・07; i know nothing 'bout him

SAAT-SAAT seperti inilah yang berhasil membuatku ingin melepas rutukan kencang-kencang pada alam.

Aku yakin semalam telah mengecek ramalan cuaca lewat ponsel―sesuatu yang jarang kulakukan, karena bagiku hujan dan panas sama saja asal tidak keluar rumah―dan masih ingat betul bahwa hari Sabtu pagi matahari akan bersinar cerah. Hal pertama yang muncul dalam benakku ialah jalan setapak yang penuh dengan sakura. Cuaca sempurna untuk musim semi yang akhir-akhir ini sering dirundung hujan. Namun bagian paling mengesalkan saat berharap adalah ketika harapanmu bertumpu pada sesuatu tak pasti, pada akhirnya malah menuntunmu dalam liang kekecewaan.

Aku mendengkus tertahan, berdecak pelan seraya mengecek jam di ponsel. Pukul setengah sebelas lebih, sementara titik-titik air langit tak berhenti turun, awan gelap memenuhi cakrawala sementara desakan orang yang berteduh di halte sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bagus.

Oh, sempurna.

Mari kubur dalam-dalam ekspetasi tinggi mengenai kunjungan perpustakaan bersama senior Hong. Dengan penampilan acak-acakan seperti ini, senior pun pasti akan ilfeel―mungkin ia akan memandangku dengan pandangan enggan bercampur kasihan dan berpikir, 'Malangnya, hanya karena hujan kini penampilannya persis bak anak anjing yang baru dimandikan.' Bahkan lebih buruk, aku sudah menunjukkan kesan tidak menyenangkan dengan terlambat di janji pertama kita (tiga puluh menit jelas waktu yang cukup untuk membuat seseorang lumutan atau mati kebosanan).

Mendecakkan lidah dan kembali menilik langit tak sabar, aku sempat terbayang niat untuk menerobos hujan dan meminjam payung di minimarket seberang, kala tiba-tiba ponselku bergetar dan menampilkan sebuah pesan baru. Irisku melebar, sesaat kuabaikan rasa dingin yang tadi melingkup kala membaca pesan dari senior Hong;

Joshua Sunbaenim

Hei, kulihat hujan bergelung dahsyat di luar

Kau baik-baik saja?

Senyumku terulas, rasa hangat langsung menelusup dalam hatiku begitu saja. Baru jemariku hendak mengetik balasan, dua pesan lain yang masuk kemudian membuat jemariku terhenti mendadak.

Joshua Sunbaenim

Tak perlu tergesa-gesa

Lebih baik datang terlambat tapi selamat, dibanding sampai cepat tapi terluka

Kali ini, kedua sudut bibirku benar-benar terangkat lebar, rasa hangat yang tadinya menangkup hati kini juga merangkak pada pipi. Senior Hong pasti memiliki reputasi yang baik di kalangan gadis-gadis. Ia baik, senyumnya selalu terulas manis, terlebih pemuda itu ramah dan perhatian. Sedikit aneh aku belum pernah mendengar namanya disebut dalam kerumunan Gaheen.

Namun lagi-lagi, harus kutanamkan dalam otak bahwa Joshua memang pemuda baik-baik; tipikal lelaki yang hobi melempar senyum dan ramah pada siapapun. Aku bukan yang pertama, aku sama sekali tidak spesial.

Jadi menghela napas pelan, mendongak melihat rintik hujan perlahan mulai reda, aku buru-buru mengetikkan balasan sebelum akhirnya nekad menyebrang menuju minimarket untuk meminjam payung.

Persetan dengan sikap manis Jisoo dengan gadis lain, pemuda itu sudah memperlakukanku dengan baik, aku tahu aku tetap ingin menjaga hubungan baik kami sebagai teman. Prinsip sederhana yang membuatku bahagia dengan banyak teman.

***

Aku sampai tepat pukul setengah dua belas, terlambat satu setengah jam terhitung dari jam yang dijanjikan, lengkap dengan seluruh rasa canggung dan tak nyaman sebab kaos kaki basah dan surai pony tail yang acak-acakan.

Agaknya cuaca memang senang melempar dadu di atas papan nasib bak bermain monopoli, hobi sekali membuat kesal. Bayangkan saja, saat aku melangkah di halaman sekolah, awan hitam tiba-tiba pergi terganti oleh secercah sinar surya. Hujan mendadak reda, dan untuk kesekian kali aku nyaris melemparkan umpatan kalau saja senior Hong tidak muncul dari koridor dan menyapaku dengan senyum khasnya yang manis.

Ia mengenakan kaos lengan panjang putih, jeans hitam legam, juga ransel kulit navy tersampir di bahu. Sederhana, tetapi mempesona.

"Maaf, aku terlambat dari jam yang dijanjikan. Aku berteduh di halte sebentar tadi, senior pasti sudah menunggu lama."

Senior Hong tersenyum. Hal yang kusuka adalah bagian bawah matanya yang membentuk cekungan tepat saat dua sudut bibirnya melengkung ke atas. Beberapa orang tidak suka dan berani mencoba segala cara untuk menghilangkan kantung mata, tapi dalam beberapa kasus, aku justru menyukainya.

"Aku juga baru sampai," pemuda itu membalas, "Bus yang kutumpangi tadi juga mengalami kendala, tapi untungnya aku tidak membuatmu menunggu di sini."

Aku tersenyum, sesekali menyentuh ujung rambut untuk memastikan apa ia telah kering. Walau tidak sempurna, setidaknya tidak sebasah saat aku berteduh di halte tadi.

"Apa kau lelah? Atau ingin membeli minum sebelum jalan ke perpustakaan?"

"Ah, tidak perlu," kataku seraya menggeleng enggan. Kuingat aku meninggalkan uang sakuku di rumah. Kupikir pergi ke perpustakaan berarti tidak membeli makanan atau apapun. Aku lupa bahwa dalam kehidupan remaja jaman sekarang, pergi ke luar artinya membeli jajan, dan membeli jajan harus menggunakan uang. "Lagipula, aku bawa air putihku sendiri."

Senior Hong tertawa kecil sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian merogoh isi tas dan menyodorkan sekaleng soda beserta sebungkus roti. "Untukmu," katanya, "rasanya tidak elegan aku mengajak seorang gadis keluar tapi tidak membelikan apa-apa. Maaf kalau hanya snack minimarket. Tadinya aku ingin membelikanmu tteokbokki terlezat di daerah rumahku, tapi apalah daya, hujan."

Aku melihat senyumnya yang tulus serta gurat bersalah dalam dua bola matanya. Hatiku terenyuh. "Terima kasih. Seharusnya senior tidak perlu menyiapkan repot-repot seperti ini."

"Tidak ada yang repot dengan membeli makanan, kau tahu."

Kini giliranku yang tergelak. Aku memakan roti lapis itu seraya dalam perjalanan menuju perpustakaan. Senior Hong yang memimpin jalan. Untungnya cuaca jauh lebih cerah dibanding pagi tadi, jadi alih-alih menaiki bus atau taksi kami memilih untuk berjalan kaki sembari menikmati balutan keindahan musim semi. Ada banyak pejalan kaki lain yang melewati trotoar di sekeliling kami, dan itu membuatku merasa hangat.

"Kau tahu mengapa musim semi menjadi favorit banyak orang alih-alih musim dingin?"

Di tengah jalan, tepat setelah menyeberangi zebracross, senior Hong tiba-tiba melempar pertanyaan saat aku tengah sibuk mengunyah roti. Kukunyah isi mulutku perlahan, menelan dengan hati-hati sebelum menjawab, "Karena musim semi indah, penuh bunga, dan hangat. Beberapa orang juga menyukai musim dingin, tapi hanya dalam kasus-kasus tertentu."

Ia menahan senyum. "Kasus tertentu seperti?"

Aku mengendikkan bahu. "Ada kenangan baik, mungkin? Itu yang biasanya terjadi dalam novel-novel, sih."

"Ah," Senior Hong tampak berpikir. "Selain itu?"

"Entahlah. Musim semi memang menyenangkan, walau awalnya terasa dingin. Mungkin pepatah, 'musim dingin iri hati dengan mekarnya bunga'1 itu memang benar."

"Aku belum pernah mendengar pepatah itu." Senior Hong mengernyit bingung. Seharusnya aku yang menatapnya dengan kernyitan. Ia tidak pernah mendengar ungkapan itu? Well, walau ia bukan orang Korea asli, tapi pelafalan dan kosakatanya sangat baik―nyaris membuatku percaya bahwa ia tinggal bertahun-tahun di sini.

Namun melihat ekspresi wajahku, Senior Hong hanya tertawa pelan. Ia kemudian melirik berbagai pohon sakura di sekeliling kami, menarik napas seraya memasukkan telapak tangan dalam saku celana kala berkata, "Tapi sejujurnya, aku lebih suka musim dingin."

"Karena ada salju?"

Ia menatapku. Senyumnya masih terulas penuh. "Karena itu musim pertama aku datang ke Seoul."

Ah, kenangan manis.

Aku ingin kembali bertanya, tapi melihat Senior Hong yang tampak seolah menyelami seluruh kenangan dalam kepalanya sendiri, aku lantas mengurungkan niat. Lagipun, aku belum sedekat itu untuk berbagi cerita. Senior Hong adalah pemuda yang perhatian, ramah, sering tersenyum dan tertawa. Tapi, hanya sebatas itu.

Aku hanya mengenalnya sebatas itu.

***

Gedung perpustakaan yang senior Hong maksud merupakan perpustakaan umum bertingkat, yang didesain khusus agar dapat menyatu dengan ruang belajar. Letaknya strategis, tepat di ujung jalan besar berhadapan dengan café yang cukup 'mewah'―kau tahu, tipikal kedai kopi fancy yang didatangi anak muda gaul, yan tanpa masalah menghabiskan belasan ribu won hanya untuk sekaleng Americano.

Kata senior Hong, ini tempat favorit banyak siswa―mulai dari tingkat sekolah hingga universitas. Pilihan bukunya banyak, tempatnya nyaman, fasilitasnya lengkap, dan yang paling penting, harga terjangkau untuk menyewa bilik belajar.

Aku tidak datang untuk belajar, jadi tentu saja aku tidak membawa buku sekolah. Semalam senior Hong berkata ia akan menunjukkan beberapa judul novel impor terbaik yang bisa kupinjam secara gratis. Jadi well, itulah yang kutunggu-tunggu.

Bagian dalam perpustakaan jauh lebih mewah dari yang kubayangkan. Ada dua lantai yang dihubung dengan eskalator. Lantai satu penuh dengan lemari-lemari buku besi menjulang yang penuh dengan buku-buku. Ada sastra klasik, fiksi dari berbagai genre, pula beberapa ensiklopedia tebal yang terjejer rapi di rak paling atas. Lantainya berlapis ubin vinil, di samping kanan-kiri tersusun bangku yang dikhususkan untuk pengunjung.

Aku menatap takjub pada koleksi buku fiksi yang terjejer begitu rapi. Senior Hong benar, ini perpustakaan terlengkap yang pernah ada. Mulai dari lokal sampai impor, semua terjejer rapi dalam rak besi. Senior Hong mengambil satu buku lokal, sementara aku tak dapat menahan diri untuk tidak mengambil tiga buku sekaligus: dua karangan John Green, satu lagi buku romansa populer yang diadaptasi menjadi film Netflix.

"Saat acara musim panas dua tahun lalu, klub drama sekolah menampilkan suatu drama musikal tragis yang terinspirasi dari karya Shakespeare."

Aku mengangkat alis penasaran, tepat saat kami memutuskan mengambil posisi duduk di bangku kayu paling ujung. "Dua tahun lalu ..." gumamku, "saat senior masih kelas 10?"

Ia mengendikkan bahu, irisnya mengerjap tak tentu arah kala menyahut, "Ya ... begitulah." Ada keraguan dalam nada bicaranya yang membuatku refleks menyipitkan mata. Namun sepersekon kemudian, ekspresinya berubah. Senyumnya ditarik tinggi-tinggi dan dengan kepercayaan diri yang sama, pemuda itu melanjutkan, "Klub drama sekolah kita selalu kreatif dalam merancang tema pertunjukan sekolah. Kisahnya sederhana, tapi disertai twist yang mencengangkan."

Aku mengerjap, mendadak tertarik untuk mendengar ceritanya lebih dalam. "Memang bagaimana ceritanya?"

Senior Hong tertawa pelan. Untungnya kami memilih posisi bangku paling strategis, tepatnya di lantai satu dengan bangku paling ujung—jauh dari beberapa mahasiswa yang tampak khusyuk mempelajari materi di lantai satu. Seharusnya mereka bisa menyewa bilik belajar di lantai dua, tapi dalam beberapa kasus, belajar dengan gratis di lantai satu adalah satu-satuya opsi.

"Kau harus membaca sendiri bukunya, The Tragedy of Hamlet dari William Shakespeare. Dramanya tidak jauh berbeda dengan kisah aslinya. Kau harus membacanya sendiri. Ada atmosfir indah sekaligus ngeri dalam tiap karya Shakespeare." Kemudian ia memajukan kepalanya, tersenyum miring dan berbisik, "Hanya dengan membaca kau baru bisa merasakan sensasi nyata bukunya."

Aku tertawa, mau tak mau akhirnya setuju juga.

"Ah, berbicara soal buku, aku teringat catatan kimiamu."

Catatan kimia? Alisku bertaut bingung. Ia sudah mengembalikan buku itu dua hari lalu, tepat pada jam pelajaran self-study pagi sesuai yang dijanjikannya waktu itu. Namun kemudian, Senior Hong mengeluarkan sesuatu dari tasnya; selembar kertas bergaris-garis lusuh yang terlipat menjadi dua. Mataku membulat. Tunggu, itu terlihat persis seperti—

"Aku baru sadar, puisi yang kau selipkan di catatan kimiamu terjatuh di lantai kamarku."

Aku lantas mengambil kertas itu dengan gugup. Jangan bilang senior Hong membacanya—tidak, tidak. Itu akan menjadi hal paling memalukan kalau ia sampai—

"Aku membacanya semalam."

Great

"Tidak perlu malu," katanya, tertawa kala melihat reaksiku, "Itu puisi yang hebat. Aku suka bagaimana kau bisa menggunakan banyak metafora untuk menggambarkan satu peristiwa. Jadi, kau suka menulis, huh?"

Aku memaksakan tawa. Rasanya masih memalukan bagaimana seorang pemuda yang kukagumi membaca sebuah puisi roman yang kutulis di sela-sela jam pelajaran. Aku masih ingat puisi ini: kutulis tentang seorang perempuan yang menyimpan rindu.

Dan yah ... aku tak pernah membayangkan kertas ini akan jatuh di tangan orang lainーterlebih seorang pemuda.

"Apa itu terdengar aneh?"

Ia mengerjap. "Aneh?" Sedetik kemudian ekspresinya berubah. Ia tergelak keras-keras, sukses mengundang tatapan tajam dari bangku lain dan pemuda itu lantas menutup mulut. Namun aku masih melihat senyum kecil bertengger pada bibirnya, mau tak mau membuatku tersenyum juga. "Memang ada yang pernah berkata seperti itu padamu?"

Aku hanya mengatupkan bibir, tidak membalas. Kalau yang dimaksudnya secara eksplisit, maka jawabannya adalah tidak. Tapi aku masih ingat bagaimana respon orang-orang kala aku mengatakan hobiku menulis.

Senior Hong tersenyum. Ia menghela napas, membenarkan posisi duduknya dan menatapku hangat. "Tidak ada yang aneh dengan melakukan sesuatu yang kausuka—selama itu baik dan tidak merugikan orang."

Aku merasa wajahku semakin memanas, namun anehnya, bibirku tak dapat berhenti menggores senyum. Selalu ada sensasi aneh dalam perut dan dadaku kala menghabiskan waktu dengan Joshua Hong. Aku tak tahu mengapa Seungkwan dan kelompok gadis populer di sekolah tidak pernah sekalipun membicarakan senior Hong—sesuatu yang detik ini kusyukuri. 

Kami menghabiskan sisa hari itu dengan membaca. Ia mengajakku berkeliling di lantai dua, kemudian aku menemaninya menyusuri rak buku pelajaran, untuk menemukan paket biologi tebal lengkap demi referensi tugas.

Namun sampai di rak berbeda, mataku tiba-tiba membulat. Bukan sebab koleksi buku yang kali ini membuatku ternganga, bukan pula sebab dekorasi megah. Melainkan sebab irisku mendapati figur seorang pemuda yang tampak familiar dalam balutan sweater biru navy, celana panjang hiram dan sepatu Converse putih, tengah berdiri tepat beberapa meter di depanku. Surainya tertata rapi dengan poni menyentuh mata. Ia tampak sibuk menatap jejeran buku, sempat berjinjit untuk mengambil satu buku tebal sebelum kembali melangkah.

Detik selanjutnya bagai jentikan jari yang mampu membekukan waktu.

Ia menoleh. Mata kami bertemu. 

Untuk kesekian kali, aku tak mengerti mengapa hidup senang melempar kejutan kecil di saat-saat tak terduga sekalipunーsaat aku sedang tak ingin berurusan dengan Jeon Wonwoo. []

[1] Pepatah kuno Korea: got-ssaem-chu-ui, yang digunakan untuk mengungkapkan waktu dalam setahun (biasanya akhir bulan maret), dimana musim dingin telah usai tapi tak ingin pergi dan malah 'iri hati' pada bunga. Oleh karena itu awal musim semi akan terasa dingin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top