Tiga Belas

Anjani melihat pintu kamar ibunya tidak tertutup rapat saat dia melintas di depannya. Tangannya yang terangkat hendak menguak pintu lebih lebar menggantung di udara. Ada Rayan di dalam. Itu kejadian yang benar-benar langka. Anjani memutuskan mengintip saja. Senyum kaku Rayan masuk dalam garis pandangnya. Nada ibunya juga terdengar riang. Anjani takut suasana di dalam rusak karena kedatangannya yang mendadak. Lebih baik menjadi penonton yang tidak diinginkan di balik pintu.

"Bahu Tante udah mendingan kok, nggak pegal kayak tadi lagi," suara ibunya membuat Anjani pelan-pelan mendorong pintu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar. "Kamu bisa berhenti kalau capek."

Anjani melihat ibunya bersila di atas matras tipis, sedangkan Rayan berlutut di belakangnya sambil mengurut pundak ibunya. Bagaimana ibunya bisa membujuk Rayan untuk melakukan hal seperti itu?

"Belum capek kok, Tante."

"Tante boleh minta sesuatu sama kamu?"

Butuh waktu sebelum suara Rayan terdengar, "Minta apa, Tante?"

"Kamu adik Anjani satu-satunya. Dan Anjani anak Tante satu-satunya. Kamu mungkin nggak percaya, karena Tante juga butuh waktu untuk sampai pada kesimpulan ini, tapi Tante senang banget kamu hadir dalam hidup kami. Apalagi kondisi Tante yang kayak gini. Tante mungkin nggak bisa hidup selama yang semula Tante pikir untuk menjaga kakak kamu. Dengan kehadiran kamu di sini, Tante bisa tenang karena Tante yakin kamu bisa menjaga kakakmu seperti Om Ramdam menjaga Tante kalau akhirnya kalian hanya tinggal berdua saja."

Anjani tidak mendengar jawaban apa pun dari Rayan, tetapi tangan adiknya itu masih bergerak di bahu ibunya.

"Kakak kamu mungkin nggak pernah bilang apa pun soal perasaannya sama kamu, tapi Tante yakin dia sayang banget sama kamu. Kasih dia kesempatan untuk kenal kamu lebih baik."

Rayan masih terus diam.

"Yang mau Tante minta sama kamu itu adalah supaya kamu bisa terus berada di sisi kakak kamu, gimanapun sulitnya hidup kalian nanti saat Tante sudah nggak ada. Kalian sesekali akan bertengkar karena berbeda pendapat, itu wajar. Semua saudara seperti itu. Tapi jangan jadikan emosi sesaat merusak hubungan kalian."

Anjani melihat Rayan mengusap matanya.

"Dan karena Anjani anak Tante, dan kamu adik dia, nggak berlebihan kalau Tante harap kamu mau memangil Tante dengan panggilan Mama juga, kan?"

Anjani memutuskan tidak melanjutkan menguping. Dia berlalu sambil mengusap pipinya yang ternyata sudah basah.

Semoga percakapan ibunya dengan Rayan bisa menjadi titik balik hubungan mereka. Rayan akan menganggapnya sebagai kakak sebenarnya, bukan sekadar orang asing yang memberi tumpangan dan menyediakan makanan. Itu akan sangat menyenangkan.

Beberapa hari lalu Anjani bicara dengan Rayan tentang gawai yang dikembalikan adik Dhyastama. Butuh waktu cukup lama untuk membujuk Rayan agar mau menerima benda itu untuk menggantikan gawainya yang sudah ketinggalan zaman. Anjani harus mengingatkan berkali-kali supaya adiknya itu tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada si kembar temannya. Saat melihat ekpresinya yang mengeras waktu itu, Anjani nyaris tidak bisa percaya bisa melihat Rayan bisa menangis seperti sekarang. Meskipun tanpa suara, itu tetap saja air mata yang membuktikan hati adiknya ternyata tidak sekeras yang tampak di permukaan.

**

"Laporannya udah jadi, Jan?" suara Pak Umar, manajernya, membuat Anjani mendongak dari laptopnya. Dia buru-buru berdiri. Tidak biasanya Pak Umar mengunjungi kubikelnya. Biasanya dia yang dipanggil menghadap melalui Mbak Puput, sekretarisnya.

"Sudah, Pak." Anjani menarik berkas dari atas tumpukan map di atas meja kubikelnya dan menyerahkannya kepada bosnya. "Baru saja mau saya bawa ke Mbak Puput."

Anjani bekerja sebagai staf keuangan di kantor analis bisnis. Beberapa hari lalu Pak Umar memintanya membuat laporan yang akan dipresentasikan pada rapat internal semester awal.

"Power point-nya sudah siap juga, kan?" Pak Umar membolak-balik berkas yang diserahkan Anjani.

"Sudah, Pak. Akan saya kirim ke email Mbak Puput."

"Sekalian ke email saya juga. Akhir-akhir ini Puput agak nggak konsen, ntar dia malah lupa," gerutu Pak Umar. "Hamil bikin fokusnya berceceran ke mana-mana."

"Baik, Pak." Anjali merasa tidak perlu berkomentar tentang Mbak Puput. "Ada yang lain, Pak?"

"Nggak ada. Saya hanya mampir nanyain laporan sekalian turun makan siang." Pak Umar lantas berbalik meninggalkan kubikel Anjani.

Anjani melirik pergelangan tangannya. Memang sudah jam makan siang. Dia buru-buru menutup laptop. Tadi Kiera mengajak makan siang bersama karena dia sedang meliput berita di gedung DPR yang tidak jauh dari kantor Anjani. Kiera bekerja sebagai reporter di situs berita daring ternama.

OTW. Anjani mengetikkan pesan itu lalu meraih ranselnya. Kesibukan membuat interaksi bersama sahabat-sahabatnya lebih sering terjadi di grup WA. Namun, persahabatan lebih pada ikatan emosional daripada kuantitas pertemuan. Itulah yang menyebabkan persahabatan yang terjalin sejak SMA itu bertahan sampai sekarang.

Kiera sudah berada di rumah makan yang mereka sepakati untuk bertemu saat Anjani sampai di sana.

"Sidangnya sudah kelar?" tanya Anjani sambil melepas ransel dan meletakkannya di dekat kaki kursi.

"Boro-boro kelar, dimulai aja belum." Kiera berdecak sebal. "Padahal jadwalnya 2 jam lalu. Belum kuorum, jadi ditunda 2 jam lagi. Emang enak banget jadi Anggota Dewan yang Terhormat. Bikin wartawan kayak kami selonjoran berjam-jam seperti orang bodoh kurang kerjaan."

"Selonjoran masih lebih enak sih daripada gue yang duduk ngitung duit perusahaan. Angkanya bikin mata dan hati gue sakit."

"Seenggaknya lo nggak perlu berhadapan dengan anggota dewan yang ditanya apa, jawabnya apa. Kadang-kadang gue bingung kenapa dia sampai terpilih. Itu yang milih nggak tahu apa kalau orang yang mereka jadiin wakil begonya sampai ke tulang sum-sum?"

Anjani tertawa. "Duitnya pasti banyak."

"Kalau punya duit banyak, gue akan pensiun dari kerjaan gue yang lompat ke sana-sini ngejar public figure dan selebriti. Gue akan buka resor di Raja Ampat atau Labuan Bajo, nyari bule nyasar, dan beranak-pinak di sana. Nggak akan balik ke Jekardah yang sumpek ini." Kiera menyeruput jus jeruknya.

"Mungkin aja jodoh lo bukan bule backpacker nyasar, tapi anggota dewan yang hartanya udah puluhan milyar padahal umurnya belum 30 tahun."

"Warisan ayahnya yang pernah jadi bupati dan gubernur?" tanya Kiera skeptis. "Gue lebih milih yang kayak Julian sih. Pengusaha level unicorn yang mulai bisnis sendiri. Kalau harta warisan mah repot. Dia pasti tergantung pada orangtuanya. Kali aja jodohnya pun dipilihin orangtua supaya karir politiknya kinclong."

Anjani meringis. "Namanya Dhyastama."

"Apa?" Kiera tidak mengerti.

"Orang yang kita lihat di kafe tempo hari namanya bukan Julian, tapi Dhyastama."

Kiera menganga. "Dari mana lo tahu? Lo udah kenalan? Kapan? Kok nggak bilang-bilang sama gue dan Alita?" pertanyaannya meluncur bak peluru yang ditembakkan beruntun. "Kan kita nemuin dia bareng-bareng."

"Hei, gue ketemunya nggak sengaja. Rayan dan adiknya ternyata sekelas. Minggu lalu kami ketemu di ruang BK karena sama-sama dipanggil menghadap."

"Orangnya gimana? Selain cakep, maksud gue. Itu nggak usah disebutin, gue yang pertama kali lihat dia."

Anjani mengedik. Dia baru dua kali bertemu Dhyastama. Tidak cukup lama untuk tahu kepribadiannya seperti apa. "Kelihatannya baik."

"Pekerjaannya apa?"

Anjani ganti berdecak. Bola matanya bergerak ke atas. "Gue ke sekolah Rayan untuk beresin masalah dia, bukannya malah wawancara eksklusif dengan wali murid yang lain. Gue bukan reporter yang punya gen kepo berlebihan kayak elo. Tapi gue sempat lihat dia pakai Rolex. Jadi dia memang cocok jadi Juliannya Alita."

Kiera tertawa. "Kakak yang mau repot-repot hadir di sekolah adiknya pasti kakak yang baik. Dan kakak yang baik adalah pasangan yang baik. Kira-kira dia masih single nggak?"

"Mana gue tahu!" Ada-ada saja.

"Lihat jarinya dong. Kalau jari manisnya masih kosong, artinya dia bisa diprospek."

"Lo yang mau prospek?" ejek Anjani.

"Kalau dia beneran level unicorn, kenapa nggak? Harga skin care bagus sekarang mahal banget. Punya suami yang angka nol di rekeningnya harus dihitung pakai kalkulator pasti membantu bikin muka gue kinclong. Lo sama Alita akan gue ajakin ke Vegas buat ngambur-ngamburin duit. Mungkin aja di sana kalian bisa ketemu dan nikah sama bule yang nggak kalian kenal pas mabuk. Nikah malam, besoknya langsung cerai. Katanya di sana disediain fasilitas kayak gitu."

Anjani menggeleng-geleng. "Gimana dengan resor di Raja Ampat dan Labuan Bajo?"

"Tetap jadi dong. Setelah kita bosan bersenang-senang dengan duit suami tampan gue yang nggak habis-habis itu."

Mereka lantas tertawa bersama mendengar khayalan tidak masuk akal itu. Realita sudah berat, jadi angan-angan harus semanis madu.

**

Wajah Rayan yang cemberut menyambut Anjani di ruang tamu. Tidak biasanya anak itu berada di sana ketika Anjani pulang kantor. Hubungan mereka mereka memang membaik setelah percakapan Rayan dan ibunya yang Anjani dengar. Namun, mereka belum benar-benar dekat.

"Aku bisa pindah sekolah dan kerja paruh waktu di toko Michael di mal. Ibu Michael pasti nggak keberatan," kata Rayan sambil menatap Anjani tajam.

"Kamu ngomongin apa sih?" ucapan Rayan yang tanpa ujung pangkal itu membuat Anjani bingung.

"Tadi Om Ramdan datang sama orang yang lihat-lihat rumah. Katanya rumah ini mau dijual."

Sekarang Anjani mengerti. Dia meletakkan tasnya di atas meja dan duduk. Rayan bergeming di tempatnya, tidak tertarik ikut duduk.

"Rumah ini dijual bukan untuk bayar uang sekolah kamu di SMA." Kalau saja hubungannya dengan Rayan tidak sekaku sekarang, bicara dari hati ke hati pasti lebih mudah.

"Aku nggak perlu kuliah," jawab Rayan cepat. "Aku bisa cari kerja setelah tamat SMA."

"Jadi apa?" tanya Anjani, nadanya mulai naik. "Penjaga toko Michael sampai kamu tua? Kamu adik Mbak satu-satunya, dan Mbak nggak mau hidup seperti itu untuk kamu. Kita nggak akan tawar-menawar soal kuliah. Terserah kamu mau kuliah apa dan di mana. Tugas Mbak hanya memastikan kalau nggak akan putus sekolah setelah tamat SMA. Ini hanya rumah. Kita akan punya rumah yang lain. Memang jauh lebih kecil, dan pasti nggak sestrategis rumah ini, tapi itu tetap saja rumah. Yang penting bukan rumahnya, tapi ada Mama, kamu, dan Mbak di dalamnya."

Rayan membuang pandangan, tidak lagi menatap Anjani.

Anjani berdiri dan menghampiri adiknya. "Kita memang belum lama bertemu, tapi kita sama-sama anak papa. Dan karena dia sudah nggak ada, tugas untuk menjaga kamu jadi tanggung jawab Mbak."

"Dari mana Mbak bisa yakin kalau ayah kita sama? Bisa saja kan tanteku hanya mengaku-aku untuk melepas tanggung jawab."

"Mbak yakin sejak pertama lihat kamu. Tapi kalaupun itu nggak benar, dan kamu bukan adik biologis Mbak, itu sama sekali nggak masalah. Kamu sudah di sini sekarang, dan kamu nggak akan ke mana-mana." Anjani memeluk adiknya. "Mbak sayang sama kamu. Beneran."

Tangis Rayan pecah. Dia benar-benar menangis, bukan lagi hanya sekadar meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya, dia balas memeluk Anjani.

"Rumah ini bukan dijual karena kamu saja," bisik Anjani. "Untuk Mama dan Mbak juga. Untuk kita semua. Nanti kalau kita punya rezeki, kita pasti bisa beli rumah yang lebih bagus. Karena itu kamu harus sekolah yang bener."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top