OPIUM
Written by: Putrie-W
Bos baru gue ganteng banget!
Risma:
Pepetin, jangan dikasih lepas.
Eca:
Pepetin boleh, tapi jangan sampai kelihatan norak.
Tawaku harus teredam mengingat pertemuan pagi ini belum selesai. Barusan saja aku mencuri-curi kesempatan untuk menyiarkan kabar terbaru pada teman-temanku di grup chat kami. Ya, ternyata terpesona pada pandangan pertama itu nyata.
Saking terpesonanya, aku bahkan enggan berkedip, sayang melewatkan ketampanannya walau hanya sedetik. Namanya Gavin Ivander, laki-laki penuh wibawa yang kini menjabat sebagai kepala HRD di perusahaan, pengganti senior sebelumnya yang telah pensiun. Tepatnya, dia adalah atasanku. Dengan membayangkan kami bekerja sama setiap hari saja sudah membuatku tiada henti tersenyum. Bos tampan dan sang asisten muda, terdengar menarik, bukan?
Sesi perkenalan telah selesai. Para staf kembali ke meja masing-masing, sedangkan aku dan Gavin kini berada di ruangannya. Tadi dia bilang masih ada yang ingin dibicarakan, mengingat kami akan seterusnya terlibat dalam hal pekerjaan.
"Saya harap kita akan jadi partner yang baik, Ivy."
Suara tegasnya seakan-akan mengguncang hati. Luar biasa!
"Tentu, Pak. Saya akan bekerja maksimal agar Bapak tidak kecewa."
Kalau aku tidak punya malu, ingin sekali memuji Gavin. Ingin bertanya padanya, bagaimana Tuhan bisa menciptakan manusia rupawan diiringi fisik yang sempurna seperti dirinya; kulit bersih, tinggi, dan mata yang meneduhkan. Tidak ketinggalan, aku juga ingin menyampaikan padanya, kalau aku ... sungguh terkesan meski ini adalah pertama kalinya kami berjumpa.
"Ngelamunin pacar, ya?" sindirnya sembari melambaikan tangan di depan mataku.
"Ah, tidak, Pak! Serius."
Kupikir dia akan marah, nyatanya malah tersenyum. Sungguh, ketampanannya jadi bertambah beratus-ratus persen. Sayang, tidak bisa dicubit walaupun gemas. Huhu!
Kami membicarakan pekerjaan selama satu jam. Gavin lalu memintaku untuk mengajaknya berkeliling perusahaan sebelum jam makan siang tiba. Komunikasi kami lancar, seperti dugaan awal, dia bukan tipe atasan yang kaku. Rasa nyaman langsung tumbuh di hati ketika tanpa sungkan dia menceritakan beberapa pengalaman lucu di perusahaan sebelumnya. Dari sini aku juga akhirnya tahu, Gavin berusia tiga puluh tahun, empat tahun di atasku.
"Belum ada rencana nikah?" tanyanya ketika kami menuju kantin untuk makan siang.
Bingung, harus jawab jujur atau bohong. Tapi, rasanya dia tidak mungkin menertawai alasanku. Gavin tampak dewasa, tentu dia tidak akan menganggap suatu hal sebagai lelucon dengan mudah. Ya, sepertinya begitu.
"Orang tua, sih, sebenarnya sudah teriak-teriak nyuruh nikah. Takut anak perempuannya kadaluwarsa."
"Lalu?"
Sekilas aku mengalihkan pandangan padanya, Gavin tampak serius menanti jawabanku.
"Belum ada calonnya, Pak, masih menikmati masa lajang juga."
Dia hanya mengangguk-angguk kecil, tanpa mengeluarkan kata lain. Kami kini sudah tiba di depan pintu masuk kantin, dan Gavin dengan perhatiannya membukakan pintu, serta mempersilakanku masuk lebih dulu. Senyumku tertahan, tidak mau terlalu menampakkan bahwa sesungguhnya hati tengah menari-nari.
Beberapa karyawan dari divisi lain menyapa ramah, dilanjutkan pertanyaan tentang siapa sosok gagah di sebelahku. Bahkan ketika kami sudah duduk untuk mamanjakan perut, kudengar bisik-bisik dari karyawan lain yang merasa kagum dengan Gavin. Ah, dia begitu luar biasa, sampai-sampai bisa memikat mata para perempuan dengan mudahnya.
Selesai makan, kami kembali ke ruangan. Dia meminta agar aku menemaninya untuk mengkaji ulang peraturan pasal karyawan yang baru saja diserahkan oleh staf terkait. Tidak ada obrolan lain di luar pekerjaan selama kami mendiskusikan beberapa hal yang terasa perlu dipertimbangkan lagi. Tapi, sesekali aku mencuri pandang pada wajah seriusnya itu. Lagi-lagi hanya bisa mengagumi dalam hati.
Tugas selesai, ingin rasanya meluruskan kaki di ruanganku sembari melepas sepatu hak yang terasa mulai tidak nyaman. Biasanya aku memang melakukan itu, memberi napas sesaat pada kaki yang sudah tampil sempurna di balik sepatu tinggi memesona. Hanya saja sekarang aku masih tertahan di ruangan Gavin.
"Kaki kamu pegal? Dari tadi digerakin terus."
Rupanya dia menyadari, meski duduk kami berseberangan. Kalau sudah ketahuan, mau mengelak bagaimana lagi?
"Biasanya suka buka sepatu, Pak, jam segini di ruangan."
"Lalu? Sekarang kan bisa kamu buka."
"Di depan Bapak saya mana nyaman. Bapak atasan saya."
Berkas yang tadi dia pegang, diletakkan begitu saja. Gavin bangkit, lalu berjalan menghampiri. Kejadian selanjutnya sungguh di luar bayangan, dia berjongkok dan melepas sepasang sepatuku. Setelah kembali berdiri tegak, tatapannya agak tajam dibanding tadi. Marahkah?
"Besok-besok jangan pakai sepatu seperti itu lagi kalau kaki kamu cepat pegal. Pakai yang datar."
Aku hanya mengangguk, masih terbius oleh perhatiannya tadi. Sekarang jantungku yang terasa seperti hendak meloncat-loncat girang, ketika tangan besarnya mengusap kepalaku. Hanya sebentar, karena dia buru-buru menarik tangan diiringi raut wajah tak bisa dijelaskan. Hah! Barusan itu maksudnya apa? Dia sungguh menyentuhku!
"Maaf, saya refleks."
Aku menggeleng, sebenarnya mau lagi.
Mengabaikan kecanggungan yang sempat melanda, Gavin kembali ke kursi, sedangkan aku mati-matian menahan lonjakan di dada. Sentuhan sesaatnya mampu mengantarkan nyaman hingga ke hati. Aku tidak akan pernah melupakan kejadian hari ini, sebuah awal manis di perjumpaan pertama kami.
Larut dalam pekerjaan, sampai tidak sadar ternyata hari telah beranjak sore. Jam pulang tiba, aku segera merapikan meja, lalu meraih tas. Para staf yang masih ada di ruang HRD berpamitan untuk pulang, ada juga yang mengajak berjalan bersama ke basemen. Tadinya ingin ikut, tapi urung, teringat ada Gavin. Sebagai asisten yang baik, tentu aku harus tahu apakah dia masih bekerja. Menunggu beberapa detik, aku memutuskan untuk mengetuk pintu ruangannya. Ternyata sosok jangkung itu lebih dulu muncul dengan senyum semringah yang menghiasi wajah ketika tatapan kami beradu.
"Ivy, belum pulang?"
"Mau mastiin kalau Bapak tidak lembur, tapi Bapak sudah keluar ruangan duluan sebelum saya sempat tanya."
"Mau pulang bersama?" tawarnya ketika kami melangkah bersama.
"Saya bawa mobil sendiri, Pak."
Dia mengangguk singkat.
"Mau dinner?"
Kyaaaa! Rasanya mau terbang mendapat tawaran emas seperti ini. Makan malam memang bukan hal yang tabu di antara hubungan para rekan kerja. Kali ini sangat berbeda, karena yang mengajakku adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Jelas saja aku senang, mengingat mantan atasanku sebelum ini sudah beristri dan memiliki banyak anak.
"Kalau kita dinner, nanti ada yang marah Bapak pulang terlambat."
Gavin seketika menoleh, lalu tersenyum, dan kembali fokus berjalan. Entah dia mengerti atau tidak dengan ucapanku barusan.
"Tenang, tidak akan ada yang marah."
Apa ini bisa kuanggap sebagai pernyataan tidak langsung bahwa dia pun belum menikah?
♥️♥️♥️
Selepas makan malam seminggu lalu, kedekatanku dan Gavin berubah, tentunya dalam artian positif. Kami tidak pernah melewatkan makan siang bersama di kantin, bahkan Gavin juga sering membawakanku sarapan. Kami mengobrol dan tertawa selayaknya teman akrab, tapi selalu fokus jika sedang bekerja. Gaya bahasa kami juga tidak sekaku di awal.
"Hai, selamat pagi," sambutnya hangat.
Aku yang baru memasuki ruangan terkesiap akan kehadiran Gavin. Dia duduk di kursi dengan kaki kanan bertumpu pada paha kiri. Setelan pakaian kerja berwarna krem miliknya yang senada denganku, entah mengapa selalu saja terlihat bagus. Padahal itu hanya pakaian kerja, tapi jika Gavin yang memakai jadi terlihat lain.
"Pagi, tumben—"
Kalimatku terputus, menyadari ada sesuatu di meja kerja. Perlahan senyumku terkembang seiring langkah yang mendekati Gavin.
"Suka?" tanyanya.
"Suka banget. Makasih, Pak."
Kuambil sebuket bunga tulip mewah yang dihiasi kertas pembungkus serta pita cantik. Aku mengagumi setiap tangkainya bersama asa yang kian hadir, harapan bahwa sebenarnya Gavin ingin kami lebih dekat. Tapi, segera kuenyahkan khayalan gila itu, sadar diri kalau kami baru mengenal selama seminggu. Bukan tidak mungkin ini hanya sebagai bentuk penghargaan pada bawahan, bukan? Ah, hanya memikirkannya saja sudah begitu indah.
"Syukurlah kalau kamu suka, besok-besok aku bawain lagi."
Wajahku terasa panas, semoga saja tidak kemerahan, agar Gavin tidak tahu kalau aku tengah malu sekaligus senang.
Laki-laki ini bangkit dari duduknya, hingga jarak kami begitu dekat. Satu tangannya masuk ke saku, lalu satu lagi menyentuh tanganku yang masih memegang buket. Mendadak dadaku berdebar tidak biasa, terlebih lagi karena tatapan tenang yang dia berikan.
"By the way, menurut beberapa artikel, tulip merah melambangkan pernyataan rasa."
Lantas dia pergi, setelah berhasil membuatku terbang ke awang-awang. Jadi, dia sedang memberi kode? Gila! Gila! Gila! Aku terlalu senang, sampai-sampai memeluk bunga tadi begitu erat.
Sebuket bunga nyatanya tidak cukup, Gavin memberi perhatian lain melalui pesan pribadi. Dia selalu mengirimkan kata-kata manis sebelum aku tidur, atau sebelum aku berangkat kerja. Sering, dia menawarkan untuk menjemput, tapi aku menolak. Bukan karena alasan penting sebenarnya, hanya saja aku tidak mau para karyawan langsung menjadikan kami trending topic di perusahaan.
Aku pernah jatuh cinta, tapi perasaan itu tidak sehangat dan senyaman yang sedang kurasakan saat ini. Jadi pada akhirnya aku sendiri ragu, apakah tengah jatuh cinta atau tidak pada Gavin? Perhatian dan kelembutan yang dia beri serasa candu untukku. Terasa ada yang kurang jika membuka mata dan tidak kutemukan pesan ucapan selamat pagi darinya.
Ada berat yang menggelayut saat aku bersiap-siap pulang kerja sore ini. Besok Sabtu, yang mana artinya aku dan Gavin tidak akan bertemu sampai Senin nanti. Setelah dua minggu bersamanya, aku jadi melankolis seperti ini. Aneh.
Berkali-kali kugigit bibir sembari membayangkan bagaimana weekend Gavin. Apakah dia akan pergi bersantai di pantai? Atau pergi membeli beberapa baju? Ck! Aku mulai kehilangan kendali atas pikiran sendiri. Gavin serupa candu. Sungguh, aku tidak rela menghabiskan dua hari tanpa melihatnya.
Satu ide kemudian terlintas di benak, bagaimana kalau aku berinisiatif mengajaknya makan siang besok? Ah, tapi itu terlalu terlihat kalau aku mengincarnya. Jadi aku harus bagaimana?
Verlita's note:
Sabtu nanti, part Gavin bakal tayang. Aku yang bakal ngisi part itu. Ikuti terus cerita ini ya. ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top