・01; when we collided
DESKRIPSI singkatnya seperti ini;
Nama lengkapnya Jeon Wonwoo, biasa disapa 'Wonwoo', tetapi kalau mau lebih panjang, kau boleh menambahkan, 'Wonwoo-Si-Genius-Sombong-Yang-Aneh-Dan-Menyebalkan'. Percayalah, dipanggil demikian pasti akan membuat pemuda itu menoleh dan voila, kau berhasil menarik atensinya. Well, itu, sih, kalau kau memang punya nyali besar untuk mencari perkara dengan pemuda yang dinginnya mengalahi es itu. Sebab kendati banyak yang menggosipkannya di belakang punggung, memuji paras atau sekadar mengagumi otak cerdasnya, tidak ada yang benar-benar berani untuk mendekati Wonwoo secara langsung.
Alasannya? Entahlah, barangkali takut ditolak sebelum berjuang? Dengar-dengar sih, bukan hanya logikanya yang tajam, lidahnya pun tak kalah kejam. Ketidakacuhannya pada sekitar melebihi level tteokbokki pedas yang dijual di kafetaria. Bahkan saat kegiatan hari olahraga nasional diadakan, alih-alih mengikuti lomba antarkelas dan bersenang-senang di lapangan outdoor, pemuda 'sok-pintar' itu malah asyik mengerjakan LKS Kimia di perpustakaan.
Benar-benar tak dapat dipercaya.
Oh, jangan salah paham, aku tidak mengorek informasinya sedalam itu. Aku bukan penguntit gila seperti fans Wonwoo kebanyakanーmengikuti seseorang yang tidak jelas hanya membuang waktu saja. Perkenalan tadi hanyalah segelintir gosip lalu-lalang saat jam makan siang, entah kebenarannya terbukti atau tidak.
Yang jelas, aku sama sekali tidak berharap untuk berurusan dengan pemuda arogan itu. Tidak sedikitpun.
Tetapi sebab surat ancaman sialan yang mendarat di lokerku usai ujian lalu, mau tak mau membuat kuriositasku bangkit dan tanpa sadar, aku jadi lebih sering mengorek informasi tentangnya secara langsung. Bayangkan, seminggu berlalu dan Wonwoo tak pernah berbicara atau mengajakku bertemu secara pribadi. Seolah baginya, ancaman itu hanya candaan. Seolah ini hanya masalah ringan, padahal aku sudah ketar-ketir tak karuan.
Ah, benar juga. Tentu ini masalah ringan untuk seorang Wonwoo. Dengan reputasi baik yang ia milikiーwalau tak punya teman, si Jeon ini berhasil menarik hati para guru dengan rentetan prestasi yang disabet beberapa bulan terakhirーakan lebih mudah baginya untuk melaporkan kecuranganku, bahkan tanpa bukti sekalipun. Semua guru akan percaya, semua siswa akan memandangku sebagai yang bersalah.
Dan Jeon Wonwoo pasti akan bersorak.
Sebab itu berarti, salah satu saingan akademisnya tersingkirkan dengan mudah.
Oh, astaga, kenapa tidak terpikirkan?
"Pst, hei, sudah mengerjakan latihan soal Bahasa Inggris, belum?" Aku mengerjap, refleks menoleh dengan kernyitan saat menemukan wajah Seungkwan menyengir lebar. "Yah, aku sih bisa-bisa saja mengerjakannya tanpa bantuan, tetapi kau tahu sendiri semalam aku punya shift malam, danー"
Dengkusanku melongos begitu saja. Pemuda ini selalu punya seribu satu alasan hanya agar diijinkan menyalin jawaban pekerjaan rumah. Padahal kalau ia berterus terang meminta, aku tidak akan melarangnya mengkopiーwalau well, tidak dapat menjamin nilainya akan lulus, sih. Setidaknya aku masih memikirkan nasib sahabatku dan tidak ingin pemuda itu berakhir memelas sebab dihukum jalan jongkok di lapangan.
Jadi tanpa menanggapi basa-basinya, aku langsung membalas, "Ambil saja bukuku di meja Reejung, tapi jangan menyalin terlalu mirip. Kau tahu sendiri bagaimana telitinya Nyonya Lim."
Seungkwan tersenyum lebar, menghadiahiku satu pelukan erat. "Kau memang sahabat terbaik! Akhir bulan nanti, kutraktir makan kimbab dan mandu pedas di Myeongdong, oke?"
Persetan dengan janji, aku lantas mengibaskan tangan seraya mencibir pelan, berharap ia segera pergi dan tidak merecoki bangkuku lagi. Seungkwan tidak pernah sungguh-sungguh dengan ucapannya, kalau ditagih pun pemuda yang mengaku sebagai pecinta drama itu akan mengerjap lugu dan membalas, "Hah? Memangnya aku pernah berkata begitu, ya?"
Percayalah, aku satu-satunya orang yang paham betapa pelit sahabatku itu.
Namun, sesaat setelah Seungkwan pergi, aku mengerjap dan baru sadar kini sudah pergantian jam pelajaran. Kelas mulai gaduh, siswi saling berkumpul dan menggosip di belakang kelas, sementara beberapa siswa bergerombol di bangku Han Joon untuk bermain game bersama. Hanya orang-orang tertentu yang tampak khusyuk mengulang materi dan menyiapkan catatan materi selanjutnya.
Baiklah, sudah cukup pikiran rumit mengenai sosok Wonwoo. Kepalaku mulai berkedut pening hanya dengan melihat rangkuman Biologi dengan total empat belas lembar di atas meja. Peduli setan dengan ancaman pemuda itu, selama ia tidak memiliki bukti yang kuat, aku akan tetap bungkam dan berusaha untuk mengelak.
Bukan sebab aku diam maka aku bisa disalahkan. Si Jeon itu tidak bisa bermain-main denganku. Titik.
Baru berdecak bosan, akhirnya kuputuskan untuk mencari ketenangan saat kurogoh saku dan meraih ponsel. Dalam otak sudah terlintas niat membaca beberapa bab novel online gratis yang kuunduh semalamーwifi Paman sedang kencang-kencangnya, sayang kalau tidak dimanfaatkan untuk hal berguna. Lumayan, setidaknya menjadi penghilang bosan untuk jam self-study yang singkat. Namun tatkala layar persegi panjang itu menyala dan menampilkan sebuah informasi penting, jemariku lantas terdiam kaku.
Mataku membulat, kurasakan sensasi panik merangkak dalam dada. Persis seolah tersambar petir dahsyat, aku lantas bangkit tergesa, mengundang beberapa pasang mata untuk menoleh dengan kernyitan. Tetapi aku tak peduli. Tungkaiku langsung bergegas keluar kelas.
Beribu sial, aku merutuk dalam hati, menggigit bibir saat melewati koridor untuk menemukan kumpulan loker siswa. Harusnya di saat genting, aku tidak termenung memikirkan Wonwoo atau latihan soal biologi itu. Aku bahkan tidak layak memikirkan perkara novel kala krisis begini.
Bagaimana aku bisa lupa kalau hari ini hari Selasa?
Yang mana pada jam mata pelajaran ketujuh dan kedelapan, tepatnya setelah tiga puluh menit singkat jam self study, Tuan Jung akan mengambil ahli kelas.
Di situlah penderitaanku dimulai.
Kenapa aku bisa lupa ada pelajaran Kimia hari ini?!
Sampai di lorong penuh deretan loker siswa, aku lantas mencari namaku di pinggir. Kwan Soo Jin. Dapat. Kurogoh isinya yang awut-awutan, berharap dapat menemukan secarik tabel periodik lawas beserta catatan kimia yang super tebal (iya, aku tidak mengganti buku sejak kelas 10). Setidaknya, aku cukup sadar diri dengan kemampuanku yang pas-pasan dan aku harus mengejar ketertinggalan sebab proses belajarku sangat lambat.
Setelah memastikan dua harta karun itu kugenggam sempurna, tanpa membuang waktu aku bergegas kembali ke kelas.
Sialnya, saat dilanda kepanikan, tubuhku bereaksi lebih cepat dibanding otak dan nalar.
Di tengah jalan, aku malah tak dapat mengontrol kecepatan hingga menubruk seseorang. Tubuhku yang tidak siap dengan tabrakan lantas kehilangan keseimbangan dan terpental membentur lantai, menghasilkan bunyi 'bugh' yang cukup keras hingga membuat pertunjukkan singkat di koridor. Sementara pemuda di hadapanku hanya terhuyung, seluruh barang bawaannya jatuhーtumpukan buku tebal beserta beberapa lembar kertas berserakan di lantai, menimbun catatan kimia beserta selembar tabel periodikku yang tipis.
Aku meringis, merutuk dalam hati. Barangkali, Dewi Fortuna memang tidak memihakku hari ini. Barangkali memang, aku sudah terkutuk tak akan pernah akur dengan pelajaran atom-atom itu.
Toh ini bukan sekali dua kali aku tergesa sebab pelajaran kimia dan berakhir menyedihkan.
Aku sudah siap dengan omelan dari senior ituーdari wajahnya sekilas, aku tahu dia bukan siswa angkatanku. Namun alih-alih bentakan, alih-alih omelan atau segala macam rutukan, aku melihat pemuda itu mengulurkan tangan dan bertanya dengan alis berkerut khawatir, "Ah, apa kau baik-baik saja?"
Aku terpana.
Tidak, tidak, sama sekali tidak bermaksud melebih-lebihkan. Tetapi serius, saat kau merasa melakukan kesalahan dan sudah menyiapkan mental dibentak atau dimaki, di situlah seseorang datang dan memberimu bantuanーrasanya benar-benar melegakan. Senyumku terulas kaku, kuraih genggamannya dan segera membungkuk sopan.
"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Seharusnya aku lebih berhati-hati dan memperhatikan jalan lebih baik lagi."
Pemuda itu tertawa. Tawanya lembut, menarik mata dan begitu menenangkan. Sebagai seorang perempuan tulen yang seratus persen normal, aku jelas terkesima. Beberapa hal membuatku takjub bukan hanya sebab iris lebarnya yang menyipit lucu tatkala tersenyum, tetapi juga suaranya yang lembut, bagaimana ia tidak marah kendati aku sudah menabraknya dan membuat barang-barangnya jatuh.
Sembari berlutut dengan satu kaki, pemuda itu ikut membungkuk, menemaniku membereskan buku serta lembaran kertas yang berhamburan. "Tidak apa-apa, koridor memang ramai kalau jam-jam self study begini. Seharusnya aku juga lebih memperhatikan langkahku, maaf membuatmu terjatuh."
Senyumku terulas, kami berdiri bersamaan seusai mengemas. Sebenarnya aku masih ingin berdiri di hadapannya dan berkenalan segala macam, tetapi teringat dengan Tuan Jung yang barangkali sudah perjalanan ke kelas, aku lantas membungkuk dan pamit, "Sekali lagi, terima kasih. Tidak banyak senior baik yang ramah begini, aku sangat beruntung."
Kemudian, aku melesat pergi, tanpa mendengar reaksi pemuda itu lagi.
Sesampainya di kelas, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, mendekap erat-erat catatan kimia serta secarik tabel periodik pada dada.
Seungkwan tahu-tahu berdiri di sampingku. "Kau demam atau bagaimana? Insaf mendadak, dan mulai cinta kimia, ya?"
Aku mengabaikan ucapan sinisnya, hanya duduk di bangku dan tersenyum membayangkan senior itu. "Kalau kimia bisa membawa seseorang bertemu jodoh sih, aku mau-mau saja."
Seungkwan terbahak, menjitak kepalaku pelan. "Sudah gila, rupanya. Tapi eiy, aku bersyukur kau masih bisa jatuh cinta dengan pemuda sungguhan. Tadinya kupikir kau hanya tertarik dengan kisah asmara novela. Ew, sama sekali bukan seperti Kwan Soo Jin yang kukenal."
Aku memutar bola mata, memilih untuk mengabaikan ucapannya kalau saja Seungkwan tak kembali berkata, "Kau mengganti buku kimia? Seingatku catatan kimiamu yang paling tebal di kelas ini."
Awalnya aku hanya mendengkus sinis. "Iya, demi bertemu pria tampan dari kahyangan. Aku masih seratus persen normal, asal kau tahu."
"Tidak, tidak. Aku serius." Pemuda itu malah merampas buku kimiaku dari genggaman. Nyaris kulayangkan protes, tetapi kata-kataku mendadak tertahan di tenggorokan tepat tatkala Seungkwan memelotot sembari menunjukkan sebuah nama di sampul depan.
Mataku membulat perlahan. Napasku tertahan. Astaga, bukuku. Pasti tertukar dengan bawaan senior tadi. Dengan panik kurebut buku itu dari genggaman Seungkwan, menatap horror huruf yang tercetak rapi pada kolom nama. Sebentar lagi Tuan Jung datang, sebentar lagi neraka bermula dan yang kulakukan malah menukar buku catatanku dengan buku orang. Bagus, sangat pintar.
Percayalah, saat itu rasanya aku ingin melenyapkan diri dan berubah menjadi abu.
CATATAN KIMIA KELAS 10
Sebab di bawah judul besar itu, masih tertulis sebuah nama dengan hangeul rapi yang tampak familiar; Jeon Wonwoo. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top