Chase Me #8
Persiapan keberangkatan Sheena ke Lombok sudah nyaris rampung.
Duduk di tepi tempat tidurnya, Sheena merenung sesaat.
Jadi, seperti ini rasanya? Meninggalkan kamar tidur yang telah dihuni sejak ia masih kecil? Sulit membayangkan jika harus mengosongkan kamar itu selama setahun. Belum lagi, ia memikirkan ayah yang hidup sendiri di rumah itu selama setahun.
"Kamu nggak perlu khawatir. Ayah akan baik-baik saja. Ayah masih kuat melakukan segala sesuatunya sendiri."
"Aku kan sengaja ngambil kerja di Jakarta biar selalu bisa nemenin Ayah."
"Kamu lihat kan Ayah masih sehat begini. Selama ini Ayah nggak pernah sakit kan?"
"Iya sih...," Sheena masih memiliki kesempatan untuk meminta ayah ikut dengannya ke Lombok. "Yah, gimana kalau Ayah ikut Sheena ke Lombok?"
Ayah tertawa. "Kamu nih gimana? Masa Ayah harus ikut kamu ke Lombok?"
Sheena memberikan alasan. "Gini, Yah. Kalau Ayah ikut, aku jadi lebih tenang. Ayah juga nggak kesepian di sini seorang diri."
Seandainya saja ia punya saudara, satu saja yang bisa menemani ayah, tentu ia tidak harus kepikiran soal ini.
***
Apa benar ia pernah menyukai gadis itu?
Terlepas dari pertemuan pertama mereka yang tidak bisa dikatakan manis, Radit mengakui jika gadis itu memang menarik. Dengan paras ayu dan sikap lembut, cowok mana pun akan mudah terpikat. Wajah gadis itu bukan tipe wajah cantik rupawan yang sekali dipandang langsung menimbulkan efek jatuh cinta secara kilat. Wajahnya adalah tipe wajah yang semakin lama dilihat semakin menunjukkan pesonanya. Radit mungkin saja memilih secara random targetnya ketika itu, tetapi jelas sekali jika pilihannya tidak keliru.
Radit tengah berbaring santai menghadap laut sambil mendengarkan debur ombak. Sudah seminggu berlalu sejak reuni, tetapi pikirannya masih terbawa oleh ucapan Aidan.
Ia tidak pernah memikirkan gadis itu setelah bertahun-tahun di luar negeri. Sangat aneh jika ia sampai meluangkan waktu untuk membayangkan sosok gadis itu, sementara mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Rasanya lucu sekaligus aneh.
Radit membuka kacamata.
Kali ini rasanya benar-benar semakin aneh.
Bagaimana mungkin gadis yang sedang bermain di benaknya itu berada di sana?
Apakah ia sedang bermimpi?
Jika iya, berarti benar yang dikatakan orang tentang bermimpi di siang bolong.
Tapi kali ini jelas bukan mimpi.
Ia melihat sosok yang sedang berjalan menyusuri deretan warung bersama tiga orang lainnya ; dua perempuan dan satu laki-laki.
Itu benar-benar dia! Tidak salah lagi!
***
Sheena mengaduk-aduk es kelapa muda pesanannya sebelum menyesap air kelapa tanpa tambahan sirup. Rasanya dingin dan segar. Sangat manjur untuk menyamarkan rasa haus yang ditimbulkan cuaca yang cukup panas. Pak Pri, Santi, dan Wati juga menikmati minuman pesanan mereka masing-masing. Mereka sudah makan siang sebelum jam 1. Dan sekarang setelah melihat-lihat kantor Acore, mereka sepakat untuk ke pantai untuk bersantai. Pak Pri nampaknya tidak akan tinggal sampai sore di sana karena ia mulai lelah. Tubuhnya yang sedikit tambun, cukup merepotkan dibawa ke mana-mana.
Pak Pri memesankan roti bakar untuk mereka. Hari itu ia yang mentraktir mereka. Awalnya mereka bertiga menolak ditraktir, namun Pak Pri meyakinkan mereka untuk tidak perlu sungkan.
Selama bertugas di Lombok, mereka mendapatkan fasilitas yang cukup memadai. Khusus Pak Pri mendapat sebuah rumah kontrakan, sementara Sheena dan kedua rekannya, menempati rumah lainnya yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah yang ditempati Pak Pri. Dan kediaman yang mereka tempati hanya berjarak sekitar satu kilometer dari kantor. Nantinya mereka bisa memanfaatkan fasilitas mobil kantor yang siap mengantar jemput mereka. Bonusnya, pihak perusahaan menyediakan alternatif pilihan transportasi lain seperti sepeda dan motor. Mereka tinggal mengajukan permintaan peminjaman selama mereka masih bekerja di kantor cabang di sana.
"Gimana? Mau nunggu sunset atau langsung balik ke rumah?" tanya Pak Pri yang sudah membayar tagihan. Ia merapikan tas pinggangnya dan bersiap-siap pergi menggunakan mobil.
"Mau nunggu sampai sore. Kalo sunset-nya kelamaan, mungkin kami langsung balik aja, Pak," canda Wati.
"Kalian bersantai saja ya? Bapak duluan," pamit Pak Pri.
"Iya, Pak. Terima kasih traktirannya," ucap Santi.
"Sama-sama."
Mereka bertiga menunggu sampai Pak Pri masuk ke dalam mobil, sebelum kembali ke meja tempat mereka duduk sambil memandangi keindahan laut.
***
Radit masih memerhatikan ketiga gadis yang tengah mengobrol santai menikmati minuman. Ia kini masih berada di kursi, meski posisinya tidak lagi berbaring. Ia tahu, saat itu bukan waktu yang pas untuk menghampiri Sheena. Ia hanya tidak ingin mendapati tatapan curiga dari kedua teman Sheena. Sebab mungkin saja ada di antara mereka yang pernah melihatnya di kantor dan mengetahui jika ia adalah keponakan Om Malik. Terkadang posisi petinggi dan karyawan menjadi hal kontras sekaligus menjadi pergunjingan. Apalagi ia tidak mengenal mereka.
Jadi, yang ia lakukan hanya menyelingi aktivitas menikmati pemandangan laut dengan mencuri pandang ke arah kafe itu. Ia tidak berusaha menyembunyikan diri, tetapi juga tidak ingin menunjukkan dirinya. Sheena akan menyadari keberadaannya di sana jika Sheena bisa mengenalinya.
Kini matahari mulai semakin bergeser menuju sore. Pada jam seperti ini di puncak kemarau, sengatan matahari masih cukup terasa panas di kulit. Namun, sore itu suasana cukup mendung. Udara sedikit lebih lembab dan langit berwarna sedikit kelabu. Mungkin tidak akan turun hujan.
Mendung tidak selalu berarti hujan.
Kalaupun akan turun hujan, mungkin malam nanti atau Subuh.
Itu hanya perkiraan ngaco, versinya. Kadang, orang memang suka iseng melakukan ramalan cuaca. Sekadar menguji insting saja.
Radit beranjak dari kursi. Ia bermaksud menikmati sunset di tempat yang sedikit lebih dekat dengan laut. Ia menoleh sekali lagi ke arah kafe. Ketiga gadis itu sedang berjalan meninggalkan kafe menuju pantai.
Dan saat itulah, Sheena melihatnya.
***
"Eh, tuh cowok kaya pernah lihat deh. Tapi di mana ya?" tebak Santi.
"Iya ya? Kaya familiar gitu mukanya. Tapi kok nggak kepikiran ya pernah lihat tau ketemu di mana?" Kali ini, Wati ternyata berpikiran sama.
Bagi Sheena, tentu saja ia tidak perlu menebak-nebak. Sekalipun laki-laki itu memakai kacamata, dari jarak sedekat itu, ia bisa mengenalinya.
Bukan berarti ia sengaja memikirkan siapa sosok yang dilihatnya.
Sosoknya jadi benar-benar terasa familiar.
Tapi apa yang dilakukan laki-laki itu di Lombok? Di antara ribuan pulau yang dimiliki oleh negara Indonesia, mengapa ia memilih berlibur di sana?
Atau jangan-jangan ia juga bekerja di sana?
Sheena berhasil mengarahkan Santi dan Wati berbelok ke arah lain, meskipun kedua temannya itu masih penasaran dan berusaha mengingat sambil mendekati Radit.
"Eh. Bukannya dia keponakannya Pak Malik?"
Akhirnya Santi menemukan jawaban. Sejak tadi lidah Sheena sudah gatal ingin memberitahu mereka, namun harus ditahan.
"Oh! Yang pernah datang ke kantor itu? Aku ingat, aku ingat!" sambut Wati, antusias.
"Nah, kan." Santi manggut-manggut. Ia nampak bangga akan kecemerlangan otaknya yang bisa mengingat dalam waktu singkat. Coba bayangkan saja jika ia penasaran dan sampai iseng mencari jawaban di Google? Tapi bagaimana mencari informasi seperti itu di Google?
Hehe.
"Kabarnya tahun ini, bisnis keluarga Atmadja semakin sukses. Setelah sukses di bisnis travel dan ekspor hasil laut, dengar-dengar mereka mulai merambah bisnis pariwisata yang lebih luas lagi." Wati mulai mengemukakan apa yang ia ketahui.
"Maksudnya? Usaha travel kan bagian dari pariwisata juga?" tanya Santi setelah mendengar cerita Wati.
"Semacam investasi gitulah. Bisa saja mereka membuat properti seperti vila atau resor, semacam itulah. Tahun ini kan pemerintah semakin giat membuka peluang investasi bidang pariwisata? Jadi buat pengusaha yang punya modal, bisa ikut investasi," lanjut Wati sambil menggerak-gerakkan tangan saat sedang berbicara.
"Wah kebayang dong, sekaya apa keluarga Atmadja. Dengar-dengar, keluarga Atmadja masuk daftar terkaya apa gitu versi majalah bisnis," kata Santi.
Sejak tadi, Sheena hanya mendengarkan. Sesekali mengiyakan tetapi tidak pernah menimpali. Bukannya tidak paham, ia hanya tidak begitu tertarik mengobrolkan sesuatu jika berkaitan dengan harta, kekayaan dan semacamnya.
"Eh, jadi nanti malam, ada acara apa lagi nih?" Sheena mengalihkan topik pembicaraan mereka.
Santi menoleh ke Wati. Menunggu Wati bicara lebih dulu.
"Paling istirahat aja. Abis makan malam palingan nonton TV, trus tidur deh."
"Iya bener. Lagian belum ada kerjaan kantor kan? Masih penyesuaian lokasi dulu."
Sheena mengangguk. "Iya juga sih. Pulang dari sini, pasti udah capek banget."
Ia mengingatkan dirinya untuk menelepon ayahnya nanti malam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top