Satu

"Hidup beneran berasa nggak adil kalau lihat orang-orang seperti itu," desahan Kiera membuat Anjani mengangkat kepala dari cangkir kopinya.

"Orang seperti apa?" Kopi di tempat ini benar-benar enak. Mungkin tidak adil karena dibandingan dengan kopi instan seribuan yang diseduh air dispenser yang bahkan tidak mencapai titik didih, tetapi apa yang adil dalam hidup? Anjani sudah belajar tentang ketidakadilan itu sejak lama. Dia sudah terbiasa membonsai harapannya.

"Orang yang kemejanya nggak kusut sedikit pun setelah jam kerja. Gue yakin mereka bahkan nggak keluar keringat saat kerja, tapi gajinya ratusan kali lipat daripada kita. Dan kenapa mereka harus seganteng itu sih?" protes Kiera masih berlanjut. "Meja sebelah kanan, dekat pintu masuk."

Anjani tidak berminat menoleh. Laki-laki tampan berkemeja licin tidak ada dalam daftarnya. Sudah terlalu banyak masalah dalam hidupnya, tidak perlu ditambahkan lagi. Terutama, tidak laki-laki. Lebih baik menikmati kopi mahal ini.

Alita --sahabatnya dan Kiera-- baru saja mencairkan royalti novel-novel larisnya dan membawa mereka di tempat yang biasanya tidak terjangkau ini.

Hanya tempat konyol seperti ini yang menjual 6 keping choco chip cookies seharga 100 ribu rupiah. Belum termasuk pajak. Padahal dengan harga seperti itu Anjani bisa menghasilkan sestoples kue yang sama dari dapurnya sendiri. Ya, mungkin dengan kualitas bahan yang lebih rendah, tapi rasanya tidak akan jauh berbeda. Sebagian orang toh tidak bisa membedakan rasa kue kering yang dibuat dari mentega atau margarin. Jangankan rasa kue yang dihasilkannya, masih ada yang tidak tahu bahwa mentega dan margarin itu berbeda.

"Nggak mau nambah?" Alita yang baru kembali dari toilet menawarkan. "Mumpung duitnya belum gue habisin buat ganti MacBook dan beli kamera. Royalti gue cair 6 bulan sekali, jadi jarang-jarang gue bisa traktir di tempat kayak gini."

Anjani menggeleng. "Makan kue ini berasa ngunyah duit 20 ribuan. Sayang banget. Bisa beli pertamax motor gue buat jalan beberapa hari."

"Yang ngopi di sini pasti nggak tahu kalau sampo yang udah di dasar botol bisa ditambahin air dan dipakai buat seminggu." Kiera terkekeh. "Atau jilatin sisa bumbu taro di jari-jari."

"Atau makan ayam ayam geprek yang bentuknya mi instan," tambah Alita. Mereka spontan tertawa bersama.

"Cowok-cowok di belakang sana cakep-cakep banget," kali ini Kiera mengompori Alita setelah gagal dengan Anjani. "Bagus buat cast novel lo."

Tidak seperti Anjani, Alita langsung menoleh. "Wow. Gue langsung tahu karakter yang cocok untuknya."

Anjani bergeming. Dia berdecak mencemooh.

"Itu mereka nyari teman berdasarkan kegantengan ya?" Kiera terkekeh. "Kok bisa semuanya cakep gitu sih? Apa judul novelnya? Lima Pangeran Mencari Cinta? Yang cepak itu paling cakep deh."

"Baju cokelat?" timpal Alita. " No... no... no... yang biru lebih cakep. Di novel gue namanya Julian Raharja. Umur 29 tahun. Pengusaha marketplace. Decacorn. Di—"

"Decacorn di umur 29?" sergah Kiera sambil mengibas. "Gue tahu itu fiksi, tapi jangan berlebihan juga kali. Bahkan Jeff Bezos dan Jack Ma nggak sespekta itu di akhir 20-an."

"Hari gini sebenarnya nggak terlalu aneh sih. Banyak banget anak muda yang mulai bisnis dari umur belasan. Di atas 20 udah tajir. Terutama anak muda yang ortunya pengusaha juga. Otak cerdas, kreativitas, kerja keras, jeli lihat peluang, dibantu duit adalah rumus sukses generasi milenial."

"Tapi decacorn? Ayolah!" Kiera tetap ngotot.

Anjani hanya menggeleng-geleng mendengarkan perdebatan kedua sahabatnya itu, tetapi tidak berniat nimbrung.

"Baiklah, gue turunin jadi unicorn," balas Alita sebal. "Indonesia udah punya pengusaha marketplace yang levelnya segitu di awal 30 tahunan. Oke, Julian Raharja, 29 tahun, tinggal suite apartemen di SCBD. Di—"

"Mengapa bukan rumah aja?" tanya Kiera. "Orang semapan Julian harusnya tinggal di rumah mewah yang kolam renangnya se-water boom. Hewan peliharaannya singa dan harimau, jadi punya kebun binatang sendiri."

"Rumah nggak cocok untuk karakternya. Dia masih single dan nggak mau repot dengan perawatan rumah. Dia punya rumah, tetapi hanya untuk investasi aja. Tinggalnya tetap di apartemen. Mobilnya lamborghini warna hi—"

"Jangan Lamborghini deh. Ntar malah terbakar kayak punya artis itu. Mercy aja, lebih elegan."

"Sebenernya yang nulis gue atau elo sih?"

Kiera terkekeh. "Gue yang nemuin Julian buat elo, jadi nggak salah kan kalau gue ikutan membangun karakternya?"

"Baiklah Mercy," Alita akhirnya setuju.

"Yang baju cokelat itu namanya Riley," kata Kiera. "Jangan membantah. Gue yang pertama kali lihat."

"Oke, Julian, Riley. Yang tiga itu namanya siapa?"

"Paijo, Suleman, dan Tarjo," kali ini Anjani memutuskan ikut menyumbang ide. "Gimana?"

Kiera dan Alita langsung tergelak keras.

"Kebanting banget, Jan. Dari yang bau-bau bule, nyungsep ke zaman prasejarah." Alita memukul lengan Anjani gemas. "Lagian, sayang banget kalau tampang kayak gitu dinamain Paijo, Suleman, dan Tarjo."

"Jadi, kenapa Julian yang ganteng dan tajir itu masih single?" Kiera melanjutkan setelah tawa mereka reda.

"Dia sulit percaya komitmen setelah trauma masa kecil. Ibunya berselingkuh dan ninggalin dia bersama ayahnya yang pemabuk. Hidupnya berat, itulah mengapa dia sukses di usia muda."

"Itu formula harlequin yang dipakai Lynne Graham, Abby Green, Sharon Kendrick, dan ratusan penulis roman lain," Kiera sekali lagi membantah. "Lagian, Julian nggak kelihatan seperti korban trauma masa kecil. Dari jarak segini, dia kelihatan easy going, nggak kaku kayak CEO-CEO harlequin yang punya masa lalu gelap."

Kali ini Anjani memiringkan tubuh sedikit supaya bisa mengintip Julian, Riley, Paijo, Suleman, dan Tarjo yang dijadikan topik obrolan iseng oleh teman-temannya.

Kiera dan Alita tidak salah. Kelima orang laki-laki itu memang tampan. Dan Anjani setuju dengan Alita jika Julian si kemeja biru terlihat lebih menarik dibandingkan yang lain. Riley si baju cokelat terlalu putih dan manis. Memang tipe Kiera yang memuja idol dari Korea. Paijo, Suleman, dan Tarjo (yang belum diputuskan mana di antara ketiganya yang menyandang nama itu) berkulit sawo matang seperti Julian.

"Mungkin saja Julian masih single karena dia tipe playboy yang fobia komitmen, kan?" Anjani kembali menghadapi cangkir kopinya. Dia tidak tertarik mengamati lebih lama. Tidak ada gunanya juga. Dia tidak sedang mencari pasangan, dan orang seperti Julian, Riley, dan teman-temannya jelas di luar jangkauan. "Dia lebih menikmati hubungan jangka pendek tanpa komitmen."

"Penikmat one night stand yang dompetnya diisi kondom buat jaga-jaga kalau sewaktu-waktu ketemu lawan main?" Kiera mengangguk-angguk. "Bisa jadi. Tapi Julian kayak gitu karena dia belum nemu perempuan yang cocok aja sih. Cinta dalam hidupnya. Perempuan yang bikin Julian nggak bisa tidur dan mau melepas bisnis dan semua yang dia punya untuk dapetin dia. Kalau balik ke formula harlequin lagi, perempuan itu adalah sopir taksi yang dia tumpangi saat Mercy-nya mendadak mogok."

"Lo pikir Mercy-nya itu sekelas angkot angkatan 70-an sampai bisa mogok sesuka hati?" Alita menggeleng tidak setuju.

"Atau pelayan yang nggak sengaja numpahin minuman ke kemeja mahalnya," sambung Anjani mengabaikan Alita yang sewot. "Bisa juga house keeping yang membersihkan apartemennya."

"Hei... hei... ini cerita gue!" protes Alita. "Gue yang berhak menentukan karakter dan konflik hidup Julian."

"Iya, tahu, Sayang. Gue sama Jani cuman bantu memantapkan idenya kok. Nggak usah sewot gitu dong." Kiera tampak menikmati tampang cemberut Alita.

Anjani meraih ponselnya yang berdering. Dia bicara dengan si penelepon sejenak sebelum menjejalkan ponsel ke dalam tasnya. Dia meneguk habis kopinya yang mulai dingin kemudian bergegas berdiri. "Gue harus balik ke rumah sakit. Perawat di ICU bilang kalau mama udah bisa dipindah ke ruang perawatan. Kasih kabar gue di grup kalau kalian udah mutusin kenapa Julian masih single di umur segitu padahal udah punya semuanya ya."

"Rayan nggak ada di rumah sakit?" tanya Kiera. Suasana ceria yang melingkupi meja mereka mendadak berubah tegang.

"Kayaknya dia nggak ada di sana. Kalau ada, pasti perawatnya nggak menghubungi gue." Anjani tidak ingin membahas soal adiknya itu dengan teman-temannya. "Mungkin lagi keluar cari makan."

"Kabar-kabarin kondisi nyokap lo ya, Jan." Alita mengusap lengan Anjani.

"Tentu aja. Gue duluan ya. Maaf banget nggak bisa nongkrong lama."

Saat melewati meja di dekat pintu masuk, Anjani melirik sejenak ke meja di dekat pintu masuk. Hanya ada empat orang yang ada di situ. Kursi Julian sudah kosong.

Astaga, apa pedulinya? Bisa-bisanya dia memikirkan rangkaian cerita tolol yang dibangun teman-temannya di saat-saat seperti ini.

.

.

.

.

Main tebak-tebakan yuk. Siapakah si "Julian" ini? Dia pernah jadi cameo di salah satu tulisanku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top