Tujuh

Anjani mengembuskan napas panjang sebelum mengetuk kamar Rayan. Tadi, saat masih di kantor, guru BK adiknya itu menelpon dan memintanya datang ke sekolah besok. Rayan kembali terlibat masalah. Gurunya tidak menyebutkan masalahnya secara terperinci. Katanya dia akan memberi tahu detailnya besok.

Rayan membuka pintu setelah Anjani mengetuk tiga kali. "Iya, Mbak?" Wajahnya tanpa ekspresi sama sekali.

Saking pendiamnya Rayan, Anjani dulu butuh waktu hampir dua bulan setelah Rayan pindah ke rumah ini untuk tahu kalau adiknya itu punya lesung pipi yang lumayan dalam. Anjani masih ingat dia nyaris melongo saat melihat Rayan tersenyum kepada teman sekolah yang mengantarnya pulang. Rayan terlihat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu. Anjani bahkan langsung berpikir bahwa kelak Rayan akan punya banyak pengagum perempuan dengan tampang seperti itu. Sayangnya senyum Rayan jarang terlihat di dalam rumah.

"Mbak boleh masuk?" tanya Anjani. Dia tersenyum, berharap tarikan sudut bibirnya itu bisa menular. Tidak ada salahnya mencoba, kan?

Rayan membuka pintu lebih lebar supaya Anjani bisa masuk. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Senyum Anjani jelas tidak semenular virus flu.

Anjani mengedarkan pandangan di sekeliling kamar Rayan. Selain seprai yang sedikit kusut bekas ditiduri, semua tampak rapi. Seperti dugaan Anjani, laptop Rayan terbuka. Benda itu adalah sahabat terbaik adiknya.

"Kamu ada tugas?" Anjani berbasa-basi sebelum masuk inti percakapan. Dia tahu Rayan pasti punya alasan kuat untuk masalah yang ditimbulkannya di sekolah, jadi dia tidak mau langsung menuduh.

Rayan memutar bola mata mendengar pertanyaan itu. "Bukan aku yang mulai keributannya, Mbak," katanya langsung. Dia jelas tahu kalau Anjani tidak iseng saja mengunjungi kamarnya. "Guru BK harusnya nggak usah menghubungi Mbak. Aku bisa menyelesaikannya sendiri."

Anjani duduk di kursi belajar Rayan. Dia melihat layar laptop Rayan yang masih menyala. Bukan aplikasi yang familier di mata Anjani. Hanya berupa kode-kode yang sepertinya rumit. Bukan pula game yang selama ini Anjani pikir dimainkan Rayan di balik pintu kamar.

"Kamu masih di bawah umur. Jadi semua masalah kamu jadi tanggung jawab Mbak juga. Karena kondisi Mama seperti sekarang, Mbak yang jadi wali kamu."

"Kalau mereka nggak keterlaluan ngejeknya, HP-nya nggak mungkin aku lempar."

Anjani menatap adiknya ngeri. Sekolah Rayan kebanyakan dihuni oleh anak-anak yang status ekonomi orangtuanya mapan. Nyaris mustahil mereka memakai ponsel merek China yang sekarang menjamur. Kalaupun ada merek dari negeri tirai bambu, itu pasti kelas flagship. Anjani tidak berani membayangkan harganya. "Kamu melempar Hp-nya?"

"Aku nggak mungkin mukul cewek, kan?" Rayan menatap Anjani, masih tanpa ekspresi.

"Kamu bertengkar dengan cewek?" sekarang Anjani melongo.

"Aku nggak bertengkar," bantah Rayan. "Mereka yang terus ngejekin. Aku malas ribut dan jawabin mereka, jadi aku ambil dan lempar aja HP-nya."

"Kamu pikir cara paling bagus untuk membalas ejekan mereka?"

"Michael tadi sudah beli HP baru untuk gantiin HP itu kok," Rayan menyebut nama teman yang sering mengantarnya pulang, atau kadang-kadang datang menjemputnya untuk keluar di akhir pekan. "Besok baru aku kasih ke cewek reseh itu. Uang Michael akan aku ganti. Dia bilang nggak usah, tapi akan aku ganti, Mbak nggak usah khawatir. Aku sudah bilang kalau aku bisa ngatasin masalah kayak gini sendiri. Guru BK-nya aja yang lebay."

"Kamu adik Mbak. Gimana mungkin Mbak nggak khawatir?" Anjani mengembuskan napas panjang. Percuma berdebat dengan Rayan karena itu malah bisa membuat hubungan mereka memburuk. "Berapa harga HP-nya?"

"Michael belum ngasih tahu." Kali ini Rayan memalingkan wajah.

Anjani tahu adiknya itu berbohong. Rayan pasti tahu harga ponsel itu, tetapi tidak mau mengatakannya. "Berapa harganya?" kali ini nada Anjani lebih tegas.

Rayan mengedik. "Sembilan belasan."

Anjani memejamkan mata sejenak, lalu menghela dan mengembuskan napas panjang sekali lagi. Saat ayahnya masih hidup, angka seperti itu sama sekali bukan masalah. Seperti yang ibunya bilang, meskipun sebagai pasangan hidup ayahnya mungkin punya masalah dengan komitmen, tetapi dia sangat peduli pada kesejahteraan anaknya.

"Aku ada uang 6 jutaan. Besok aku kasih ke Michael. Sisanya akan aku bayar kalau nanti duitnya udah terkumpul. Michael pasti nggak masalah dibayar kapan-kapan. Yang ini aja dia bilang duitnya nggak usah diganti. Tapi nggak mungkin nggak aku ganti. Aku nggak berteman dengan dia supaya bisa morotin dia." Rayan masih menghindari tatapan Anjani.

"Uang 6 Jutanya dari mana?" selidik Anjani. Dia memberi Rayan uang saku dan transpor yang ditransfernya tiap bulan. Memang sedikit berlebih daripada hitung-hitungan Anjani untuk kebutuhan jajan dan transpor. Dia menyiapkan untuk keperluan tidak terduga, tetapi kelebihannya tidak terlalu banyak. Rayan sepertinya memang pintar mengelola uang bulanannya karena selama ini dia tidak pernah meminta tambahan. Saat Anjani melihat sepatu baru adiknya dan menanyakannya, Rayan bilang itu dibeli dari uang jajan karena sepatu lamanya sudah sempit. Dia hanya mengangguk ketika Anjani menyuruhnya minta uang kalau dia butuh membeli sesuatu, tetapi tidak pernah melakukannya.

"Dari uang jajan dan transpor. Michael selalu bawa bekal dobel dari rumah. Memang sudah dijatah sama mamanya untuk kami berdua. Pulang sekolah sering diantar dia juga. Duit yang Mbak kasih tiap bulan selalu bersisa."

"Michael bawa bekal dari rumah untuk kalian?" Anjani tidak percaya ada anak laki-laki yang masih melakukan itu di usia remaja.

"Dia punya banyak alergi jadi nggak boleh makan sembarangan. Dia nggak pernah makan makanan di kantin sekolah. Mamanya suruh aku ikut ngawasin Michael supaya dia nggak melanggar aturan itu."

"Kamu kenal mamanya?" Rasanya sulit membayangkan Rayan berinteraksi dengan orang dewasa mengingat kakunya hubungan mereka selama ini.

Rayan lagi-lagi mengedik. "Aku dan Michael udah temenan sejak SD. Sebelum tinggal di sini, aku sering nginap di sana. Mamanya suka kok aku di sana biar Michael ada temannya. Dia anak tunggal."

Anjani menatap Rayan yang menjulang di depannya. Sekarang anak itu sudah lebih tinggi daripada Anjani sendiri. Dia mengingatkan diri supaya menghubungi Om Ramdan untuk menanyakan kelanjutan rencana penjualan rumah ini. Umur Rayan sedikit lagi cukup untuk mendapatkan SIM. Dia setidaknya harus punya motor sendiri. Sekarang kondisi rekening Anjani benar-benar memprihatinkan. Penjualan rumah akan sangat membantu. Jangan sampai dia harus menggunakan deposito biaya pendidikan Rayan untuk membiayai kebutuhan lain,

"Mbak akan kasih uangnya untuk ganti uang Michael." Dia harus mencari pinjaman dulu. Kiera dan Alita pasti bisa membantu. Utang itu akan segera dia bayar begitu rumah ini terjual. Menyebalkan kalau urusan persahabatan harus dicampuradukkan dengan utang piutang, tapi mau bagaimana lagi? Tidak enak merepotkan Om Ramdan dan Tante Puri untuk urusan di luar pengobatan ibunya. "Nggak sekarang. Akan Mbak kasih kalau sudah ada."

"Ini urusanku. Mbak nggak usah ikut-ikutan. Mbak juga nggak perlu ke sekolahku besok. Nanti aku bilang Mbak sibuk di kantor kalau guru BK nanyain."

"Kamu tanggung jawab Mbak. Urusan kamu berarti urusan Mbak juga," ulang Anjani sambil berdiri. "Jangan tidur terlalu larut. Mbak akan ke sekolah kamu besok."

**

Wajah Shiva dan Shera langsung memenuhi layar begitu Dyast menerima panggilan video adiknya itu.

"Halo, Mas...." Senyum cengengesan khas adiknya saat menginginkan sesuatu langsung terbit.

"Kalian bikin masalah apa sih di sekolah?" Tadi siang Dyast dihubungi guru BK Shiva dan Shera dan memintanya untuk datang ke sekolah besok. Gurunya meminta maaf karena harus menghubunginya, bukan ibu mereka. Shiva dan Shera mengatakan bahwa ibu mereka sedang berada di luar negeri. Tentu saja itu hanya akal-akalan kedua anak itu. Meskipun tinggal di apartemen, Dyast tahu ibunya ada di rumah sekarang.

"Bukan kami yang bikin masalah," bantah Shiva cepat. "Kami kena imbasnya aja. Iya kan, Sher?" dia menoleh kepada kembarannya untuk mencari dukungan.

"Bukan kami," Shera membeo. "Shiva nggak bohong kok."

"Kalau bukan kalian, kenapa gurunya menghubungi aku?"

"Isshhh... udah dibilang kami kena imbasnya aja. Yang bikin masalah itu si Katrin, Mas. Dia yang cari gara-gara sama Rayan. Dia sebel karena udah kode-kodein si Rayan tapi dicuekin mulu. Jadi carper gitu deh. Tapi tadi bercandanya emang kelewatan sih. Wajar aja kalau si Rayan marah."

"Jadi hubungannya dengan kalian apa?" potong Dyast tidak sabar.

Shiva dan Shera kompak terkikik.

"HP Shiva yang lagi dipegang Katrin dirampas dan dilempar Rayan dari lantai 3, Mas," jawab Shera. "Berantakan deh. Dia pasti ngira kalau itu HP Katrin."

Pengendalian emosi teman adiknya itu benar-benar buruk, pikir Dhyast. Namun, tidak semua orang memang belajar cara mengendalikan emosi di keluarga mereka. Meskipun demikian, tidak seharusnya dia melempar barang orang lain seenaknya.

"Jadi Mas ngapain ke sekolah kalian besok? Mastiin dia ganti HP kamu, gitu?"

"Tapi kasihan sih, Mas, kalau si Rayan disuruh ganti HP-nya," ujar Shiva. Senyumnya yang tadi lebar langsung menghilang. "Kayaknya dia nggak punya duit deh buat beli HP baru."

"Iya, kayaknya dia nggak punya duit," Shera lagi-lagi mengulangi kata-kata Shiva. "Bener, kasihan."

"Kalau nggak punya duit ya jangan merusak barang orang seenaknya."

"Katrin sih yang salah. Ngejekinnya keterlaluan. Kalau jadi Rayan, aku juga pasti marah."

"Iya, aku juga pasti marah," ulang Shera lagi. "Tapi Rayan nyeremin ya, Shiv, kalau mode marah kayak tadi. Cakepnya berkurang banyak."

"Hei... hei... kalian masih terlalu kecil untuk ngomongin dan menilai cowok!" sela Dyast.

"Kami sudah mau 17 kok. Kecil apanya? Temen-temen kami udah banyak yang pacaran!" protes Shiva.

"Mas nggak ada urusan dengan teman-teman kalian. Urusan Mas itu dengan kalian. Kalian nggak diizinin pacaran sampai umur 30!"

"Jahat banget!" omel Shiva.

"Iya, jahat banget."

"Itu untuk menghindarkan kalian dari ABG labil temperamental kayak teman kalian itu!"

"Mama aja nggak ngelarang kita pacaran ya, Shiv?" Kali ini Shera berinisiatif mengeluarkan pendapat.

"Iya, nggak ngelarang sih, tapi ngasih kriteria. Bosenin."

"Iya sih, bosenin."

Dhyast menggeleng-geleng menatap layar ponselnya. "Kenapa kalian nggak mau mama aja yang ke sekolah sih? Sebenernya Mas sibuk banget besok. Mama tuh waktunya lumayan lowong."

"Jangan Mama!" kedua adiknya kompak berteriak.

"Mas Dhyast tahu Mama kita gimana," lanjut Shiva. "Yang ada ntar si Rayan dikasih kuliah tambahan. Udah cukup dari guru BK. Ntar malah kita yang malu ya, Sher?"

"Iya, ntar kita yang malu."

Dhyast menyeringai melihat kepanikan adik kembarnya. "Jadi tugas Mas di sekolah besok ngapain, Anak-Anak?"

"Mas Bilang aja ke guru BK kalau Rayan nggak usah ganti HP aku, Mas. Terus, Mas Dhyast beliin aku HP baru supaya nggak ketahuan mama kalau HP-ku dirusak teman di sekolah. Kalau ketahuan, mama pasti komplain ke sekolah dan bilang aku di-bully. Mama kan lebay gitu orangnya. Semua urusan kecil digede-gedein. Ntar aku dan Shera malah disuruh pindah ke sekolah internasional. Dari awal kan Mama nyuruh masuk ke sana. Ogah. Enakan di SMA sekarang, banyak temannya."

"Tunggu dulu," potong Dhyast, "teman kamu yang bikin HP kamu rusak, tapi Mas yang harus ganti?"

"Nah, tuh Mas Dhyast pintar banget. Cepat ngertinya."

"Hei... aturan dari mana itu? Di mana-mana, yang ngerusak barang ya yang mengganti."

"Kan udah dibilang tadi kalau Rayan itu nggak punya duit, Mas. Kata teman yang dulu tetanggaan dengan dia, Rayan tinggal sama tantenya gitu. Orangtuanya udah nggak ada. Sekarang dia malah nggak tahu di mana Rayan tinggal. Dia udah lama nggak di rumah tantenya lagi."

Dhyast menggaruk dahinya yang tidak gatal. "Mas nggak perlu tahu banyak tentang teman kamu itu. Kita lihat saja besok, dia atau Mas yang akan gantiin HP kamu."

"Tentu aja Mas Dhyast yang harus ganti. Dadah... Mas..." sambungan telepon langsung terputus.

Dhyast hanya bisa menggerutu. Ada-ada saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top