Chase Me #3

Chase Me #3

Pagi-pagi sekali Sheena bangun. Dihirupnya udara pagi sambil berjalan-jalan di pantai. Raya katanya akan menyusul sekitar sepuluh menit lagi. Setidaknya itu yang dikatakan Raya melalui chat yang baru dikirimkan.

"Kamu nggak apa-apa, Na?"

"Nggak apa-apa. Udah, kamu pergi aja. Nggak usah mikirin aku."

Sheena menghela napas dalam.

Ternyata masih terasa menyakitkan. Tidak pernah terbayang jika ia akan berada pada fase melupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilupakan.

Mengapa ia harus membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupnya, mengetuk pintu hati, meminta izin untuk memiliki hatinya untuk kemudian mematahkannya?

Tentu saja hatinya tidak serapuh ranting. Ia tahu, jika hatinya lebih kuat daripada itu. Jadi, mana mungkin hati yang ia jaga sedemikian rupa, bisa menjadi patah?

Apakah hati perempuan memang harus tercipta begitu rapuh?

"Hei!" Raya menepuk kedua pundak Sheena diikuti rangkulan salah satu lengan Raya melingkari pundaknya. "Ngelamunin Adnan lagi?"

"Nggak ah," sanggah Sheena cepat.

Raya menjawil hidung Sheena. "Gue udah dari tadi ngikutin lo. Gue panggil-panggil tapi lo nggak dengar. Gue tau, pantai itu salah satu tempat paling romantis di dunia, tapi lo juga nggak perlu terlalu terbawa suasana. Nggak baik buat kesehatan!"

"Lo emang paling bisaa aja. Seharusnya lo tuh daftar jadi psikolog, bukannya jadi desainer sepatu." Sheena balas merangkul Raya dan mencubit pipinya. Mereka berjalan beriringan menyusuri pantai yang sepagi itu masih lengang.

Seekor anjing puddle terlihat berlari-lari kecil sendirian. Agak jauh di belakangnya, seorang bule perempuan yang mengenakan sport bra dan celana training mengamati tingkah anjing lucu itu sembari sesekali memanggil namanya. Bella.

"Perasaan, orang-orang demen banget ngasih nama puppy-nya dengan panggilan Bella."

"Iya juga ya?" Sheena mengiyakan.

"Kalo nggak pake nama Bella, pake nama Luna. Untung nama gue nggak ada yang pake."

"Nama lo terlalu megah buat jadi nama pet. Indonesia Raya. Jagat Raya. Semesta Raya. Kebun Raya."

"Makasih lho ya?" Raya tersenyum masam. Ia suka kesal sendiri kalau Sheena memanggilnya dengan sebutan Kebun Raya.

"Becanda, Sayang." Sheena mencolek dagunya, yang cepat-cepat ditepis Raya sambil bersungut-sungut.

"Eh, tapi serius. Gue salut banget sama cara lo dan Adnan menjaga hubungan kalian sampai akhirnya memutuskan putus. Putus pun kalian masih jadi teman baik. Gue mesti belajar dari lo gimana menyikapi hubungan LDR, gimana bersikap jika seandainya kita dan pasangan nggak bisa lagi sama-sama. Nggak gampang lho bertahan selama itu. Dan nggak gampang juga menata hati setelah putus. Karena hati tuh bukan benda fleksibel, atau benda yang selalu tahan dengan guncangan."

Sejak putus, Sheena hanya berharap bahwa keputusannya tidak salah.

Sheena hanya ingin move on, enggan bermain dengan masa lalu.

Keinginan saja tanpa dibarengi tekad yang kuat tidak akan berhasil membuatnya move on dari Adnan. Sejauh ini, ia memang belum benar-benar telah menyingkirkan sosok Adnan dari hidupnya. Sesekali, Adnan dan kenangan mereka hadir dalam benaknya. Bertahan di sana. Kadang sejenak, kadang dalam waktu yang cukup lama. Tergantung suasana hatinya.

Adnan dan kisah manis di antara mereka yang seharusnya telah berakhir.

"Kata kuncinya adalah ikhlas, Ya. Berbesar hati. Ketika dulu lo pikir dia segala-galanya buat lo, lo nggak akan pernah memikirkan kemungkinan lain bahwa bisa saja suatu hari nanti dia hanya akan menjadi sesuatu yang bukan apa-apa lo lagi. Seseorang yang dulu lo sayang, bisa jadi sosok yang lo benci. Kalau lo nggak ikhlas, lo bakal berubah jadi sosok jahat karena kebencian."

Raya mengangguk-angguk. "Gitu juga kan cara lo melupakan hal-hal buruk dalam hidup lo?"

Sheena balas mengangguk. "Meskipun, gue masih berproses untuk jadi orang yang lebih ikhlas menjalani hidup. Tapi tetap saja ada hal yang bikin gue kesal. Termasuk soal Kak Radit itu."

"Berarti masih berlaku ya istilah, lo lupain tapi nggak lo maafin?" Raya mengingatkan. "Berarti lo belum sepenuhnya ikhlas dong?"

Sheena terdiam sejenak, sebelum mengiyakan. "Karena pelecehan nggak selalu mudah buat dimaafin."

Raya menepuk-nepuk bahu Sheena. "Semoga lo diberikan kelapangan hati yang lebih luas lagi ya. Juga ketenangan batin."

"Semoga, Ya."

Sheena tersenyum kepada dirinya sendiri.

"Mungkin dengan pura-pura lupa dan pura-pura bahagia akan lebih mudah bagi gue untuk mencoba memaafkan."

***

Pantai Mangsit, 10.45.

"Awesome view," decak Radit yang tengah berdiri menghadap bentangan warna putih dan biru. Angin sepoi-sepoi dan sengatan matahari merupakan perpaduan yang pas sebagai pengiring pemandangan indah yang memanjakan mata.

Tidak salah jika ada yang mengatakan kalimat puitis seperti ini.

"Tidak ada yang lebih indah daripada melihat kegigihan laut yang menolak berhenti mencumbui bibir pantai, meski berkali-kali harus menjauh terbawa arus."

Atau yang sedikit lebih mengharukan.

"Kita begitu suka melihat pantai. Melihat ombak menggulung tepian, menandai harapan yang terbenam sebelum kesampaian."

Apapun kata orang tentang keindahan ini, pengandaian-pengandaian yang dituangkan dalam quote yang bisa dengan mudah kamu temukan di Google. Bagi Radit, pantai selalu menyenangkan. Sesederhana itu. Ya, tentunya masih banyak hal yang bisa ia gambarkan tentang laut dan pantai, serta analoginya dalam kehidupan. Namun, definisi pantai sebagai tempat yang menyenangkan, itulah yang pertama kali terpikirkan olehnya. Laut atau pantai mungkin menyimpan banyak luka dan kenangan di ingatan orang lain. Bukan baginya.

Ia memandang berkeliling, sebelum mulai melangkahkan kaki menuju pantai.

Kegiatan sederhana ini, menikmati keindahan pantai pasir putih, semilir angin dan jilatan mesra sinar matahari di kulit. Sun bathing selalu jadi aktivitas favoritnya, jadi mungkin ia bisa mempertimbangkan berjalan-jalan berkeliling bertelanjang dada, hanya mengenakan kolor. Atau kalau ia sedikit rajin, ia akan menenteng papan selancar menuju ke laut, untuk menantang ombak dengan skill selancarnya yang lumayan bisa diandalkan.

Tetapi, hari itu ia telah menetapkan rencana untuk bersantai saja sekalian survei lokasi. Papa menganjurkan kepada Radit untuk melakukan semacam survei, di pantai, ke homestay, restoran. Survei sebelum investasi adalah hal yang sudah biasa dilakukan para investor. Ia membayangkan dirinya beberapa tahun ke depan jika ia setuju membantu mengembangkan bisnis papa.

Raditya Bhagawanta, seorang eksekutif yang sukses di usia muda.

Bayangan yang terlalu muluk, karena kini ia belum jadi siapa-siapa, dan karena kata sukses itu tidak mudah diucapkan apalagi untuk diraih. Kalaupun suatu hari nanti ia sukses, orang-orang akan menganggap hal itu lumrah mengingat orangtuanya orang sukses. Ia punya privileges yang membantunya sukses lebih cepat dibandingkan orang lain yang bahkan harus merangkak dari bawah, memulai dari nol.

Padahal banyak orang yang tidak paham, bahwa untuk mendapatkan privileges tersebut, para pendahulunya harus berdarah-darah, pontang-panting, jungkir-balik, atau apapun istilahnya.

Tidak ada kesuksesan yang berawal dari rebahan.

Entah ia pernah membacanya di mana.

Yang jelas, ia tidak suka jika status sosial yang disandang keluarganya, didapatkan dengan mudah. Sekesal dirinya mendengar seorang teman di bangku sekolah melontarkan celetukan yang temannya pikir candaan.

"Ah lu mah enak. Orangtua lu tajir. Lo nggak ngapa-ngapain juga, lu bisa jadi orang sukses. Ibaratnya orang tua lu nanam pohon duit, lu-nya tinggal metik-metik doang. Enak banget ya, Dit. Jadi orang kaya tanpa susah?"

Atau

"Lu nggak usah mikir buat kuliah di mana, kerja apa. Lu tinggal minta sama bokap lu."

Atau

"Gebetan lu nggak bakal lirik cowok lain, Dit. Lu tuh ganteng, tajir. Yang ada, lu putusin cewek, cewek lu yang minta maaf."

Mengapa sulit sekali mendapatkan penilaian normal dari orang lain? Udahlah, soal privilege nggak usahlah diomongin terus. Ia bersyukur akan hal itu. Tapi jadinya nggak akan adil ketika ia berjuang untuk menjadi sukses, namun yang selalu dilihat orang adalah faktor nama keluarganya.

Kalau begitu, untuk apa ia harus sibuk kuliah dan cari kerja?

***

Pantai Batu Layar pada jam satu siang sudah begitu ramai oleh kehadiran pengunjung. Seharusnya datang lebih pagi jika enggan berpanas-panasan. Namun, tur yang melibatkan banyak orang tidak bisa diatur-atur sesuka hati. Jadinya sesiang ini mereka baru tiba di Batu Layar. Sebelumnya, rombongan tur mengikuti rute ke hutan Pusuk (Monkey Forest) sebelum ke pantai. Rencana setelah dari pantai Batu Layar, rombongan akan mengunjungi Pura Batu Bolong, dan berakhir di pantai Senggigi, menunggu waktu sunset.

Sheena memilih mengenakan white linen pants, atasan navy striped vest top yang ia tumpuk dengan white knotted shirt. Plaka Palm Leaf Flats ia pilih untuk alas kaki. Terakhir, tas sandang biru model Bohemian melengkapi penampilan kasualnya.

Sementara Raya lebih memilih drawstring waisted short dan blue embroidered top. Sepasang kakinya yang lincah ke sana ke mari memakai Teva flip-flop hitam.

"Abis ini mau langsung ke Senggigi kan?" tanya Raya sambil melepaskan small backpack H&M dari kedua pundaknya. Mereka duduk-duduk sejenak di depan mushalla setelah menunaikan shalat Ashar.

"Iya. Kata Mas Wisnu, berangkatnya sekitar jam empat sore. Berarti sekitar sepuluh menit lagi," jawab Sheena. Ia menggunakan waktu untuk merapikan rambut dan dandanannya. Ia kembali memakai bedak serta memulas bibirnya dengan pelembab bibir.

"Kapan-kapan balik ke sini, gue mau belajar selancar."

"Wah seru juga tuh," balas Sheena. "Apalagi kalo sampai gue dimutasi ke sini, kayaknya gue memang harus belajar surfing."

"Eh, itu seriusan lo ngomong gitu?"

"Ya seriuslah. Gue mesti siap-siap aja, setelah balik ke Jakarta."

"Bukannya posisi lo di kantor juga udah tinggi? Nggak mungkin bangetlah lo yang dimutasi."

"Ya gue siap-siap aja. Nggak ada yang tau sih keinginan direksi, gimana."

"Kok bisa begitu?"

"Katanya di sini mau dibuka kantor baru. Dan butuh beberapa karyawan dari Jakarta ditambah merekrut karyawan baru."

"Wah kalo lo pindah ke sini, gue gimana dong? Gue sepi banget lagi nggak ada lo?" Air muka Raya berubah sedih.

"Heiii, belum pasti juga kan? Lagian, papa juga belum tentu bakal setuju, gue pindah kerja sejauh ini."

"Tapi demi kerjaan kan mesti ikut aja aturan dari kantor?" Raya menyimpulkan.

"Iya itu, masalahnya. Kerjaan gue udah bagus, trus gue tinggal gara-gara kebijakan mutasi kan sayang banget."

"Gue doain lo nggak pindah kerja. Please, lo lobi dong bos lo, atau gimana kek." Raya makin terdengar merajuk. "Ayo dong, Na. Ya? Ya?"

"Astaga, belum pasti juga, Ya. Iya, gue juga bakal mikir ulang lagi, kalo gue beneran ditempatin di sini." Sheena memasukkan pouch make-up ke dalam tasnya. "Udah, yuk. Udah pada mau berangkat tuh."

***

Pantai Senggigi 17.11

"Udah jam 5 lewat."

Radit memasukkan kedua tangan di kedua saku celananya. Sejak tadi, ia sudah gatal ingin ikut berselancar. Menyaksikan para peselancar profesional meliuk-liukkan surfboard di atas gulungan ombak besar, rasanya ikut menghadirkan sensasi adrenalin di tubuhnya.

Biasanya menjelang sunset, pantai akan semakin ramai. Para pengunjung pantai akan mencari tempat-tempat duduk untuk menikmati pemandangan matahari tenggelam. Ia termasuk di antaranya.

Radit masih mencari-cari spot terbaik menyaksikan sunset ketika matanya tertumbuk kepada dua sosok perempuan yang tengah jalan beriringan. Postur mereka nyaris sama, seperti kembar.

Atau mungkin kembar?

Salah satu dikenalinya sebagai Raya.

Hm. Bisa kebetulan bertemu di sini.

"Heiii! Kak Radit." Raya yang menyapa terlebih dahulu. Perempuan yang berdiri di samping Raya sontak melihat ke arah Raya.

Manis juga.

"Ketemu lagi. Kamu bareng siapa?"

"Bareng teman. Oh, sahabatku, tepatnya."

"Sheena ya?" tebak Radit. Seingatnya, Raya memang sering terlihat bersama Sheena di sekolah. Ia tidak pernah berusaha menyelidiki.

Oke, mungkin sedikit menyelidiki.

"Sudah lama sekali." Radit menahan diri untuk mengulurkan tangan. Dan perempuan di hadapannya ini juga tidak sedang berusaha beramah-tamah. Terbukti dari sikapnya yang langsung menarik Raya, mengikutinya berjalan menjauh.

Apa gadis itu masih marah kepadanya?

Untuk sesuatu yang sepele?

"Kalian menginap di Aston Sunset Beach?" tanya Radit setelah menjajari langkah mereka.

"Iya, Kak."

"Kapan balik ke Jakarta?"

Raya menjawab ragu. "Besok siang."

"Gimana kalau kalian ke tempat saya? Malam ini? Kalian bisa nginap di vila tempat saya menginap. Masih ada kamar kosong. For free."

"Maaf, saya sama Sheena mesti buru-buru."

"Saya boleh minta waktu untuk ngobrol, sebentar... sama Sheena?" Ragu-ragu Radit menyebutkan namanya. Gadis itu mungkin tidak senang dengan kehadirannya, tetapi ia tidak mungkin membiarkan Sheena pergi sebelum Sheena memaafkannya.

"Na, gimana?" Raya menyenggol pelan Sheena yang masih berdiri bak patung.

"Ya udah." Sikap Sheena sepertinya mulai melunak. "Cuma mau minta maaf aja kan? Ya udah, saya maafin."

Raya meminta ijin menyingkir sejenak sekitar beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Tentu saja Raya masih bisa mendengar pembicaraannya dengan Sheena.

"Saya belum jelasin alasan saya waktu itu."

"Mau bilang karena iseng? Atau khilaf?" suara Sheena terdengar ketus.

"Sebenarnya saya udah nggak mau ngebahas soal ini lagi. Tapi saya nggak mau selamanya apa yang dulu saya lakuin ke kamu itu, masih jadi beban pikiran kamu."

"Soal itu juga udah saya lupain, kok." Sheena memotong ucapannya. "Jadi udah impas kan?"

"Apa saya masih boleh ketemu kamu lagi?"

"Untuk apa? Kan saya udah maafin Kak Radit."

Radit mengangguk-angguk. Gadis ini sepertinya benar-benar tidak ingin diganggu. Ia juga bukan tipe laki-laki yang datang serta merta dan menawarkan pertemanan.

Siapa tahu saja ada yang marah.

Pacarnya atau mungkin tunangannya?

Tidak menutup kemungkinan juga, suaminya.

Silakan dikomentari kalau ada yang nggak sinkron. Ini nggak begitu ku-edit, soalnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top