Empat

Dhyast mengedarkan pandangannya ke sekeliling lobi, tetapi tidak berhasil menangkap sosok perempuan yang dilihatnya di kafe minggu lalu. Tidak, dia tidak mungkin salah lihat. Tadi mereka sempat beradu tatap. Halusinasi tidak mungkin senyata itu. Lagi pula, kenapa dia mendadak harus berhalusinasi tentang seseorang yang dia tidak kenal di siang bolong seperti sekarang? Tidak masuk akal!

Pak Darmono sempat membuat perhatian Dhyast teralihkan saat laki-laki itu menanyakan beberapa hal tentang pameran yang akan mereka ikuti. Dan begitu pandangan Dhyast jatuh ke sofa beberapa waktu berikutnya, tempat itu sudah kosong. Cepat sekali gerakannya. Siapa dia, wonder woman, cat woman, atau salah seorang dari anggota The Avenger?

Saat tatapan mereka bertaut tadi, ada sorot pengenalan yang Dhyast tangkap dari perempuan itu. Itu bukan tatapan kagum seperti yang biasa diterimanya. Itu jenis tatapan : Kita pernah bertemu. Aku kenal kamu.

Masalahnya kembali ke pertanyaan semula. Di mana mereka pernah bertemu selain di kafe minggu lalu? Di kafe itu, Dhyast tidak pernah menangkap perempuan itu berbalik untuk menatapnya seperti kedua temannya. Perempuan itu konsisten duduk menyamping. Dhyast melihat keseluruhan wajahnya dan mengenalinya saat dia pertama kali masuk begitu mendorong pintu kafe.

Merasa penasaran itu menyebalkan. Dhyast benar-benar ingin tahu, tetapi tidak mungkin pergi ke ruang kontrol untuk melihat CCTV, kan? Dia tidak pernah berpikir menjadi seorang penguntit, dan tidak akan memulainya sekarang.

Tunggu dulu...! Apakah anggapannya semula bahwa perempuan itu tidak bekerja di gedung ini salah? Penampilannya tadi jauh lebih baik daripada minggu lalu, meskipun ya... begitulah.

Mungkin memang tidak semua perempuan tidak terobsesi dengan tren fashion dan merasa nyaman dengan pakaian yang sudah berumur. Seperti perempuan tadi, misalnya.

Namun, kalau perempuan itu bekerja di gedung ini, mengapa dia duduk tenang di lobi sambil bermain ponsel di jam kerja? Produktivitas tidak menjadi motonya dalam bekerja? Kalau iya, kinerja HRD harus dipertanyakan. Training bagi karyawan baru, dan penyegaran untuk yang lama harus lebih dipikirkan lagi.

Astaga, kenapa pikirannya jadi melantur ke mana-mana?

Notifikasi yang masuk di ponselnya membuat Dhyast merogoh saku. Dia mengernyit membaca pesan yang masuk. Kapan ibunya akan mengerti kalau dia sudah dewasa dan tidak perlu difasilitasi untuk hal sepribadi mencari pasangan? Kalau melihat isi pesan ini, ibunya jelas tidak akan pernah mengerti.

Dicomblangi orangtua mungkin berhasil kepada Yudistira, sahabatnya, dan Dhyast yang awalnya pesimis pernikahan itu bisa berjalan akhirnya ikut senang melihatnya bahagia. Namun, Dhyast yakin formula sama yang kini sedang dipaksakan ibunya tidak akan cocok untuknya.

Dhyast menggeleng-geleng saat ponselnya berdering. Tertebak sekali. Khas ibunya yang akan segera menelepon kalau pesannya tidak segera dibalas.

"Iya, Bu...?" Dhyast mengangkatnya karena tahu sekarang atau nanti sama saja. Ibunya baru akan berhenti setelah berhasil bicara dengannya.

"Ibu nggak ganggu kan, Yas?"

Tentu saja itu pertanyaan basa-basi. Dhyast sudah hafal itu. Dia menahan bola matanya supaya tidak bergerak. "Menurut Ibu? Ini jam kerja lho." Walaupun dia sekarang sedang berdiri di tengah lobi seperti orang kebingungan setelah Pak Darmono dan stafnya pergi.

"Ibu cuman mau ngingetin kalau kita diundang makan malam di Amuz sama keluarga Kusuma. Kamu jangan sampai nggak datang ya. Ibu udah bilang soal ini sejak dua minggu lalu. Jangan bilang kamu lupa. Cocokin jadwal keluarga kita itu sulit banget."

Jadi sekarang sasaran ibunya adalah si sulung dari keluarga Kusuma itu? Tentu saja Dhyast mengenalnya. Sekadar kenal. Lingkaran pergaulan mereka di Jakarta tidak terlalu besar, jadi ya... begitulah. Dan Giska, Grieta, atau Greda? Dhyast tidak terlalu ingat. Yang jelas anak perempuan keluarga Kusuma itu terkenal karena aktif di sosial media. Memamerkan kehidupannya yang menggiurkan bagi orang-orang yang tidak mampu melakoninya. Liburan keliling dunia, tren fashion terbaru, dan entah apa lagi.

Dhyast tidak mengikuti sosial media perempuan itu. Seperti dia kurang kerjaan saja. Rakha yang berteman dengannya di Instagram dan dunia nyata. Dan dari Rakha, Dhyast sudah tahu kalau perempuan itu memang bisa jadi teman bersenang-senang yang menyenangkan, tetapi jelas bukan seseorang yang akan diberi ucapan "selamanya" kalau mau tetap waras selama sisa hidup.

Namun, Dhyast tahu kalau ibunya tidak akan percaya kata-katanya karena perempuan yang melahirkannya itu lebih percaya penilaiannya sendiri. Penilaian yang sering kali meleset. Menurut Dhyast, satu-satunya penilaian ibunya yang tepat adalah saat memilih ayahnya sebagai pendamping hidup.

Dhyast menyayangi ibunya, tetapi selalu merasa mereka berbeda pandangan. Tidak terlalu jelas memang, karena sering kali dia menahan diri supaya tidak perlu membantah dan terlibat perdebatan tidak penting. Bodoh sekali menghabiskan waktu untuk berselisih paham soal remeh.

"Nanti malam ya?" Dhyast berusaha mencari alasan untuk menghindar. "Kayaknya aku nggak bisa, Bu. Sama Shiva-Shera aja," dia menyebut nama adik kembarnya.

"Kenapa nggak bisa? Mama sudah ngecek jadwal kamu di Theo. Katanya nanti malam kamu bebas."

Seharusnya Dhyast sudah menduga manuver ibunya. Dia hanya benar-benar lupa soal makan malam keluarga ini. Kalau ingat, dia sudah memberi tahu Theo, asistennya untuk memberi jawaban yang membuat dia terkesan sibuk.

"Bukan urusan kantor, Bu."

"Kalau cuman nongkrong sama teman-teman kamu, bisa nanti saja, kan? Atau kalau memang harus malam ini, tunggu sampai makan malamnya selesai dulu. Kita nggak mungkin duduk sampai 3 jam di restoran. Pokoknya datang. Ibu nggak mau tahu!" Dan telepon ditutup begitu saja.

Dhyast mengembuskan napas panjang sambil menatap layar ponselnya. Baiklah. Hanya makan malam. Semua orang perlu makan, kan? Dia memang tidak suka dijodoh-jodohkan seperti ini, tetapi tidak perlu membuat ibunya malu dan harus membuat alasan untuk kealpaannya. Dia toh bukan remaja tanggung lagi.

Setelah melihat sekeliling lobi sekali lagi dan tidak menemukan apa yang dicarinya, Dhyast kemudian berjalan menuju lift. Lebih baik ke kantornya. Bukankah dia yang mengomel soal produktivitas tadi? Untuk apa menghabiskan waktu memikirkan seseorang yang bahkan tidak dia kenal? Kalau dia tidak berhasil mengingat di mana dia pernah bertemu perempuan itu sebelum minggu lalu, berarti dia memang tidak sepenting itu untuk diingat, kan? Kemampuan otak itu memakai skala prioritas. Dan itu artinya jelas. Memorinya tidak menganggap perempuan itu layak disimpan di sana. Itu benar. Sebentar lagi dia pasti sudah lupa. Pasti.

Menjelang jam pulang, telepon Rakha yang mengajak Dhyast nongkrong bareng Risyad masuk. Dhyast kemudian menceritakan soal makan malam bersama keluarga Kusuma.

"Selera nyokap lo belum berubah ya?" Tawa Rakha langsung meledak. "Masih yang barbie-barbie gitu. Tapi gue bisa bayangin sih kalau nyokap lo bakalan cocok banget sama Gracie."

"Gue pikir namanya Grieta."

"Dia bukan tipe lo sih, jadi gue nggak heran kalau lo nggak ingat namanya. Tapi siap-siap aja dikejar dia kalau nyokap lo beneran ngasih lampu hijau. Gracie itu gigih. Jangan bilang gue nggak ngingetin ya. Gue nggak akan heran kalau dia ngasih lo kondom yang udah sengaja dia bolongin supaya lo bisa ayah yang manis untuk anak-anak dia."

Dhyast berdecak sebal. "Gue bukan lo yang main kondom sembarangan."

"Enakan nggak pakai kondom ya, Bro? Kalau itu sih gue juga tahu. Tapi gue pilih play safe sebelum nemu yang beneran cocok sih. Lo kan tahu kalau pilihan gue nggak terbatas. Sulit cari perempuan yang nggak tertarik sama gue. Seleksi butuh waktu yang panjang banget. Sampai waktu pemenang kontes ditentukan, gue butuh kondom kualitas bagus."

Dhyast hanya bisa menggeleng-geleng. Bicara dengan Rakha memang harus bersiap mendengar kesombongannya. "Banyak yang nggak tertarik sama lo."

"Perempuan normal? Sebutin satu orang selain istri si Yudis!" tantang Rakha. "Si Yudis sendiri bahkan nggak yakin istrinya itu suka sama dia. Gue nggak tahu harus kasihan atau malah nertawain dan bego-begoin dia."

Dhyast malas mengikuti permainan Rakha, tetapi mendadak teringat. "Perempuan yang di kafe minggu lalu nggak tertarik."

"Mereka bukan nggak tertarik. Itu trik jual mahal. Kalau soal perempuan, gue pakarnya. Risyad bisa saja punya cewek yang lebih banyak daripada gue, tapi soal psikologi dan anatomi tubuh perempuan, gue jagonya. Anak Hugh Hefner harus belajar sama gue setelah ayahnya meninggal kalau nggak mau usaha keluarganya bangkrut."

"Yeah, whatever!"

"Jadi lo nggak bisa ikutan nongkrong ntar malam?" Rakha kembali ke ajakannya semula.

"Gue gabung setelah acara makan malamnya selesai deh," putus Dhyast. Dia pasti butuh hiburan setelah basa-basi di acara makan malam yang diatur ibunya.

"Kalau Gracie nggak berhasil bikin lo ngajak dia ke apartemen lo. Dia pro kalau urusan laki-laki. Ingat, play safekalau lo memang beneran nggak mau punya istri barbie."

"Kadang-kadang gue pikir kalau gue nggak waras karena temenan sama lo." Dhyast buru-buru menutup teleponnya. Rakha tidak akan pernah selesai kalau diladeni.

Istri barbie? Dhyas bergidik. Kata istri saja sudah terdengar menggelikan. Apalagi ditambah kata barbie. Terima kasih, tapi tidak. Menikah tidak ada dalam rencana jangka pendeknya.

Ngomong-ngomong, di mana rokoknya? Mulutnya terasa asam. Risyad dan Tanto benar soal merokok merusak kesehatan. Dhyast tahu dia akan berhenti memasukkan nikotin dalam tubuhnya. Nanti, bukan sekarang.

Sekarang dia perlu merokok di tempat terbuka sambil memikirkan cara menghadapi ibunya yang pasti akan meyanjung-nyanjung putri keluarga Kusuma itu. Ini akan jadi malam panjang yang menyebalkan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top