Plan B: Bold Movements
Gue ngga mau di masa depan gue nyalahin orang lain karena hal yang ngga gue capai saat ini. Gue ngga mau nyesel di masa depan. - Ari
***
"Eh, Kak Ari??" Salsa pura-pura terkejut mendapati Kak Ari yang berjalan melewati lobi menuju ruangan kerjanya. Kak Ari menatap heran sambil mendekati Salsa.
"Ngapain lo, Cah?" Tanya Kak Ari tanpa senyuman. Bukan bermaksud galak, Kak Ari memang orang yang paling malas senyum.
"Mau interview magang, Kak. Lo kerja di sini juga toh?"kata Salsa sambil deg-degan dalam hati. Sebenarnya dia tahu kalau Kak Ari bekerja di sana, itulah yang menjadi motivasi Salsa untuk melamar program internship di perusahaan periklanan yang cukup besar itu.
Kak Ari memang menjadi inspirasi bagi Ranti untuk mengambil komunikasi UI dan secara tidak langsung menentukan nasib Salsa dan Alva juga. Salsa teringat di masa-masa terakhir SMA Ranti begitu gigih mengajaknya dan Alva belajar agar lulus UI. Itu semua karena Kak Ari juga kuliah di sana dengan jurusan yang sama.
"Lo bukannya lagi skripsi ya?"
"Nyambi magang buat tambahan."
"Lo bukannya orang kaya ya?"
Elah, Kak! Bakal calon lo nih! Kagak ngiklas banget gue sekantor ama lo!
"Bonyok gue yang kaya. Gue mah kudu kerja buat dapet duit."
"Setau gue lo kaya dari endorsement gitu."
Ini kenapa gue berasa di interogasi sih?!
"Tau aja lo, Kak. Ngefans ya ama gue?"
"Kagak. Gue pernah liat lo nyuruh Ranti foto-fotoin lo bareng produk endorsement lo di rumah." Ucapan santai Kak Ari yang terakhir itu langsung membuat Salsa malu setengah mati. Bukannya apa-apa, sesi foto endorsement Salsa biasanya dilakukan lebih dari setengah jam dengan berbagai gaya. Membayangkan tingkahnya saat berfoto ternyata pernah diperhatikan Kak Ari, wajah Salsa langsung terasa panas.
Tapi bukan Salsa namanya kalau tidak bisa bermuka badak.
"Keren kan tapi gue?" tanya Salsa.
"Cah, lo dari tadi dipanggil tuh buat interview," Ujar Kak Ari dengan wajah jahil sambil menunjuk ke arah belakang Salsa. Salsa menengok dan calon managernya sudah berada di ambang pintu, mengernyit melihatnya yang tidak menyahut setelah dipanggil beberapa kali.
Salsa menambah catatan di otaknya: hati-hati kalau mengobrol sama Kak Ari, berpotensi bikin Salsa tuli.
***
"Sa, lo mau bikin gue mati deg-degan apa gimana sih ini?!" kata Ranti dengan nada putus asa.
"Jangan dong!" lanjut Alva panik.
"Lebay lo berdua! Biasa aja kali, gue cuma magang buat nyari pengalaman sama mulai nyolong start buat prospek kerja," balas Salsa mengelak.
"Jangan lupa buat pedekate sama Kak Ari!" tambah Alva yang langsung ditatap tajam Ranti.
"Dan buat pedekate sama Kak Ari," Salsa mengulang ucapan Alva sambil mengangguk membenarkan kalimat itu. Kali ini pelototan Ranti langsung pindah ke Salsa. Alva pun dapat bernafas lega karena lolos dari tatapan galak tersebut.
"Terus skripsi lo ngga diurusin?" tanya Ranti kesal.
"Ya gue sambil ngerjain skripsi dong Ranti. Tapi kan semester ini SKS gue cuma skripsi doang, ngga ada matkul lain. Jadi gue butuh tambahan aktivitas biar ritme kerja sehari-hari ngga kendor. Lagian gue kan udah turun lapangan, interview dan record temuan lapangan juga. Tinggal disusun semua sama sesekali bimbingan kan?" bukan Salsa namanya kalau tidak seenaknya mengambil keputusan. Tapi bukan Salsa juga namanya kalau tidak mempersiapkan segudang alasan. Bukannya apa-apa, siding Ranti itu diyakini Salsa lebih sengit daripada siding skripsi nanti.
"Kalau lo butuh turun lapangan lagi untuk ambil data tambahan gimana??" tanya Ranti.
"Lo lupa? Gue kan magang di salah satu perusahaan advertising terbesar di Indonesia. Penelitian gue sendiri kualitatif. Kalo butuh nyari data tambahan ya gue cari aja orang di kantor tempat gue magang buat diwawancara."
"That's ... not how it works ..." Ranti menggeleng frustasi.
"But it can works that way ..." Kata Salsa yakin. Secara teknis dia tidak salah, meskipun itu artinya Salsa mengulang penarikan data dari awal dan merombak bab temuan data. Ranti menghembuskan nafasnya.
"Segininya lo sama Kak Ari?"
"Segininya, Ran," kata Salsa kembali tegas. Alva takjub melihat keteguhan hati Salsa kali ini.
"Ngga kayak biasanya ya, Ran?" tanya Alva pada Ranti, berniat mendukung Salsa. Ranti juga paham maksud Alva sehingga dia langsung melanjutkan mengutak-atik laptopnya di atas kasur Salsa.
"Terus? Lo belom cerita progress lo sama Kak Ari gimana," tanya Ranti penasaran.
"Nol, Ran. Masih nol. Parah banget!" balas Salsa kembali ke mode curhat. Dia pun lanjut mengetik di laptopnya. Begitu pula Alva.
Ya, Minggu itu mereka bertiga berkumpul untuk bersama-sama mengerjakan skripsi. Tentu saja support system ini didirikan dan diurus penuh oleh Ranti dengan tujuan agar ketiganya dapat lulus tepat waktu. Kalau dulu Ranti bisa membuat mereka bertiga sama-sama lulus UI, sekarang Ranti juga harus bisa membuat mereka lulus dari UI!
"Lah, kok bisa sampe ngga ada kemajuan padahal udah dua minggu magang?"
"Soalnya pas di kantor Kak Ari itu ngalah-ngalahin setan. Ngga kasat mata. Ngga ada dimana-mana."
Sudah dua minggu Salsa kerja tapi tidak pernah bertemu lagi dengan Kak Ari di kantor. Salsa mencoba mencari-cari saat jam istirahat, jam pulang sampai-sampai Salsa pun menyelidik tiap lorong kantor saat waktunya sholat Jumat.
Hasilnya nihil. Kak Ari seperti tidak pernah istirahat makan, istirahat sholat, tidak pernah pulang, dan waktu sholat Jumat Salsa tidak bisa melihat dengan jelas saking banyaknya jumlah karyawan laki-laki yang sudah bersiap ke mesjid terdekat. Semuanya sibuk mencari perhatian Salsa sehingga menutupi pandangan Salsa yang mencoba mencari sasarannya itu. Yah, risiko bekerja di perusahaan besar memang harus siap menghadapi karyawan berjumlah di atas 500 orang sih.
"Hmm ... setau gue Kak Ari biasa makan di mejanya, males keluar-keluar. Pulang juga seringnya paling cepet jam 9 malem dari kantor. Sampe rumah jam 10 malem." Salsa manggut-manggut mendengar Ranti sambil tetap mengetik. Enak juga ya ada orang dalem begini.
"Gue beda divisi sih sama dia ... apa gue samperin aja ya ke divisinya?"
"Jangan. Kak Ari gampang ilfil sama cewe agresif," balas Alva.
"Kok lo tahu, Va?" Tanya Salsa heran.
"Sering cerita-cerita aja sambil main game bareng kalo lagi ngapel ke rumah Ranti," jawab Alva.
"Lo ngapelin Ranti apa Kak Ari tuh jadinya, Va?" Tanya Salsa diikuti tawa renyah Ranti.
"Jahat kamu," Alva berhenti mengetik sejenak dan memasang wajah memelas pada Ranti. Ranti pun menempelkan kepalanya ke pundak Alva sambil tetap menatap layar laptop. Salsa cemberut melihat keduanya.
"Jangan pacaran di kasur gue! Alva sini tukeran sama gue," perintah Salsa yang seperti menyalakan lampu kuning melihat gelagat Ranti dan Alva yang mulai menjurus.
Alva menurut tanpa protes. Lebih baik menjauh sejenak agar tidak terdistraksi dari mengetik bab temuan data. Kalau target menulisnya tidak tercapai nanti Ranti bisa marah-marah. Mungkin Ranti cocok jadi editor di perusahaan penerbit kelak.
"Soal Kak Ari nanti gue atur. Lo atur jadwal bimbingan dulu aja, Sa." Ranti menambahkan saat Salsa sudah di sebelahnya.
"Gue bimbingan Rabu sore," jawab Salsa.
"Good," balas Ranti.
"Eh, Ran."
"Hah?"
"Lo mau ngatur gimana maksudnya?"
"Ntar lo terima hasil aja."
Salsa melirik Ranti dan dia melihat sahabatnya itu sekilas tersenyum licik. Apapun itu, Salsa yakin dirinya dan Kak Ari akan bertemu lagi di kantor secepatnya.
***
Senin itu Salsa dan kedua teman magangnya kebingungan karena pantry ruang makan sudah penuh. Wajarlah, namanya juga jam istirahat makan siang.
"Sa!" Seperti ada yang menghentak jantung rasanya ketika suara yang familiar itu meneriakkan namanya. Salsa menengok ke arah suara tersebut dan benar saja, Kak Ari dan dua orang temannya sedang duduk di meja panjang untuk enam orang.
Kak Ari menunjuk tiga kursi kosong di depannya. Hati Salsa berbunga-bunga seiring dengan langkahnya yang mendekati kursi Kak Ari. Memang paling bisa diandalkan Ranti tuh!
Salsa langsung duduk di sebelah Kak Ari sementara dua temannya mengisi sisa tempat yang kosong.
"Thanks, Kak." Salsa berusaha manis.
"Biasa aja. Pusing gue liat lo celingukan," kata Kak Ari sambil lanjut makan. Salsa memanyunkan mulut dan mulai membuka makanannya juga sambil berinteraksi dengan teman-teman magangnya sejenak.
Sekilas Salsa melirik dua teman Kak Ari yang tak berkedip memandangnya, Salsa pun terang-terangan melempar senyum pada kedua laki-laki yang nampak berada di penghujung usia 20-an itu. Sepengalaman Salsa, senyuman terang-terangan itu selalu mampu membuyarkan pandangan-pandangan yang membuatnya tak nyaman. Strateginya memang berhasil, kedua teman Kak Ari langsung membalas senyum Salsa dengan salah tingkah lalu melanjutkan makan.
"Jadi juga lo masuk sini," kata Kak Ari tanpa menatap Salsa.
"Yoi! Mohon bimbingannya Kak Senior!" Kata Salsa penuh semangat.
"Lo jadi apa di divisi mana? Kok gue jarang ngeliat lo?" Tanya Kak Ari.
Bukan jarang, emang ngga pernah. Makanya gaul napa, Kak!
"Gue content creator," jawab Salsa singkat. Sebetulnya hatinya sudah menggebu-gebu kegirangan karena mengobrol dengan Kak Ari. Tapi kenapa ini mulutnya kaku banget ya? Kalah deh semen kering.
"Kreatif ya?" Kali ini Kak Ari menanyakan divisi Salsa dan Salsa hanya mengangguk karena sedang mengunyah makanan.
"Beda aliran berarti kita. Gue anak media," kata Kak Ari sambil menyuapi mulutnya dengan sesendok makanan.
"Media planning apa investment, Kak?" Pertanyaan Salsa ini agak mengejutkan Kak Ari. Dia tidak menyangka kalau Salsa sudah tahu bahwa subdivisi media agency di kantor itu terbagi dua. Meskipun statusnya anak magang, tapi sudah mencari tahu sejauh itu tentang tempat kerjanya. Boleh juga ternyata anak ini ...
"Gue Brand Manager buat media planning," jawab Kak Ari.
"Oooh ... megang berapa brand?"
"Lima."
"Banyak juga ya."
"Yang dua jarang campaign sih."
"Gue cuma megang dua, tapi dua-duanya sering campaign digital," kata Salsa. Mata Kak Ari membesar. Salsa menyembunyikan senyumnya. Bagus, Kak Ari mulai tertarik.
"Lo udah dikasih brand? Bukan ngerjain by request?" Tanya Kak Ari menyembunyikan ketakjubannya.
"Under supervision, Kak. Karena sering campaign jadi nyari yang bisa dedicated."
"Berani juga ya ngasih anak magang buat inplementasi."
"I'm no ordinary intern," jawab Salsa asal. Sebenarnya memang begitu. Pengalaman Salsa di bidang content sebagai influencer selama ini memberinya nilai plus dalam pemberian kepercayaan dari managernya.
Kak Ari mengangguk-angguk lalu melanjutkan makan.
"Ngomong-ngomong, kalo beda aliran jadi jarang kerja bareng ya?" Tanya Salsa sewajar mungkin.
"Jarang lah. Paling pas brainstorming doang. Itu juga tergantung, kacung level terbawah macem lo bakal diajak apa ngga."
"Songong banget sih lo, Kak!"
"Tapi gue ngga pernah ngerti jobdesc-nya kreatif deh. Content creator ... ngapain coba? Semua orang bisa bikin konten medsos kan?" Tiba-tiba salah seorang teman Kak Ari menyahut. Salsa memperhatikan laki-laki itu. Tubuhnya agak gemuk khas Bapak-bapak berkeluarga.
"Coba lihat instagram lo deh," Balas Salsa dengan tenang. Laki-laki itu mengernyit, tapi Salsa langsung membuka ponselnya, "nama ig lo apa, Mas?"
"Obbierasyied_. B-nya dua. Pake "ie" di "obbie" dan di "rasyied". Digabung. Belakangnya pake underscore." Setelah agak bersusah payah, akhirnya Salsa menemukan akun Mas tersebut. Dia melihat-lihat sekilas lalu memperlihatkan layar ponsel-nya kepada si pemilik akun.
"Nih ya Mas Obbie. Followers lo 500-an orang. Dari segitu banyak followers lo, tiap lo ngepost yang nge-like paling sekitar 150 sampai 180 orang. That's less than a half," kata Salsa seperti mereview dan mengevaluasi aktivitas instagram Mas Obbie. Dia lalu mengetuk-ngetuk ponselnya dan memperlihatkan kembali layarnya pada Mas Obbie. Kali ini nampak halaman akun instagramnya sendiri.
"Ini ig gue. Followers gue 400K. Tapi tiap gue nge-post, gue bisa dapet rata-rata like 300K sampai 450K. Jadi selain gue bisa bikin lebih dari setengah followers care enough to double tap, ada juga orang yang ngga follow gue tapi nemuin postingan gue di search page mereka dan nge-like postingan itu," Salsa mencoba menjelaskan panjang lebar tapi nampaknya Mas Obbie masih bingung poin apa yang ingin Salsa sampaikan. Sementara itu, Kak Ari sudah tersenyum geli melihat interaksi itu.
"Semua orang emang bisa bikin konten medsos. Tapi kemampuan gue untuk bikin konten yang bisa nge-engage beyond followers gue ini yang bikin gue jadi content creator. Meanwhile lo tinggal ngelaporin hasil kerja gue aja dengan tulisan 'objectives delivered' gitu." Salsa terdengar sedikit arogan, tapi Kak Ari langsung tertawa terbahak-bahak. Seluruh penghuni meja bengong ketika Kak Ari menepuk pundak Mas Obbie
"Belajar lagi, Mas, biar tahun depan kesampean jadi manager," kata Kak Ari.
"Loh, Mas Obbie bukan manager toh?" Tanya Salsa bingung.
"Bukan, gue masih senior planner." Kata Mas Obbie malu-malu.
"Yaampun, sangkain sama kayak Kak Ari," kata Salsa polos.
"Udah ah, gue duluan. Pinter juga lo, Cah ..." Kak Ari menepuk dahi Salsa. Cukup kencang sebenarnya, Salsa sempat mengaduh. Dia lalu melanjutkan makan sambil mengobrol santai dengan sisa orang di meja makan tersebut.
Setelah kembali ke mejanya, barulah Salsa menyentuh dahinya dan mengingat tepukan Kak Ari tadi. Senyumnya tak bisa ditahan lagi.
"Lo tuh smart, open-minded and very attractive. You're big enough to know what's good for you. Yet, you wasted your time for someone you surely know isn't for you."
Ucapan Kak Ari saat mereka bertemu secara tidak sengaja di restoran fastfood beberapa waktu lalu kembali terngiang. Salsa menikmati debaran yang membuat pipinya merona sambil membuka laptopnya.
Kali ini Salsa ngga buang-buang waktu, Kak. Salsa yakin Kak Ari buat Salsa, dan Salsa ngga mau nyesel karena ngga memperjuangkan perasaan langka ini ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top