Plan N: Nobody is Ready

Kalo ada perkembangan jangan seneng dulu, siapa tau ngembangnya mentok sampe situ doang. - Salsa

***

Pernikahan Safira terbilang sangat mewah. Tamu undangan yang hadir begitu banyak, mempelai laki-lakinya adalah seorang petinggi di salah satu stasiun TV swasta. Tak heran begitu banyak karangan bunga dan artis-artis terkenal Indonesia yang datang ke acara itu.

Kak Ari bersyukur mengajak Salsa yang tidak mudah terintimidasi dalam suasana gemerlap seperti itu. Kak Ari lihat, Salsa malah menemukan beberapa temannya di pesta itu.

Semakin lama Kak Ari di acara tersebut, semakin ia memahami tentang jodoh. Memahami mengapa dia dan Safira tidak bersama. Pesta gemerlap ini sama sekali bukan representasi dirinya, tapi saat mengantre untuk bersalaman, ia lihat binar bahagia yang tak pernah hilang di mata Safira.

Ini yang diinginkan Safira. Ini juga yang tidak diinginkannya. Saat sudah berada di panggung pelaminan, orang tua Safira terkejut melihat Kak Ari. Tapi Kak Ari langsung menyalami mereka.

"Bu, Pak, selamat ya ... akhirnya Safira bahagia sekarang ..." kata Kak Ari sambil tersenyum. Ibu Safira tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk Kak Ari erat-erat. Selama empat tahun berpacaran dengan Safira, Kak Ari memang sangat dekat dengan keluarga perempuan itu. Ibu Safira sendiri sudah sangat menyukai Kak Ari sebagai pasangan Safira. Yah, kalau tidak jodoh mau bagaimana?

Ibu Safira menatap Salsa sejenak, tersenyum dan berbisik pada Kak Ari, "Kamu juga bahagia ya, Nak ..."

Dengan detak jantung yang tidak keruan akhirnya Kak Ari berhadapan dengan mantannya.

"Kamu dateng," ucap Safira sambil tersenyum bahagia.

"Ada yang bela-belain ngundang buat jaga silaturahmi soalnya, Fir," sindir Kak Ari. Safira tertawa. Kak Ari menyalami mantannya lalu menatapnya dalam-dalam.

"Selamat ya," kata Kak Ari. Safira menatap Salsa sejenak yang memberikan senyum sopan padanya, lalu dia kembali tersenyum pada Kak Ari.

"Kamu juga selamat ya, Ri. Nice catch," bisik Safira.

Kak Ari tertawa. Ia lalu menyalami laki-laki yang kini menjadi suami Safira. Laki-laki itu tersenyum ramah padanya. Dia menerima Kak Ari sebagai teman Safira terlepas dari siapa Kak Ari dulu. Mereka berjabat tangan dengan kuat, seolah saling memberi pesan. Tanpa mereka bicara pun laki-laki itu tahu bahwa Kak Ari memintanya untuk menjaga Safira dan tanpa harus bicara juga Kak Ari tahu bahwa laki-laki itu bertekad melakukannya.

Sementara Salsa yang menyalami Safira langsung dipeluk oleh perempuan itu, "Saya titip Ari ya ke kamu."

Salsa yang kebingungan hanya mengangguk. Dalam hati senang juga rasanya dititipkan Kak Ari.

Salsa dan Kak Ari turun pelaminan. Saat itu baik Kak Ari dan Safira tahu bahwa mereka sudah saling mengikhlaskan. Salsa tak berhenti memperhatikan Kak Ari. Benar-benar tidak berhenti sampai-sampai membuat Kak Ari risih.

"Kenapa liatin Kak Ari gitu sih?" Tanya Kak Ari sambil menyodorkan minuman pada Salsa.

"I'm proud of you, Kak." Kata Salsa.

"Keren ya?" Tanya Kak Ari iseng. Jawaban yang ia tebak adalah, "Ih, narsis banget!" Atau "Ya ngga keren jugaaa ..."

Tapi Salsa malah tersenyum padanya sambil mengangguk , "Banget."

Salsa ini kecil-kecil kok bisa ya bikin Kak Ari berdebar tidak santai begini??

"Ri! Gokil, dateng lo?!" Seseorang menepuk bahu Kak Ari. Kak Ari menengok dan ia melihat seorang temannya. Mereka pun saling mengetos dan berpelukan akrab, nampak seperti sudah lama tak bertemu. Sepertinya teman kantor sebelum Kak Ari bekerja di tempat yang sekarang karena mengenal dekat Kak Ari saat masih menjadi pacar Safira.

"Permantanan sehat banget ya elo sama Fira," kata temannya itu.

"Yoi lah, bro ... biar mantanan kan masih bisa temenan, ye ngga?" Balas Kak Ari.

Yaampun ... Salsa mati-matian menyembunyikan tawa dan menekan keinginannya untuk menggoda Kak Ari. Tidak tahu saja proses galaunya Kak Ari sampai bisa datang ke sini

"Lo sama siapa?" Tanya temannya itu. Dia langsung berbalik dan mengajak Salsa maju untuk dikenalkan. Ada raut bangga di wajah Kak Ari ketika menyadari temannya bersemu saat melihat Salsa.

Kak Ari memang tidak salah memilih pendampingnya hari ini.

"Salsa ..." kata Salsa memperkenalkan diri sambil mengajak bersalaman.

"Eh ... iya ... Galih ..." jawab teman Kak Ari terbata. Dengan wajah bercampur senang dia menyalami Salsa.

Kadang Kak Ari lupa betapa berkilaunya Salsa untuk rakyat jelata. Wah, gawat ... kenapa dia jadi sombong sekali? Salsa kan bukan pasangan resminya juga ...

"Gue ke sana dulu ya, bro," kata Kak Ari sopan sambil mendekap ringan Salsa. Wajah Salsa sih biasa saja, tapi dslam hati girangnya luar biasa!

"Duluan ya ..." ucap Salsa ramah kepada Galih yang dibalas lambaian canggung teman Kak Ari itu.

"Ngga usah tepe sama temen aku bisa?" Kata Kak Ari ketus saat mereka sudah menjauh dari Galih.

"Salsa ngga usah tepe juga temen Kak Ari udah naksir tuh," jawab Salsa penuh percaya diri. Kak Ari hanya menggeleng sambil tertawa. Dia menyentuh lembut kepala Salsa dan membelainya.

"Kak, Salsa mau ambil makanan di sana dulu ya," kata Salsa sambil menunjuk ke salah satu pondok makanan. Kak Ari mengiyakan. Saat Salsa kembali, Kak Ari sudah bersama bersama beberapa temannya. Salsa sempat mendengar percakapan mereka.

"Beuh ... pantes kuat ke mantenan mantan, sendirinya juga bawa calon manten sih ya!" kata seorang teman Kak Ari.

"Kece banget lagi calonnya! Ketiban hoki banget si Ari ..." kata Galih. Kak Ari hanya tersenyum saat teman-temannya berkata demikian.

Ya, tersenyum. Tidak ada sanggahan maupun konfirmasi. Bagaimana Salsa tidak gugup saat melihat reaksi Kak Ari itu.

"Sa, sini aku kenalin ke temen-temen aku," kata Kak Ari saat menyadari Salsa sudah kembali. Wajah Salsa yang menghangat menampilkan senyuman campuran tegang dan senang.

Pernikahan Safira terasa sungguh indah bagi Salsa. Selama acara itu Salsa tidak berhenti diperlakukan secara istimewa oleh Kak Ari. Membuatnya tak bisa berhenti menarik senyumnya.

***

Hari-hari setelah itu berjalan normal. Kak Ari mengantar jemput Salsa, kadang mereka makan siang bersama, kadang juga tidak. Tiap mereka berangkat dan pulang, keduanya selalu mengobrol akrab. Tentang pekerjaan, tentang masa lalu, juga tentang rencana masa depan.

Normal bagi Salsa sekarang sudah seperti lama pacaran dengan Kak Ari. Keren ngga tuh? 

Ngga, soalnya Kak Ari tidak kunjung meresmikan hubungan yang sudah kepalang nyaman ini. Salsa sendiri bingung mereka itu apa. Dibilang teman rasanya sudah bukan, dibilang pacar juga belum ada kejelasan. Salsa sedikit terganggu, tapi dia takut. Bagaimana kalau dia belum siap dengan penjelasannya? Jadi Salsa memutuskan untuk menikmati saat-saat bersama Kak Ari saja. Siapa tahu lambat laun hati Kak Ari akan tergugah.

Suatu hari saat mereka makan bersama teman-teman kantor, salah seorang teman laki-laki yang satu team dengan Kak Ari bertanya, "lo tuh sama Salsa jadian ngga sih? Kalo ngga jangan disimpen sendiri gitu dong! Ngga fair ..."

Beberapa laki-laki langsung menegakkan tubuh perlahan, berusaha tidak mencurigakan tapi ingin mencuri dengar jawaban dari Kak Ari. Sejujurnya, Salsa pun sama. Kak Ari menatap Salsa lamaaa ... sekali. Membuat Salsa semakin gugup dan jantungnya berdetak lebih kuat.

Salsa menunggu jawaban Kak Ari. Kira-kira apa yang akan diucapkannya?

"Kalopun ngga jadian, lo juga ngga bakal ada kesempatan kali. Udah ah," jawab Kak Ari sambil bersiap beranjak.

Perasaan Salsa tidak nyaman, jawaban itu jauh dari kata jelas. Tapi tak lama Kak Ari sudah menghampirinya.

"Nanti malem jadi ngumpul sama Ranti dan temen-temen kom?" tanya Kak Ari lembut. Salsa mengangguk.

"Habis itu pulang bareng aku ya ..." lanjut Kak Ari sambil mengusap kepala Salsa lagi. Sebuah pemandangan yang cukup jelas baginya dan orang-orang sekitar. Salsa dan Kak Ari lebih dari sekadar teman.

Beberapa laki-laki kembali membungkuk lesu sementara wajah Salsa menghangat.

"Jadi lo berdua pacaran ngga sih? Gitu aja jawabnya susah banget deh ..." kata teman Kak Ari yang tadi dengan nada geregetan. Salsa tersenyum dan membalasnya.

"Emang ada orang kayak kita yang ngga pacaran?"

"Ya bilang aja pacaran susah amat!" orang itu jadi sewot. Salsa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kepo banget mas-nya??

Salsa tidak menjawabnya dan lebih memilih pergi, kembali ke ruangannya. Dia seharusnya merasa yakin dengan perlakuan Kak Ari padanya akhir-akhir ini. Kalau ini laki-laki lain, Salsa dengan penuh percaya diri akan menyatakan bahwa mereka berpacaran. Tapi kenapa rasanya takut untuk melakukan hal yang sama dengan Kak Ari.

Sebenarnya bagaimana perasaan Kak Ari pada Salsa? Kalau Salsa mengaku-ngaku berpacaran dan Kak Ari membantah, apa Salsa kuat ya?

***

"Kenapa kalau tentang Kak Ari lo jadi serba ragu begini ya?" Ranti berkomentar. Saat ini mereka berada di sebuah tempat makan sekaligus nongkrong, menunggu teman-teman sejurusan mereka datang. Reunian setelah wisuda ceritanya. Berhubung baru Ranti yang datang, Salsa pun buru-buru curhat tentang kegalauannya. Setelah mendengar komentar Ranti, Salsa langsung mengernyit.

"Emang gue kalo pacaran ngga pernah ragu-ragu gitu?"

"Ngga."

"Ngga mungkinlah ngga pernah! Pasti pernah kok ..."

"Kapan?" Ranti malah menantang.

"Pas ... hmm ... yang waktu sama ... hmm ... hmm ..." Salsa berpikir dan berpikir, tapi ternyata Ranti benar. Dia menatap sahabatnya dengan tatapan "Sial, bener juga lo!"

"Salsa yang gue tau ya, kalo urusan cowo, kalo ada apa-apa ya langsung aja cowonya di-confront. Lo denger isu cowo lo selingkuh? Lo tanyain langsung. Lo ngerasa cowo lo kasar? Lo omongin langsung. Ini masa ketimbang nanya lo udah jadian apa belom aja takut, Sa?" tanya Ranti tidak mengerti.

"Abisnya ... ini Kak Ari, Ran ..."

"Kenapa emang kalo Kak Ari? Bukan karena dia kakak gue kan??"

"Ya itu satu asalannya, tapi ..." Salsa malah menunduk dan diam, seperti larut dalam pikirannya. Jelas saja Ranti senewen.

"Sa, kalo cerita jangan kentang. Jangan keburu temen kita yang lain dateng dan gue harus penasaran semaleman!" ucap Ranti kesal karena Salsa terlalu bertele-tele dalam bercerita.

"Dia bener-bener satu-satunya cowo yang ngga pernah ngasih liat tanda-tanda tertarik ke gue. Seumur-umur ya cowo ngeliat gue matanya tuh gue apal, beda sama dia! Dan sekarang gue bingung. Gue ngga tau cowo model begini kalo suka sama gue tuh gelagatnya kayak gimana ..." kata Salsa. Ranti berpikir sebentar.

"Lo inget ngga Ibran? Inget ngga kalo dia dulu cupu banget ngedeketin elo?" tanya Ranti.

"Inget ..." kata Salsa sambil kembali mengingat-ingat mantannya yang akhirnya meninggalkannya pergi untuk mendedikasikan diri ke daerah pelosok di Indonesia sebagai guru. Sungguh sebuah pencapaian bagi Salsa bisa berpacaran dengan orang yang hatinya sebesar Ibran itu.

"Inget ngga gimana caranya kalian bisa jadian waktu itu?"

"Ngga mempan buat Kak Ari, Ran," jawab Salsa cepat. Mana mungkin Salsa lupa. Saking mindernya Ibran padanya, laki-laki itu dulu tidak pernah berani mengungkapkan perasaan. Padahal segala macam sinyal positif sudah Salsa keluarkan. Akhirnya Salsa mengunggah foto mereka berdua dengan caption, "Love it, love you."

Setelah itu Ibran meneleponnya, gelagapan. Dalam percakapan telepon itulah Ibran pun akhirnya berani mengungkapkan perasaan karena sudah Salsa akui terang-terangan di depan umum. Sejak itu mereka pacaran.

Tapi toh Salsa pernah mengunggah foto yang diambil Kak Ari dengan caption alias kode serupa ... dicuekin.

"Cowo-cowo lain tuh semua ngedeketin gue, Ran ... apapun cara mereka, gue tahu rasanya dideketin. Itu emang bikin gue bisa ngelakuin apa aja karena gue percaya mereka emang suka sama gue. Tapi Kak Ari? Ini tuh gue yang ngedeketin dia. Gue tuh ngga tahu apa-apa tentang perasaannya ..." ucap Salsa. Ranti kasihan juga melihat Salsa sebegini kepikirannya. Padahal Kak Ari kan cuma cowo maniak game dan lari yang ngeselin, bisa-bisanya sih Salsa naksir mentok begini?

"Menurut gue sih elo justru satu-satunya cewe yang paling tau perasaannya diantara cewe-cewe lain yang pernah deket sama Kak Ari," ucap Ranti. Wajah Salsa yang kusut langsung terlihat penuh harapan lagi.

"Mau siapa yang suka duluan, cepat atau lambat perasaan itu harus dihadapin kan, Sa? Lo jangan ngelembek dong ..." kata  Ranti memberi semangat dengan caranya sendiri. Salsa tertawa, kerunyaman hatinya terasa menjadi sedikit cerah.

Berarti sekarang Salsa menyiapkan diri untuk menghadapi perasaannya dan Kak Ari saja lah. Sisanya biar Tuhan yang atur.

***

Sudah berminggu-minggu sejak kegalauan Salsa, tapi debarannya tiap kali melihat Kak Ari tak kunjung reda. Entah karena makin suka atau makin takut dengan status. Belum pernah seumur-umur Salsa menggalaukan statusnya. Dulu-dulu rasanya semua laki-laki yang dekat dengan Salsa nampaknya selalu ingin buru-buru mengakui diri mereka sebagai pacar Salsa. Nah ini satu yang Salsa mau, satu ini juga yang tidak kunjung jelas maunya.

Saling bersikap manis tetap dijaga, siapa tahu dari tiap momen manis Kak Ari keceplosan dan membahas soal statusnya dengan Salsa. Sampai sekarang sih usaha itu belum membuahkan hasil. Tapi Salsa tidak menyerah. Sedikit lagi ... ia yakin sebentar lagi hati Kak Ari pasti akan tercapai.

Hari itu mesin fotokopi di beberapa divisi harus diservis sehingga bagi yang ingin fotokopi, mereka diharuskan menggunakan mesin fotokopi jadul di ruang stationary. Keren ya namanya? Tapi anak-anak sih menyebutnya gudang, saking penuhnya dengan berkas-berkas dan barang-barang lama. Sudah seharian orang-orang memaksakan diri untuk tidak melakukan urusan yang berhubungan dengan mesin fotokopi, atau setidaknya numpang ke divisi lain. Tapi ternyata Salsa gagal mengelak. Ada berkas yang harus di scan dan dikirimkan ke client saat itu juga.

Dengan malas dia melangkah ke gudang, dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap. Wah, dia keduluan ternyata. Saat Salsa mendekat, ternyata Mba Fany dan Kak Ari yang sedang mengobrol. Salsa baru mau bergabung ketika dia mendengar apa yang mereka obrolkan.

"Jadi, lo berdua pacaran ngga?" tanya Mba Fany dengan nada menggoda Kak Ari. Dari yang ingin menyapa, Salsa langsung mengkerut dan bersembunyi di balik rak tumpukan berkas.

"Kepo banget, tumben ..." tanya Kak Ari sambil menunggu fotokopiannya selesai.

"Karena tadinya gue pikir ngga bakal move on lo dari Fira. Tapi kayaknya makin asik nih sama Salsa," Mba Fany makin gencar menggoda. Salsa jadi cengengesan sendiri.

Ayo dong Kak Ari ... jawab ...

"Asik apaan sih maksudnya, ngga ngerti gue," kata Kak Ari agak ketus. Nada ini membuat perut Salsa terasa tidak enak. Saat itu baru Salsa sadar, tiap kali ada yang membahas soal kejelasan status Kak Ari dengan Salsa, Kak Ari pasti langsung mengeluarkan nada tak suka. Mungkin itu yang membuat Salsa secara tidak sadar merasa insecure dan ragu terhadap perasaan Kak Ari padanya.

"Come on, Ri! Gue restuin banget lo ama dia! I like her too!" kata Mba Fany penuh dukungan.

"Lo mah emang menganak-emaskan dia. Ngga kasian apa liat anak-anak lain iri ke dia?"

"Ya gue suka sama attitude kerjanya. Passionate, smart, ngebantuin kerja gue banget. Wajar lagi kalo lo suka sama dia. Lagian, lo berdua cocok kok," ucap Mba Fany ringan. Rahang Kak Ari mengeras mendengar kalimat Mba Fany tentang dirinya dan Salsa.

Tidak. Kak Ari tidak boleh suka pada Salsa. Kak Ari tidak mau apa yang terjadi dengannya dan Safira terjadi juga dengan Salsa ...

"... she just like a sister to me," jantung Kak Ari nyeri karena berdegup kencang setelah kalimat itu ia ucapkan. Dia yakin itu yang dia ingin katakan, tapi entah kenapa semua terasa salah setelah dia mengatakannya.

Sementara itu Salsa mematung. Tubuhnya kaku mendengar kalimat yang keluar dari mulut Kak Ari. Air mata menetes di pipinya. Seperti mau ambruk rasanya mendengar pernyataan itu. Perlahan, Salsa menjauh dari gudang.

"Ah masa? Suka juga ngga apa-apa lagi, Ri," kata Mba Fany.

"Ngga lah, dia jangan sama gue. Banyak cowo lain yang lebih worthy," kata Kak Ari.

"Kalo dia maunya sama elo gimana?" Kak Ari tertawa kecil mendengar pertanyaan Mba Fany.

"Hahaha ... ngga bakal cewe kayak dia mau sama gue. Gue tau seleranya. Udah, gue duluan ya!" Kak Ari menepuk kepala Mba Fany dengan berkasnya lalu pergi. Saat baru keluar gudang, dia melihat Salsa sedang menuju kembali ke divisinya.

Kak Ari bertanya-tanya dari mana Salsa ... kenapa berjalan dari arah gudang? Bukannya tadi mereka tidak bertemu di sana?

Wajah Kak Ari seperti melihat hantu ketika menyadari bahwa ada kemungkinan Salsa mendengar percakapannya dengan Mba Fany tadi. Dia melihat Salsa yang sudah jauh dan berbelok di ujung lorong. Dengan segera Kak Ari mengejar Salsa.

Tapi Salsa yang lebih cepat jauh mendahului Kak Ari dan masuk ke ruangan kreatif. Kak Ari yang terlambat sudah keburu terkunci dari luar.

Kak Ari mengutuki dirinya. Bagaimana kalau Salsa benar-benar mendengar obrolannya tadi?!

***

Malam itu Salsa melembur-lemburkan diri. Setelah semua anak kreatif pulang jam 10 malam, Salsa tidak bergeming dari kursinya. Ia beralasan sedang menyusun proyek kreatif baru, entah apa itu maksudnya.

Salsa ingin menginap di kantor saja rasanya. Ia tidak ingin keluar dari ruangan itu dan berpotensi bertemu Kak Ari. Salsa tidak ingin membicarakan apa yang tadi dia dengar. Salsa tidak ingin memperjelas statusnya dengan Kak Ari.

Sudah pukul sebelas malam, sepertinya sudah aman. Salsa pun memutuskan keluar dan pulang meskopun hatinya tidak keruan. Sejak tadi ia mematikan ponselnya dan dia memutuskan untuk pulang menggunakan taksi yang biasa parkir di slot taksi gedung saja.

"Sa ..." betapa terkejutnya Salsa ketika dia mendengar suara Kak Ari.

"Huwa! Kak! Kenapa masih di sini?!" Salsa yang frustasi karena usahanya sia-sia bertanya kesal.

"Nungguin kamu lah ... kok lembur ngga bilang-bilang? Ditelepon dari tadi juga ngga bisa"

"Yaampun, aku kerja pake headset dari tadi. Maaf kak, harusnya Kak Ari duluan aja. Salsa bisa pulang sendiri kok."

"Mana mungkin Kak Ari ninggalin kamu," kata Kak Ari mengernyit. Kak Ari berbalik dan melangkah menuju lift. Tapi Salsa terpaku menatap punggung itu. Setelah sadar Salsa tidak mengikutinya, Kak Ari pun berbalik.

"Yuk pulang," kata Kak Ari pada Salsa. Salsa menatap Kak Ari lama. Ia berpikir bahwa ini mungkin yang terakhir dirinya dan Kak Ari pulang bersama.  Berat untuk bahkan memulai langkah.

"Yuk." Ia memaksakan senyumnya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyusul Kak Ari.

***

Kak Ari gelisah melihat Salsa yang diam saja. Salsa tidak terlihat marah. Tapi jelas anak itu tidak terlihat baik-baik saja. Mungkin benar tebakannya, Salsa mendengar percakapannya dengan Fany. Tapi memang itu kenyataannya kan? Seharusnya memang Salsa dan dirinya saling memandang sebagai kakak dan adik kan??

Di sisi lain, Salsa merasa gugup luar biasa. Hatinya sibuk menimbang apakah dia sudah siap menanyakan tentang pembicaraan Kak Ari dengan Mba Fany atau tidak. Perut dan dada Salsa terasa tidak nyaman ketika membayangkan jawaban Kak Ari yang tidak sesuai dengan harapannya. Tapi berlarut-larut dalam ketidakjelasan pun rasanya galau.

"Kamu ngga enak badan? Mau makan dulu?" tanya Kak Ari khawatir.

"A-aku udah makan tadi, Kak. Langsung pulang aja deh," jawab Salsa tergagap.

"Kamu makan apa tadi?" tanya Kak Ari bingung. Kak Ari menunggu Salsa dari jam setengah tujuh, tidak sekalipun ada tanda makanan masuk ke ruangan Salsa.

"Hmm ... ada," ucap Salsa yang sudah tidak bisa berkonsentrasi. Kak Ari pun nampaknya tidak kuat berbasa-basi lebih lama lagi.

"Kamu ... denger omongan Kak Ari sama Fany tadi siang ya?" Tanya Kak Ari. Salsa tetap melihat ke depan, dia tidak berani menatap Kak Ari sama sekali. Hal ini membuat perasaan Kak Ari semakin tidak keruan.

Salsa mengangguk. Ada kekecewaan dan ketakutan besar yang hinggap pada keduanya.

"Is that true, Kak?" Salsa duluan memberanikan diri menghadapi kenyataan.

Kak Ari kaku menatap jalanan. Hanya lengannya yang sibuk bergerak mengontrol setir. Dalam lima menit mereka akan tiba di depan rumah Salsa. Apakah mungkin Kak Ari bisa menunda jawabannya kalau sekarang dia mempercepat laju mobilnya?

Tapi kemudian Kak Ari sadar. Kenapa juga dirinya takut? Kenapa harus disembunyikan? Ini Salsa, tentu saja apa yang diucapkannya pada Fany itu benar kan? Memang apa yang Kak Ari harapkan dengan mengaku kalau ada kemungkinan bahwa perasaannya lebih dari itu? Bagaimana ia menghadapi Salsa dengan perasaan yang setengah-setengah.

"Sa, Kak Ari sayang sama kamu ..." kata Kak Ari menggantung.

Sekali lagi Salsa serasa ingin ambruk menahan debaran jantungnya. Salsa takut. Selama ini pikir yang sulit dari mengejar laki-laki adalah ditolak. Tidak pernah Salsa kira bahwa tidak dicintai itu lebih terasa mengenaskan.

"... it's not that simple ... it's not that way." Kak Ari yang terlihat pusing menggosok-gosok mukanya dengan kedua tangan.

Salsa tertawa miris. Sungguh ironis. Itu adalah kata-kata langganan Salsa kalau sedang menolak dan memutuskan laki-laki. Dulu Salsa berpikir bahwa kalimat itu adalah sebuah usaha baik yang mengurangi sakitnya ditolak, mana tahu kalau ternyata rasanya tetap sakit. Sakit sekali malah.

Karma sialan.

"Sa ... kamu, Ranti, Alva ... Kak Ari peduli sama kalian bertiga. Kalian tuh bagi Kak Ari-"

"Stop. Kak Ari ngga perlu lanjutin, aku ngerti." Kata Salsa mengangguk sambil memaksakan senyum. Bisa asma mendadak Salsa kalau mendengar Kak Ari menyelesaikan ucapannya.

Mobil Kak Ari sudah sampai di depan rumah Salsa. Tapi topik keramat ini nampaknya harus diselesaikan.

"Salsa ... Kak Ari ngga tahu gimana perasaan kamu ke Kak Ari, tapi maaf kalo Kak Ari nyakitin kamu. Kak Ari bener-bener ngga bermaksud," Kak Ari mencoba memberi pengertian. Salsa mengadah. Tawanya terlepas bertepatan dengan jatuhnya tetesan air yang sempat menggenang di matanya.

Kak Ari terpaku, ngilu menyerang hatinya melihat pemandangan itu. Seketika ada rasa bersalah yang menghujaninya.

"Kak ... makasih karena udah peduli dan baik sama Salsa selama ini. Tapi udah cukup sampe di sini aja ya, Kak," ucap Salsa setelah berusaha memupuk kekuatan dan keberanian dalam setengah menit.

"Sampe di sini giman-"

"Selama ini yang bisa membuat Salsa bertahan berada di dekat Kak Ari adalah harapan kalau perlahan perasaan Salsa akan terbalas. Tapi ... hahaha ..." Salsa tertawa sekilas. Entah mengapa keadaannya menjadi terasa menggelikan di mata Salsa sendiri. Salsa yang dipuja dan dikejar banyak laki-laki gagal mengejar seorang laki-laki. Ironis.

"Sekarang setelah semuanya jelas, Salsa ngga akan kuat Kak. Salsa ngga bisa ada di deket Kak Ari tapi bukan sebagai orang yang Salsa harapkan," Kata Salsa sambil menangis. Perasaannya berantakan, ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan dirinya di hadapan Kak Ari.

Kak Ari sendiri tidak kalah berantakan. Ekspresi tak percaya meliputi wajahnya, jantungnya berdetak sangat kencang. Kak Ari merasa seperti pecundang berada dalam situasi ini, melihat perempuan yang seharusnya ia jaga malah menangis karenanya. Bodoh.

"Maaf kalau Salsa egois. Salsa ngga bisa jadi adek Kak Ari karena di mata Salsa, Kak Ari lebih dari sekedar sosok kakak."

Kak Ari seperti masuk ke jurang mendengar ucapan Salsa tersebut. Kak Ari merasa salah langkah, salah situasi. Seharusnya tidak seperti ini.

"Salsa cinta sama Kak Ari ..." Salsa  mengungkapkannya jelas dan lugas. Sudah tak ada gunanya ditutupi.

"Sa ..." Kalau saja ada yang bisa Kak Ari lakukan atau ucapkan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik ...

"Makasih Kak, udah baiiiikkk banget sama Salsa. Maaf aku ngga bisa ..." Salsa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia menangis terisak-isak. Dadanya perih dan sesak.

Kak Ari pun meneteskan air matanya, tersiksa karena tidak bisa melakukan apa-apa. Dia mengusap pipi Salsa yang langsung buru-buru Salsa hindari.

Salsa masih berusaha memberi senyum pada Kak Ari sebelum akhirnya keluar dari mobil dan pergi dengan tersedu-sedu.

Sementara Kak Ari, ia memejamkan mata entah untuk berapa lama. Sekuat tenaga ia tahan kekosongan yang menjalar seketika.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top