Plan J: Joking Universe
Kram bukan hanya terjadi pada kaki yang langsung diajak marathon padahal tidak pernah olahraga, tapi juga pada hati yang langsung dibuang ke jalanan habis diperhatikan habis-habisan. - Salsa
***
"Aku baru mau ke atas sambil berharap kamu masih kerja. Kamu biasanya kerja sampe jam sembilan kan?" Kata perempuan itu ramah.
"Mau apa kamu ke sini?" Tanya Kak Ari tanpa mengindahkan pertanyaan lawan bicaranya. Wajah Kak Ari memperlihatkan emosi yang berkebalikan dari perempuan itu.
"I wanna give you this."
Perempuan itu mengeluarkan undangan pernikahan. Kak Ari seketika melotot, dadanya naik turun mencoba menenangkan diri dari rasa terkejutnya.
"No need to be so surprised isn't it? I told you I'm gonna married this year."
"I'm not surprised." Kak Ari menatap perempuan itu dengan pandangan meremehkan. Perempuan itu mendesah.
"I bet you're not. It's not like you care. Buat kamu emang ngga pernah penting kan?" Sindir perempuan itu.
Kak Ari tertawa sinis, matanya menyalakan kebencian mendengar ucapan perempuan itu.
"Aku berhenti peduli waktu aku tau kalo nikah sama siapa-nya itu ngga penting buat kamu." Suara Kak Ari terdengar begitu menusuk, lengkap dengan tatapan dingin yang tidak pernah Salsa lihat sebelumnya.
Salsa hanya diam dan mundur perlahan. Rasanya ingin dia berlari entah kemana dan tidak perlu melihat pemandangan ini.
"It matters."
"But not as much as 'when'."
"Aku udah bilang sama kamu sejak awal tentang rencana-rencana aku. Kamu juga awalnya menyanggupi."
"Aku cuma minta sedikit waktu lagi, Safira ... dan kamu milih ngorbanin semuanya. Ngorbanin aku!" Kak Ari meledak.
Tidak pernah Salsa melihat versi Kak Ari yang penuh amarah begini. Kak Ari mungkin adalah laki-laki tersantai dan tercuek yang pernah Salsa kenal, tapi tidak saat ini. Dada Salsa menjadi sedikit sesak. Dia bagai tak kasat mata saat ini, memperhatikan kedua orang di hadapannya saling mengeluarkan aura permusuhan.
"Waktu sampai kapan? Ngga jelas juga kan? Gimana bisa aku milih yang ngga pasti kayak kamu, Ri?! Ngga fair dong untuk aku."
"What wasn't fair is you're leaving!"
"And not even once you asked me to stay ..."
"Damn it, Safira ... Gini aja terus ..." Kak Ari mengusap pelipisnya. Matanya sudah berkaca-kaca dan wajahnya nampak amat kelelahan.
Perempuan itu tersenyum lemah.
"Maaf ya, sama aku kamu marah-marah terus ya?"
Kak Ari memejamkan mata dan mengepalkan tangannya. Menahan segala emosi yang ada.
"Kalo ngga mau dateng ngga apa-apa. Aku ngerti kok. Aku cuma mau kita ngga berakhir jadi orang asing, bahwa kita pisah baik-baik untuk bahagia. Aku bahagia sekarang, aku harap kamu juga nemuin kebahagiaan kamu ya ..."
Perempuan itu menyelipkan undangannya ke tangan Kak Ari yang kaku, memaksanya untuk menggenggam benda yang membuat Kak Ari marah. Ia berpamitan dan pergi meninggalkan Kak Ari yang membeku. Kak Ari tetap tidak bergerak bahkan setelah beberapa menit perempuan itu menghilang dari pandangan.
Salsa tidak berani menyentuhnya karena Salsa dapat melihat lengan Kak Ari bergetar menahan luapan emosi sambil memegang undangan pernikahan itu. Kak Ari seperti lupa bahwa Salsa berada di dekatnya. Dia terpaku untuk waktu yang lama.
"Kak ..." Salsa memanggil pelan menyadarkan Kak Ari dan tanpa menengok Kak Ari langsung beralih menuju parkiran sambil berkata "Ayo pulang."
Perasaan Salsa mengeruh melihat Kak Ari begini ...
***
"Itu tadi ... mantan lo, Kak?" Tanya Salsa ragu-ragu. Dengan suasana hati Kak Ari sekarang Salsa takut disemprot. Tapi mah bagaimana lagi, dia sudah sangat penasaran.
"Hm," jawab Kak Ari membenarkan sekalogus memberi kesan tidak ingin membahas.
"... yang pernah lo ceritain ke gue dulu?"
"Hm."
"Namanya Safira?"
"Udah tau kenapa harus nanya?" Kata Kak Ari kesal. Salsa bisa merasakan kegalauan Kak Ari saat dia menyebut nama perempuan itu. Salsa tidak menyukainya.
"Gue kira udah move on lo, Kak."
Kak Ari tidak menjawab. Wajahnya mengeras.
"Dia tadi ngasih apaan? Undangan nikahan?"
"Salsa, for God's sake!! Stop!!" Kak Ari memukul setir lalu menatap Salsa tajam. Saat itu adalah pertama kalinya Kak Ari terlihat menakutkan di mata Salsa.
"Katain gue semau lo, tapi berhenti ngomongin dia! Ngerti?!" Suara Kak Ari begitu rendah dingin dan menusuk.
Tidak ada kata lagi di antara mereka sepanjang perjalanan.
***
Sesampainya di rumah, Salsa langsung membuka chat group-nya dengan Ranti dan Alva.
Salsa: Ran, cek kakak lo deh. Masih bete?
Ranti: Nah ini gue baru mau nanya lo, lo apain kakak gue sampe mukanya kusut gitu?
Alva: Ada apaan nih?
Salsa: Ada cewe yang namanya Safira tadi datengin Kak Ari.
Ranti: HAH?!?! KAK FIRA???
Alva: HAH?! MANTAN KAK ARI???
Salsa menatap pesan Ranti dan Alva yang masuk berbarengan. Salsa makin tidak menyukai perasaan yang timbul ketika menyadari hanya dia satu-satunya yang tidak tahu tentang perempuan yang satu itu.
Salsa: parahnya lagi, tuh cewe ngasih Kak Ari undangan nikahannya.
Alva: Ouch! Gilaaaa!!! Setelah dulu dia kayak gitu?! I feel sorry for him ... gimana keadaan Kak Ari sekarang, Ran???
Salsa: Kayak gitu gimana, Va?
Ranti: Well, ketemu Kak Fira yang jadi nikah tahun ini sangat menjelaskan keadaan Kak Ari sekarang. Gila ya tuh cewe!! Kerjaannya nyiksa Kak Ari terus deh ...
Salsa: Nyiksa?
Ranti: Dua tahun terakhir mereka pacaran tuh ngga ada happy-happynya, Sa. Berantem terus, bahkan sampe teriak-teriak. Pas ketemuan, pas teleponan, ada aja yang didebatin. Gue aja suka sakpe capek kalo Kak Ari kagi ngehubungin cewenya. Cewenya takutan banget ngga dinikahin kakak gue. Apalagi abis kakak gue bilang dia ngga yakin bisa nikah tahun ini, cewenya makin kayak nyari-nyari masalah biar putus ...
Alva: Jadi cewenya tipe yang well-planned banget gitu. Dia udah planning ngga mau nikah lewat usia sekian biar pas anaknya masih butuh biaya sekolah dia ngga ketuaan untuk nyari duit atau udah pensiun. Gitu deh ... yang gue inget mereka emang ngebahas nikahan melulu, makanya gue kaget pas putus. Gue kira udah mau nikah.
Salsa: Yaampun ... kasian banget Kak Ari, kayaknya tertekan banget hidupnya.
Ranti: Banget! Makin parah nih pasti pas tau Kak Fira mau nikah ... Dulu aja habis putus mulai deh dia sering ngurung diri di kamar dan main game ngga inget waktu. Udah begadang, besokannya lari pagi. Mengkhawatirkan banget pokoknya.
Tadinya Ranti ingin menambahkan bahwa sejak dekat dengan Salsa, konsumsi game Kak Ari berkurang drastis. Tapi Ranti takut memberi Salsa harapan palsu.
Salsa: What should I do? Galau banget loh liat dia kayak tadi ...
Ranti: Don't ask me. Gue bener-bener ngga bisa ngelakuin apa-apa. Dia nutup diri soal ini. Sejujurnya gue sama bokap nyokap juga khawatir sih ...
Alva: Kadang gitu ya. Kita kepengen banget bantuin orang tapi ada boundaries yang ngga bisa kita lewatin. Yang kayak gini kalo Kak Arinya sendiri ngga ngelakuin sesuatu ya kita ngga bisa apa-apa.
Ranti: In the end, kita ngga bisa nyelametin orang yang ngga mau diselametin.
Salsa: I just wish I could do something ...
Salsa tidak membalas maupun merespon percakapan itu lagi setelah itu. Pikirannya sibuk memikirkan Kak Ari. Sejujurnya Salsa pun tidak dapat membayangkan apa yang bisa ia lakukan. Tapi dia tak mau melihat Kak Ari seperti tadi.
Terluka ... marah ...
Hati Salsa ikut berantakan melihatnya.
***
Pagi itu Salsa mencoba berlari di komplek perumahan Ranti lagi. Sudah sejak jam setengah enam pagi dia di sana. Dari berlari, berjalan sampai menongkrong-nongkrong menunggu penampakan Kak Ari. Tapi usaha Salsa nihil. Sampai jam setengah delapan Kak Ari tidak terlihat.
Salsa pun memutuskan untuk numpang mandi di rumah Ranti. Sesaat dia melihat Kak Ari lewat, menuju ke kamarnya. Dia belum bersiap sama sekali.
"Ngga ngantor lo, Kak?" Tanya Salsa dengan jantung berdebar kencang.
"Ijin sakit," jawab Kak Ari seadanya tanpa melihat Salsa.
Seandainya Kak Ari tahu kalau hati Salsa juga sakit melihatnya berantakan begini ...
Salsa mau tak mau teringat dengan Kak Fira. Perempuan itu begitu tenang di hadapan Kak Ari, bahkan terlihat seperti merasa menang. Salsa masih tidak habis pikir apa tujuan utama perempuan ini mengundang Kak Ari. Ingin pamer atau ingin menyiksa mantan?
Salsa menggelengkan kepalanya, membuyarkan lamunannya. Sekilas, matanya menangkap sebuah pemandangan yang familiar di tempat sampah ruang tamu.
Undangan pernikahan Kak Fira. Tidak ada sampah lain di sana, berarti undangan ini baru saja Kak Ari buang. Salsa tak bisa menahan diri untuk tidak mengambilnya. Ia melihat tanggal acara di punggung undangan, masih sebulan lagi. Salsa berpikir sejenak.
Entah apa yang merasuki Salsa, dia memutuskan untuk ke kamar Kak Ari dan mengetuk pintunya sambil membawa undangan tersebut. Saat ini hanya ada Ranti, Salsa dan Kak Ari dalam rumah berlantai dua itu karena Mama dan Papa Ranti sudah berangkat kerja sejak jam tujuh pagi. Ranti sedang di dapur yang terletak di bagian bawah rumah sedangkan kamar Kak Ari di atas.
Kalau Kak Ari marah lalu membanting Salsa, tidak ada yang dapat menyelamatkannya.
Kak Ari membuka pintu dan makin jelas tanda berantakannya hati Kak Ari dari penampilannya. Matanya yang merah dan sembap, rambutnya yang berantakan dan bajunya yang kusut.
Salsa menahan keinginannya untuk menangis membayangkan Kak Ari semalam kesakitan menahan perasaannya setelah Kak Fira datang.
"Kenapa lo buang undangan mantan lo?" Salsa memutuskan untuk tidak berbasa-basi. Mencoba membuat Kak Ari menghadapi masalah ini adalah salah satu jalan untuk menyelamatkan perasaan Kak Ari.
Sesaat Kak Ari nampak kaget, tapi kemudian ia memasang wajah ketus dan cueknya lagi.
"Mau gue buang kek, gue pajang kek, bukan urusan lo ..." kata Kak Ari sambil menutup pintu. Pikirannya begitu kalut, dia tidak ingin diganggu.
" ... nih, Kak." Salsa menahan pintu Kak Ari dengan undangan Kak Fira. Kak Ari kembali membuka pintunya dan menatap undangan itu dengan tatapan tak percaya. Ia lalu merampasnya sambil menatap Salsa marah.
"Apa coba maksud lo ngubek-ngubek sampah gue dan ngambil ini?!" Kata Kak Ari, emosinya naik lagi. Tapi Salsa tidak peduli.
"Gue ngga ngubek-ngubek, itu masih bersih kok. Kan tempat sampah lo isinya undangan itu doang."
"Dan ada alasannya kenapa undangan itu ada di tempat sampah! Lo jadi tamu harusnya jangan lancang!" Teriakan Kak Ari terdengar ke seluruh penjuru rumah. Besar dan menyeramkan. Kak Ari maju untuk menakuti Salsa, tapi Salsa tidak gentar.
"Lo mau sampe kapan kayak gini sama mantan lo Kak?? Lo tuh butuh closure tau ngga, kalo ngga lo ngga bakal bisa tenang tiap dia muncul lagi di hidup lo!"
"Anak kecil sok tahu! Lo ngga tau apa-apa soal ini jadi jauh-jauh dari masalah gue! Ngerti?!"
"Ngga ngerti! Lo tuh ngga jelas tau ngga?! Dulu aja lo keren banget bilang kalo elo ngga satu visi sama dia, sekarang lo kayak kehilangan visi abis ngeliat dia!"
"Sa, cukup ya ..." Kak Ari menekan pangkal hidungnya sambil menahan kemarahannya. Suaranya rendah, dalam dan menusuk. Tapi Salsa masih penuh dengan emosi.
"Lo pikir dengan lo buang tuh undangan mantan lo ngga jadi nikah?! Lo pikir hidup lo baik-baik aja??! Lo pikir dia masih jadi cewe lo????!"
Kak Ari langsung memukul tembok di sebelah dengan kepalan tinjunya. Salsa yang tadi nyaring kini diam dan pucat di hadapannya. Tatapan Kak Ari ... Salsa belum pernah melihat tatapan benci setajam itu, apalagi datangnya dari Kak Ari. Dadanya ngilu, Salsa hanya bisa menatap Kak Ari sambil menahan nafas.
"Ada apa nih!?" Ranti mendatangi depan kamar Kak Ari.
"Ajarin sopan santun ke temen lo nih!" Kata Kak Ari sambil menunjuk Salsa kesal sebelum masuk kamar dan membanting pintu kamarnya.
"Ran ... sorry ..." ujar Salsa ketakutan, dia yang tadi terus menyerang dengan ucapannya kini bingung harus bicara apa lagi.
***
Sejak pertengkaran mereka beberapa hari lalu, Salsa tidak berhubungan lagi dengan Kak Ari. Kebetulan hari pertengkaran mereka tersebut adalah hari Jumat. Sudah tiga hari dia putus kontak dengan Kak Ari. Kangen pastinya, tapi Salsa mengerti kalau Kak Ari butuh sendiri.
Masalahnya hari ini adalah hari Senin. Hari pertama keduanya ngantor setelah kejadian itu. Salsa bertanya-tanya dalam hati ... dia masih dapat privilege pulang bersama Kak Ari atau tidak ya?
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Tidak ada tanda dan kabar dari Kak Ari, padahal biasanya dia sudah mengajak Salsa janjian keluar kantor bersama. Salsa pun mencoba menelepon Kak Ari lewat telepon kantor. Dia berharap dalam cemas agar teleponnya diangkat.
"Halo?"
Diangkat!!
"Kak! Di kantor sampe jam berapa??"
"Gue lembur. Lo duluan aja."
Sudah selama ini pulang bareng, sering tunggu-tungguan seperti orang pacaran. Biasanya juga dia yang ajak pulang bareng. Eh, tahu-tahu sekarang Salsa dilempar ke jalanan sendirian.
Lebay memang Salsa ini, tapi serasa disiram air panas dada Salsa begitu mendengar nada dingin Kak Ari.
Sabar ... sabar ...
"Lo udah makan? Gue siapin makanan mau?"
"Udah kok, ngga usah."
"Kak ... gue minta maaf. Please, maafin gue?"
Tidak ada jawaban.
"Halo? Kak Arinya masih ada?" Ucap Salsa mencoba meringankan suasana.
"Lo balik duluan aja ya. Gue masih sibuk. Bye."
Ditutup. Salsa bengong menatap telepon kantor yang sudah bernada, "tuuuuuuttt ...". Sekilas bertanya-tanya, itu nada telepon atau denyut nadinya ya?
Kak Ari ah, tega! Perih banget ampuuunnn ...
***
"Kak! Udah napah ngambeknya?! Kayak anak kecil ah!"
Salsa menahan Kak Ari. Ini sudah hari Rabu, Kak Ari tidak kunjung membaik. Baik ajakan dan bujukan Salsa maupun permintaan maafnya tidak lagi dihiraukan.
"Gue ngga ngambek," kata Kak Ari tanpa melihat mata Salsa sama sekali.
"Tapi ngga mau liat mata gue pas lagi ngomong??!" Kak Ari langsung mengarahkan pandangannya ke mata Salsa. Salsa agak terkejut, tapi ia mencoba menjelaskan lagi pada Kak Ari.
"Gue mungkin salah udah ngelakuin hal yang lancang buat lo, tapi gue peduli sama lo, Kak!"
"Lo ngga bisa jadiin peduli sebagai alasan buat seenaknya, Sa."
Mata Salsa langsung terbuka lebar. Dia tidak terima Kak Ari berkata demikian setelah semua yang Kak Ari lakukan padanya beberapa minggu terakhir.
"Why not?? You did it to me. Tahu-tahu seenaknya ngemonitor gue dan pertemanan gue, tahu-tahu nyuruh gue balik bareng lo terus, tahu-tahu ngelarang gue jalan sama cowo ..."
"Yea? Well, congratulation. Now you could finally do your usual stupid things. Gue ngga peduli lagi."
Mata Salsa panas dan rahangnya mengeras mendengar ucapan yang keluar dari mulut Kak Ari.
"Oh wow ... that's ..." Salsa tak tahu bagaimana melanjutkan ucapannya. Air mata sudah menggenang, tapi mati-matian Salsa tahan. Hatinya merasa sedang dipermainkan. Salsa marah pada Kak Ari yang seenaknya. Bahkan saat ini pun Kak Ari tidak meresponnya.
"Nunggu lama, Mas?" Tiba-tiba Clarissa datang dan berdiri riang di sisi Kak Ari.
"Ngga kok. Gue duluan," Kak Ari pamit seadanya. Salsa melihat keduanya dengan pandangan jijik.
"Whatever!" Hanya itu balasan Salsa. Dia langsung berjalan tenang ke arah toilet, mengunci dirinya di salah satu bilik, lalu mengeluarkan seluruh air mata yang dari tadi mendesak keluar.
Semesta memang senang bercanda. Setelah membuat Salsa seperti terbang tinggi di langit, kini Salsa diterjunkan tiba-tiba ke inti bumi. Beberapa kali Salsa memijat dadanya yang terasa nyeri.
Salsa lelah ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top