Chase Me #12
Maaf ya, sekian purnama baru bisa update cerita ini. Aku hanya bakal ngasih warning, kalau cerita ini mengikuti mood-ku banget. Terima kasih karena kalian masih nunggu cerita ini.
Langsung aja ya, happy reading!
___________________________________
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
Radit masih melihat-lihat kantor cabang Mutiara Persada yang pernah dikunjunginya beberapa waktu lalu ketika seseorang menghampirinya. Dia sudah tiba di sana sejak sejam lalu, tetapi karena masih jam kerja dan dia tidak ingin mengganggu konsentrasi kerja para karyawan di sana, maka dia beralih ke Acore yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari kantor tersebut. Dia kembali lagi ke kantor setelah memperkirakan jam istirahat. Matahari yang hampir di atas kepala, mulai terasa menyengat di kulit. Radit sudah mulai mampu beradaptasi dengan kondisi pantai di siang hari. Rasanya lumayan membuat kulit jadi lebih coklat. Dia malah menyukai warna kulitnya ini ketimbang warna kulitnya saat bertahun-tahun tinggal di Edinburgh yang terlihat terlalu terang.
"Saya temannya Sheena. Sheena-nya ada?"
"Ooo. Ada, Mas..."
"Radit."
"Ada, Mas Radit. Tapi sepertinya masih makan siang. Mas Radit kalau mau ikutan makan siang, bisa langsung ke sana saja. " Tangan karyawan perempuan itu terarah ke sebuah ruangan luas di belakang mereka. "Saya Juni, resepsionis di sini.
"Mbak Juni sudah makan?"
"Kebetulan baru saja selesai. Mas Radit silakan langsung ke sana." Juni kembali mempersilahkan dengan sangat sopan dan ramah.
"Terimakasih. Saya tunggu di sini saja." Radit memilih duduk di kursi yang tersedia di ruangan kecil yang difungsikan sebagai tempat menerima tamu. Meja resepsionis terletak persis di sebelah kanan pintu masuk.
Setelah lima belas menit berlalu, Radit kembali memeriksa dengan pandangan mata. Mengecek keberadaan Sheena yang belum juga menampakkan diri. Radit berdiri dari kursi dengan maksud keluar sejenak ke halaman. Tidak lama, Sheena akhirnya muncul. Wajahnya masih terlihat lembab, mungkin baru saja selesai shalat.
"Kak Radit?"
Radit tersenyum mendengar Sheena menyebut namanya.
"Udah jam kerja lagi nih?" Radit mengangkat tangan untuk melihat jam tangannya.
"Belum. Masih sekitar dua puluh menit lagi," jawab Sheena. Wajahnya terlihat natural tanpa sapuan make-up.
Radit sempat menangkap keterkejutan di wajah Sheena melihatnya berada di sini. Terakhir bertemu beberapa hari yang lalu, dia tidak pernah memberitahu kapan dia akan datang lagi menemui Sheena di sana. Gadis itu mungkin tidak pernah menyangka dia akan menampakkan diri secara tiba-tiba. Radit bukannya ingin melangkahi apalagi bersikap lancang. Dia serius ingin berteman dengan gadis itu. Sayangnya, hingga detik ini dia belum juga mendapatkan nomor ponsel Sheena, semisal Radit ingin bertanya di mana mereka bisa bertemu lagi.
"Eh ada tamu, Shen?" tanya seorang perempuan yang dikenali Radit sebagai sesama karyawan di tempat itu.
"Iya, Mbak."
"Mas Radit keponakannya Pak Malik?"
"Iya." Kali ini Radit yang menjawab.
Sheena lalu mengenalkan perempuan tadi. Namanya Santi. Perawakan Santi sedikit lebih pendek dari Sheena tetapi tubuhnya sedikit lebih berisi. Penampilannya cukup sederhana, tanpa riasan make-up yang terlalu tebal.
Sheena mengarahkan langkah mereka menuju dermaga yang terletak di belakang bangunan kantor. Menyusuri lorong pendek yang terbuat dari susunan papan lebar kurang dari semeter. Radit memilih membiarkan Sheena berjalan di depannya, mengikuti ke mana langkah gadis itu akan terhenti. Ujung dermaga tempat mereka berdiri saat ini dinaungi atap genteng sehingga tidak terkesan panas.
"Gimana kesibukan kerja di sini?" tanya Radit setelah mereka berdiri sambil menopangkan tangan di pagar pembatas kayu.
"Lumayan santai," jawab Sheena singkat.
"Kamu kapan ada waktu kosong?"
Sheena berbalik, mungkin tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.
"Kenapa Kak Radit nanya pertanyaan itu?" Terdengar cukup defensif.
"Sebagai teman, boleh saya mengajak kamu jalan-jalan?"
Sheena mengerutkan kening. "Bukannya Kak Radit punya tunangan? Dan apakah saya sama Kak Radit bisa dikatakan teman?"
"Kalau begitu, saya saja yang akan menganggapnya seperti itu. Kecuali kamu memang akhirnya setuju mau berteman dengan saya."
"Saya bisa berteman dengan siapa saja." Sheena menyipitkan mata melihat kejauhan. "Termasuk Kak Radit. Tapi, kenapa Kak Radit mau berteman dengan saya?"
"Karena kamu satu-satunya yang saya kenal di sini?" Radit tidak cukup yakin dengan jawabannya. Dia tidak mau terkesan sok akrab. Bisa-bisa gadis itu akan semakin menjauh darinya.
Wait, wait. Sebenarnya apa maksud pikirannya tadi? Mengapa dia jadi memikirkan kemungkinan itu? Memangnya kenapa jika gadis itu menjauh?
Sheena hanya tersenyum tipis. Gadis itu memandangnya sekilas sebelum kembali mengamati lautan yang siang itu seolah berkerlip terkena pantulan sinar matahari.
"Saya nggak mau terkesan GR sama Kak Radit. Tapi kedatangan Kak Radit ke sini untuk ketemu sama saya membuat saya jadi menduga-duga alasannya."
"GR juga nggak pa-pa." Radit melepaskan kacamata. "Saya memang sedang mencoba berteman sama kamu dan tidak menutup kemungkinan mencoba lebih dari sekedar teman."
"Maaf, tapi saya lagi nggak mau mencoba berteman dengan lawan jenis."
"Alasannya?"
"Lebih nyaman seperti ini."
"Move saya kurang mulus sepertinya jadi belum apa-apa, kamu sudah kelihatan pengen kabur dari sini."
"Saya nggak pengen kabur. Mungkin Kak Radit saja yang merasa seperti itu."
Sheena melihat jam tangan.
"Sudah mau balik kerja?"
Rasanya waktu berjalan terlalu singkat. Yah, dua puluh menit lebih banyak dihabiskan berjalan bolak-balik menyusuri dermaga ketimbang mengobrol.
"Iya, Kak. Saya bukannya mau ngusir, tapi saya harus kembali ke kantor."
"Kapan kita bisa ketemu lagi? Mungkin kamu ada rencana hari Minggu ini?" Radit memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mengajak Sheena bertemu lagi.
Sheena sepertinya masih berpikir-pikir akan memberikan jawaban seperti apa kepadanya.
Hanya satu kesempatan itu yang dimilikinya.
"Saya balik ke kantor dulu, Kak."
"Wait, Sheena."
Sheena yang sudah berjalan menyusuri dermaga berbalik menolehnya. Dia terlihat menarik napas dan membuangnya kuat-kuat.
"Saya belum tau mau ke mana hari Minggu ini."
"Saya mau ke Senggigi hari Minggu. Boleh saya jemput kamu?"
Sheena tidak mengangguk ataupun menggeleng.
"Saya duluan, Kak."
Hanya kalimat itu yang diucapkannya sebelum kembali menyusuri lorong dengan tergesa-gesa.
Mungkin jawabannya iya.
***
Sheena baru saja selesai menuangkan sisa nasi goreng dari wajan ke piring. Pagi itu, mereka bertiga sarapan bersama dengan menu nasi goreng buatan Wati. Sheena kebagian tugas membuat teh dan bersih-bersih dapur, sementara Wati mencuci piring dan perlengkapan memasak. Santi membersihkan ruang tamu hingga ke halaman rumah.
"Shen, ada yang nyariin lagi tuh." Santi muncul di ambang pintu dapur sambil tersenyum-senyum. Sejak kedatangan Radit di kantor, Santi jadi makin sering menyinggung soal Radit ketika mereka sedang berada di rumah. Wati yang awalnya tidak tahu, akhirnya malah ikut menggodanya. Hanya sebatas bercandaan, tidak sampai tahap berlebihan.
"Mas Radit?" Bukan Sheena yang bersuara tapi Wati. Si pemilik suara, kini saling berbalas senyum dengan Wati.
Sheena meletakkan wajan ke bak cuci piring, di depan Wati kemudian mencuci tangan dan mengeringkannya menggunakan serbet.
"Mau jalan-jalan ya, Shen?"
Sheena mengangguk pelan, dan cepat-cepat meninggalkan dapur. Bisa-bisa dirinya makin menjadi sasaran godaan teman-temannya kalau tetap tinggal di sana. Lagipula, kata Santi, Radit sudah dipersilahkan duduk di ruang tamu.
Radit mengenakan kemeja putih dan celana pendek krem. Sepasang kakinya memakai sneakers putih keluaran brand ternama. Kacamata hitam tidak ketinggalan melengkapi penampilannya yang kasual namun tetap terkesan rapi.
"Gimana? Sudah siap berangkat?"
"Saya belum bilang mau ikut."
"Tadi ngangguk tuh, Mas. Artinya iya."
Suara itu berasal dari suara Wati yang sempat melongokkan kepala sebelum kembali lagi ke dapur.
"Ayo kalau gitu. Mau ganti pakaian dulu?" Radit kemudian mengamati pakaiannya sekilas. "Yang ini udah kelihatan cantik. Tapi terserah kalau mau ganti dulu."
Apa-apaan sih?
Kemarin dia belum memberikan jawaban, kenapa sekarang malah, laki-laki itu mencoba membuat kesimpulan sendiri? Dia memang tidak ada agenda keluar rumah hari itu, karena di akhir minggu Sheena lebih suka menghabiskan waktu di rumah dengan beristirahat karena keesokan hari dia sudah harus masuk kerja lagi. Tidak ada yang salah sih jika dia mau berjalan-jalan sebentar di pantai. Tidak akan terasa begitu melelahkan kalau hanya sekadar jalan dan makan. Dia bisa pulang sebelum siang.
Heh, sebenarnya apa yang sedang dia pikirkan?
"Kamu mau kan? Atau mau mikir dulu?" Pertanyaan Radit menyentakkan lamunan Sheena. Sempat banget ya dia melamun?
"Mmh, itu...Sheena melirik ke arah pintu. Wati sudah tidak lagi menguping.
"Apa kamu ada janji hari ini?"
Sheena menggeleng. "Sebenarnya, tadi saya lagi beres-beres di dapur."
"Maksudnya, saya nunggu kamu selesai beres-beres? Oke. Nggak sampai sejam, kan?" Radit mengucapkannya sambil melihat jam tangan mahalnya.
Laki-laki itu mungkin tidak tahu yang namanya penolakan secara halus.
Sheena jelas tidak bisa menerima ajakan Radit ketika mereka tidak punya hubungan apa-apa. Terlepas dari minat yang ditunjukkan Radit untuk menjalin pertemanan dengannya, tetap saja dia merasa ganjil. Mereka adalah dua orang asing yang kebetulan bertemu pada suatu kesempatan karena memiliki sedikit masalah di masa lalu.
"Oke kalau gitu. Saya ke dalam dulu." Sheena tidak memberi jawaban pasti. Kalau laki-laki itu memang serius dengan ajakan tadi, pasti dia mau menunggu sampai Sheena menyelesaikan pekerjaan. Nyatanya, Sheena tidak meneruskan langkah ke dapur, melainkan berbelok ke pintu kamar.
Di dalam kamar Sheena belum melakukan apa-apa selain duduk di tepi ranjang. Tubuhnya masih wangi tetapi ada aroma rempah dan sedikit keringat. Dia terpikir untuk mengambil handuk dan kembali mengguyur badannya dengan air yang terasa sejuk. Karena di luar, sengatan matahari akan cepat membuat tubuhnya kegerahan.
Setengah jam kemudian, Sheena sudah siap. Sengaja dipilihnya pakaian kasual namun tetap tertutup. Kaus pendek yang ditumpuk kemeja tipis bermotif bunga, kemudian celana panjang jins, tidak lupa memakai topi, tas selempang dan sneakers. Selain topi, kacamata hitam sepertinya menjadi semacam benda wajib jika bepergian di sekitar pantai. Sunscreen dimasukkan ke dalam tas, berjaga-jaga sebelum matahari semakin menggosongkan kulitnya.
"Mau ke mana dulu, nih."
Mereka sedang berada di dalam mobil yang baru dinyalakan mesinnya.
"Saya rasa Kak Radit udah bilang tadi, mau ke pantai Senggigi."
Radit memasang kacamata hitam. "Basa-basi dikit. Namanya juga usaha."
Sheena tersenyum. Dia menarik napas panjang, berusaha menikmati perjalanan. Radit tidak memutarkan lagu atau siaran radio untuk mereka. Katanya, biar obrolan mereka bisa lebih fokus.
"Kamu kalau mau nyetel musik juga bisa," tawar Radit, mungkin menyadari sepanjang perjalanan Sheena lebih banyak menjawab menggunakan jawaban singkat. Ya atau tidak. Atau jawaban yang tidak lebih dari satu kalimat pendek.
"Maaf dari tadi, saya banyakan diam." Sheena menyadari sikapnya yang tertutup. Alasannya karena Radit bukan orang yang dikenalnya. Dan Sheena memang selalu membatasi diri terhadap lawan jenis. Jika bukan orang lain yang memulai obrolan, maka sudah bisa dipastikan dia akan diam saja sepanjang waktu seperti tidak menaruh minat.
"Nggak apa-apa. Karakter seperti kamu mudah ditebak. Selain mesti pelan-pelan, juga nggak boleh sok akrab. Bisa bikin ilfeel. Padahal saya juga sering nggak sengaja jadi sok akrab sama kamu karena saya nggak mau dianggap seperti batu. Atau seperti makhluk tak kasat mata."
Sheena menutup mulutnya karena tiba-tiba saja dia ingin tertawa. Radit bahkan sudah menertawai lelucon garingnya sendiri.
***
Nanti dilanjut lagi 🥰🥰🥰
Numpang promo juga ya. Ikuti dan dukung aku di KaryaKarsa. Lanjutan Overrated Wife, Overrated Husband di-post di sana.
Love Me Harder juga 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top