Dua Puluh Empat
"Lihat lo berseri-seri kayak gini, gue mulai percaya kalau cerita konyol seperti Cinderella itu bisa kejadian juga dalam dunia nyata." Kiera menyikut Anjani yang sedang menyeruput minumannya.
"Lo aja yang terlalu skeptis," sambut Alita. "Kisah Cinderella sebenernya banyak terjadi di sekitar kita. Bedanya hanya pada status pangerannya aja. Pangeran zaman sekarang kerajaannya dalam bentuk bisnis, bukan wilayah lagi. Hartanya dari hasil kerja keras, bukan ngumpulin upeti."
Kiera menopang dagu dengan telapak tangan sambil mengawasi Alita yang bersemangat mendebat. "Jujur, Cinderella nggak pernah dapat simpati gue. Dia malah bikin gue sebel banget karena menempatkan perempuan di posisi yang teraniaya sehingga butuh seorang pangeran untuk mengangkat derajatnya. Cerita kayak gitu nggak relevan lagi sekarang. Kita perempuan mandiri yang bebas merdeka. Kita nggak perlu laki-laki untuk membuat diri kita diakui orang lain."
"Gue bukan Cinderella," Anjani menengahi teman-temannya. "Gue nggak punya ibu dan saudara tiri jahat yang nyusahin hidup gue. Nyokap dan adik gue baik banget."
"Nggak usah sok naif gitu deh." Kiera mengibas. "Kita lagi ngomongin status sosial yang dinilai dari perbandingan jumlah nominal dalam rekening. Kalau dulu status sosial dinilai dari seberapa biru darah lo, sekarang kan nilainya bergeser ke seberapa kaya elo. Turunan ningrat kalau kere jelas kalah sama yang nggak bangsawan tapi ngebutnya pakai kuda pake Ferarri."
"Minggu lalu gue ketemu ibunya Dhyast waktu dia tiba-tiba datang ke apartemen Dhyast pas gue di sana," Anjani memutuskan menceritakan hal itu kepada teman-temannya. "Dia nggak bilang kalau dia nggak suka gue sih, tapi gue bisa lihat kok kalau dia nggak setuju Dhyast sama gue." Dia mengedik sambil mendesah. "Gue nggak terlalu kaget sih karena sudah mempersiapkan diri. Seenggaknya, dia nggak blakblakkan bilang nggak suka gue di depan Dhyast."
"Itu karena dia belum kenal elo saja sih," Alita menenangkan Anjani. "Kesan pertama saat kita bertemu seseorang nggak selalu tepat. Bisa jadi itu hanya dugaan elo aja karena telanjur insecure."
"Tapi bisa jadi feeling lo memang tepat," sela Kiera. "Gue akan kedengaran jahat karena bilang ini, tapi ibunya Dhyast mungkin tipe sosialita yang mabuk status kayak yang kita omongin tadi."
"Lo kalau menganut prinsip hidup Kenapa Harus Optimis Kalau Bisa Pesimis, jangan ngajak-ngajak dong," sembur Alita. "Jani butuh motivasi, bukannya malah dibikin makin down."
"Hei, gue realistis, bukan pesimis," bantah Kiera. "Lagian, Jani sebenarnya sudah tahu kok tantangannya pacaran dengan Dhyastama."
"Iya, gue tahu kok risikonya," Anjani mengamini. "Tapi hanya membayangkan menghadapi keluarga Dhyast dan beneran bertemu langsung ternyata jauh berbeda."
"Hidup jadi menarik karena risiko dan tantangannya sih," Alita masih kukuh menyemangati Anjani. "Kelak akan jadi kenangan manis saat bernostalgia."
"Hidup gue isinya risiko dan tantangan semua." Kiera menyeringai lebar. "Kenangan manis gue kalau sudah tua bakalan lebih panjang daripada sungai Nil." Dia menepuk lengan Anjani. "Lo harus bersyukur hanya galau karena ada kemungkinan hubungan lo sama Dhyastama bakal disabotase ibunya. Seperti kata Alita yang optimis, itu masih kemungkinan yang bisa saja salah. Kalau dibandingkan dengan gue, masih ngenes hidup guelah! Pertama kerja dianggap anak bawang banget, selalu dikasih kerjaan ecek-ecek sama bos gue. Sekalinya dipercaya buat meliput kasus besar, gue tinggal di trotoar depan rumah orang yang gue liput. Bedanya dengan gelandangan hanya di seragam dan tanda pengenal gue aja. Udah nggak kehitung berapa kali gue ngacir karena dikejar-kejar anjing peliharaan yang sengaja dilepas ART orang yang gue tungguin. Itu baru satu contoh kasus aja."
Mau tidak mau, Anjani dan Alita tertawa saat melihat mimik Kiera yang ekspresif ketika bercerita.
"Hidup gue keras sejak kecil," lanjut Kiera. "Lo tahu itu karena gue dulu sering banget numpang makan di rumah elo berdua setelah nyokap gue di-PHK. Mungkin itu yang bikin gue sebel sama Cinderella karena dia nggak bisa jadi patron gue dalam menyelesaikan masalah. Masalah si Cinder malah diselesaikan oleh laki-laki yang terobsesi kepada perempuan yang salah ngasih ukuran kaki kepada Ibu Peri. Sepatu kok bisa lepas dari kaki sih!"
Alita tergelak. "Semua cerita butuh drama. Dan Cinderella kebagian drama sepatu ketinggalan oleh penulisnya."
"Meskipun gue nggak sepaham dengan Cinderella, gue tetap respek kok sama dia. Paling nggak, dia berhasil menyingkirkan ibu dan saudara tiri yang menindasnya dengan bantuan laki-laki yang mencintainya. Dia memperbaiki kondisi ekonomi dengan cinta. Nggak pakai sistem dagang kayak sugar baby yang nukar tubuh dengan duit."
"Bahasannya random banget." Anjani menggeleng-geleng. "Sugar baby sampai dibawa-bawa."
"Jangan salah, Sayang, sugar baby sekarang sudah jadi pekerjaan lho, bukan hanya status aja. Cara paling gampang buat dapetin duit. Modalnya merawat diri dan sok pasrah aja."
"Bagian pekerjaan itu masih kurang jelas deh," sambung Alita terkikik. "Si sugar baby ngerjain sugar daddy-nya atau sebaliknya, dia yang dikerjain habis-habisan sama si sugar daddy?"
Anjani mengalihkan perhatian pada gawainya yang berdering. Dhyast. "Halo?" Tiga hari lalu laki-laki itu berangkat ke Singapura untuk mengikuti seminar dan pameran telekomunikasi. Tadi pagi Dhyast sudah menelepon, dan mengatakan dia masih di sana. Karena itulah Anjani langsung mengiyakan saat Alita mengajak bertemu di warung mi ayam tempat mereka biasa nongkrong siang ini.
"Aku di rumah kamu," jawab Dhyast, "tapi kata Rayan kamu lagi keluar."
"Sudah balik ke Jakarta?" Anjani lantas meringis menyadari pertanyaannya yang bodoh. "Aku pikir Mas Dhyast masih tinggal di Singapur karena tadi nggak bilang mau balik hari ini."
"Memang sengaja nggak bilang-bilang sih. Mau lihat reaksi kamu pas tiba-tiba disamperin di rumah." Dhyast tertawa kecil. "Rayan kayaknya senang banget lihat aku melongo saat dia bilang kamu lagi keluar."
"Tadi Alita dan Kiera ngajak makan mi ayam." Anjani melihat kedua temannya yang sudah berhenti berdebat dan fokus menatapnya.
"Aku susul ke situ deh. Tempatnya di mana?"
Anjani terus mengawasi kedua sahabatnya. Ya, mengapa tidak membiarkan mereka bertemu? Toh Dhyast juga sudah pernah mengenalkan dirinya kepada teman-teman laki-laki itu? "Boleh." Anjani menyebutkan alamat warung mi ayam langganannya.
"Dhyastama mau nyusul ke sini?" tanya Kiera begitu Anjani menutup telepon.
"Akhirnya kesampaian juga niat gue pengin lihat dia makan mi ayam pakai mangkuk yang ada logo ayam jagonya," sambung Alita tertawa.
Anjani hanya bisa tersenyum. Semoga Dhyast bisa cocok dengan teman-temannya. Punya pacar yang bertolak belakang dengan sahabat pasti merepotkan karena akan sulit menempatkan diri di antara mereka di saat bersamaan.
"Beneran Julian kita," gumam Kiera saat melihat Dhyast muncul di warung tempat mereka nongkrong setengah jam kemudian.
Anjani hanya bisa memutar bola mata mendengar komentar itu. Dia kemudian memperkenalkan Dhyast kepada teman-temannya.
Reaksi Dhyast menghadapi Kiera dan Alita membuat Anjani lega. Laki-laki itu memang tidak bersikap sok akrab berlebihan, tetapi Anjani bisa merasakan kalau respons kedua temannya positif. Terlihat jelas dari sikap mereka yang santai.
Alita dan Kiera yang tahu diri pamit pulang lebih dulu setelah berbasa-basi dengan Dhyast.
Anjani dan Dhyast menyusul beberapa menit kemudian.
"Besok siang ibu Risyad bikin acara syukuran untuk yayasan barunya," kata Dhyast ketika mereka sudah berada dalam mobil yang dikemudikannya. "Kita ke sana sama-sama ya. Bisa, kan?"
Anjani spontan menatap Dhyast. Dia sudah kenal Risyad dan kesannya tentang sahabat Dhyast yang itu sangat bagus. Namun, di acara seperti yang baru disebutkan Dhyast pastilah banyak orang yang hadir di sana. Ibu Dhyast bisa jadi juga ada di sana. Entah mengapa Anjani merasa belum siap menghadapi perempuan itu lagi. Hanya saja, tidak mungkin mengatakan hal itu kepada Dhyast.
"Ada dress code-nya?" Ingatan Anjani langsung melayang di lemari pakaiannya. Dia sudah jarang belanja pakaian setelah ayahnya meninggal, dan ibunya jatuh sakit. Pengeluaran benar-benar berdasarkan skala prioritas. Dan skala prioritas di keluarga mereka sekarang adalah ibunya, juga pendidikan Rayan. Belanja untuk keperluan penampilan tidak masuk hitungan lagi.
"Nggak ada sih. Ibu Risyad bukan tipe yang ribet soal remeh kayak dress code gitu." Dhyast tertawa kecil. "Dia bukan ratu drama seperti ibuku. Ya, semua orang punya kelebihan dan kekurangannya sendiri."
Anjani menggigit bibir bawahnya supaya tidak meringis saat mendengar Dhyast menyebut ibunya sebagai seorang ratu drama.
"Jadi, besok aku jemput jam sebelas ya," lanjut Dhyast.
"Oke." Anjani buru-buru mengetik pesan untuk dikirim ke grupnya yang beranggotakan. Kiera dan Alita.
Temanin gue nyari gaun ntar sore ya. Dhyast ngajak ke acara temannya besok.
Alita menjawab cepat. Kenapa nggak nyari sama Dhyast aja sekarang?
Jani gengsi dong. Kalau belanja sama-sama, pasti dibayarin Dhyast. Kiera ikut nimbrung. Upik Abu yang ini harga dirinya ketinggian.
"Kita mampir cari baju buat besok ya," ucapan Dhyast membuat Anjani mengangkat kepala dari ponsel.
"Apa?" Mustahil Dhyast bisa membaca pesannya karena laki-laki itu berkonsentrasi mengemudi.
"Bukan baju couple kok," kata Dhyast cepat. Dia melihat tatapan ragu Anjani saat menanyakan dress code. Dia tidak ingin Anjani tersinggung kalau dia menawarkan baju baru. Kalau pakai alasan dia juga butuh baju baru, Anjani pasti mau diajak ke toko. "Kita cari yang tone-nya mirip aja, biar matching."
Butuh waktu beberapa detik sebelum Anjani menjawab, "Oke."
Shopping-nya batal. Anjani mengirim pesan itu ke grup, lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Godaan Kiera dan Alita akan dibacanya setelah pulang saja.
**
Rangkaian bunga berisi ucapan selamat berjajar di depan ballroom hotel tempat syukuran yang didatangi Anjani bersama Dhyast,. Melihat ukuran rangkaian bunga dan sejumlah nama selebriti sebagai pengirim, Anjani langsung tahu kalau keluarga Risyad berasal dari level yang sama dengan Dhyast. Meskipun berusaha ditekan, rasa tidak nyaman perlahan menguar melingkupi Anjani. Ruangan yang bersuhu dingin itu tetap membuat punggungnya terasa hangat. Gawat kalau keringatnya benar-benar keluar dan kelihatan orang lain.
Dhyast mengatakan kalau acaranya tidak formal, tetapi dalam pandangan Anjani, semua orang yang ada di dalam ruangan itu mengenakan pakaian terbaik mereka. Anjani spontan menunduk untuk mengamati gaun yang kemarin dipilihnya saat Dhyast memintanya mencari pakaian yang senada dengan kemeja yang ditunjuk laki-laki itu.
Harga gaunnya mencengangkan. Anjani tidak pernah membeli pakaian semahal itu, bahkan ketika ayahnya masih hidup dan aktif mengirimi uang.
"Aku yang mau pakaian kita warnanya senada, jadi aku yang bayar dong." Dhyast meraih gaun yang sudah dicoba Anjani dalam kamar pas dan menyerahkannya kepada pelayan.
Kali ini Anjani tidak mendebat, meskipun perasaan sungkan menguasai hatinya. Dia tidak terbiasa menerima hadiah semahal itu. Saat masih bersama pacarnya yang dulu, Anjani malah lebih sering membayar pengeluaran mereka saat jalan bersama. Alasannya sederhana, karena pacar Anjani yang baru mulai bekerja lebih sering bokek.
Rasanya masih menyebalkan saat mengingat laki-laki sialan itu berselingkuh dengan manajernya ketika Anjani masih syok karena kematian ayahnya, dan munculnya Rayan secara mendadak.
"Aku butuh orang yang tepat untuk membantu menaikkan karierku, Jan. Dan orang itu bukan kamu," kata laki-laki berengsek itu. "Maaf karena sudah menyakiti kamu."
Genggaman Dhyast seketika mengembalikan fokus Anjani.
"Kamu kelihatannya tegang banget sih?"
Bagaimana tidak tegang, ini adalah saat pertama Anjani datang ke acara khusus bersama Dhyast. Biasanya mereka hanya ke restoran berdua. Paling banter juga bertemu teman-teman Dhyast. Berada di tempat ini seperti penegasan kepada orang lain di luar keluarga, sahabatnya, dan teman-teman Dhyast kalau mereka adalah pasangan.
"Aku juga sebenarnya nggak mau tegang sih, Mas." Anjani hanya bisa meringis.
"Ya kalau gitu nggak usah tegang dong."
Seandainya saja mengatur suasana hati segampang itu, Anjani tidak akan memilih merasa seperti ini. Dia juga lebih suka terlihat percaya diri berdiri di samping Dhyast. Mau tidak mau Anjani merasa sedih saat menyadari ternyata keterpurukkan ekonomi berdampak pada kepercayaan dirinya, terlebih lagi karena punya pasangan seperti Dhyast. Ini terasa seperti berada di titik nadir level percaya dirinya. Dan itu bukan perasaan yang membanggakan.
"Makasih sudah datang ya!" Risyad menyambut mereka. "Kalian bisa duduk di sana bersama Tanto dan Rakha setelah setor muka sama nyokap gue supaya dia tahu kalau gue beneran mengundang calon-calon donatur untuk yayasannya."
Sambutan Risyad itu sedikit melegakan Anjani. Setelah bersalaman dengan orangtua Risyad, dia mengikuti langkah Dhyast yang menuju ke meja yang tadi ditunjuk Risyad. Di sana ada Tanto yang sudah Anjani kenal. Laki-laki yang satu pastilah Rakha. Dia adalah Riley versi Kiera. Dilihat dari dekat seperti ini, tampang blasterannya terlihat jelas. Bola matanya berwarna abu-abu.
"Akhirnya gue bisa ketemu juga sama perempuan yang bisa bikin Dhyast berhenti jadi petapa dan hidup selibat," kata Rakha saat mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Anjani. Senyumnya tampak lebar.
"Jangan dengarkan dia." Dhyast menarik kursi untuk Anjani. "Otaknya sedikit geser. Aku juga nggak tahu kenapa bisa temenan sama dia."
"Otaknya geser banyak," sambung Tanto. "Kalau dia bikin kamu nggak nyaman, di sini banyak air untuk nyiram wajah dia. Nanti aku bantu kumpulin botol airnya."
Rakha tertawa. "Gue nggak pernah bikin perempuan nggak nyaman. Gue sudah khatam semua posisi yang bikin perempuan nyaman. Jam terbang nggak bohong."
Candaan berbau seksual seperti itu tidak asing untuk Anjani. Teman-temannya di kantor yang sudah menikah menyukai lelucon yang menjurus seperti itu untuk saling menggoda. Dia hanya terkejut karena mendengarnya dari teman Dhyast, karena Dhyast tidak pernah bercanda menggunakan topik itu. Risyad dan Tanto juga tidak blakblakan dengan topik vulgar saat mereka bertemu untuk pertama kali.
"Lo beneran yakin itu kalimat yang cocok diucapkan saat pertemuan pertama dengan pacar teman lo?" Tanto menggeleng-geleng. "Gue yakin Anjani nggak kepengin tahu kehidupan seksual elo. Yang ada dia malah langsung menyimpulkan lo sebagai penjahat kelamin."
Anjani hanya meringis mendengar perdebatan itu. Kekhawatirannya tidak bisa membaur ternyata berlebihan. Teman-teman Dhyast berhasil membuatnya semakin rileks.
"Eh, itu nyokap lo baru datang, Yas!" seruan Tanto membuat sikap santai Anjani raib seketika.
Punggungnya langsung tegak. Matanya spontan mengikuti arah pandangan Tanto. Anjani melihat ibu Dhyast berjalan beriringan dengan dua orang perempuan lain yang sama anggunnya.
"Gue pikir dia nggak datang karena katanya ada acara di Bogor." Dhyast tentu saja tidak ingin mengambil risiko mempertemukan ibunya dan Anjani di acara seperti ini, karena tidak mau Anjani merasa sedih kalau ibunya tidak bersikap ramah. Beberapa hari lalu saat melihat undangan itu di rumah orangtuanya, Dhyast menanyakan apakah ibunya akan hadir. Waktu itu ibunya bilang tidak bisa datang, dan hanya akan mengirimkan karangan bunga. Karena itulah Dhyast mengajak Anjani datang bersamanya.
"Kok barengan dengan Gracie dan ibunya?" tanya Rakha.
"Mungkin ketemu di depan," jawab Tanto.
Anjani kembali mengawasi ibu Dhyast. Jadi perempuan cantik di sampingnya itu bernama Gracie? Kenapa Rakha dan Tanto harus menanggapi kehadiran perempuan itu dengan nada seperti itu? Aneh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top