Chase Me #6
Chase Me #6
Seusai mengisi perut, Sheena masuk ke kamar untuk beristirahat. Ayah masih serius menonton pertandingan bulutangkis. Saat Sheena pamit, ayah hanya berbalik sekejap dan menganggukkan kepala. Sheena sempat menggorengkan pisang dan membuatkan teh untuk teman ayah menonton TV. Biasanya ia ikut menonton TV, biar ayah tidak sendiri. Tetapi ia lebih butuh membaringkan badan. Mungkin ia tidak akan langsung tidur. Sheena selalu menyempatkan bermain ponsel sebelum tidur.
Raya : Eh, Na. Gue ada tiket launching produk parfum di mall. Dikasih sama temen gue. Lo mau ikut nggak. Bantuin temen, biar rame."
Sheena paling malas sebenarnya pergi ke acara semacam itu. Kadang ia hanya duduk bengong, tanpa tahu apa yang bisa dilakukan. Apalagi kalau pengisi acaranya kurang menarik, misalnya stand up dengan lawakan garing atau penyanyi bersuara fals yang hanya mengandalkan wajah. Masih mending menghabiskan waktu di toko buku. Berjam-jam pun tidak akan terasa.
Sheena : benefitnya apa?
Raya : dapat paket parfum dan make up seharga 500 ribu, serta berkesempatan foto bareng BA.
Brand Ambassador produk parfum itu merupakan salah satu aktris ternama Indonesia, Dian Sastro. Mau banget kalau itu.
Meskipun ia malas ke acara-acara launching produk, tapi kalau benefit-nya foto bareng Dian Sastro, ia tentu tidak akan melewatkan. Ia bisa menghabiskan waktu dengan bermain game jika acaranya kurang menarik.
Sheena : serius?
Raya : iyalah. Emang kapan gue nawarin sesuatu yang biasa-biasa aja? ada untungnya lo berteman sama gue
Raya : bentar lagi gue juga jadi influencer
Sheena : pamer!
Raya : hih. Iri bilang Bos!
Wajah Raya yang menyebalkan sambil memeletkan lidah, langsung terbayang di otak Sheena.
Sheena : hidih
Raya membalas dengan emot ketawa lebar, diikuti beberap chat seperti promo pizza, promo tiket pesawat. Heran deh, tuh anak tahu aja segala jenis promo. Sheena sampai tergiur saat Raya membahas promo tiket pesawat ke Yunani. Ia sampai Googling demi melihat-lihat kawasan Santorini yang sejak lama menjadi impiannya.
Sheena lalu beralih membuka WA group. Karena gabut, ia sempat bergabung dengan grup jual beli Jakarta Utara setelah salah satu teman kuliah mengundangnya ke sana. Awalnya ia berpikir untuk leave karena ia sudah punya akun Tokopedia. Tetapi, lama-lama asyik juga membuka-buka postingan grup. Apalagi jika sudah membahas kelakuan customer yang macam-macam. Ia jadi mengetahui modus-modus penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli. Member group itu pun diseleksi setiap postingannya. Jadi bergabung di sana lebih banyak untungnya.
Grup berikut yang dibukanya adalah grup SMA. Kalau grup ini, Raya yang mengundangnya. Mereka berdua jarang aktif berkomentar di grup, tetapi kalau ia dan Raya bertemu sesekali mereka akan membahas tentang masa sekolah. Maklum, masa SMA menyimpan banyak kenangan untuk mereka. Apalagi Raya yang sempat tiga kali pacaran semasa SMA. Dengan senior, pernah sekali. Dua kali dengan teman seangkatan mereka. Ada juga sih teman sekelas mereka yang pernah naksir Raya, tapi Raya paling anti pacaran dengan teman sekelas. Nggak enak saja digangguin sama teman-teman sekelas kan?
Sheena : Ya, ada reuni katanya, bulan depan
Raya : Oh, ya? Gue belum ngecek grup. Disuruh nyumbang ya?
Sheena tertawa melihat chat Raya. Ia lalu mem-forward nomor rekening ke WA Raya. Tidak lama, Raya membalas dengan emot wajah datar.
Tidak lama, tawa di wajah Sheena lenyap saat menatap nama seseorang di grup.
Seseorang baru menambahkannya. Meskipun hanya nomor. Ia mengenalkan diri sebagai...
***
Raya : si rese gabung di grup, Na
Sheena terdiam beberapa saat sebelum membaca chat yang dikirimkan Raya. Sejak membaca nama seseorang yang baru saja bergabung dalam grup alumni, ia tidak lagi bersemangat mengulik isi chat grup. Kadang salah satu hiburan termurah bisa Sheena dapatkan dari grup whatsapp. Candaan konyol, postingan tidak berfaedah tetapi lucu, dibacanya satu-satu hingga membuatnya tertawa sendiri.
Tapi mood-nya seketika ambyar begitu melihat satu nama itu.
Mau ngapain lagi?
Sheena : iya, gue liat tadi
Raya : Tiga tahun ini dia kan absen ikut reuni. Jangan2...
Sheena : Jangan-jangan apa?
Raya : Dia ikutan reuni lagi. Eh tapi tenang. Nggak usah khawatir. Ada gue
Sheena : Emangnya lo mau ngapain?
Raya : Nyuruh dia minta maaf. Gara2 dia kan masa SMA lo jadi suram? Kalau dia bertingkah, gue siap ngasih pelajaran
Sejak dulu, Raya selalu menjadi pembelanya. Masa SMA Sheena bisa dibilang tidak begitu menyenangkan. Selain insiden ciuman sewaktu MOS, Sheena pun mengalami perlakuan tidak mengenakkan dari beberapa siswi yang ada di sekolah itu. Hal itu disebabkan karena ia mendadak jadi populer setelah interaksi dengan Radit. Popularitas itu jelas bukan hal yang patut dirayakan karena teramat sangat mengganggu. Selain mengganggu konsentrasi belajar, insiden waktu itu mulai memunculkan kebencian dari beberapa siswi yang mengira ia memiliki hubungan khusus dengan Radit. Meski pun ia berulangkali membantah, mereka tidak percaya. Puncaknya, mereka mulai melakukan perundungan kepadanya, yang sayangnya tidak bisa ia laporkan karena melibatkan anak-anak dari keluarga yang memiliki pengaruh besar di sekolah.
Hingga suatu hari, Raya mengambil sikap tegas dengan menghajar mereka dengan kemampuan bela diri kempo yang dimilikinya. Raya memang terlihat anggun, tetapi ia bisa berubah ganas seperti kucing yang siap mencakar-cakar siapa pun yang mencoba berbuat jahat. Selain itu, Raya juga mengancam mereka jika kasus perundungan masih berlangsung, maka mereka akan mendapatkan balasan yang lebih sadis. Ancaman itu terbukti berhasil, karena sejak itu tidak ada lagi anak nakal yang berani mengganggunya.
Suatu saat Raya pernah mengatakan jika mereka akan selalu jadi sahabat, karena Raya tahu tidak ada yang bisa melindungi Sheena seperti dirinya. Gara-gara Sheena juga enggan berpacaran, jadinya tidak ada cowok yang bisa menjaganya di sekolah. Tapi Raya tidak menyesal dengan statusnya sebagai pengawal seperti yang diolok-olokkan temannya, karena dengan begitu ia jadi punya saudara perempuan baru yang bisa membantunya belajar pelajaran sulit seperti Matematika dan Fisika, dua mata pelajaran yang paling ia benci.
Sheena : nanti kalo ketemu, kan cukup dicuekin aja
Raya : iya, memang harus gitu. Tapi kalo diingat lagi emang ngeselin. Mana nggak pernah minta maaf lagi
***
Sore itu, Radit kedatangan tamu. Metha, salah satu kerabat sekaligus tetangga rumah. Mereka tidak pernah memiliki hubungan yang akrab sejak dulu hingga sekarang. Seperti biasa, ia berada di teras samping untuk melewatkan waktu dengan membaca-baca lagi laporan keuangan perusahaan papa ketika Metha datang.
"Haaiii, Radiit."
Radit langsung menoleh ke sumber suara yang ia tahu sengaja dilembut-lembutkan. Metha memiliki bentuk tubuh ramping, semampai. Sekarang rambutnya dipotong lebih pendek, ujungnya sedikit di bawah bahu. Sinar matahari menyorot ujung-ujung rambutnya yang kecokelatan, sepertinya sengaja diwarnai.
"Hei," balas Radit, sebelum menutup laporan yang tengah dibacanya. Ia hanya berharap Metha tidak berlama-lama di situ.
"Long time no see, sepupu jauh."
Hari itu, Metha mengenakan blazer yang senada dengan celana panjang entah jenis apa namanya. Celana itu mencetak bentuk paha dan betis langsingnya, kemudian potongannya melebar di atas mata kaki.
Metha menarik satu kursi dan ikut duduk bersama Radit.
"Gimana kabar Edinburgh?" tanya Metha.
"Baik-baik aja."
Metha mengangguk-angguk. "Lo kapan balik ke sana?"
"Nggak tau. Mungkin nggak balik-balik lagi."
Jawaban Radit mungkin akan terdengar menjengkelkan, tetapi Radit memang tidak menemukan alasan untuk beramah-tamah. Sejak dulu, ia selalu seperti itu dengan lawan jenis, terkhusus yang ia kenal tidak meninggalkan kesan yang baik.
Mereka mengobrol sekitar sepuluh menit, sampai topik tentang reuni tercetus dari mulut Metha. Mereka baru ketemu dalam rentang kurang dari sejam, dan perempuan itu langsung mengajaknya mengikuti reuni.
"Ngapain gue harus ikutan reuni? Gue bukan alumni."
"Ya, tapi kan lo hampir tiga tahun sekolah di Vincentia."
Radit menyeruput kopi di dalam mug yang ia letakkan di antara hamparan buku. "Ngapain lo ngajak gue ke acara itu?"
"Ya buat nemenin gue lah?"
"Memang lo nggak ada cowok sampai-sampai nyuruh gue nemenin lo?"
"Udah deh, nggak usah bawel. Kan lo baru pulang dari luar negeri? Gue udah putus sama Andri, kalau itu yang lo pengen tau."
"Ya lo pergi aja sendiri."
"Gue aduin lo sama nyokap lo. Ayolah, Dit. Cuma nemenin gue aja."
"Gue males. Lo bayangin aja gimana pandangan teman-teman kalo gue dateng. Lagian, gue udah males mau ketemu sama mereka."
"Ah, lo nggak asyik!" Metha mengambil ponselnya. "Gue udah gabung di grup juga."
Metha dulunya juga bersekolah di SMA Vincentia. Mereka terhitung masih memiliki hubungan kekerabatan, meskipun tidak begitu dekat. Andri-lah yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat. Andri merupakan sepupu dari mamanya. Metha datang ke rumahnya karena mengetahui jika Radit sudah berada di Indonesia. Rumah Metha hanya berjarak dua rumah dari rumah orangtua Radit.
"Memangnya Andri nggak ikutan reuni?"
"Nggak tau. Kenapa lo nanya gue?" jawab Metha sebal.
"Kalian nggak pisah baik-baik?" tebak Radit.
"Nggak." Metha menggeleng. "Gue selingkuh," jawabnya enteng.
"Ya lo ajak aja selingkuhan lo ke acara itu."
Metha bersedekap. "Gue iseng aja sama dia. Nggak berlanjut juga sampai sekarang." Metha nampaknya belum ingin berhenti membujuknya. "Dit, temenin gue ya?"
"Gue nggak minat."
"Emang lo punya pacar?"
"Ngapain lo nanyain soal itu?" Radit tidak suka jika seseorang menanyakan hal yang bersifat pribadi. Kecuali orangtuanya yang menanyakan hal itu, baru akan dijawabnya.
"Kan gue pengen tau. Misalnya nih ya, gue ajakin lo. Kan takut ada yang marah?"
Radit menunjukkan ekspresi wajah yang tidak lagi ingin merespon Metha.
Jaman SMA, Metha tergolong siswa populer. Sampai punya gank berisi anak-anak populer lainnya. Radit tidak terlalu akrab dengan Metha meski mereka kerap bertemu di acara-acara keluarga. Pembawaan Metha yang angkuh di sekolah jelas tidak sedikit pun mengundang simpati. Sekali pun Radit menyadari dirinya juga bukan siswa teladan, namun ia kurang menyukai sikap cewek yang seperti Metha. Karena sebandel-bandelnya ia sebagai cowok, ia menyukai cewek berpenampilan kalem dan manis. Pengalaman pacaran waktu SMA masih nol besar hingga ia menamatkan masa SMA. Ia baru mulai berpacaran di masa kuliah. Itu pun tidak ada yang serius.
"Ya udah kalo lo nggak mau. Tapi lo juga bakal dateng kan?"
"Nggak bakal."
Kecuali ada alasan lain yang bisa membuatnya berubah pikiran.
***
Keputusan perihal mutasi karyawan akan keluar hari ini. Setelah meeting yang diadakan kemarin pagi, pihak perusahaan telah mengantongi beberapa nama.
Sheena tidak mau berekspektasi apa-apa. Lebih baik menunggu daripada memikirkan sesuatu yang tidak pasti.
Namun, saat ia membaca namanya pun tertera di surat keputusan, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia sudah pasrah, dan sudah bersiap menerima apapun keputusannya. Sambil memasukkan surat kembali ke amplopnya, ia kembali duduk menghadap laptop.
Ternyata keputusan itu tidak hanya ditujukan kepada karyawan lajang. Pak Pri, salah satu staf yang sudah berkeluarga pun juga ikut dimutasi ke Lombok.
Ayah mengatakan tidak ada yang perlu dicemaskan jika Sheena sampai mendapat mutasi ke Lombok. Ayah akan selalu mendukung apapun jika hal itu menyangkut karir Sheena. Meski pun jika disuruh memilih, tentu ayah memilih Sheena tetap bekerja di Jakarta.
"Yang penting kamu selalu menjaga kesehatan."
Jika teringat ayah, ia jadi sedih lagi. Ayahnya tidak pernah mempermasalahkan kepindahannya.
Ayah hanya ingin yang terbaik buat Sheena.
"Ayah nggak apa-apa Sheena tinggalin?"
Ayah mengangguk. "Udah. Jangan pikirkan Ayah. Pikirkan saja pekerjaanmu. Semoga kamu betah di sana."
***
"Udah. Lo nggak usah sedih lagi. Waktunya juga nggak lama, cuma setahun," hibur Raya.
"Tapi gimana sama Ayah? Seumur-umur gue nggak pernah ninggalin ayah sendiri. Dulu juga waktu kita KKN, ya cuma sekali itu. Itupun hanya dua bulan."
"Iya, gue ngerti. Tapi lo tau kan dinamika dunia kerja kaya gimana? Lagian hanya mutasi setahun. Nggak bakal terasa kalo itu sih."
Sewaktu di kantor, Sheena tidak sampai menangisi keputusan yang ia terima. Tetapi setiba di rumah, dan menceritakan kepada ayah, ia tidak bisa membendung airmatanya. Padahal dulu, ia merasa oke-oke saja jika ia termasuk dalam mutasi. Perkataan ayah yang begitu tulus memintanya untuk tidak mencemaskan apa-apa lah yang membuatnya merasa terharu. Dan hari Minggu pagi itu, ia menumpahkan kegundahannya kepada Raya di rumah Raya. Sahabatnya itu masih tinggal bersama orangtuanya di sebuah rumah di kawasan elit Jakarta Utara.
"Lo mau gue tinggalin kerjaan gue buat nemenin lo di sana? Atau lo mau gue bantu lo nyariin ayah lo calon isteri?"
Sheena langsung melemparkan bantal kepada Raya. Awalnya ia sangat sensitif jika ada yang menyinggung soal kesendirian ayahnya. Belakangan, ia malah menganggap hal itu sebagai hal biasa. Dan Raya kerap mengusilinya soal itu. Tetapi kalau ditanya pendapatnya, ia tidak akan pernah mau jika ayahnya menikah lagi. Ia tidak mau ayah terluka lagi. Menurut ayah, ia juga tidak pernah memikirkan rencana mencari pengganti ibunya. Kalau Sheena memang tidak ingin punya ibu tiri, ayah akan menyanggupi. Sheena tahu dirinya memang egois untuk hal ini. Namun, membayangkan memanggil perempuan lain dengan sebutan ibu, sungguh tidak nyaman baginya.
"Mending lo nggak usah nangis lagi. Gimana kalo kita shopping? Reuni udah makin dekat, dan gue nggak mau tampil biasa-biasa aja."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top