Chase Me #11
Chase Me #11
"Nggak ngelamunin apa-apa kok." Sheena tersenyum, kemudian berupaya mengembalikan konsentrasinya pada layar laptop yang terbuka di hadapannya.
Untungnya, Wati bukan tipe perempuan kepo dan penuh selidik. Karena Wati hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar jawaban Sheena.
Kalaupun Wati tipe perempuan kepo, ia juga sepertinya cukup tahu menempatkan diri.
Sheena mengamati layar laptopnya yang tiba-tiba saja menghitam. Rupanya baterai laptopnya sedang kritis. Cepat-cepat ia mengambil charger untuk mengisi baterai laptopnya.
Diliriknya jam meja yang kini menunjukkan pukul 16.04. Tidak lama lagi waktu pulang. Teknisnya, kantor bubar pada pukul 17.00 teng. Waktu yang berbeda jika dibandingkan saat ia bekerja di kantor cabang Jakarta di mana mereka bisa pulang malam, apalagi jika ada pembukuan di akhir bulan.
Sheena tersenyum kecil. Mungkin karena efek mengantuk saja, makanya ia bisa melamun seperti tadi. Belum lagi pengaruh angin sepoi-sepoi yang mengalir lewat jendela besar di depannya.
***
Hari ini ada kunjungan rombongan ibu-ibu pejabat provinsi NTB ke Acore. Hampir setiap hari selalu ada kunjungan wisatawan karena Acore memang membuka tur bagi turis yang ingin mengenal lebih dekat tentang budidaya tiram. Tetapi kali ini cukup menyita perhatian, karena jumlahnya yang lumayan banyak.
Hari itu Sheena ikut membantu mendampingi rombongan tersebut. Ia hanya melakukan pekerjaan ringan seperti menunjukkan koleksi mutiara di etalase karena tugas memberikan pendampingan sudah dilakukan oleh Pak Wisnu dan dua orang staf yang memang sehari-hari menjadi pemandu wisata tur tersebut.
"Bu, kalau mutiara seperti ini apa bisa jadi investasi?" tanya seorang ibu kepada rekannya.
"Bisa, Bu. Ini juga sepertinya langka ya?"
"Bagusan berlian sih, Bu." Terdengar celetukan dari salah seorang ibu bertubuh gemuk.
"Ah, Ibu. Saya kan mau koleksi perhiasan yang nggak terlalu mahal," jawab ibu yang pertama bertanya. "Lagian saya sudah punya beberapa berlian. Ada koleksi tas branded juga saya. LV, Chanel sama Hermes."
Sheena tersenyum.
Kok malah jadi merembet ngomongin tas sih?
"Ya udah. Beli saja kalau gitu. Saya juga ada tas Hermes tiga biji." Ibu yang barusan menjawab tadi hanya mengibaskan kipas kecilnya dan segera berlalu dari hadapan kedua ibu yang tengah mengobrol tadi.
"Mentang-mentang suaminya kepala dinas."
"Lah, suami saya juga kepala dinas, Bu. Tapi saya nggak mau pamer."
Sheena menutup mulut dengan telapak tangan ketika senyumnya semakin melebar.
Jadi yang tadi bukannya pamer juga ya?
"Hmm. Iya, Bu. Kalau saya sih, berhubung suami saya hanya kepala bagian, jadi nggak leluasa belanja. Padahal kalau ditanya keinginan, ya saya juga mau punya tas bermerek. Tapi disyukuri saja rejekinya udah dapat segini. Yang penting anak-anak bisa kuliah di universitas bergengsi."
"Oh. Itu kan anaknya ibu yang masuk kedokteran UGM ya? Anak saya juga inginnya sekolah di sana, Bu."
Saat melewatinya, kedua ibu tadi tersenyum dan menunduk sopan. Mereka beralih menuju etalase lain, masih sambil bercerita.
Sheena berusaha tidak membayangkan sosok seorang ibu ketika melihat rombongan ibu-ibu tersebut. Ia sesekali masih merindukan sosok ibu, tapi kalau dipikir-pikir lagi. Bukankah lebih baik ia seperti sekarang ini, seolah menjadi piatu tanpa sosok ibu. Daripada menjalani hidup dalam tekanan batin. Menjadi anak dari sosok perempuan peselingkuh.
"Mbak pegawai baru ya di sini?" tanya seorang cewek dengan rambut kuncir kepada Sheena. Usianya sepertinya sedikit lebih mudah daripada Sheena.
"Iya, Mbak. Saya pindahan dari kantor di Jakarta." Sheena mengerutkan kening saat menjawab pertanyaan ibu tadi.
"Soalnya saya sering memandu tur ke sini. Dan baru lihat Mbak. Karyawannya bertambah, berarti."
"Iya, Mbak." Sheena lagi-lagi mengangguk.
"Tadinya saya kira, Mbak kerabat pemilik tempat ini. Soalnya mirip."
"Oh, bukan. Saya hanya karyawan biasa kok."
Setelah berbasa-basi, cewek ramah tadi pun pamit untuk menemani rombongan.
Kurang dari setengah jam, rombongan itu pun meninggalkan Acore.
***
"Ayah udah makan siang? Makannya di mana?"
Sheena mendengarkan suara ayahnya yang saat ini tengah terlibat percakapan udara dengannya. Ia baru saja hendak makan siang, dan teringat ayahnya. Nada suara ayah terdengar seperti biasa.
Hal yang cukup melegakan bagi Sheena saat ayahnya mengatakan bahwa ia selalu dalam keadaan baik. Kedengarannya, ayah tidak akan berbohong hanya untuk meyakinkan Sheena.
"Nanti malam makannya di rumah?"
Sheena mengangguk-angguk mendengar jawaban ayah. Ayah akan makan malam di rumah dengan makanan yang sudah distok. Nanti, makanannya tinggal dipanaskan saja.
"Sheena akan pulang kalau dapat libur." Sheena mengucapkannya dengan suara pelan saat Wati duduk di sampingnya. Wati sudah mengambil sepiring makanan dan kembali mengingatkan Sheena untuk segera makan. Sheena pun berbicara sekitar semenit sebelum mengakhiri percakapan.
"Bulan depan ada libur selama tiga hari. Pas kan tanggal merahnya hari Jumat?" kata Santi, yang ternyata sempat menyimak obrolan Sheena dengan ayahnya.
"Tapi libur tiga hari nggak berasa banget ya?" sambung Wati.
"Iya bener. Mana belum bisa ngambil cuti kan?" kata Santi. "Jadi Mbak Sheena mau pulang ke Jakarta?"
"Belum pasti juga, Mbak." Sheena tersenyum lalu memberi isyarat akan segera mengambil makanan di meja.
Benar kata Wati. Libur tiga hari tidak akan begitu terasa. Sheena butuh paling tidak satu minggu libur. Apalagi perjalanan bolak-balik ke bandara juga lumayan melelahkan dan menyita waktu.
Tapi, kalau tidak pulang bulan depan, kapan ia punya waktu lagi?
***
Seminyak, Bali.
Radit memerhatikan dengan seksama setiap detail vila tempatnya kini berada. Vila itu merupakan salah satu vila milik keluarganya. Vila tersebut merupakan sebuah rumah bergaya tropis dengan halaman luas yang dipenuhi tanaman hijau dan kolam renang di halaman depan.
Rencananya, homestay yang akan dibangun, mengikuti desain vila. Tapi rencana masih bisa berubah. Sampai saat ini, ia masih berkonsultasi dengan arsitek dan kontraktor yang sudah ditunjuk oleh ayahnya. Mungkin akan ada sedikit penyesuaian dengan konsep yang diinginkannya. Ya, sejak ia setuju menangani proyek tersebut, papa memberinya kebebasan mengenai desain eksterior dan interior. Hal itu tentu saja disambut Radit dengan baik. Ia bisa menuangkan ide-idenya dan mewujudkannya menjadi sebuah bangunan yang nyaman dan memiliki desain menarik.
"Dit?"
"Iya, Pa?"
"Sampai sekarang, Papa belum pernah nyuruh kamu milih properti yang kamu mau." Papa mengajaknya berjalan menuju area kolam renang.
"Maksudnya, Pa?"
"Selain vila ini, Papa juga punya dua vila di Ubud dan Bedugul. Nanti kalau ada waktu, kamu lihat-lihat dulu."
"Desainnya beda, Pa?"
"Tiga-tiganya nggak sama desainnya." Papa lalu duduk di salah satu kursi dan Radit mengikutinya duduk. "Kamu pilih, mau vila yang mana?"
"Maksudnya?"
Papa tertawa melihat wajah bingung yang ditunjukkan Radit. "Take one as yours."
Radit cepat-cepat menolak."Janganlah, Pa. Masa Radit dikasih vila padahal Radit nggak pernah bantu Papa soal bisnis?"
"Papa udah tanya Vindra soal ini. Katanya, suruh kamu milih dulu mau yang mana?"
Radit tersenyum. Ia belum pernah melihat dua vila lain, seperti yang dimaksud ayahnya. Tapi ia yakin, vila-vila milik ayahnya memiliki nilai fantastis. Apalagi vila yang kini mereka datangi. Harga tanah di Seminyak sangat mahal. Belum lagi, tanah dan bangunan vila itu sangat luas.
"Pa, Radit ngerasa belum bisa membahagiakan Papa dan mama, tapi malah ditawari aset semahal ini."
Papa menepuk bahu Radit. "Kamu kan anak Papa, Dit. Sama siapa lagi aset Papa akan Papa kasih kalau bukan ke Vindra dan kamu?"
Radit hanya diam.
"Atau kamu nikah saja dulu. Nanti vila-nya jadi kado pernikahan kamu. Bagaimana?"
Radit masih belum mau bersuara.
"Bagaimana perkembangan hubungan kamu sama Fely?" tanya papa lagi.
"Kami cuma teman saja, Pa."
"Teman? Bagaimana mungkin kamu hanya menganggap Fely sebagai teman? Fely itu anaknya baik dan terpelajar, Radit."
"Tapi, Radit nggak tertarik sama dia."
"Lalu, kamu mau menikah dengan siapa?"
"Asal ketemu yang cocok, Radit pasti menikah."
"Kalau begitu, Papa tunggu."
Radit belum berani memberikan janji untuk membawakan calon menantu ke hadapan papa. Pekerjaan barunya saja belum menghasilkan apa-apa, malah sudah ditodong pertanyaan tentang pernikahan. Bagaimana mungkin dia memikirkan pernikahan sementara fokus pikirannya kini hanya berkutat seputar pekerjaan? Segala sesuatu dalam hidupnya mesti dipikirkan secara bertahap. Selesai satu rencana, baru berpindah ke rencana lain. Selesai urusan pekerjaan, kemudian berpindah ke urusan pribadi. Rasanya opsi itu adalah opsi terbaik yang bisa diambilnya untuk saat ini.
***
Sheena meregangkan kedua tangan, melemaskan sejenak otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena berjam-jam duduk di depan laptop. Malam itu, dia menghabiskan waktu membereskan file-file di dalam laptop, meng-organize file ke dalam folder, kemudian memisahkan file-file lama dengan file-file baru sehingga tidak bercampur lagi. Beberapa minggu ini, dia memiliki banyak foto dan video hasil dokumentasi di pantai dan perjalanan berkeliling Lombok. Setiap dokumentasi selalu dipindahkan ke laptop dan flashdisk demi keamanan data. Sebagian kecil juga disimpan di ponsel, jika sewaktu-waktu Sheena ingin melihatnya. Bagaimanapun, melihat dokumentasi di ponsel selalu lebih praktis ketimbang kamera dan laptop.
Selesai berkutat dengan laptop, Sheena beralih mengambil ponsel. Mengecek Whatsapp adalah hal pertama yang dilakukannya setiap membuka ponsel karena komunikasi paling banyak berlangsung di aplikasi itu dibandingkan media sosial seperti Instagram dan Facebook. Sheena juga memiliki LINE, tapi karena komunikasi pekerjaan selalu lewat Whatsapp dan e-mail membuat akun LINE-nya terbengkalai. Dia tidak berencana menghapus akun LINE-nya dan membiarkannya saja karena di sana pun masih cukup banyak hal-hal penting, termasuk grup LINE SMA dan kuliah.
Raya mengabari jika hari itu dia baru saja pulang dari jalan-jalan malam bersama teman-teman traveling. Oleh-oleh untuknya juga sudah dibeli. Rencananya, Raya masih akan tinggal sampai dua hari ke depan. Sheena mengetikkan ucapan selamat tidur, sebelum Raya sempat tertidur. Katanya sudah capek dan mengantuk, jadi Sheena pun berinisiatif mengakhiri chat tersebut.
Napas Sheena tertahan di ujung tenggorokan, saat sebuah chat dari Adnan muncul di notifikasi. Setelah berbulan-bulan lamanya, Adnan baru menghubunginya lagi. Sewaktu masih berpacaran, Adnan selalu rutin mengucapkan selamat tidur untuknya. Adnan jarang menelepon karena dia memahami jika Sheena kurang begitu suka mengobrol lewat telepon.
Kali ini, bukan ucapan selamat tidur. Hanya sapaan singkat.
Hai Sheena.
Hanya itu, tanpa pertanyaan apakah dia sudah tidur atau belum. Sheena tidak berharap apa-apa lagi, malah bagus karena dia tidak perlu merasa harus membalas chat itu sekarang. Sekalipun dia telah membacanya.
Mereka tetap berhubungan baik. Putus hubungan pacaran bukan akhir dari segalanya. Mereka tetap berteman, meski kini jauh lebih berjarak. Sheena belum mengetahui bagaimana kabar Adnan sekarang, apakah telah memiliki hubungan baru dengan orang lain, atau masih sendiri. Dia tidak pernah berniat mencari tahu karena rasanya tidak ada manfaatnya sama sekali. Dia bukan seseorang yang mudah untuk move on tetapi dia juga bukan seseorang yang ingin menyelidiki kehidupan mantan pasca putus. Pengalaman pahit perceraian kedua orangtuanya mengajarkan satu hal bahwa dia tidak boleh terlalu menggantungkan harapannya kepada orang lain, yaitu pasangan. Sheena belajar hidup mandiri, melakukan segala sesuatunya sendiri, berusaha bekerja keras untuk masa depannya, karena dia tidak ingin bergantung kepada pasangan dalam hal finansial. Menurutnya, pasangan ada dalam hidup untuk menjadi teman berbagi, tetapi bukan seseorang yang patut disusahkan. Dia khawatir, jika kelak berumahtangga dan sikapnya menyusahkan suami, dia malah takut dirinya akan ditinggalkan dengan alasan hanya bisa menyusahkan. Rasanya menyakitkan jika seseorang meninggalkan diri kita karena kita dianggap tidak cukup baik untuk menjadi pasangan.
Mungkin alasan itu juga yang membuat Sheena takut berkomitmen lebih daripada pacaran. Pernikahan malah jadi sesuatu yang dihindari. Makanya, ayah juga segan membicarakan hal tersebut kepadanya, meskipun usia Sheena sudah sangat pantas untuk menikah. Ayah berharap Sheena mendapatkan pasangan yang bisa menjaganya, karena Sheena adalah anak satu-satunya, perempuan pula. Terkadang Sheena merasa sedih jika mengingat perkataan ayah kepadanya.
"Pernikahan jangan dijadikan beban, Sheena. Tidak hanya pernikahan, tetapi semua hal yang terjadi di dunia ini, jangan dijadikan beban. Karena kita hanya manusia biasa yang hanya bisa berusaha dan berdoa. Kita tentu selalu ingin mendapatkan hasil yang terbaik dengan bekerja keras. Tetapi hidup tidak selalu mujur, Sheena. Apa yang kita inginkan belum tentu kita dapatkan. Kekecewaan, penyesalan, itu hal yang wajar, tetapi bukan menjadi alasan bagi kita untuk berhenti berjuang."
"Selalu melihat hal positif dari setiap kejadian dalam hidup kita. Jangan menjadikan kegagalan ayah dan ibu kamu sebagai alasan bagi kamu untuk menghindari komitmen. Seperti yang pernah Ayah bilang ke kamu. Setiap usaha tidak selalu berhasil, meskipun kita sudah berusaha semaksimal mungkin supaya tidak gagal. Tapi setidaknya kita sudah pernah mencoba dan mengambil hikmahnya."
"Ibu kamu boleh saja pergi dari kehidupan kita, Nak. Tetapi itu bukan alasan untuk merasa kecewa berkepanjangan apalagi sampai menaruh dendam. Karena hidup sudah seperti itu, ada yang datang dan ada yang pergi. Semuanya hanya titipan dari Tuhan. Tidak ada yang abadi. Kita hanya perlu ikhlas, sabar dan berserah diri menerima takdir."
"Ingat satu hal, Sheena. Sesulit apapun hidup, selalu ada alasan untuk bahagia."
Sheena mengangguk pelan. Kata-kata ayah terus terngiang-ngiang di telinganya, tersimpan di dalam benaknya.
Tentu saja harus selalu ada alasan untuk bahagia. Dalam keadaan sesulit apapun.
***
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top