Wanna Stay?
PoV Ivy, written by Putrie-W
Selepas makan malam yang Gavin nobatkan sebagai kencan pertama kami, hatiku ingin meledak girang. Sungguh, tidak menyangka ajakannya untuk berkencan secepat itu. Karena selama dua minggu belakangan aku berusaha menahan diri agar jangan mengharapkan lebih. Memang dia memberi segudang perhatian, tapi aku tidak mau mengkhayal terlalu jauh, takut kalau pada akhirnya khayalan itu tidak akan jadi kenyataan.
Sabtu yang pada awal kubayangkan jadi hari menyebalkan nyatanya berbeda jauh. Meskipun tidak bertemu dengan Gavin, tapi kami masih saling mengirimkan pesan. Hanya saja balasan yang dia kirim bisa bermenit-menit baru sampai. Wajar sepertinya, mengingat sekarang weekend. Mungkin dia sedang menemani orang tuanya. Ah, tidak masalah. Aku juga sedang bersama teman-teman untuk menikmati Sabtu sore di sebuah kafe.
"Terus terus, kalian udah jadian?" Risma memulai percakapan setelah tiga cangkir kopi pesanan kami datang. Tepatnya memulai percakapan tentang hubunganku dan Gavin.
Wajahku serasa panas, ditambah 'cie-ciee' yang dilontarkan Eca. Untuk menyamarkan malu yang melingkupi diri, aku meraih cangkir dan menyesap isinya perlahan. Risma dan Eca melayangkan protes, karena bagi mereka aku seperti menunda-nunda untuk memberi jawaban. Mereka tidak mengerti bahwa aku sebenarnya sedang menahan diri agar tidak terlihat norak atas rasa senang ini.
"Ya kayaknya gitu, sih. Dia sering kasih perhatian, terus kemarin ngajak kencan. Menurut kalian gimana?" Setelah menata luapan bahagia di dada dan meletakkan kembali cangkir di meja, aku bicara.
"Udah pasti jadian itu. Cowok dewasa kebanyakan emang nggak nyatain rasa kayak anak-anak SMA. Jarang cowok setara Gavin bakal ngomong, 'Kamu mau jadi pacar aku, nggak?'. Terus mustahil juga dia bilang, 'Kita jadian yuk, Ivy.'"
Eca dan aku tergelak demi melihat pergerakan bibir Risma dan ekspresinya saat mempraktekkan kalimat tadi. Tawa kami beberapa detik kemudian terhenti, kembali pada percakapan yang membuat pipiku terus panas.
"Terus kalian nanti nggak ada janjian buat malam mingguan?" tanya Eca. Aku menggeleng, disusul decakan kecewa dari Eca dan Risma. "Lo nggak ada niat kasih sesuatu gitu sebagai tanda kalian udah jadian?"
"Nah, Eca benar. Lo mesti kasih something. Kita sekalian cari aja abis dari sini," usul Risma.
Jariku terantuk-antuk di meja, sedikit berpikir mengenai ucapan mereka. Ya, ada benarnya juga. Gavin pernah memberiku bunga dan itu adalah hal yang spesial, sedangkan aku hanya pernah menyediakan dia kudapan sebagai teman lembur. Tidak ada salahnya jika aku juga memberi Gavin sesuatu, tapi apa? Kalau memberinya baju, kemeja, dasi, atau sejenisnya sepertinya sudah sangat biasa.
"Kasih apaan, ya? Bingung gue."
"Kasih saputangan yang ada cap bibir lo, Vy. Pasti Gavin nggak bakal nolak. Tiap malam dia bakal peluk saputangannya sambil bayangin lo," usul Eca dan berhasil membuatku hampir tersedak kopi.
Saran Eca memang luar biasa, sampai-sampai aku geli membayangkan bagaimana memberikan cap bibir pada secarik kain untuk Gavin. Terdengar sangat konyol. Dan yang pasti, mungkin Gavin akan menolak mentah-mentah.
"Lo kalau ngelawak emang selalu bisa, Ca!" Risma menyahut semangat. Eca hanya tersenyum lebar dan menyesap kopinya. "Kalau dengar dari cerita-cerita lo, Gavin itu tipe cowok lembut dan manis. Dia pasti menghargai banget apa yang lo kasih meskipun itu bukan barang mahal," lanjut Risma.
Ya, Gavin memang seperti itu. Melihat raut senang di wajahnya ketika aku menyediakan kopi saja sudah menandakan dia menghargai pemberian meski dalam bentuk sederhana. Laki-laki itu punya caranya sendiri bagaimana membuatku terpesona di setiap waktu. Dia sangat manis, seperti cokelat. Hmmmm. Ah, aku dapat!
"Gue udah tahu mau kasih dia apaan."
"Apaan?" tanya mereka bersamaan.
"Kepo!" jawabku, lalu tersenyum lebar. Kembali menikmati kopi dan aku mengabaikan keluhan mereka.
Aku tidak sabar melihat reaksi Gavin atas pemberianku. Dan ketika hari Senin tiba, semangatku kian menjadi-jadi setelah meletakkan sebuah kotak hitam persegi dengan dibalut pita emas. Seharusnya sebentar lagi Gavin datang. Ah, dia datang!
"Selamat pagi," sapaku setelah berdiri.
Dia yang sedang melangkah mendekati mejaku, sedikit menyunggingkan senyum. Lalu dia membalas sapaan dengan suara yang ... tidak semangat. Terdengar dari nadanya kalau Gavin tidak dalam kondisi yang baik untuk berbasa-basi denganku. Dia bahkan tidak menahan langkah lebih lama dan segera menuju ruangannya.
Aku kembali duduk, lalu memperhatikan Gavin dari kaca pemisah antar ruangan kami yang tirainya terbuka. Dia sudah duduk, lalu perhatiannya jatuh pada sesuatu di meja. Senyumku tertahan ketika dia meraih benda itu dan menggerak-gerakkan pelan sebelum dibuka. Tak lama kemudian, ponselku berdenting.
Gavin:
Dari kamu?
Semoga suka.
Gavin:
Aku suka cokelat. Thanks, Ivy.
Pesannya memang mengatakan suka, tapi aku memperhatikan ekspresi wajah itu yang biasa-biasa saja. Apakah cokelat buatanku sendiri terlihat terlalu sederhana untuknya? Baiklah, mungkin harus kutanyakan padanya nanti.
Setengah hari bergelut dengan pekerjaan masing-masing, aku hampir melupakan tentang cokelat yang membuat Gavin terlihat biasa-biasa saja. Barusan aku lihat dia masih berkutat dengan laptop, sangat sibuk, sampai aku mengirimkan pesan tawaran makan siang bersama juga belum dibalas. Rasanya aku ingin masuk, lalu menanyakan ada apa dengannya hari ini, karena aku tidak suka membiarkan perasaan aneh berlama-lama menyelimuti hati. Tapi sayangnya, kami masih berada di jam kerja. Membahas masalah pribadi saat ini sama saja artinya tidak profesional. Dan ya, sepertinya aku harus menunggu sebentar lagi, hingga jam makan siang datang.
"Mbak Ivy, ada dokumen untuk Pak Gavin."
Salah satu staf berdiri di ambang pintu, lalu mendekatiku. Aku menerima dokumen yang dibungkus dengan kertas berwarna cokelat. Setelah mengucapkan terima kasih, staf pengantar surat di perusahaan meninggalkan ruangan. Kutatap Gavin dari kaca, akhirnya kuputuskan untuk langsung menyerahkannya tanpa menunggu dia keluar.
"Pak, ada dokumen untuk Bapak," kataku setelah mengetuk pintunya dan dipersilakan masuk.
Sejenak Gavin menatapku, lalu kembali pada laptopnya. Kuhela napas panjang sembari melangkah. Dia tidak biasanya bersikap sedingin ini meskipun sedang sibuk.
"Kamu bisa taruh di meja dan boleh keluar."
Setelah menuruti perintahnya, aku masih bergeming di tempatku berdiri. Masih menatapnya yang sedang bekerja dalam diam. Mungkin Gavin menyadari, karena pada akhirnya dia kembali menaikkan pandangan dan menatapku.
"Ivy? Ada perlu yang lain?"
"Ada."
"Oh, ya? Bilang aja kalau ada hal pekerjaan yang perlu kita selesaikan."
"Aku perlu senyum kamu, Gavin. Setengah hari kamu fokus kerja, sampai abai sama ajakan makanku."
Sekarang sudah memasuki jam makan siang, untuk itu aku mau memanggil namanya secara langsung. Lagi pula, kami sedang berdua saja di sini.
"Ah, sorry, Ivy." Dia kembali mengerjakan sesuatu di laptop, tak lama kemudian menutup benda tersebut. Ada selarik senyum yang aku tahu sebenarnya dia paksakan. "Kamu mau makan sekarang?"
"Are you okay?" Gavin mengangguk pelan. "Mungkin mau cerita sesuatu," tawarku, yang langsung dijawab dengan gelengan.
Menyadari dia masih enggan terbuka, aku memilih untuk tidak mencari tahu lebih banyak saat ini. Kami akhirnya makan siang bersama di kantin. Keanehan Gavin semakin aku rasakan ketika dia tidak banyak bicara selama jam istirahat. Biasanya dia termasuk atasan perhatian yang akan menanyakan bagaimana kabar para staf jika bertemu saat jam santai seperti ini.
Sebelum kembali fokus pada pekerjaan, aku sengaja membuatkan Gavin chamomile tea yang selalu aku bawa dari rumah. Teh ini nyatanya selalu berhasil membuat pikiranku lebih tenang di saat berhadapan dengan setumpuk pekerjaan. Kali ini semoga saja juga memberi efek yang baik untuk Gavin.
"Hai," sapaku setelah memasuki ruangan Gavin. Laki-laki itu tersenyum dari tempat duduknya, lalu memperhatikan cangkir yang ada di tanganku. "Chamomile tea, for you. Teh ini sering berhasil bikin pikiran lebih tenang."
Senyumnya terbit saat kuletakkan cangkir tersebut di meja kerjanya. Dia lalu menyandarkan tubuh seraya memberiku tatapan yang jauh lebih hangat dibanding sebelumnya.
"Kamu perhatian sekali, Pumpkin," pujinya sembari berdiri. Kakinya mendekat, lalu mengusap pelan kepalaku. Tapi aku masih bergeming, menyadari ada hal aneh lainnya.
"Pumpkin?" Aku mengulang perkataan Gavin setelah mendongak.
Seketika usapan di kepalaku berhenti. Lalu dia berkata, "Maksudku Sugar. Aku mau panggil kamu Sugar karena kamu manis." Tangannya kembali mengusap lembut disertai tatapan yang selalu membuatku terpukau.
Wajahku memanas, senyuman ini juga serasa tidak bisa ditahan lagi. Mungkin Gavin menyadari, jadi dia ikut-ikutan tersenyum lebar.
"Kamu ada masalah? Hari ini kelihatan nggak mood."
"Cuma perbedaan pemikiran di keluarga aja. Bukan hal penting."
"Yakin nggak mau cerita?"
Kami kini duduk bersisian di sofa panjang. Masih saling tatap dengan pikiran masing-masing. Setelah terdiam beberapa detik, Gavin kembali bicara.
"Nggak. Jangan dipikirin lagi. By the way, tadi aku udah makan cokelat yang kamu kasih. Rasanya enak, beli di mana?"
Mataku serasa melebar mendengar pujian Gavin. Jadi dia menyukainya? Dia memuji cokelat buatanku. Kyaaa!
"Aku bikin sendiri. Senang, deh, kalau kamu suka."
"Really? Kalau gitu aku bakal makan satu hari satu cokelat aja, biar nggak cepat habis dan terus ngerasain manis hasil tangan kamu."
Astaga! Astaga! Astaga! Jantungku untung saja tidak langsung melompat keluar mendengar ucapan Gavin. Dan syukurnya lagi, badanku tidak tiba-tiba mengembang serupa balon akibat terisi gas bahagia, lalu melayang di ruangan ini.
"Aku balik kerja dulu," pamitku, lalu buru-buru kembali ke meja. Tadi, sebelum beranjak, aku sempat menangkap wajah Gavin yang semringah. Dan itu adalah hal yang indah.
Sisa waktu bekerja terasa ringan, pasalnya, aku tidak lagi memikirkan Gavin yang tampak berbeda tadi pagi. Kami sekarang sedang berjalan ke basemen, menuju mobil masing-masing. Sebenarnya ada hal yang bersemayam di pikiranku, sedikit ragu harus diutarakan sekarang atau beberapa hari lagi.
"Mau dinner dulu sebelum pulang?"
Aku menggeleng, lalu menghentikan langkah sebelum mencapai mobil. Gavin ikut-ikutan berhenti, lalu memandangku dengan satu alis terangkat.
"Mungkin ini terlalu cepat, tapi rasanya nggak ada yang salah kalau aku tahu tempat tinggal kamu, 'kan?"
Hening. Gavin tidak bereaksi, memunculkan prasangka buruk di hati. Logikanya, kami dekat, lalu apa masalahnya jika aku tahu dia tinggal di mana? Tapi selang beberapa menit dia hanya diam setelah sempat memberikan reaksi terkejut dari ekspresinya.
"Oke, lupain aja, Gavin. Masih ada banyak hari."
Aku sudah melangkah, berniat mendahuluinya karena tidak mau berpikiran semakin buruk. Sampai seseorang mencekal pergelangan tanganku, hingga akhirnya aku membalik tubuh.
"Aku cuma canggung karena tiba-tiba seorang gadis cantik mau datang ke tempat tinggalku. Ya, tentu nggak ada yang salah. Maaf kalau barusan aku buat kamu merasa aneh."
Dan yang selanjutnya terjadi adalah kami menuju kediaman Gavin. Aku terus menjaga jarak agar tetap berada di belakang mobilnya. Sesekali tersenyum jika mengingat bagaimana tadi di basemen dia menyanggupi keinginanku.
Hari hampir gelap saat kami tiba di sebuah kawasan apartemen elite. Aku menatap sekitar, keadaan sunyi, sebuah tempat nyaman setelah lelah beraktivitas selama seharian.
Tanpa membuang waktu, Gavin langsung mengajakku untuk memasuki lift. Dengan cekatan dia menekan angka-angka pada bagian depan unitnya setelah kami sampai. Kode berhasil dimasukkan, dia lantas membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk.
Ruangan ini sepi, tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain. Dan aku menyadari, bahwa kami memang berdua saja di sini. Karena tadi semua sudut gelap, sampai akhirnya Gavin sendiri yang menyalakan lampu. Aku mulai gugup, hingga tak berani beranjak, dan tetap berdiri di dekat pintu.
"Kamu tinggal sendirian?" tanyaku setelah menetralkan detakan di dada.
"Ya, kamu mau menginap?" Jantungku langsung berdebar kencang, meski Gavin menambahkan dengan kalimat, "Di sini ada dua kamar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top