Enam Belas

"Kalau Mama nggak sakit, hidup kita pasti nggak akan sesulit ini. Kita nggak perlu menjual rumah dan pindah ke tempat ini."

Anjani menghentikan kegiatannya memasukkan pakaian ibunya ke dalam lemari. Mereka baru pindah kemarin setelah Om Ramdan menemukan rumah baru untuk mereka. Lokasi dan luas rumah ini berbeda dengan rumah lama yang sudah terjual. Penghasilan ayah Anjani dulu besar, sehingga dia juga membeli rumah yang besar.

"Rumah lama terlalu luas untuk kita, Ma." Anjani duduk di ujung ranjang ibunya. "Tempat ini cocok untuk kita. Begitu keluar dari kamar masing-masing, kita langsung ketemu di meja makan. "Pajak dan biaya perawatan rumah lama juga besar banget. Bukannya Mama yang selalu bilang kalau yang penting itu kebersamaan, bukan materi?"

"Iya, Mama juga tahu, tapi Mama tetap saja merasa bersalah sama kamu dan Rayan. Bukannya membantu, malah menyusahkan."

"Mama nggak capek ngulang-ngulang kalimat itu?" Anjani kembali menghampiri koper ibunya yang belum semua dibongkar. Mengatur barang-barang ternyata makan waktu karena Anjani sudah melakukan dari kemarin, padahal perabot besar yang diambil dari rumah lama sudah dipindahkan lebih dulu. Hanya sebagian kecil yang penting-penting saja, karena sisanya yang tidak mungkin ikut dibawa ke sini dijual bersama rumahnya. Dari semua benda yang ada di sana, mungkin hanya dapur dan kamar tidurnya yang akan Anjani rindukan. Dia banyak menghabiskan waktu di kedua tempat itu.

"Orang nggak berguna kayak Mama kan bisanya cuman mengeluh doang, Jan. Sakit gini bikin rasa insecureMama makin besar. Sulit untuk bisa percaya diri. Padahal dulu Mama selalu mengajar kamu supaya percaya dan menghargai diri sendiri. Rasanya menyakitkan saat Mama bahkan nggak yakin dengan semua kata-kata yang Mama ajarkan sama kamu dulu. Menasihati orang ternyata memang jauh lebih gampang daripada nerapin untuk diri sendiri saat menyentuh titik terendah dari hidup. Ini titik nadir Mama."

"Titik terendah Mama memberi aku kesempatan untuk merawat Mama, meskipun apa yang aku lakukan nggak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang sudah Mama kasih ke aku. Aku baru merawat Mama selama 2 tahun terakhir, sedangkan Mama mengandung, melahirkan, dan merawatku selama lebih dari 20 tahun."

"Itu tugas Mama, Jan. Hamil, melahirkan, dan membesarkan anak itu kewajiban semua ibu. Dan nggak ada ibu yang melakukannya karena berharap akan mendapatkan balasan dari anaknya."

"Dan aku sekarang sedang melakukan kewajibanku sebagai anak." Anjani kembali melepaskan pakaian di tangannya dan berbalik untuk memeluk ibunya. "Aku mungkin nggak terlalu sering mengucapkannya, tapi aku sayang banget sama Mama. Aku beneran nggak mau dengar Mama terus-terusan bilang kalau merawat Mama itu beban untukku, karena rasanya memang nggak seperti itu." Anjani memejamkan mata saat mengusap punggung ibunya. Aroma tubuh ibunya tidak seperti dulu lagi. Anjani ingat dulu ibunya selalu wangi. Penyakit bukan saja merusak kesehatan, tetapi juga penampilan ibunya. Dan itu membuat hati Anjani terasa perih.

"Tuhan pasti sayang banget sama Mama karena sudah kasih Mama anak seperti kamu."

Suasananya akan semakin sendu kalau mereka melanjutkan percakapan, jadi Anjani memilih untuk menghindar. Rasanya berat melihat ibunya meragukan diri seperti sekarang. "Mama tiduran dulu ya, aku mau lihat Rayan."

Anjani menutup pintu kamar ibunya pelan-pelan dan menuju ke kamar Rayan. Dia tidak perlu mengetuk pintu karena pintu adiknya itu setengah terbuka. Saat melongok, dia melihat Rayan sedang membenahi kabel-kabel yang berhamburan di lantai. Selain itu, semua sudah rapi.

"Sudah kamu beresin semua ya?" Anjani berbasa-basi sambil masuk ke kamar.

Rayan menoleh sebentar sebelum mengguman tidak jelas, lalu kembali pada kabel di tangannya. Sama seperti kemarin, wajahnya masih masam setiap kali melihat Anjani. Sepertinya dia masih merasa kalau dia adalah alasan mengapa rumah mereka dijual. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, wajah cemberut Rayan tidak lagi mengganggu Anjani. Dia sudah tahu perasaan adiknya itu.

Anjani duduk di kursi belajar Rayan. "Uang untuk ganti harga HP yang dibeli Michael sudah Mbak transfer ke rekening kamu." Om Ramdan berhasil mendapatkan harga yang sangat bagus untuk penjualan rumah. Sisanya setelah membeli rumah ini masih lumayan banyak. Anjani tidak perlu khawatir soal uang lagi. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. "Nanti bisa kamu kasih ke dia."

"Michael dan ibunya pasti nggak mau terima duitnya," Rayan menjawab tanpa menoleh.

"Tawarin aja sekali lagi. Kalau dia nggak mau ya nggak apa-apa. Asal mereka tahu aja kalau kita memang mau membayar."

"Kalau Michael nggak mau, uangnya aku balikin ke Mbak."

"Nggak usah. Simpan aja di rekening kamu. Tahun depan kamu sudah bisa bikin SIM, jadi udah bisa pakai motor. Kalau mereka beneran nggak mau uangnya kembali, nanti tinggal Mbak ditambahin aja untuk beli motor."

"Aku nggak perlu motor." Kali ini Rayan menatap Anjani, masih dengan raut masam.

"Tentu saja kamu nanti butuh motor. Kalau sudah tamat, kamu mungkin nggak bisa bareng-bareng Michael lagi kuliahnya."

"Aku bisa naik kereta atau busway."

"Uang beli motornya sudah Mbak siapin kok, meskipun Michael mau menerima uang HP yang dia beli." Anjani memberanikan diri menjulurkan tangan untuk mengacak rambut Rayan.

Adiknya itu melengos dan menjauhkan kepalanya. "Aku bukan anak kecil!" Tampang sebalnya jauh berkurang.

Anjani tersenyum melihat reaksi Rayan yang jauh lebih baik daripada dugaannya saat menerima sentuhan fisik itu. "Iya, kamu bukan anak kecil lagi, dan badan kamu lebih tinggi daripada Mbak. Tapi kamu tetap saja adik Mbak."

"Aku mau minum." Rayan berdiri dari posisi jongkoknya dan langsung keluar kamar.

Senyum Anjani semakin lebar. Hubungan mereka perlahan tapi pasti akan jauh lebih baik. Dia percaya itu.

**

Dhyast langsung mengecek gawainya setelah turun dari treadmill. Pesan yang dikirimnya kepada Anjani sejak dua jam lalu belum dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja belum. Perempuan itu sepertinya tidak terlalu terikat dengan gawainya. Kebanyakan pesan Dhyast butuh waktu untuk dibaca dan dijawab. Apa sih yang dikerjakannya di rumah sampai dia tidak memegang gawainya dalam waktu lama? Hampir semua pesan yang Dhyast kirim di akhir pekan mengalami pengabaian nahas seperti sekarang.

Semula Dyast pikir satu atau dua kali pertemuan dengan Anjani akan membunuh rasa penasarannya kepada perempuan itu. Ternyata harapan dan realita memang tidak seiring sejalan. Alih-alih kehilangan minat, dia malah semakin tertarik. Anjani lucu. Dhyast selalu tersenyum sendiri saat membaca balasan pesan-pesan Anjani.

Walaupun ngobrol di WA sudah menjadi rutinitas mereka akhir-akhir ini, Dhyast menyadari kalau obrolan mereka selalu dia yang memulai. Anjani tidak pernah mengiriminya pesan lebih dulu. Jangannya ajakan untuk bertemu, menanyakan kabar saja tidak.

Saat pertama kali menyadari hal itu, Dhyast tergoda mencari tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan Anjani untuk menghubunginya lebih dulu kalau dia tidak mengirim pesan. Dia lantas menahan jari supaya tidak mengirim pesan kepada Anjani. Dia bertahan selama tiga hari. Dhyast kemudian menyimpulkan kalau Anjani memang tidak akan menghubunginya lebih dulu, jadi dia kembali mengirim pesan. Menyebalkan saat menyadari dirinya tertarik kepada seseorang yang tidak memperlihatkan tanda-tanda memiliki perasaan serupa.

Dhyast mengambil botol air dan minum dalam tegukan besar-besar untuk menggantikan keringat yang mengucur deras selama berolah raga. Kebiasaan merokoknya jelas berlawanan dengan banyaknya waktu yang dia habiskan untuk berolah raga, tetapi keduanya sulit dilepaskan.

Dia bukan pecandu berat nikotin, tetapi tetap akan merasa puas setiap kali menyulut rokoknya sehabis makan, atau sebagai teman minum kopi.

Notifikasi yang masuk membuat Dhyast kembali meraih gawainya. Bukan jawaban pesan yang ditunggunya. Risyad mengirim pesan di grup, mengajak mereka semua berkumpul. Dhyast memutuskan tidak menjawab pesan di grup sebelum menerima balasan Anjani. Dia tadi menanyakan kepada perempuan itu apakah mereka bisa bertemu siang ini.

Apa sih yang dikerjakan Anjani di akhir pekan sampai dia tidak memegang gawainya selama berjam-jam? Tunggu dulu, kenapa dia jadi terdengar posesif seperti itu? Hubungannya dengan perempuan itu bahkan belum bergerak dari posisi teman sejak berkenalan beberapa bulan lalu. Dhyast menyugar sebal menyadari apa yang baru saja dia pikirkan. Bagi Anjani, dia mungkin tidak lebih daripada sekadar kenalan, belum sampai pada level teman. Terbukti dari respons perempuan itu saat membalas pesannya.

Selesai mandi dan berpakaian, Dhyast kembali mengecek gawainya. Centang dua di ujung pesan yang dikirimnya berjam-jam lalu tetap belum biru. Kekhawatiran yang aneh mendadak menyusup ke dalam hatinya. Kadang-kadang Anjani memang butuh waktu untuk merespons pesannya, tetapi ini sudah terlalu lama. Dia tidak mungkin masih tertidur menjelang tengah hari, meskipun itu di hari Minggu, kan?

Jari Dhyast bergerak di atas layar. Baiklah, daripada penasaran tidak menentu seperti sekarang, lebih baik dia menelepon. Hanya saja, menelepon berarti meningkatkan level pendekatannya, kan? Apakah ini benar-benar yang dia inginkan?

Dhyast menggeleng. Dia terlalu banyak berpikir. Selama dia tidak memberi harapan yang berlebihan, status teman tidak akan membahayakan siapa pun. Dia lantas menekan nomor Anjani.

Panggilan pertama berlalu tanpa hasil. Dhyast jarang menghubungi seseorang sampai dua kali. Biasanya dia menunggu dihubungi kembali. Namun, kasus Anjani hari ini di luar dari kebiasaannya, jadi dia membiarkan dirinya mengulangi panggilan. Hanya sekali lagi. Dia akan menyerah kalau panggilannya yang ini tetap tidak diangkat.

Gawai di seberang sana baru diangkat setelah panggilan kedua nyaris berakhir, "Halo...," suara Anjani terdengar.

Syukurlah dia baik-baik saja. Anjani memang hanya tidak memegang gawainya saja.

"Hai juga," balas Dhyast. "Sibuk ya? Pesan saya dari tadi nggak dibalas-balas." Mungkin dia sebaiknya menanyakan kabar untuk basa-basi. Apa yang diucapkannya barusan terdengar seolah dia tidak punya pekerjaan apa pun selain memelototi gawai menunggu jawaban. Namun, tidak mungkin menarik kembali apa yang sudah dia katakan.

Anjani tertawa kecil. "Iya nih, lagi sibuk banget. Dari subuh belum lihat ponsel. Ini dipegang karena pas dengar bunyi aja. Maaf belum baca pesannya. Ada yang penting?"

"Nggak penting-penting banget sih. Cuma mau ngingetin kalau kamu masih ngutang soto aja. Weekend gini pasti enak makan soto. Mi ayam langganan kamu juga nggak apa-apa kok." Dhyast nyaris berdecak mendengar ucapannya sendiri yang bernada putus asa.

"Duh, gimana ya?" Anjani terdengar bingung. "Hari ini saya sibuk banget. Beneran. Selain hari ini, saya bisa kapan saja. Mas aja yang tentuin waktunya."

"Memangnya hari ini kamu ada acara di luar?" Dhyast membiarkan rasa penasaran mengalahkannya.

"Saya di rumah aja sih, tapi sibuk beres-beres. Saya tunggu kabar dari Mas saja deh kapan punya waktu untuk makan soto. Hari ini sayan beneran nggak bisa."

Rencana A gagal, Dhyast memutuskan bergabung dengan teman-temannya. Risyad, Rakha, dan Yudis sudah ada di kafe tempat mereka biasa berkumpul ketika dia sampai.

"Bukannya lo ke Surabaya?" Dyast menepuk punggung Yudis sebelum duduk.

"Gue pulang kemaren." Yudis tidak terlihat bersemangat.

"Lo sih lebih sering menghilang dari grup," Raka menyalahkan Yudis. "Jadi keberadaan lo kadang-kadang nggak terdeteksi. Kami nggak bisa tahu persis lo lagi ada di luar kota, atau masih dalam pelukan istri lo."

"Kay ngamuk sama gue," keluh Yudis mengabaikan ejekan Rakha.

"Memangnya Kay bisa ngamuk?" tanya Risyad tidak percaya. "Dia kelihatan lempeng banget gitu."

"Kenapa dia bisa ngamuk?" Dhyast ikut bertanya sebelum Yudis menjawab pertanyaan Risyad. Selama menikah, baru kali ini temannya itu mengeluh soal keributan dengan istrinya. Dhyast malah berpikir mereka sudah berhasil melampaui tahap penyesuaian karena Yudis dan Kayana memang menikah bukan karena cinta. Ibu Yudis meminta anak tunggalnya itu untuk menikah dengan Kayana karena merasa berutang budi setelah Kayana mendonorkan hati untuknya. Dan beberapa bulan terakhir Yudis terlihat sangat bahagia. Aneh saja kalau istri sahabatnya itu tiba-tiba mengamuk. Seperti kata Risyad, sulit membayangkan Kayana yang kalem itu dalam mode marah.

"Kay dengar gue bicara waktu ibu nelepon. Gue keceplosan bilang kalau gue menikah dengan dia karena terpaksa. Gue juga bilang kalau untuk menikah dengan dia, gue harus putus dengan Dira yang gue cinta banget."

"Lo nggak pernah beneran cinta banget sama Dira," sambut Risyad bosan. "Cinta monyet iya, tapi kan itu nggak masuk hitungan. Lo dulu jalan bareng sama dia buat pelampiasan rasa penasaran lo aja."

"Memang nggak. Gue ngomong begitu ke ibu karena jengkel dia terus-terusan ngingetin supaya gue harus selalu baik sama Kay, seolah selama ini gue belum jadi suami yang baik. Kay seharusnya nggak dengar itu."

"Gue juga kalau jadi Kayana bakal ngamuk sih," kata Risyad lagi. "Nggak ada perempuan yang suka kalau tahu dia sebenarnya bukan pilihan utama suaminya. Kasih dia waktu untuk cooling down sebelum lo ajak dia bicara baik-baik."

"Gimana kalau dia nggak percaya? Sekarang dia sudah tahu kalau gue bohong saat bilang tertarik sama dia waktu ibu minta gue mendekati dia. Gue belum pernah lihat Kay ngamuk seperti kemarin. Gimana kalau dia minta cerai? Gue nggak bisa kehilangan dia." Yudis mengacak-ngacak rambutnya sendiri.

"Kay nggak mungkin ninggalin lo," Rakha memberikan semangat. "Itu hanya emosi sesaat. Risyad benar. Kasih waktu untuk cooling down. Habis itu dia pasti lupa kalau pernah marah. Perempuan itu hanya butuh nyaman, orgasme, dan duit. Nggak ada masalah yang nggak bisa diberesin asal lo bisa ngasih semua."

Yudis menggeleng-geleng. "Kay bukan perempuan matre. Dia punya penghasilan sendiri yang cukup."

"Kalau gitu, service lo di tempat tidur harus lebih maksimal. Kelemahan perempuan itu kalau nggak di duit ya di tempat tidur. Udah gue bilang, the power of orgasm, Man!" Rakha langsung mengangkat kedua tangan di samping tubuh saat melihat Yudis menatapnya dengan pandangan seolah hendak mencabik. "Hei, gue hanya kasih masukan untuk masalah lo. Coba dulu, belum tentu gagal, kan?"

Dhyast hanya bisa menatap sahabatnya itu prihatin. Satu lagi alasan untuk menghindarkan diri dari perempuan-perempuan yang disodorkan ibunya sebagai pendamping. Ini contoh buruk lain dari perjodohan yang rapuh itu, padahal sampai beberapa hari lalu, Yudis terlihat sebagai laki-laki paling bahagia di dunia.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top