Delapan Belas
Anjani mengawasi miniatur tornado yang terbentuk di dalam gelas jus jeruk yang terus diaduknya secara konsisten. Perasaannya sekarang serupa dengan cairan oranye yang terombang-ambing putaran sendok. Keresahannya membuncah. Dia terus bergerak mencari posisi nyaman, walaupun dia tahu kalau sebenarnya kursi tempatnya duduk hanya menjadi kambing hitam karena benda itu bukan penyebab utama dia merasa gelisah.
Rencananya menjaga jarak dengan Dhyastama demi keselamatan hatinya terancam berantakan. Atau malah sudah berantakan. Dalam dua minggu terakhir, sudah 3 kali Dhyastama mendadak muncul di gedung kantornya di waktu makan siang tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Tentu saja laki-laki itu tidak datang untuk menagih utang soto, karena dia berkeras membayar makan siang mereka. Bukan sosok Dhyastama yang membuat Anjani khawatir dengan pertemuan yang mulai menjurus pada rutinitas itu. Anjani lebih takut pada harapannya yang bisa saja merimbun kalau disiram dengan perhatian. Sekadar berbalas pesan, walaupun sering, sama sekali bukan masalah. Pesan dan bertemu muka jelas berbeda kualitasnya. Intensitas harapan yang dibentuk saat berbagi sorot juga tidak sama.
"Kayaknya aku kebanyakan minum saat meeting tadi." Dhyast yang baru kembali dari toilet duduk di depan Anjani. "Kamu sudah pesan, kan?"
"Sudah," jawab Anjani pendek. Dia terus melihat gelasnya. Dhyast memberitahu makanan yang ingin dimakannya sebelum ke buru-buru ke toilet tadi.
"Ada masalah?" Dhyast meneleng menatap Anjani. Perempuan itu terlihat sedikit tegang. Senyumnya terkesan dipaksakan.
"Apa?" Anjani mengangkat kepala. Gerakan tangannya yang mengaduk terhenti. Formasi puting beliung di dalam gelas perlahan ambyar.
"Nggak biasanya muka kamu kelihatan serius banget kayak gini. Kerjaan di kantor numpuk?"
Masalah hati jauh lebih rumit daripada urusan kantor. Anjani menggeleng. "Bukan."
"Terus masalahnya apa dong?" kejar Dhyast. Sepanjang pengamatannya selama berbalas pesan dan bertemu dengan Anjani, perempuan itu bukan tipe yang suka mengeluh, tetapi mungkin saja kali ini dia lebih terbuka. Kalau Anjani benar-benar bersedia berbagi dengannya, Dhyast merasa itu kemajuan besar dalam hubungan mereka yang masih berjalan satu arah ini.
Anjani menimbang-nimbang. Berterus terang mungkin akan membuatnya terkesan percaya diri dan ge-er, tetapi membiarkan Dhyastama datang menemuinya sesuka hati tidak mendukung tekadnya untuk menghindar supaya tidak tertarik kepada laki-laki itu. Anjani harus membuat batas yang jelas demi keselamatan hatinya sebelum terlambat.
"Jujur, pertemuan makan siang seperti ini rasanya mulai mengganggu." Ya, lebih baik dikeluarkan. Menjaga hati sendiri jauh lebih penting daripada memikirkan kenyamanan orang lain. "Mas mungkin nggak masalah terus membayar untuk apa yang saya makan karena bagi Mas harganya nggak seberapa, tapi saya merasa nggak enak terus-terusan dibayarin. Kesannya saya memanfaatkan Mas."
"Ini hanya makan siang, dan kamu benar, harganya memang nggak seberapa," sambut Dhyast cepat. Dia tidak menyangka Anjani terlihat serius hanya karena masalah sepele seperti itu. "Jadi seharusnya nggak usah dibahas. Kamu nggak memanfaatkan saya. Bukan kamu yang mengajak, tapi saya yang datang ke kantor kamu."
"Rasanya tetap nggak nyaman."
"Kamu mau kita gantian bayar?" tanya Dhyast. Dia melanjutkan sebelum Anjani sempat menjawab, "Tapi hitung-hitungan soal siapa yang membayar makanan itu sebenarnya konyol. Saya yang mengajak, jadi sudah seharusnya saya yang bayar."
"Kenapa mengajak saya?" Anjani memberanikan diri menelisik lebih jauh. "Saya yakin orang seperti Mas nggak kekurangan teman untuk diajak makan siang bersama."
Dhyast mengernyit. Dia pasti tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. "Karena saya lebih suka makan siang dengan kamu daripada orang lain," jawabnya terus terang.
"Kenapa?" tanya Anjani lagi.
Dhyast melihat ke sekeliling ruangan restoran yang lumayan ramai. Perkembangan percakapan ini di luar dugaannya. "Kamu yakin mau bicara soal itu di sini, sekarang?" Dia balik bertanya.
"Memangnya kenapa kalau dibicarakan sekarang?" Anjani ikut-ikutan mengamati suasana restoran sebelum kembali menatap Dhyast. "Bukan rahasia, kan?"
"Tentu saja bukan rahasia." Dhyast mengedik. "Sebenarnya aku yakin kamu juga sudah bisa menebaknya." Dia mengubah sebutan "saya" yang formal menjadi "aku" yang lebih akrab. "Sepertinya aku tertarik sama kamu."
"Sepertinya?" ulang Anjani. Sebenarnya pengakuan Dhyast tidak mengejutkannya. Anjani hanya tidak menyangka laki-laki itu akan segera mengakuinya, meskipun pemilihan katanya masih menunjukkan keraguan.
"Aku tahu kalau aku tertarik sama kamu," Dhyast meralat jawabannya sambil tersenyum. "Rasanya seperti belajar bahasa Indonesia lagi."
Anjani tidak ikut tersenyum. Rautnya tetap serius. "Kalau Mas tertarik, terus bagaimana?"
Senyum Dhyast langsung menghilang. Itu pertanyaan bagus. Dia mengakui tertarik kepada Anjani. Memang langkah maju, tetapi dia belum memikirkan soal komitmen. Itu bukan perkara kecil. Dia belum cukup lama mengenal Anjani. Dan meskipun melakukan pendekataan kepada Anjani seperti ini di luar kebiasaannya, Dhyast bukan tipe orang yang akan membuat keputusan secara impulsif. Rasa tertarik tidak serta merta berujung pada komitmen.
Tidak seperti kepada Gracie yang disodorkan ibunya, rasa tertarik Dhyast kepada Anjani jelas kuat. Gracie tidak menggelitik rasa penasarannya sama sekali. Namun komitmen, tahapannya berbeda lagi.
"Kita tetap bisa bertemu seperti ini sambil melihat perkembangannya, kan?" Dhyast tidak punya jawaban yang lebih baik, meskipun dia merasa jawabannya sama sekali tidak memuaskan. Jujur, dia tidak mempersiapkan diri untuk bahasan ini.
"Kalau saya nggak mau, gimana?" Anjani meneguhkan diri dan membalas tatapan Dhyast.
"Maksud kamu?" Dhyast sama sekali tidak mengira akan mendengar pertanyaan itu dari Anjani.
"Kalau kita terus bertemu karena Mas ingin tahu apakah benar-benar tertarik dan bukan hanya euforia karena saya mungkin berbeda dengan semua perempuan yang pernah dekat dengan Mas, itu nggak adil untuk saya." Anjani memberi jeda. Dia mengepal saat mengucapkan kalimat berikutnya yang sebenarnya tidak ingin dia katakan, "Bagaimana kalau nanti saya yang suka sama Mas saat Mas sudah menyimpulkan bahwa saya benar-benar sekadar euforia? Maaf, tapi saya nggak mau mempertaruhkan hati saya hanya untuk menunggu Mas memastikan perasaan Mas. Itu egois banget."
Mata Dhyast melebar. Dia sama sekali tidak pernah melihat dari sudut pandang yang sekarang digunakan Anjani. Mendengar Anjani mengucapkan kalimat itu, Dhyast memang merasa kalau keputusan yang dibuatnya saat mendekati Anjani hanya berpusat kepada dirinya sendiri.
"Setelah ini, kita sebaiknya nggak bertemu dulu," lanjut Anjani. "Mungkin itu lebih baik untuk kita. Jadi Mas bisa meyakinkan diri kalau sebenarnya ketertarikan Mas nggak lebih daripada sekadar rasa penasaran biasa, dan sebelum saya juga telanjur tertarik sama Mas."
Dhyast tidak percaya ada perempuan yang bisa mengatakan hal seperti itu kepadanya.
**
"Lo beneran nggak mau keluar?" Risyad meletakkan asbak di depan Dhyast setelah menggeser pintu kaca yang menghubungkan bagian dalam apartemennya dengan balkon.
"Gue cuma mau kopi aja." Dhyast menyulut rokoknya.
"Lo pikir gue barista pribadi elo?" Bertentangan dengan gerutuannya, Risyad tetap berjalan ke mesin kopinya. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan secangkir kecil espresso. "Lo ada masalah?"
"Masalah apa?" elak Dhyast.
"Ya mana gue tahu, makanya gue nanya. Muka lo kelihatan kayak orang berpikir keras gitu. Jangan bilang kalau elo sedang mempertimbangkan menerima usul nyokap lo untuk menikah dengan Gracie Kusuma. Lo sudah lihat hasil perjodohan yang disponsori orangtua dari kegagalan si Yudis, kan? Lain ceritanya kalau lo emang beneran suka sama Gracie."
"Gue nggak tertarik sama Gracie," bantah Dhyast cepat. "Sama sekali nggak."
"Jadi lo mikirin masalah kerjaan? Kalau itu sih gue nggak bisa bantu. Telekomunikasi dan perkebunan jauh banget."
"Bukan soal pekerjaan." Dhyast menimbang-nimbang. Berbagi tentang Anjani dengan Risyad mungkin bukan ide buruk. Di antara semua temannya, hanya Risyad yang sudah pernah bertemu Anjani. Dan meskipun pertemuan itu singkat, Risyad pasti sudah punya gambaran tentang perempuan itu. "Ini soal Anjani, dan gue butuh pendapat elo."
"Lo beneran sudah PDKT sama Anjani?" Risyad spontan tertawa. "Terus masalahnya apa? Lo nggak akan minta pendapat gue kalau nggak ada masalah. Ini pertama kalinya lo butuh masukan dari gue soal perempuan."
"Ini pertama kalinya gue ditolak," gerutu Dhyast sebal dengan respons Risyad.
"Lo ditolak?" Bukannya tampak prihatin, tawa Risyad makin menjadi. "Gue jadi pengin salamin dia. Gue bilang juga apa, feeling gue tentang dia itu bagus. Dia jelas nggak matre."
"Feeling lo tentang perempuan di awal pertemuan memang selalu bagus. Itu sebabnya mantan lo kalau dikumpulin bisa jadi satu peleton. Kelompok Mantan Pejuang Cinta Risyad."
Risyad butuh waktu beberapa saat untuk menghentikan tawanya. Setelah tenang, dia lalu bertanya, "Lo nembak dan dia nolak?"
Dhyast menggeleng. "Gue belum nembak."
Risyad mengernyit bingung. "Gimana lo bisa tahu ditolak kalau belum nembak?"
"Anjani nanya apa tujuan gue sering nyamperin dia di kantor dan ngajak makan siang."
"Lo jawab apa?"
"Gue bilang terus-terang kalau gue tertarik sama dia. Gue juga bilang kalau pertemuan yang lebih sering bisa jadi penjajakan untuk lihat apakah rasa tertarik itu bisa berlanjut ke tahap selanjutnya."
"Terus dia bilang apa?"
"Katanya, sebaiknya sebaiknya kami nggak usah ketemu lagi. Dia nggak mau jadi obyek percobaan untuk tahu apakah gue beneran suka sama dia, atau perasaan tertarik gue hanya euforia. Dia juga bilang nggak mau ambil risiko tertarik sama gue kalau pertemuan kami berlanjut, dan gue tiba-tiba mundur karena euforia tadi."
Risyad meringis. "Dia seharusnya kenal gue lebih dulu daripada elo yang terlalu banyak berpikir. Penuh pertimbangan itu nggak salah, tapi bisa bikin lo kehilangan momen."
"Menurut lo, gue harus ngambil risiko berkomitmen dengan orang yang belum gue kenal dengan baik?"
"Lo kan nggak langsung nikah. Lo akan kenal dia lebih baik saat pacaran. Kalau memang nggak cocok, mengapa harus dipaksain? Intinya adalah, elo nggak akan penasaran dan berandai-andai doang kalau memilih mundur sekarang."
"Kedengarannya terlalu gampang." Memang masuk akal, tetapi Dhyast belum sepenuhnya yakin. Prinsip yang dianut Risyad belum tentu cocok untuknya.
"Cinta memang nggak rumit. Sederhana banget malah. Pikiran lo aja yang terlalu ribet."
Dhyast menggeleng-geleng. "Gue nggak percaya gue minta pendapat dari orang yang nggak bisa punya hubungan jangka panjang."
"Lo sebenarnya nggak butuh pendapat gue. Lo hanya mencari pembenaran karena melakukan sesuatu di luar kebiasaan elo. Hati lo sebenarnya sudah memutuskan untuk nembak Anjani. Elo nggak akan ngomongin ini sama gue kalau elo memang berniat ngikutin kata-kata Anjani supaya kalian nggak usah bertemu lagi."
Telak. Dhyast tidak bisa membantah lagi. Risyad jelas sangat mengenalnya.
**
Untuk follower baru, mohon baca bio di profilku ya. Mood nulisku sedang jelek banget, dan modus update juga komen "next" atau "lanjut" beneran memperburuk mood. Aku sebenernya males ngulang-ngulang ini, tetapi selalu aja kejadian. Selanjutnya, yang melanggar rule akan aku blokir tanpa peringatan lagi supaya pembaca setia dan aku juga sama-sama nyaman.
Dan... makasih untuk semua yang sudah ikutan PO JML, MRG, dan Begins ya. Meskipun diadakan di akhir tahun, yang ikutan tetap banyak. Lope-lope yu ol, Gaesss....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top