Tiga Puluh

Dhyast mengetuk ruang perawatan ibu Anjani sebelum menguak pintu. Dia menyempatkan mampir sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor.

Hanya ada ibu Anjani dan Rayan di ruangan itu. Dhyast mengulas senyum kepada Rayan. "Keadaan Ibu gimana?" Dia memelankan suara saat melihat mata ibu Anjani terpejam. Jangan sampai perempuan itu terbangun karena kedatangannya.

"Udah mendingan," jawab Rayan singkat.

Dhyast mengulurkan kantong plastik yang dibawanya. "Sarapan buat kamu dan Jani. Ibu nggak boleh makan makanan dari luar, kan?"

Rayan perlu waktu beberapa saat sebelum meraih kantong itu. "Makasih," gumamnya lirih.

"Pagi gini pilihan makanan belum terlalu banyak. Semoga kamu suka."

"Mbak Jani ke kantor untuk ngurus cuti," Rayan menjelaskan tanpa ditanya.

Dhyast memang tidak memberi tahu Anjani kalau dia akan mampir. Seandainya datang lebih awal, dia pasti bisa mengantar Anjani ke kantornya. "Nggak apa-apa. Kalau gitu, aku juga ke kantor ya. Suruh Jani makan kalau sudah balik."

Rayan mengangguk. Dia mengiringi langkah Dhyast yang menuju ke pintu.

"Mas...."

Dhyast berusaha tidak mengernyit mendengar panggilan Rayan untuknya. Ini untuk pertama kalinya anak itu menunjukkan sikap hormat kepadanya. "Ya?" Dia menghentikan langkah dan berbalik menatap Rayan.

"Terima kasih." Untuk pertama kalinya juga Rayan menunduk, tidak menantang tatapannya seperti biasa.

"Itu hanya bubur ayam saja kok. Sebaiknya kamu makan sekarang. Nggak enak kalau sudah dingin."

"Bukan untuk sarapannya, tapi untuk Mama. Makasih sudah membayar kamar dan biaya perawatan Mama. Maaf karena aku... aku...." Kalimat Rayan menggantung.

"Nggak apa-apa." Dhyast menepuk pundak Rayan yang semakin dalam menunduk. "Kamu adik yang luar biasa untuk Jani. Pantas saja dia sayang banget sama kamu. Aku juga protektif sama Shiva dan Shera, jadi aku ngerti banget. Itu tugas kita sebagai laki-laki dalam keluarga."

Senyum Dhyast masih melekat saat dia sudah meninggalkan ruang perawatan ibu Anjani. Penerimaan Rayan benar-benar membuatnya senang. Ini benar-benar cara yang bagus untuk membuka hari. Bukan berarti dia mensyukuri musibah yang menimpa ibu Anjani. Ini hanyalah hikmah di balik kejadian itu.

Kini, tantangan terbesar dalam hubungannya dengan Anjani tinggal meyakinkan ibunya supaya mau mengenal Anjani. Dhyast yakin ibunya akan lebih mudah menerima Anjani setelah mengenalnya. Bagaimana caranya, itu yang perlu Dhyast pikirkan. Jangan sampai proses pengenalan itu membuat Anjani merasa tidak nyaman, atau malah menarik diri.

Dhyast juga mengerti mengapa ibunya tidak serta-merta menerima Anjani. Seperti yang ibunya bilang, dia hanya berusaha menghindarkan Dhyast dari perempuan yang melihat latar belakang keluarganya, bukan karena benar-benar mencintainya. Karena itulah ibunya perlu mengenal kepribadian Anjani. Setelah berkenalan, ibunya akan tahu kalau Anjani adalah perempuan mandiri yang tidak pernah mengambil kesempatan untuk memanfaatkannya, meskipun sebagai laki-laki, Dhyast tidak keberatan --malah senang-- kalau pasangannya bergantung kepadanya secara materi. Dia tidak melihat sisi buruknya, toh dia memang mampu.

Setelah mengirimkan pesan kepada Anjani, Dhyast mengemudikan mobilnya menuju kantor. Agendanya hari ini lumayan padat karena dia membatalkan dua pertemuan kemarin untuk menemani Anjani menyusul ibunya di rumah sakit.

Menjelang makan siang, pesan dari Risyad masuk.

Gue ada di restoran dekat kantor lo. Mau makan siang bareng?

Lebih baik daripada makan sendiri di kantor. Dhyast membalas pesan itu dan bergegas menyusul Risyad. Beberapa minggu terakhir percakapan dengan sahabat-sahabatnya hanya melalui gawai karena mobilitas mereka semua yang tinggi. Semakin dewasa, kualitas pertemuan memang menjadi lebih penting daripada kuantitasnya.

"Liburan lo pasti menyenangkan." Dhyast mengambil tempat di depan Risyad. "Kelihatan dari warna kulit lo."

Risyad tertawa. "Gue kerja, bukan liburan. Sinar matahari di pulau Taliabu memang jauh lebih bagus daripada mesin tanning."

"Kerja sambil diving?" Dhyast ikut meringis. Di antara mereka berlima, Risyad dan Tanto yang paling suka menghabiskan waktu di luar ruangan. Mereka akan menghabiskan waktu luang untuk menjajal alam bawah laut di mana saja saat liburan.

"Mencampur kesenangan dan bisnis itu nggak dosa. Lo tahu kalau gue bukan tipe yang betah duduk di belakang meja ngurusin kertas doang. Anyway, Anjani apa kabar?"

"Sekalinya nanya, yang ditanyain malah pacar gue," gerutu Dhyast. Namun dia tetap menjawab, "Jani baik. Ibunya yang sekarang lagi di rumah sakit."

"Sakitnya kambuh lagi? Lo pernah bilang kalau dia rutin cuci darah, kan?"

"Iya, ibu Jani memang gagal ginjal, tapi sekarang malah masuk rumah sakit karena jatuh."

"Kadang-kadang musibah kayak gitu malah jadi kesempatan buat ngambil hati camer sih. Tapi kayaknya lo nggak butuh itu untuk diterima ibu Anjani, kan?"

Tidak dari ibu Anjani, tapi musibah yang menimpa ibunya jelas membuka pintu penerimaan Rayan kepada Dhyast. Jadi dia tidak bisa menyalahkan opini Risyad.

"Gue masih mikirin gimana cara supaya nyokap gue bisa menerima Anjani, sebagaimana ibu Anjani menyambut gue."

"Itu topik yang berat." Risyad mengangkat tangan memanggil pelayan. "Lebih baik diomongin sambil makan. Perut kosong bikin pikiran kita ngawur."

"Gue tadi sempat brunch."

"Gue cuman sempat ngopi sih sebelum ke kantor. Jadi gue beneran butuh makan."

Mereka memesan makanan sebelum melanjutkan percakapan.

"Jadi sekarang lo berburu lahan sampai ke Maluku?"

"Baru sekadar lihat prospek saja sih. Bokap gue kayaknya cinta banget sama pelajaran sejarah, jadi di otaknya masih nempel aja kalau Maluku itu penghasil rempah-rempah nomer wahid di Indonesia, yang bikin penjajah dulu berebut wilayah kekuasaan di sana. Sekarang gue disuruh ngecek apa prospeknya masih sama."

"Hasil riset lo, gimana?" Berbagi soal pekerjaan seperti ini lazim mereka lakukan, meskipun bergerak di usaha yang berbeda.

Risyad mengedik. "Lumayan menjanjikan. Tapi perkebunan nggak jadi satu-satunya primadona lagi di sana. Salim Grup sudah buka usaha tambang biji besi di sana."

"Bokap lo dan Thian nggak mau main di tambang juga?" Dhyast menyebut kakak Risyad yang menjadi direktur utama perusahaan keluarga mereka setelah ayah Risyad menjadi komisaris utama. "Investasi awal memang besar banget, tapi pasti cepat balik modalnya."

"Pernah diomongin sih, tapi Thian masih lihat situasi dulu. Analisisnya beneran harus mantap. Soalnya tambang kan nggak kayak dulu lagi yang bisa ekspor bahan mentah. Sekarang harus bikin smelter. Dan lo tahu sendiri susahnya bikin smelter itu gimana. Pembebasan lahan lagi, ngurus amdalnya, dan yang utama, listriknya. Negonya harus ke PLN pusat, karena kapasitas yang dipakai nggak main-main."

Percakapan jeda sesaat ketika makanan mereka datang. Risyad sepertinya memang benar-benar lapar karena segera makan dengan lahap.

Dhyast mengalihkan perhatian pada gawainya saat mendengar nada notifikasi. Pesan dari Anjani. Tadi Dhyast menanyakan kepadanya mau dibawakan makanan apa setelah Dhyast pulang kantor, tapi seperti Anjani yang biasa, jawabannya hanya, Nggak usah repot. Banyak yang jual makanan di dekat rumah sakit. Khas Anjani. Memang sebaiknya tidak usah ditanya, langsung dibawakan saja.

"Anjani?" tanya Risyad di sela-sela suapannya.

Dhyast melepaskan gawai dan menarik piringnya mendekat. "Kok tahu?"

"Nggak terlalu banyak orang yang bisa bikin lo buru-buru balas pesan pas lagi makan. Karena lo sedang jatuh cinta pakai banget, ya gampang banget nebaknya."

Dhyast hanya tersenyum, tidak membantah. Risyad memang hafal kebiasaannya setelah berteman lama.

"Kisah cinta lo bertolak belakang dengan Yudis. Dia dijodohin nyokapnya, sedangkan lo malah lagi cari cara supaya pacar lo bisa diterima nyokap lo. Gue harap hasilnya juga berbeda. Nggak kayak Yudis yang akhirnya malah cerai, semoga lo dapat restu nyokap lo. Gue malas banget kalau nantinya malah harus ngurusin dua orang yang patah hati. Cukup Yudis aja deh yang remuk redam gitu. Sudah dicerai, ditinggal pergi lagi. Merana kuadrat dia. Kalau Kayana masih di sini, Yudis kan bisa usaha buat rujuk."

Dhyast juga kasihan melihat sahabatnya itu, tetapi mau bagaimana lagi? Kalau Yudis sendiri tidak tahu cara menyelamatkan pernikahannya, apalagi dirinya sebagai laki-laki lajang. Tidak banyak nasihat yang bisa diberikannya, selain bersabar menanti episode patah hati sahabatnya itu lewat, dan dia akan memulai hubungan dengan orang baru.

"Gue yakin sih nyokap gue akan menerima Anjani kalau sudah kenal dia lebih dekat. Masalahnya, gue harus menunggu nyokap gue kehilangan minat sama Gracie Kusuma dulu. Kalau gue bawa Anjani ke nyokap gue sekarang, itu sama saja menentang harapan dia terang-terangan. Akan berdampak sama penerimaannya pada Anjani."

"Kira-kira butuh waktu berapa lama sampai nyokap lo kehilangan minat pada Gracie Kusuma?" Risyad meraih gelas dan minum dengan tegukan besar-besar.

"Itu yang belum gue tahu. Tapi bisa lebih cepat kalau lo mau dekatin Gracie Kusuma. Untuk ukuran lo, dia pasti gampang banget didekatin."

"Gracie Kusuma ya...." Risyad mengusap dagu, pura-pura berpikir sebelum menggeleng. "Lo memang sahabat gue, tapi gue nggak sesayang itu sama lo. Gue nggak akan mengumpankan diri sendiri ke Gracie Kusuma. Nggak tahu kenapa, gue punya feeling, ntar gue malah beneran dikejar sama dia. Lo kan tahu, gue menikmati jadi pemburu, bukanya malah diburu."

"Sialan!" Mau tidak mau Dhyast tertawa melihat ekspresi Risyad.

"Berburu perempuan seperti Gracie Kusuma itu lebih cocok diserahkan sama orang amoral kayak si Rakha. Eh, tapi dia kan temenan sama adik Gracie ya? Kayaknya lo memang harus sabar nungguin sampai nyokap lo berpaling dari Gracie, atau Gracie sudah menemukan orang lain dan mencoret lo dari daftar calon suami potensial."

Semoga saja Gracie Kusuma memang akan menemukan tambatan hatinya dalam waktu dekat, karena Dhyast yakin ibunya belum akan kehilangan minat pada proyek perjodohannya. Kalau itu terjadi, dia akan bisa mengenalkan Anjani kepada keluarganya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top