Sembilan Belas
Kamu masih di kantor, kan? Aku di lobi.
Anjani menatap layar ponselnya lama. Ini pesan pertama Dhyastama setelah makan siang terakhir mereka minggu lalu. Apa lagi yang diinginkan laki-laki itu? Anjani pikir mereka putus kontak selama seminggu karena Dhyastama sudah memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka seperti yang dia minta.
Menghindari pertemuan hanya menunda penyelesaian masalah. Dan membuat rasa penasaran membuncah. Anjani mengembuskan napas panjang sebelum mengetik jawaban.
Saya akan turun.
Saat mereka akhirnya berhadapan dan melihat senyum Dhyastama, Anjani langsung tahu kalau upayanya menghindari pesona laki-laki itu sia-sia saja. Terlambat. Perasaannya kepada Dhyastama lebih daripada sekadar rasa tertarik. Dia bisa berbohong kepada laki-laki itu, tetapi tidak pada diri sendiri.
Kesadaran itu sedikit menyesakkan bagi Anjani. Ternyata dia tidak sekukuh yang dia pikir. Mata dan hatinya bekerja sama memperdaya dan membuatnya jatuh cinta.
"Kita makan di tempat yang enak buat ngobrol ya." Dhyastama menyentuh siku Anjani dan mengarahkan langkah perempuan itu ke tempat parkir. "Aku sengaja datang setelah jam kantor karena kita mungkin butuh banyak waktu untuk bicara. Kamu bawa motor?"
Anjani menggeleng. "Tadi pagi hujannya lumayan deras." Musim penghujan seperti sekarang tidak bersahabat untuk pemotor seperti dirinya. Selain rasa dingin yang tetap terasa meskipun sudah memakai jaket di bawah jas hujan, masih ada risiko terkena percikan air dari genangan yang dilewatinya. Sepatu buluk kesayangannya tidak didesain antiair.
"Baguslah kalau gitu. Nanti aku antar pulang."
Anjani mendesah, tetapi tidak menolak. Dia benci mengakui, tetapi sebelah hatinya senang melihat Dhyast datang menemuinya. Sisi hatinya yang yakin bahwa putusnya kontak mereka selama seminggu tidak benar-benar menandai bahwa hubungan mereka yang formulanya belum jelas ini sudah berakhir.
Anjani mengawasi butiran air yang menempel di bagian luar jendela mobil yang dikemudikan Dhyast. Gerimis yang konstan turun dengan nadanya yang berima melukis buram di mana-mana. Persis seperti suasana hatinya yang tidak menentu. Dia lantas memeluk dirinya sendiri. Cuaca yang muram membuat pendingin udara di dalam mobil mencapai titik yang membuatnya menggigil. Namun, suhu udara bukan satu-satunya hal yang membuat giginya nyaris gemeletuk. Sesuatu dari dalam dirinya juga seperti menyemburkan hawa yang membekukan. Dan Anjani tahu mengapa. Rasa itu berasal dari keputusasaannya karena menyadari dia memang tidak bisa mengendalikan hati. Dia sudah jatuh cinta. Rapalan-rapalan yang dia sumpalkan dalam benak telah terpental dan tidak pernah sampai ke hati. Mungkin karena dia memang tidak sungguh-sungguh memercayai mantra itu. Mungkin karena mata hatinya terbuka lebar seperti pupilnya yang begitu gampang terpesona. Pada akhirnya, dia hanya perempuan biasa yang jatuh pada keindahan penampilan, perhatian, dan sikap santun seorang laki-laki. Tekadnya untuk tidak terperosok perasaan kalah oleh endorfin dan dopamin yang berproduksi maksimal saat melihat sosok Dhyast.
"Dingin banget ya?" Dhyast melihat Anjani mengusap-usap lengannya sendiri. "Mau pakai jasku?" Melihat cuaca di luar, dia lega Anjani cukup bijak karena tidak nekad mengendarai motornya ke kantor.
Kekhawatiran itu membuatnya teringat pada kata-kata Risyad. Perasaannya kepada Anjani memang jauh lebih dalam daripada sekadar ketertarikan. Kegelisahan dan keinginan bertemu Anjani yang ditekannya selama seminggu terakhir menjadi bukti.
Dhyast memakai waktu tujuh hari ini untuk berpikir dan lebih memahami perasaaannya. Dan dia sudah mengambil keputusan. Karena itulah dia kembali menemui Anjani. Lagi-lagi, seperti kata Risyad, dia tidak mau menyesal karena melewatkan kesempatan yang mungkin saja akan menjadi sumber kebahagiaannya. Pada satu titik, semua orang akan mengambil keputusan berdasarkan nurani, bukan sekadar logika. Untuk Dhyast, ini termasuk salah satu momen yang langka itu. Saat analisisnya kalah telak oleh kata hati.
"Nggak terlalu dingin sih." Anjani spontan menghentikan gerakannya mengusap lengan sendiri. "Rasanya lebih nyaman saja."
"Kamu beneran bisa pakai jasku," ulang Dhyast lagi.
"Nggak usah. Kita makan di mana?" Anjani mengalihkan percakapan.
"Di PI. Yang dekat aja."
Restoran yang mereka kunjungi tampak sepi. Memang belum jam makan malam. Anjani mengawasi sekeliling ruangan. Tempatnya sangat nyaman. Berbanding lurus dengan harga yang ditawarkan. Di sini tidak ada gestur ketergesaan dari pelayan. Senyum mereka terkembang setiap saat. Berbeda jauh dengan tempatnya biasa makan yang berisik dan tidak menjanjikan privasi. Benar-benar hanya tempat untuk sekadar memindahkan isi piring ke dalam lambung, bukan untuk duduk santai dan membiarkan waktu mengalir.
"Mau makan apa?" tanya Dhyast saat melihat Anjani mematung dan tidak menyentuh buku menu yang diberikan oleh pelayan. Sekarang Anjani malah terlihat lebih tegang daripada terakhir kali mereka bertemu.
Anjani menggeleng pelan. "Saya nggak terlalu lapar sih."
"Kalau gitu, biar aku yang pesan untuk kita."
Anjani mengangguk, tidak menolak lagi.
Dhyast memperbaiki posisi duduknya setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi. "Aku nggak suka perasaanku saat jauh dari kamu," mulainya. "Seminggu nggak berbalas pesan dan nggak menelepon kamu rasanya seperti ada yang hilang. Beberapa bulan ini kamu sudah jadi bagian dari rutinitas aku, dan rasanya beneran ada yang kurang ketika aku memutuskan menghindari kamu untuk memahami perasaanku." Dhyast meraih tangan Anjani dan menggenggamnya. "Sekarang aku sudah beneran paham perasaan dan keinginanku. Aku nggak bisa dan nggak mau melepasmu."
Anjani menatap tepat di mata Dhyast. Dia bisa melihat kesungguhan dan ketulusan di sana.
**
"Gue beneran senang kalau lo jadian dengan Julian, ta—"
"Dhyastama," Anjani meluruskan.
Kiera mengangguk. "Iya, Dhyastama. Gue nggak mau kedengaran pesimis buat elo sih, Jan. Gue harap kalau kalian beneran jadian, hubungan kalian akan langgeng. Tapi dalam pengalaman gue selama jadi wartawan serabutan meliput kehidupan public figure, orang-orang seperti dia nggak memilih pendamping atas dasar cinta aja sih. Ada campur tangan keluarga dan bisnis di dalamnya."
Tanpa Kiera katakan pun, Anjani sudah tahu itu. Pasangan yang memiliki latar belakang yang sama tidak memerlukan proses adaptasi. Meskipun dia tahu Dhyast sungguh-sungguh saat mengajaknya berkomitmen, Anjani tidak langsung menyetujui ajakan itu. Dia tidak ingin mengambil keputusan impulsif, walaupun senang mendengar Dhyast mengakui perasaannya. Ya, perempuan mana yang tidak bahagia mengetahui kalau perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan?
"Nggak selamanya kayak gitu sih," Alita terdengar lebih optimis. "Banyak kok pengusaha tajir-melintir seperti dia yang menikah dengan artis."
"Artis itu hampir semua tajir juga, kan? Biaya perawatan tubuh mereka sebulan sama dengan gaji kita beberapa bulan. Jenis perempuan yang kalau makan pakai tangan kelihatan aneh banget karena takut kuku panjangnya yang sudah dimanikur jadi kotor dan rusak." Kiera mengibas. "Intinya, mereka akan memilih pasangan yang gaya hidupnya mirip. Tapi ya, selalu ada pengecualian. Semoga saja Julian termasuk orang yang berbeda itu."
Kali ini Anjani malas mengoreksi sebutan Julian itu. "Kalau gue menerima Dhyastama, jujur aja, gue juga nggak yakin hubungan kami akan bertahan," Dia mengamini Kiera. "Bisa aja gue hanya satu fase pengalihan dalam hidupnya yang monoton, dan dia kemudian akan ninggalin gue setelah tahu gimana rasanya pacaran dengan orang biasa."
"Orang pacarannya dasarnya karena cinta, jadi nggak kenal istilah orang biasa dan luar biasa," sergah Alita. "Jangan buruk sangka dulu. Gimana kalau dia beneran cinta sama elo, dan lo malah mendorongnya menjauh hanya karena latar belakang kalian yang berbeda? Masa depan itu disongsong dengan harapan positif, bukannya dicurigai. Terima aja dia."
"Lo menulis novel roman, tentu aja pikiran lo selalu positif," Kiera berdecak mencemooh. "Gimanapun beratnya konflik karakter lo, semuanya akan berakhir manis seperti harapan pembaca. Tapi di dunia nyata, kita harus menerima kalau sebagian besar harapan kita memang akan berakhir dengan kekecewaan."
Anjani lagi-lagi setuju dengan Kiera. Namun, hatinya terbelah. Dia tahu kalau dia ingin mengiyakan permintaan Dhyastama yang mengajaknya berkomitmen sebagai pasangan, tetapi dia juga sadar kalau seperti kata Kiera, kemungkinan patah hatinya besar.
"Cinta itu soal rasa, jadi jangan terlalu banyak pakai otak saat mau ngambil keputusan," kata Alita lagi. "Iya, kemungkinan gagalnya memang ada, so what? Nggak ada orang yang mati karena patah hati. Sakitnya mungkin bakalan lama kalau hubungan kalian berakhir saat lo lagi sayang-sayangnya. Tapi pada akhirnya lo akan move on. Semua orang juga gitu. Itu artinya dia bukan jodoh lo. Simpel banget."
"Kita lagi bahas kisah cinta Anjani, bukan konflik dalam novel lo," tukas Kiera sambil melempar tisu yang dipegangnya ke arah Alita. "Move on dalam novel lo mah gampang banget. Tinggal bikin satu karakter lain untuk bikin perempuannya jatuh cinta lagi."
"Gue nggak mau kedengaran kejam dengan bilang ini, tapi Jani sudah pernah ada di fase patah hati dan move onitu." Alita mengangkat tangan untuk menghentikan Kiera yang hendak membantah. "Gue sama elo juga udah pernah nangis sebelum bego-begoin diri sendiri karena jatuh cinta pada orang yang salah. Dan kita sekarang baik-baik saja, kan? Jatuh cinta dan patah hati itu termasuk siklus hidup. Dijalanin aja, jangan dihindari. Pengalaman membuat batin kita kaya."
"Pengalaman patah hati malah membuat kamu makin skeptis pada kisah cinta," balas Kiera tidak mau kalah.
Anjani hanya bisa menggeleng-geleng. Jurnalis yang berhubungan dengan dunia nyata dan sinis terhadap hidup memang akan sulit bertemu pendapat dengan penulis romansa yang menganut pakem happily ever after. Sulit mengharapkan keduanya punya pendapat yang sama untuk topik yang berhubungan dengan roman.
Pada akhirnya, Anjani harus memikirkan keputusan yang akan diambilnya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top