Chase Me #10
Chase Me #10
Sheena memandangi pantai dari tempatnya kini berdiri. Sepagi itu, pantai belum ramai. Matahari belum menyengat. Ia bisa leluasa bermain-main di sana tanpa khawatir kepanasan dan suasana yang terlalu ramai.
Enak banget ya private beach yang dinikmati oleh orang-orang yang menginap di resor dan vila mewah. Mereka bebas menikmati suasana pantai tanpa interupsi dari orang-orang.
Tas selempang ia buka untuk mengeluarkan ponsel. Ia ingin mengabadikan pemandangan pantai dengan kamera digital. Walau bukan jenis DSLR, hasil gambarnya lumayan bagus. Kapan-kapan ia akan membeli kamera yang lebih bagus, jika suatu saat ia tertarik mendalami fotografi.
Beberapa gambar sepertinya sudah cukup, jadi Sheena mengambil beberapa gambar lagi. Ia sengaja mengambil obyek seperti payung dan perahu.
"Selamat pagi."
Sheena menurunkan kamera dan menemukan seraut wajah yang tengah tersenyum kepadanya.
Laki-laki itu lagi.
"Pagi," balas Sheena singkat. Ia memasukkan kamera ke dalam tas, lalu berdiri dengan kikuk sambil memegangi tali tas selempangnya.
"Sendirian?"
"Iya," angguk Sheena.
Sheena tidak pernah tahu jika menghadapi seseorang yang seharusnya ia hindari, bisa jadi secanggung ini. Sikap Radit selalu seperti itu setiap melihatnya. Tersenyum, tanpa memerlihatkan sikap intimidatif. Maksudnya, tidak semua orang asing bersikap seramah ini.
Mungkin karena laki-laki ini juga tidak begitu asing baginya.
Tapi mereka kan bukan teman juga.
Jadi, bagaimana harus bersikap? Menanggapinya bicara, nanti disangka sok akrab. Tidak menjawab, nanti disangka sombong.
"Saya nggak bermaksud mengganggu kesibukan kamu mengambil gambar. Kamu bisa lanjutkan, sambil kita mengobrol, mungkin?"
Sheena benar-benar tidak tahu, topik apa yang bisa ia obrolkan dengan Radit. Lagipula, kenapa laki-laki itu tiba-tiba saja sudah berada di sana?
Apa Radit sengaja mengikutinya?
Atau keberadaannya di sana hanya kebetulan saja?
Oke, mungkin ia terlalu GR dengan pernyataan pertama. Radit tidak mungkin sengaja mengikutinya.
Apakah karena ia terlalu terpesona wajah di hadapannya sehingga ia berpikir se-absurd itu?
Sheena membuang napas.
Ia kembali mengambil kamera, dan mengatur tampilan di dalamnya yang sebenarnya tidak perlu. Ia hanya ingin...semacam mengulur waktu.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Radit saat Sheena baru saja selesai memotret pasir dari jarak dekat. Ada bintang laut kering yang terdampar di sana.
"Sudah."
"Saya belum."
Sheena menunjuk ke arah sebuah warung kecil. "Biasanya di sana ada serabi."
"Saya ingin makan nasi Puyung. Bisa temani saya sarapan?"
***
Nasi Puyung khas Lombok merupakan menu berupa nasi putih bersama lauk seperti suwiran ayam, kedelai goreng, kelapa parut dan sambal. Porsi yang disajikan cukup untuk sarapan. Rasanya cukup pedas jika dimakan dengan menambahkan sambal.
Sheena tidak akan menanyakan kepada dirinya tentang alasan ia mau menuruti ajakan Radit untuk menemaninya sarapan. Ia memiliki alasan untuk menolak. Mudah saja, ia tinggal bilang jika ia sudah sarapan dan masih kenyang. Ia hanya ingin sendiri, menikmati suasana pantai pagi yang begitu indah, memotret berkeliling, dan menyuruh Radit pergi sejauh mungkin.
Suasana hatinya sedang baik. Radit menawari dengan sangat sopan, tanpa terlihat mencoba menebar pesona jadi tidak ada salahnya menerima tawarannya.
Hanya sebuah sarapan bersama, tidak akan berarti apa-apa.
"Jadi, kamu bekerja di sini." Radit mengambil kerupuk dan mengunyahnya bersama nasi.
"Kak Radit sudah menanyakan soal itu kemarin." Sheena mengingatkan.
"Hanya mengingat kembali. Kemarin kita belum sempat ngobrol banyak."
Ngobrol banyak. Sheena tidak tahu seberapa jauh obrolan mereka nanti. Rasanya ia juga tidak mungkin mengobrol banyak dengan seseorang yang tidak begitu ia kenal.
Untuk apa?
Sambil menikmati sarapan, Radit mulai bercerita tentang alasan keberadaannya di Lombok. Ia sedang melihat-lihat lokasi proyek pembangunan properti yang nantinya akan digunakan untuk investasi, seperti pembangunan vila dan homestay. Ia tidak terdengar memamerkan apa yang sedang ia kerjakan. Cara Radit bercerita seperti seseorang yang bercerita suatu hal biasa. Seperti obrolan santai. Hal-hal ringan seperti keadaan cuaca atau film apa yang sedang booming. Meski Sheena lebih banyak diam, karena jujur saja, ia tidak tahu banyak tentang investasi, properti dan bisnis dalam skala yang lebih besar. Pekerjaannya sehari-hari lebih banyak berkisar pada perencanaan dan pengadaan barang. Atau sedikit tentang keuangan dan perpajakan.
Tapi ia tidak pernah keberatan menjadi pendengar yang baik. Paling tidak, pengetahuannya tentang bisnis bisa lebih luas lagi.
"Dari tadi, kamu banyakan diam." Rupanya Radit memerhatikan.
"Saya sering seperti ini sama orang lain. Kadang saya merasa hanya bisa jadi pendengar. Takut salah ngomong. Jadinya, mungkin malah ngebosenin." Sheena berucap jujur. Kepribadiannya cukup tertutup. Hanya kepada orang-orang tertentu saja ia mau lebih terbuka dan cerewet. Misalnya jika ia bersama Raya dan ayahnya.
"You are not. Setiap orang punya karakter masing-masing. Sedikit bicara bukan berarti ngebosenin. Hanya mungkin jauh lebih berhati-hati ketimbang orang yang memiliki kepribadian supel dan terbuka. And i'm okay with that."
"Iya."
Sheena mengalihkan arah matanya ketika tatapan mereka bertemu. Radit menyadari hal tersebut, dan malah tersenyum.
"Saya juga nggak punya banyak teman dari dulu."
"Me too." Sheena mengambil kerupuk dari stoples yang ditawarkan Radit kepadanya. "Teman saya bisa dihitung jari."
"Hal yang terpenting bukan banyaknya teman, tetapi kualitas pertemanan. Kita nggak selalu mendapatkan teman yang baik dan sejalan dengan pemikiran kita. Tapi yang jelas, teman yang baik akan membawa pengaruh yang baik. A bestfriend is the one who brings out the best in you."
Sheena harus setuju. Persahabatan selama bertahun-tahun dengan Raya adalah contoh paling mudah sekaligus contoh terbaik. Ia mendapatkan apa yang selama ini ia butuhkan dari seorang sahabat. Dan hal-hal tersebut adalah hal-hal terbaik dalam hidupnya.
"Seorang sahabat yang baik akan membantu melewati masa-masa sulit."
"True friends never leave you during hard times."
Sheena mengangguk.
"Apakah saya salah satu bagian dari masa-masa sulit kamu?" tanya Radit, terdengar ragu.
Sheena mengatupkan rahang. Laki-laki di hadapannya ini pernah cukup menyulitkan hidupnya di masa SMA. Tapi, rasanya hal itu tidak berdampak terlalu besar dalam hidupnya dulu. Mungkin hanya suatu hal kecil yang cukup menambahkan kesulitan dalam hidup setelah perceraian kedua orangtuanya.
"Sedikit." Sheena menambahkan. "Tapi sudah saya maafkan soal itu."
"Pacar kamu waktu itu nggak marah?"
Pacar?
Waktu itu ia tidak pernah pacaran, dan tidak pernah terpikir untuk punya pacar. Waktunya tersita untuk belajar karena fokus mengejar beasiswa di sekolah favorit.
"Nggak dijawab juga nggak apa-apa."
"Saya nggak punya pacar waktu itu." Sheena memberikan jawaban sebelum Radit sempat mengira-ngira. Barangkali Radit mengajaknya mengobrol untuk menguraikan benang kusut di antara mereka di masa lalu.
Ada tipe orang-orang yang tidak bisa membiarkan masa lalu pergi begitu saja tanpa menyelesaikan, sekiranya jika ada hal-hal mengganjal pikiran pada masa itu.
Sheena mengakui dirinya yang tergolong tipe melankolis, sulit melupakan segala sesuatu yang pernah mengguncang perasaannya. Hal itu menyebabkan sifatnya menjadi lebih tertutup, sulit berinteraksi dengan orang lain.
Jadi, memang bukan salahnya jika ia sulit melupakan. Karakternya memang seperti itu.
"Kalau sekarang?"
"Kenapa... Kak Radit bertanya soal itu?" Kali ini Sheena bertanya dengan ragu. "Apa sekedar iseng ingin tau saja?"
"Nggak. Bukan iseng. Saya khawatir saya ngobrol berdua seperti ini sama kamu, saat kamu sudah punya pacar."
Sheena memilih diam. Nasi di piringnya masih banyak. Lebih baik ia berkonsentrasi menghabiskan sarapan dan pamit untuk pergi.
"Saya antar kamu pulang setelah sarapan."
Sheena mengangkat wajahnya dari pandangannya pada piring, hendak berkata, namun urung.
"Atau mengantar kamu ke mana kamu mau pergi."
***
Radit mengutuk dirinya sendiri saat bertanya status hubungan Sheena.
Dia siapa sampai seberani itu bertanya?
Apa ia segitu kehilangan topik obrolan? Apa iya, caranya berkomunikasi sepayah itu?
Raut wajah Sheena yang tidak nyaman atau mungkin kesal, sudah cukup memberi jawaban.
"Saya minta maaf soal pertanyaan saya tadi."
Mereka tengah berjalan menuju area yang biasanya dilalui pengunjung yang baru tiba di kawasan pantai. Sheena bermaksud kembali ke rumah tempatnya tinggal sementara selama bekerja di Lombok. Radit menawarkan untuk mengantar Sheena pulang, tawaran yang lebih baik, daripada membiarkan gadis itu harus kembali sendiri setelah menemaninya sarapan. Sheena menolak, tetapi Radit masih terus membujuknya untuk membiarkan mengantarnya pulang.
"Saya memang nggak nyaman kalo ada yang nanya urusan pribadi saya."
Sheena sudah memberikan jawaban tegas, dan Radit tidak mau lagi memberikan bantahan.
"Baik kalau begitu. Tapi kamu nggak bakal kapok kan ketemu sama saya lagi?"
Sheena terdiam. Tidak banyak respon yang bisa diberikan gadis itu kepadanya selain diam, atau memberikan jawaban pendek-pendek. Baru kali ini Radit bertemu perempuan yang super irit bicara seperti Sheena. Sewaktu SMA dulu, ia tidak memiliki cukup kesempatan untuk mengenal gadis itu lebih jauh, jadi ia tidak punya perbandingan sikap gadis itu di masa lalu dan masa sekarang.
"Apa ada alasan bagi saya dan Kak Radit untuk bertemu lagi?" tanya Sheena dengan suara pelan dan datar.
Pertanyaan itu bukan jenis pertanyaan yang butuh jawaban singkat dan cepat. Radit tidak yakin, jawaban apa yang akan ia berikan. Jawaban yang tidak akan menyinggung atau jawaban yang tidak akan mengesankannya sebagai seorang laki-laki yang gemar menggoda perempuan.
"Saya senang berteman dengan siapa saja. Di sini saya nggak punya teman atau seseorang yang saya kenal. Rasanya saya bisa mati bosan kalau menghabiskan waktu di sini seorang diri. Kontraktor dan para pekerja tidak akan punya banyak waktu untuk menemani saya mengobrol hal-hal yang remeh di luar pekerjaan."
Radit cukup yakin dengan jawabannya.
"Kalau begitu, Kak Radit jelas salah memilih orang yang bisa diajak mengobrol asyik. Karena sudah pasti saya bukan orang yang cukup asyik diajak mengobrol."
Jawaban itu terdengar cukup defensif. Ia bukannya sedang mengajak gadis itu berkencan, tetapi sikapnya jadi begitu kaku. Bukan salah gadis itu, mungkin kehadirannya saja yang terlampau buru-buru.
"Baiklah. Kapan-kapan kalau ada waktu, saya main ke kantor kamu."
Untuk beberapa saat, Sheena tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunjukkan anggukan kecil di wajahnya yang berekspresi datar.
"Saya antar," tambah Radit lagi.
Sheena lagi-lagi mengangguk. Kali ini ditambah seulas senyum tipis.
***
Sudah dua hari berlalu sejak Radit mengantarnya pulang. Setelah itu, Sheena mengakui jika ia jadi lebih sering menghabiskan waktu mengirimkan chat kepada Raya. Bukannya ia ingin curhat kepada Raya. Bisa-bisa Raya mengejek karena ia jadi GR sendiri. Lagipula, semestinya tidak ada yang perlu ia anggap serius dari sikap Radit waktu itu. Radit hanya bersikap sopan mengantarnya pulang. Setelah ia menemani laki-laki itu sarapan, mungkin Radit mengantarnya pulang sebagai bentuk ucapan terima kasih.
Sheena mendesah.
Menyandang status lajang memang bukan sesuatu yang cukup melegakan. Hatinya yang dulu terbiasa dipenuhi bayangan kebersamaan dirinya dan Adnan, harus ia larung jauh-jauh ke laut. Menyisakan kekosongan. Kata orang, hati tidak boleh dibiarkan berlama-lama kosong. Bisa-bisa kepekaannya hilang.
Tapi apakah mudah baginya memulai hubungan baru? Ia bukan seseorang yang punya banyak pengalaman dalam sebuah hubungan. Ia belum begitu paham mengelola perasaan sendiri. Baginya, hubungan bukan hal yang mudah dijalin dan diputuskan. Makanya, Sheena sering bertanya-tanya, bagaimana dengan orang-orang yang gemar berganti pasangan. Tidakkah mereka mengenal kata serius? Ketika berinisiatif berkenalan, saat itulah seseorang bisa menimbang-nimbang sebelum memutuskan membuat komitmen. Bukannya gampang berkomitmen dan gampang pula memutuskan mengakhiri komitmen tersebut. Apalagi karena alasan bosan.
Atau alasan menemukan seseorang yang lebih baik. Di saat komitmen kepada orang sebelumnya belum diputuskan. Dengan kata lain mendua, atau mentigakan.
Sheena benar-benar tidak bisa menerima kenyataan jika ada saja orang-orang yang gemar mengkhianati komitmen.
Atau singkat saja dengan kata 'perselingkuhan'.
Mengapa ada orang-orang yang gemar berselingkuh? Apakah sulit menjadi seseorang yang setia kepada pasangan?
Apakah tidak takut karma? Dosa?
Kini tangan Sheena gemetar ketika tidak sengaja di pikirannya terbersit sosok seorang perempuan pengkhianat, yang tidak lain adalah ibunya sendiri. Bayangan ibu sebagai role model runtuh seketika.
Ia mengatur napas, lalu melanjutkan membalas chat terbaru dari Raya.
Raya : Eh, Na. Gue rencana pengen jalan ke SG. Mau nitip oleh2?
Sheena : Terserah lo aja J
Raya : Lo tuh setiap ditanyain, pasrah bgt. Sekali2 kek ngelunjak minta dibeliin apa gitu
Sheena : Lo pergi dan pulang dgn selamat aja, gue udah senang
Raya : Emang ga salah, gue selalu bilang lo malaikat
Sheena : Bisa aja
Raya mengetik beberapa kalimat sebelum pamit, karena baterai ponselnya sudah sekarat dan ia berkumpul bersama keluarga di living room. Biasanya Raya kerap menghabiskan waktu di rumahnya setiap ia tidak sibuk dengan pekerjaan di kantor. Dalam hal urusan keluarga, mereka memiliki prinsip yang sama. Keluarga adalah prioritas. Keluarga adalah di atas segala-galanya.
***
"Ngelamun aja, Mbak Sheena."
Wati menjentikkan jari di depan wajah Sheena. Lamunan Sheena mendadak buyar.
"Eh, Wati."
Sheena tidak mengetahui entah sejak kapan ia melamun.
Ia melamun? For real?
Sheena tidak mengerti mengapa ia sampai bisa melamun. Apalagi lamunannya itu tentang masa-masa SMA-nya dulu. Sejak pertemuan dengan Radit beberapa hari lalu, bayangan masa SMA-nya mendadak melintas.
Kalau saja dulu Radit bisa bersikap lebih baik di pertemuan pertama mereka, tentunya ia tidak akan mengenangnya dengan bayangan yang selama ini bercokol di benaknya. Bahwa Radit bukan sosok cowok nakal menyebalkan. Andai ia memberikan Radit lebih banyak kesempatan untuk memberikan penjelasan.
Tapi bagaimana mungkin mereka akan membahas soal itu lagi? Apakah memang masih ada kesempatan untuk membahasnya?
Ada sih. Jika mereka bertemu lagi.
Astaga. Bisa-bisanya ia memikirkan kemungkinan seperti itu?
"Ngelamunin apa sih, Mbak?" tanya Wati yang kini sudah kembali duduk di balik meja kerjanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top