendati esoknya semua mendadak lenyap kala membaca deretan soal.
Aku kembali meneguk minumanku, sejenak memutar pandang pada lapangan sekolah. Ada beberapa senior kelas 3 mengerumun di lapangan, dengan sweatshirt ungu dan headband berwarna senada. Anehnya, walau ungu yang dikenakan berwarna soft dan lebih mirip lilac, aku melihat regu futsal laki-laki di sana tampak keren sekaligus maco dengan proporsi badan yang tidak main-main.
Tim oposisinya adalah kelas dua belas titik tiga. Diam-diam aku tersenyum saat melihat Senior Hong berdiri di depan gawang. Ah, anak futsal, rupanya.
Banyak gadis yang mengagungkan anak basket. Kuakui, isi tim basket tak kaleng-kaleng. Tinggi, berbadan kekar dengan urat yang tampak di tangan dan leher saat berlatih, juga kulit putih yang mendominasi. Jadi saat pertandingan mulai, aku nyaris terkejut kala melihat setengah dari seisi bangku penonton kosong dan tersisa bungkus makanan dimana-mana.
Apa sebegitu membosankannya pertandingan futsal bagi mereka?
Peluit dibunyikan, sontak berhasil menarik atensiku kembali pada kerumunan siswa di tengah lapangan. Beberapa pemandu sorak sudah siap berdiri di tepi lapangan membawa spanduk lebar sembari meneriaki nama kelasnya masing-masing. Saat bola mulai digiring, aku melihat senior Hong menatap fokus pada bola. Dia berperan sebagai penjaga gawang, tetapi sorot mata, sikap kuda-kuda, serta mimik wajah―seluruhnya terpusat penuh pada benda bulat yang kini menggelinding dari kaki ke kaki.
Sorakan di lapangan memanas, aku menggigit bibir kala bola yang tadinya berada di tengah lapangan berhasil direbut oleh tim lawan. Di belakang garis gawang, Senior Hong mengambil posisi kuda-kuda, matanya meniti waspada tiap pergerakan bola. Ia sempat menyeka keringat dari kening, juga menepis poni yang mengganggu mata sebelum kembali memasang pose kiper dengan kedua tangan.
Bola ditendang. Sorakan di lapangan bertambah keras. Diam-diam aku menelan ludah, kedua jemariku saling bertaut erat. Dalam dua sekon singkat, benda bulat itu melesat secepat kilat menuju gawang, tetapi dengan tangkas pula Senior Hong menangkap bola dan kembali melemparnya ke tengah lapangan.
Aku mengembuskan napas lega. Terdengar teriakan kontras dari para pemandu sorak yang kian lama kian keras. Sekali lagi, aku melirik Senior Hong. Ia tersenyum, tampak sedikit bangga walau sedetik kemudian kembali memusatkan perhatian pada bola.
Entah mengapa, tapi di mataku pemain futsal memiliki pesonanya sendiri.
Masih menikmati kompetisi sengit di lapangan, tiba-tiba aku merasa sentuhan pelan mengetuk-ngetuk pundak dari arah belakang. Aku mengedip, refleks mendongak dan tak dapat menahan diri membulatkan mata kala melihat siapa yang berdiri di belakangku.
Song Gaheen.
Dan anggota grup tarinya yang lain.
Gaheen tersenyum manis, terlampau manis hingga membuatku refleks mengernyit kala gadis itu berkata, "Hei, aku hanya ingin bertanya, apa kau bisa membantu mengambil gambar saat penampilan tari grup kami?"
"Ambil gambar?"
Baiklah, ini mengejutkan. Pertama, Gaheen datang padaku dengan senyum, sapaan ramah, dan tanpa angin dan hujan tiba-tiba memintaku untuk mengambil gambar penampilan grupnya. Kedua, dari seluruh siswa yang ada di lapangan, mengapa aku yang didatanginya untuk dimintai bantuan? Aku yakin Gaheen tidak kekurangan teman sampai harus meminta pada ... well, orang asing sepertiku.
Kita memang sekelas, tapi tak berarti semua teman sekelasmu benar-benar seorang teman. Terkadang mereka hanyalah orang asing yang terpaksa ditempatkan satu kelas denganmu, secara otomatis mengubah statusnya sendiri sebagai teman―yang mendadak membuatmu ragu akan definisi teman sesungguhnya.
Namun tentu saja, berkata demikian di depan muka bukanlah hal yang etis untuk dilakukan. Aku mengukir senyum, berusaha untuk tak tampak kikuk kala membalas, "Ah, tentu saja. Hanya foto, 'kan?"
"Hanya foto bagaimana?" balas Gaheen mendengkuskan tawa―yang di telingaku terdengar seperti merendahkan. Ia sempat menyikut bahuku kala melanjutkan, "Kau 'kan pernah ikut klub reporter, masa tidak tahu cara mengambil angle foto terbaik?"
Aku terpaku. Jelas kalimat kedua terdengar persis bagai sindiran yang menampar di depan wajah.
"Baiklah," mulutku menyahut lirih. "Akan kucoba."
Gaheen tersenyum lebar, memberi dua tepukan singkat sebelum kembali pergi dengan teman-temannya. Aku memandangi punggung telanjangnya dari belakang. Ia mengenakan baju lengan panjang hitam gemerlap dengan lobang cukup besar di bagian belakang, dipadukan dengan celana jeans putih. Aku tidak tahu mengapa ia bisa berkeliaran dengan bebas tanpa terkena detensi guru BK. Yang lebih mengejutkan, bagaimana ia bisa tertawa-tawa saat digoda oleh para senior pria―tampak begitu menikmati pemandangan yang tersaji di hadapan mereka saat ini.
Tapi memang harus diakui, Gaheen tampak begitu menawan dalam balutan riasan tipis yang pas serta kostum fancy itu. Tidak terkejut mengapa banyak orang menyukainya di sekolah. Pintar, anggotsa klub science, pandai menari, dan yang tak kalah penting, fisik yang menarik.
Menit-menit selanjutnya kuhabiskan dengan mempelajari kamera milik Gaheen. Melihat ini seketika mengingatkanku akan kenangan klub reporter dulu. Aku tersenyum miris. Gaheen juga mengingatnya. Apa itu berarti, ia juga masih menyimpan dendam untuk peristiwa itu?
Suara peluit membubarkan lamunanku. Aku mengerjap, melihat pertandingan di lapangan telah usai dan seluruh pemain membubarkan diri. Pertandingan babak pertama terlewat begitu saja.
Hah. Kembali kutatap kamera berlensa gemuk di tanganku, menghela napas panjang sebelum beranjak berdiri untuk mencari posisi strategis sebelum penampilan Gaheen saat tiba-tiba aku mendengar sapaan lembut yang familiar di telinga, "Sayang sekali kau sudah mau pergi."
Aku menoleh, kedua sudut bibirku refleks terangkat.
Senior Hong langsung mengambil posisi duduk tepat di sampingku, menenggak minumannya hingga habis sebelum mendesah pelan. Ia terlihat menawan, jujur saja. Campuran antara atletis, indah, juga gagah―kalau memang itu masuk akal.
"Selamat atas pertandingannya. Senior bermain dengan sangat baik tadi."
Ia mengangkat alis. "Kau melihatnya?" Kemudian, ekspresinya meredup. "Timku kalah di menit-menit terakhir, kami kebobolan satu gol satu menit sebelum pertandingan selesai."
"Serius?" kataku tak percaya, dan seketika senior Hong menyeringai.
"Kau tidak menonton pertandingan sampai selesai?"
Aku membuka mulut, hendak menjawab ya sebelum kembali teringat bahwa tadi aku sibuk berbicara dengan Gaheen dan memikirkan masa lalu. Jadi aku hanya menyengir, menggaruk tengkuk dan menyahut jujur, "Maaf."
Senior Hong tertawa, sempat mengaca-acak rambutku sebelum mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Satu botol air mineral. "Untukmu."
Aku menatap pemberian itu penuh tanya. Apa ini tidak terbalik? Aku yang seharusnya memberikan dia minum setelah pertandingan, bukan?
Namun pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dari saku, mengelap keringat seraya menepis rambut yang menutupi kening sebelum berdiri dan tersenyum lagi menatapku. "Aku akan melihatmu di pertandingan volley nanti."
Panas matahari yang terik. Aroma rumput dan tanah. Juga, senyuman pemuda itu.
Sudah jelas alasannya mengapa aku begitu menyukai hari olah raga.
***
"Kau benar-benar mendapatkan foto ini? Hanya dua puluh foto buram ini?"
"Sepertinya kau salah memilih orang, Gaheen. Seharusnya kau meminta tolong pada siswa dari klub fotografer tadi."
"Percuma tadi aku memamerkan punggung. Dia bahkan tidak bisa mengambil foto tanpa blur!"
Aku hanya bisa menunduk, menelan seluruh makian itu mentah-mentah dari mulut mereka. Percayalah, dimaki seperti adalah hal terakhir yang kubayangkan. Semua foto tersebut diambil dengan kerja keras―membungkuk, menunduk, bahkan rela berlutut di tengah lapangan demi dapat memotret foto sedekat dan sejernih mungkin. Namun harus diakui, aku bukannya siswa yang pandai mengoperasikan teknologi dua menit setelah diminta tolong dadakan seperti tadi.
Jadi apa yang mereka harapkan saat meminta tolongku untuk mengambil gambar orang menari?
Gaheen diam sejenak, mengabaikan seluruh omelan teman-temannya tadi kala merebut kamera dan memperhatikan isi foto itu sendiri. "Tak buruk." Gadis itu mengangkat bahu. "Setidaknya, ada beberapa foto yang menunjukkan semua wajah kita."
Salah satu temannya ternganga. "Kau serius?" Ia memberi satu lirikan sinis padaku dan mendecih. "Menurutku semua itu buruk. Foto terbaik yang diambil pun miring dan hanya menampakkan setengah bagian wajahku. Oh astaga, rasanya kepalaku mau pecah saja. Bagaimana kita akan mengadakan promosi klub tari dengan foto jelek seperti itu?"
Foto. Jelek.
Aku meringis.
Kini jadwal istirahat makan siang. Tim Gaheen sempat tampil untuk menutup acara terakhir. Tak sampai dua menit paska penampilan panggung epik tersebut, aku buru-buru 'disidak' di ruang tari lantai dua. Mereka ingin langsung melihat semua hasil fotonya―entah sebab benar-benar penasaran atau hanya ingin mencari alasan untuk memakiku secara langsung; mungkin juga keduanya.
"Wali kelas kami pernah berkata, 'Kalau kau tidak pandai dalam pelajaran, setidaknya kuasailah keterampilan lain'. Soojin ini mantan anggota klub reporter, dulu ia sering mengambil foto candid-ku dan hasilnya selalu memuaskan," Gaheen berkata ringan, sama sekali tak menggubris ekspresi wajahku yang melongo tak percaya. "Well, menurutku ini tak buruk."
Hanya itu, sebelum ia pergi meninggalkan ruang tari.
"Oh? Anggota reporter si biang gosip," gumam salah satu siswi yang entah siapa, menyikut bahuku keras dan mengekori kepergian Gaheen.
Aku terdiam di sana, tangan terkepal dan kaki mulai gemetar. Saat semua anggota tari pergi meninggalkanku di ruang penuh kaca ini sendiri, tubuhku rubuh begitu saja.
Dadaku sesak. Pandanganku mengabur dalam sepersekian sekon yang singkat. Seluruh bayangan buruk masa lalu kembali terputar dalam benak bagai projektor usang. Klub reporter. Gosip di sosial media. Web sekolah.
Jadi ini alasan Gaheen meminta tolong padaku untuk mengambil gambar. Benar, tak salah lagi. Tentu saja gadis itu ingat. Tentu saja ia masih sering datang padaku dalam kedok manis walau terus mengungkit kejadian itu.
Sama seperti aku yang masih belum dapat melepas kenangan buruk itu dari benar, Gaheen pun demikian. Ia sama terlukanya denganku.
Atau, tidak. Mungkin, ia yang lebih terluka. Nama, foto, seluruh informasinya tersebar luas di web paska kejadian itu.
Tak diduga-duga, sebuah getaran ponsel lantas membubarkan seluruh lamunanku. Aku menghela pendek, segera menepis air mata kala membaca pesan dari Seungkwan;
Boo Seungkwan
Heiii, kau kemanaa?
Pertandingan voli akan mulai sebentar lagi!
HEIIII
Kau bisa dibunuh ketua kelas kalau tidak muncul dalam beberapa detik
Pertandingan voli! Astaga, bagaimana bisa aku lupa?!
Dengan panik, aku refleks berdiri, segera berlari menuju koridor dan mengambil paksa baju olahraga yang dijejalkan dalam loker. Jantungku berdentum kencang, hati kecilku berdenyar gelisah―sesekali melempar rutukan pada diri sendiri.
Kami memiliki 15 menit untuk istirahat pertama, dan bagaimana bisa aku menghabiskan seluruh waktu berdiam diri di ruang tari?! Tidak, aku tak boleh terlambat. Ketua kelasku―tidak, seisi kelasku―pada dasarnya ambisius dan pada dasarnya memiliki daya saing tinggi dalam perlombaan antarkelas begini. Kalau pertandingan kacau hanya karena aku datang terlambat, habislah semuanya.
Maka saat berada di ujung koridor lantai satu, aku lantas berlari tergesa memasuki ruang ganti. Beberapa sekat loker tampak berbeda di sini, mataku juga sempat melirik tumpukan kaos oblong putih yang entah milik siapa tergeletak di atas bangku.
Namun, persetan.
Aku tak punya waktu memikirkan hal semacam itu.
Kala aku hendak berganti baju, sebuah figur tegap dan tinggi tiba-tiba menghadang.
Detik itu pula aku terkesiap melihat pemandangan di depan mata. Mataku sontak membulat. Aku refleks berteriak dan pemuda itu juga terperanjat mundur.
"APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!"
Lengkinganku terdengar asing dalam telingaku sendiri. Aku langsung membalikkan badan, menutupi mata dan membenamkan wajah dalam gumpalan kaos olahraga yang kugenggam. Dapat kurasakan sensasi panas sekaligus malu merayapi kedua pipi, degup jantungku menanjak tanpa henti.
Berbagai pertanyaan menghantam benak tanpa henti; mengapa Wonwoo ada di ruang ganti wanita? TANPA MENGENAKAN ATASAN?!!!
Kudengar Wonwoo menyahut kasar, "Seharusnya itu pertanyaanku! Apa yang kau lakukan di ruang ganti pria?!"
Aku mengedip. Apa katanya? Ruang ganti pria?
Tidak, tidak. aku yakin aku sudah memastikan untuk datang ke ruang ganti wanita tadi.
Oh, Tuhan. Hancurlah aku.
Langkahku refleks menuntunku terbirit menuju pintu hendak keluar, tepat kala terdengar suara kerumunan para pemuda. Aku membulatkan mata, mulai merasa panik. Aku yakin itu gerombolan senior yang datang. Bila mereka melihatku di sini sekarang, mereka akan berpikir aku gadis mesum aneh, lalu aku akan dipermalukan, dan ...
Sebelum pikrianku berkelakar terlalu jauh, aku merasa cekalan kuat pada tanganku. Aku melihat Wonwoo menarikku ke dalam sebuah lemari kayu usang di sudut ruang. Dengan ekspresi yang sama panik dan kalutnya, pemuda itu berkata tegas, "Jangan bergerak atau bersuara sedikitpun."
Tepat setelah ia menutup pintu, kegelapan menyambut. Dari dalam aku dapat mendengar berbagai suara berat dan tawa para pria. Aku hanya berdiam di sana, merapatkan bibir dalam ketakutan. Bagaimana kalau Wonwoo meninggalkanku? Bagaimana kalau seseorang tiba-tiba membuka lemari dan tahu aku bersembunyi di dalam?
Bagaimana?
Rentetan pertanyaan yang hanya sebatas pertanyaan. Lebih dari lima menit aku menunggu, sampai akhirnya lemari terbuka dan di situ, Jeon Wonwoo―berbalut sweater putih dan celana training panjang―menatapku lurus-lurus. Dalam kalimatnya, tak terdengar sedikitpun nada menghakimi atau ejekan tersirat kala berkata, "Sudah aman. Cepat keluar sebelum ada orang yang melihat."
Aku mengangguk terpatah-patah, tanpa lama langsung berlari menuju pintu keluar. Persetan dengan bola voli, persetan dengan Wonwooーaku bahkan belum mengucapkan terima kasih. Rasanya aku ingin menenggelamkan diri di rawa-rawa dan bangun dengan kehidupan baru.
Rahasiaku yang kedua; menyusup ke ruang ganti pria lagi-lagi dipegang oleh Si Kutub itu; oleh Jeon Wonwoo. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top