Chase Me #7


Chase Me #7

Pink and white candy stripe midi dress, Kate Spade lola glitter crossbody, ankle strap.

"Kenapa malah lo harus lebih cantik dari gue sih?" gerutu Raya setelah melihat Sheena mencoba pakaian yang ia beli dari butik. Tas dan sepatu tidak perlu beli, karena ia masih memiliki benda-benda tersebut dari koleksinya yang masih cukup layak untuk dikenakan di acara reuni.

Tentu saja Raya sedang bercanda, karena pada kenyataannya, penampilan Raya terkesan lebih menarik. Ia baru saja memboyong halter neck dress warna biru langit dengan aksen Swarowski di bagian dada. Belum lagi jika ia memadankan outfit classy tersebut dengan tas juga sepatu dari brand mewah.

"Lo lagi menghina gue? Jelas-jelas lo tuh yang selalu jadi pusat perhatian ke mana-mana."

"Nggak usah merendah untuk meroket, Neng. Sekali pun gue cantik, wajah lo tuh lebih menarik dari pada gue. Tapi sumber daya alam itu nggak lo gunain dengan baik buat nyari cowok." Raya menekankan telunjuk ke dagunya. "Peluang selalu ada kok, Na. Siapa tau di pesta reuni ada yang kecantol."

Sheena merasakan ujung bibirnya tertarik. Tidak lama, ia sudah mencibir ke arah Raya.

"Gue nggak mau ke reuni buat nyari pasangan."

"Gitu aja terus. Tau-tau di sana, lo naksir seseorang, awas aja."

"Yee, kalo gitu lo aja lah yang nyari cowok."

"Heh. Gue cuma mau nyari cowok kalau lo udah officially taken sama seseorang."

"Hih, bisa gitu ya?" Cibiran Sheena makin menjadi. "Bilang aja kalo kriteria lo terlalu tinggi. Sekelas Prince William aja masih belum masuk di kriteria lo."

Sheena menggunakan kesempatan itu untuk meledek Raya. Mereka memang selalu meluangkan waktu untuk perdebatan-perdebatan tidak berfaedah seperti ini. Saling sindir soal status yang sama-sama jomlo.

"Itu namanya milih yang terbaik dari yang terbaik, Na. Lo sendiri, emangnya lo mau milih pacar asal-asalan? Nggak kan?"

"Gue lebih milih nggak nyari pacar. Mendingan gitu lah dari pada terlalu milih."

Raya mengedikkan bahu. Rambut hitam ber-highlight brunette ia tarik ke atas dengan kedua tangan setelah menggulungnya.

"Kayaknya lebih seksi deh kalo gue tata rambut gue seperti ini." Raya lalu berpose bak super model di depan kaca.

"Lo mau ke salon?" tanya Sheena.

"Ngapain ke salon? Ya gue panggillah hair stylist ke rumah."

Di sebelah kamar Raya yang tertata bak kamar tuan putri dengan segala kemewahan terdapat ruangan rias. Diperlengkapi kaca rias khusus yang biasa ditemui di ruangan rias selebritis pada umumnya. Peralatan dan produk perawatan yang sering ditemui di salon atau standar produk salon, juga lengkap tersedia di sana.

"Apa nggak terlalu berlebihan, Ya? Ini kan cuma acara reuni doang?"

Raya menghela napas. "Tahun ini, lokasi reuni tuh di ballroom hotel bintang lima, Na. Bertepatan dengan perayaan 50 tahun berdirinya sekolah kita. Lo sih nggak merhatiin detail acaranya, Ya kan? Dan rencananya para donatur atau yang mewakili akan hadir di acara ini. Jadi, pasti bakalan rame."

Raya memperlihatkan undangan reuni kepada Sheena. Sheena mengambil dan membacanya dengan hati-hati. Nyalinya jadi ciut.

"Lo kenapa, Na?"

"Pasti rame banget kan, Ya? Apa sebaiknya kita nggak usah hadir?"

"Maksud lo?"

"Lo tau kan, kalo gue paling nggak bisa sama acara-acara yang kelewat rame?"

"Astaga, Na. Nggak usah parno gitu. Kita kan hanya datang sebagai undangan. Nggak bakal ada yang sibuk merhatiin lo."

Raya memang paling bisa kalau urusan meledeknya. Padahal bukan begitu maksudnya. Ia juga tidak mungkin menjadi pusat perhatian.

"Lo gitu banget sama gue. Awas lo ya!"

***

"Dit, ini ada undangan reuni dari SMA kamu dulu." Papa menyodorkan amplop berisi kartu undangan bergaya retro berwarna abu-abu gelap.

"Papa mau pergi?"

"Papa nggak bisa pergi. Kamu aja yang gantiin Papa."

Radit sudah menolak ajakan Metha ke reuni itu. Sekarang malah ia yang diminta papa mewakilinya sebagai undangan.

"Lagian ngapain Papa harus diundang ke acara ini?"

"Papa masih jadi donatur tetap di sekolah itu sampai sekarang. Kalau ditotal, berarti Papa sudah jadi donatur selama 15 tahun. Papa dan beberapa donatur tetap, diundang ke acara itu. Sengaja Papa nyuruh kamu mewakili Papa. Biar sekalian kamu ngenalin diri sebagai anak Papa."

"Kenapa nggak nyuruh Kak Vindra?" tanya Radit.

"Vindra udah sering tampil di acara-acara penting mewakili Papa. Sekarang giliran kamu. Papa nggak mau, orang-orang taunya Papa hanya punya satu anak laki-laki." Papa menepuk pelan bahu Radit sebelum beranjak untuk istirahat. "Kamu jangan lupa ya? Jangan sampai nggak hadir."

***

Suasana ballroom hotel Mulia sudah cukup ramai oleh para undangan. Beberapa orang yang mengenakan lanyard tampak sibuk melaksanakan tugas mereka masing-masing, mulai dari penerima tamu hingga di bagian penukaran undangan dengan suvenir. Karena yang bertugas adalah alumni yang baru lulus, tidak ada satu pun yang mereka kenali.

Setelah menukar undangan dengan suvenir, Sheena dan Raya pun berjalan menuju ke area yang lengang dan segera mencari kursi. Di salah satu sisi ballroom berderet kursi VIP khusus untuk yayasan dan donatur. Tempat mereka jelas bukan di situ.

"Kenapa dari tadi, gue nggak nemu teman seangkatan kita ya?" ucap Raya yang masih sibuk melirik ke sana ke mari.

"Mungkin mereka ngumpul di satu tempat," simpul Sheena.

"Mungkin juga. Soalnya kita nggak gabung di grup angkatan. Hal yang menunjukkan betapa nggak gaulnya kita berdua." Raya mengarahkan telunjuk ke arah Sheena kemudian kepada dirinya sendiri.

Sheena mengakui ia tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik. Sebab sewaktu sekolah, ia terlalu sibuk memikirkan perceraian orangtuanya. Suatu hal besar yang sangat berimbas pada kehidupan sosialnya. Malu, tentu saja. Memangnya ada alasan lain? Waktu itu ia sempat berpikir mengapa hidupnya harus seperti ini. Mati-matian ia belajar giat untuk membuktikan kepada ayah dan ibu, bahwa ia bisa masuk ke sekolah favorit. Ketika impiannya itu terkabul, kedua orangtuanya malah memutuskan berpisah. Ia seperti tidak memiliki pegangan kuat untuk bertahan. Beruntung, ia bertemu Raya, sosok sahabat yang selalu ada untuknya. Membantunya melalui masa-masa sulit dengan celotehan dan karakternya yang ceria.

"Hei. Malah ngelamun."

Tepukan Raya di bahunya, memberi efek mengagetkan. Sheena buru-buru mengenyahkan kelebat masa lalu di pikirannya. Bisa-bisanya ia mengkhayal di tengah keramaian seperti ini.

"Akhirnya gue ketemu teman seangkatan kita. Mereka ada di sana," tunjuk Raya ke arah meja panjang, tempat tersaji minuman dan makanan kecil. Salah satu dari mereka yang ia kenali sebagai ketua kelas mereka dulu, melambaikan tangan kepada mereka. Sisanya, mengamati mereka beberapa waktu, dan memanggil mereka mendekat dengan isyarat tangan.

Sejak dulu Sheena dikenal anak minderan, makanya teman-teman sekelasnya pun jadi segan mau berbicara dengannya. Bukan karena mereka tidak menyukainya.

"Ke sana yuk?"

"Ayo deh." Sheena berpikir, bukan waktunya jadi anak minderan lagi. Ia harus membiasakan diri menjadi lebih luwes dalam bergaul.

Sheena tidak tahu apakah ia berjalan tergesa-gesa atau seseorang yang lewat ini tidak memerhatikan jalan, tubuhnya terhuyung akibat sambaran cukup keras sebelum jatuh terduduk di lantai. Raya bahkan sudah mengumpat sambil membantu Sheena berdiri.

"Oops. Sorry. Nggak sengaja."

Sheena menengadah dan mendapati seseorang yang memakai gaun asimetris berwarna merah, sedang bersedekap. Ia tidak perlu memaksa otaknya berpikir keras untuk mengenali sosok itu yang sepertinya sengaja menyambarnya hingga terjatuh.

Metha.

"Nice dress."

"Udah, Ya. Gue nggak apa-apa." Sheena menghalangi Raya yang hendak maju menerjang sosok yang berdiri angkuh di depan mereka.

"Apa kabar, Sheena?" Metha mengulurkan tangan. Sheena enggan membalasnya.

Salah seorang undangan, mungkin teman Metha setengah menariknya meninggalkan tempat itu. Berpindah ke tempat lain. Beberapa pasang mata masih melihat ke arah mereka.

"Heran deh. Udah dewasa gini masih nggak berubah juga kelakuan setannya," umpat Raya, tidak peduli jika ada yang mendengar.

"Udah, Ya."

"Lo juga sih, Na. Coba lo nggak ngalangin gue, udah gue gampar tuh cewek lampir." Suara Raya masih terdengar meninggi.

"Trus kita jadi pusat perhatian? Gitu yang lo mau?" Kali ini Sheena menunduk untuk merapikan pakaiannya.

"Abis nyebelin banget sih?"

Sampai sekarang, Sheena masih belum memahami alasan Metha selalu merundungnya. Bertahun-tahun telah berlalu, ternyata belum mampu membuat Metha menjadi sosok yang lebih ramah.

"Minum dulu deh, mendingan." Raya mengajak mereka menuju meja tempat teman seangkatan mereka berkumpul dan mengobrol. Rupanya mereka juga sempat melihat insiden kecil tadi. Raya mengangsurkan gelas berisi mocktail dan potongan buah kiwi dan stroberi.

"Gue lihat Radit deh tadi."

"Perasaan lo aja. Mana mungkin dia nongol di sini? Dia kan bukan alumni Vincentia?"

"Ah, lo salah lihat kali."

"Suer, gue nggak salah liat. Wong gue ketemu di depan toilet. Gue nanya, apa dia beneran Radit. Dia bilang iya. Wajahnya juga nggak begitu berubah dari yang terakhir gue lihat."

Raya yang jiwanya penuh keingintahuan tingkat dewa, langsung mengarahkan pandangannya ke meja undangan VIP.

"Mana, nggak ada?"

"Jangan-jangan udah balik."

***

Radit memilih meninggalkan kursi VIP yang ia duduki. Ia sempat mengobrol dengan Pak Salim, sesama donatur. Obrolan mereka kurang lebih sama dengan topik obrolannya dengan Om Malik. Topik yang tidak jauh-jauh dari bisnis.

Bertahun-tahun meninggalkan SMA itu tidak membuatnya lupa dengan teman-temannya. Ia sempat menyapa beberapa yang pernah menjadi sekelasnya. Rata-rata masih mengingat wajahnya hingga nama lengkap. Ia jadi merasa malu sendiri. Ia mudah mengingat wajah, tetapi paling sulit mengingat nama. Ia meminta maaf kepada temannya saat menanyakan nama.

"Hey, whats up Bro!"

Teman-teman yang tidak ingin ditemuinya lagi.

"Lo mau ke mana? Gile. Bukan alumni, tapi lo nongol di sini. Masih kaya lo? Sombong lo, dari tadi cuma gabung di lingkaran donatur."

"Gue wakilin bokap gue yang nggak sempat hadir," jawab Radit memaksakan diri tersenyum. Ia harus segera pergi dari situ. Pilihannya lebih baik kembali ke meja VIP.

"Heh, lo semua nggak ada omongan yang lebih enak apa?" Aidan, salah satu teman sekelasnya dulu datang merangkul Radit dan menjauhkannya dari kelompok kecil itu.

Saat mereka sudah menjauh, Aidan melepaskan rangkulan.

"Gue lihat Sheena tadi."

Radit tersenyum. "Trus?"

Aidan menyenggol lengannya. "Kali aja lo masih naksir."

Bagaimana Aidan masih bisa mengingat hal itu?

***

Sheena tidak rutin mengikuti acara reuni sekolah. Reuni yang selalu digelar setiap tahun oleh persatuan alumni SMA Vincentia baginya bukan merupakan acara yang sangat penting hingga harus ia ikuti secara rutin. Setali tiga uang bagi Raya. Mereka selalu kompak datang atau tidak. Terakhir mereka ikut reuni dua tahun lalu. Tahun lalu mereka tidak ikut karena mereka memang sepakat untuk tidak ikut. Benar-benar tidak ada alasan untuk hal itu. Raya pun sepakat dengan Sheena jika acara reuni tidak selalu harus dihadiri.

"Beneran dateng lho."

Raya menolehkan kepalanya ke arah Radit yang tengah duduk di meja khusus undangan VIP.

"Ngapain sih diliatin?"

Raya tidak pernah menggubris setiap kali Sheena menegurnya. Sheena bermaksud menanyakan apakah Raya naksir kepada Radit, tetapi khawatir menyinggung perasaannya.

"Gue nggak naksir Kak Radit, kalau-kalau lo curiga."

Sheena takjub akan hal yang kebetulan itu. Ia dengan kekhawatiran dan Raya yang langsung buru-buru memberi klarifikasi. Raya jelas bukan seorang mind reader yang ulung. Hal itu kebetulan saja terjadi.

"Lo naksir juga nggak apa-apa kok," balas Sheena.

Raya menggeleng sambil tertawa. "Kalo gue nangkepnya, Kak Radit suka sama lo."

"Kok lo bisa ngambil kesimpulan seperti itu, Ya?"

"Gesturnya sewaktu ngomong ke lo tuh beda aja dari dia ngomong ke gue. Jangan bilang lo nggak ngerasain hal itu, Na."

"Itu kan karena dia merasa bersalah sama gue?" elak Sheena. Ia tidak mau berpikir terlalu jauh, apalagi jika hanya dengan asumsi gestur seperti yang dikatakan Raya.

"Okelah kalo pendapat kita nggak sama. Pada akhirnya, orang tajir seperti dia pasti udah punya calon isteri pilihan orangtuanya."

"Lebih baik seperti itu," tandas Seanna. Ia masih cukup waras untuk tidak membayangkan ucapan Raya jika Radit menyukainya. Rasanya tidak ada celah bagi ia lebih mengenal sosok Radit.

"Tapi misal nih ya, kalau gue benar. Lo bakal bersikap gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Karena gue nggak pernah kepikiran. Rasanya tuh kaya membayangkan di Jakarta turun hujan salju." Hanya pengandaian itu yang terpikirkan oleh Sheena. Artinya mustahil.

Entah dari mana Raya mendapat teori konyol tentang perasaan seseorang yang bisa dinilai dari gestur saat bersikap kepada lawan jenis. Karena bagi Sheena, ia lebih percaya dua orang bisa saling menyukai jika terdapat ketertarikan satu sama lain.

Sheena sudah ingin mengakhiri percakapan absurd tersebut ketika tanpa sengaja kedua matanya bertemu dengan sepasang mata Radit. Ia buru-buru memalingkan kepalanya ke arah lain.

Entah karena efek ucapan Raya, atau hal lain. Pasca saling bertatapan dari jauh itu, ada kehangatan yang hinggap di kedua pipinya.

Dan mengapa jantungnya mulai berdebar-debar.

Perasaan seperti ini hanya akan dirasakan seseorang jika ia menyukai seseorang. Mustahil baginya untuk mengakui jika pandangan sekian detik itu adalah pertanda jika ia menyukai laki-laki itu.

"Ya, kita pindah tempat aja yuk?" ajak Sheena saat Radit menoleh ke arahnya lagi.

Tuh kan? Kenapa efek yang sama terulang lagi sih?

"Mau ke mana? Udah enakan duduk di sini."

"Kita keluar ke halaman aja dulu gitu." Sheena beralasan.

"Ngapain?" Raya meneguk air mineral botol yang tadi diambilnya dari teman perempuan sekelas mereka.

"Cari angin."

Raya tergelak. "Lo tuh kenapa sih? Tiba-tiba mintanya yang aneh. Ngapain kita dateng ke reuni kalau cuma pengen nongkrong di luar? Di dalam sini udah nyaman banget lagi, Na."

Sheena memilih mengeluarkan ponsel dari tas. Mungkin mengalihkan perhatian kepada ponselnya akan berefek lebih baik untuk menenangkan pikiran.

Tetapi semakin ia berusaha menenggelamkan pikirannya, memfokuskan pandangan ke layar yang menampilkan permen warna-warni, semakin tidak tenang. Keinginan untuk menoleh dan memastikan ia tidak sedang dipandangi, sungguh melelahkan.

Acara demi acara mulai ditampilkan. Penampilan spesial dari bintang tamu seorang penyanyi pria yang sangat terkenal dan merupakan salah satu juri ajang pencarian bakat, menghibur undangan. Suara khasnya yang serak dan tinggi begitu pas dengan tiga lagu dengan genre berbeda. Sheena sibuk menghitung kira-kira berapa honor yang diterima sang penyanyi setelah membawakan tiga lagu. Sudah pasti berkisar puluhan juta. Dua tahun lalu bintang tamunya juga penyanyi terkenal perempuan. Jika membandingkan keduanya, sepertinya bayaran bintang tamu kali ini sedikit lebih besar.

"Na, sebelum pulang, mau diadain foto bareng kelas. Lo jangan ke mana-mana dulu." Raya baru saja kembali ke sampingnya. Tadi, sebelum penampilan bintang tamu, ia sempat mengobrol bersama teman-teman sekelas mereka. Katanya sudah disiapkan fotografer.

"Abis foto bareng, udah bisa pulang dong."

"Iya. Nggak bakal lama kok. Lo udah ngantuk ya?"

"Hmm," angguk Sheena pelan. Selain mengantuk, ia juga ingin cepat-cepat pulang mengganti pakaian yang ia kenakan ini dengan piama tidur. Kakinya pun mulai pegal memakai ankle strap berhak lumayan tinggi. Sekitar 8 cm. Benar-benar hebat, perempuan yang gemar memakai high heels. Kadang ia sampai ngilu melihat-lihat hak sepatu runcing yang tingginya sampai 12 cm.

Sementara mengatur foto bersama, rupanya laki-laki yang tadi sempat membuat jantungnya berdebar, melintas di belakangnya. Ia memilih diam seperti patung sampai sosok itu menghilang.

Seharusnya ia tidak boleh bersikap begini untuk seseorang yang pernah mempermalukannya di depan umum.

"Mbak, bisa geser dikit?'

Seseorang meminta Sheena bergeser karena menghalangi posisi berfoto. Sheena tersenyum dengan canggung sebelum berpindah tempat.

Teman-teman sekelas mereka mulai mengatur posisi mereka di depan kamera. Sheena hanya perlu sedikit mengubah posisi tubuhnya hingga menghadap kamera. Raya selalu berdiri di sampingnya di setiap foto. Beraneka pose ia lakukan dengan luwes.

"Mbak yang di pinggir. Iya yang di samping Mbak yang baju biru. Gayanya jangan gitu-gitu aja. Senyumnya jangan lupa."

Sheena lekas mengikuti arahan fotografer sebelum semua orang berpaling melihatnya.

"Lo sih. Gaya dikit dong. Jangan kaya kanebo kering gitu dong," Raya menertawai Sheena.

"Sssh. Udah, nggak usah rese."

***

Setelah sekitar 20 menit berfoto di bawah arahan fotografer ditambah gaya bebas sesuai improvisasi masing-masing, mereka pun membubarkan diri.

"Nanti fotonya jangan lupa dikirim ke WA gue," pesan Raya kepada salah seorang teman mereka.

"Okee. Besok ya."

Raya menyempatkan melihat preview dari kamera fotografer, dan menurutnya, hasil foto ramai-ramai itu sangat bagus.

Kalau pakai kamera canggih, obyek sederhana pun pasti kelihatan menarik.

Keramaian di ballroom perlahan berubah menjadi sepi. Menurut Raya, mereka harus segera pergi, sebelum mereka jadi undangan paling akhir yang keluar dari sana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top