Lunch Box
Gavin's
"Gavin, ada cincin di jari manismu." Ivy mengangkat tanganku, membuat cincin kawin sialan yang lupa dilepas, sejajar dengan mata.
Berpikir, Gavin. Berpikir.
Sejurus kemudian, senyuman langsung terukir di bibir. Kutarik tangan perlahan dari genggamannya, lalu kembali membelai rambutnya. "Dari Ibuku. Dia memberikan aku cincin ini. Sialnya, cuma muat di jari manis tangan kanan." Kemudian, aku tertawa singkat. "Makanya, biasanya aku lepas. Takut mengundang pertanyaan. Kayak sekarang."
Yeah! Berbohonglah dengan alami, Gav!
Ivy mengerutkan kening, sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru saja kubilang. Tapi aku mempertahankan senyum, tetap berusaha meyakinkannya.
Ivy akhirnya turut tersenyum, kemudian mengangguk. Sedikit banyak aku merasa lega. Semoga dia benar-benar percaya.
Tidak lama kemudian aku sudah berada di ruanganku, duduk di kursi kebesaran sambil menatap Ivy di ruang sebelah. Dia terlihat sudah sibuk di depan laptop.
Kuusap wajah, dan merasakan benda serupa besi yang dingin menyentuh kulit wajah. Segera kulepas cincin, dan memasukkannya dalam saku. Aku tidak bisa membuat kesalahan lain lagi.
Tidak, bukannya aku mau mempermainkan Ivy. Namun, jika kujelaskan sekarang Ivy tidak akan paham. Dia tidak akan mengerti tentang aku, tentang Zara, tentang pernikahan tiga tahun kami yang dingin belakangan ini.
Ivy tidak akan mengerti, dan sialnya aku takut kehilangan. Baru sebentar, dan gelisah membayangkan akan kehilangannya saja sudah membuatku khawatir luar biasa.
Telepon di meja tiba-tiba berdering, membuatku terkejut. Cepat kuangkat telepon.
"Pak, Bapak Direktur Utama memanggil Bapak ke ruangannya." Suara Ivy terdengar di ujung telepon.
Segera kulempar pandangan ke arah kaca pemisah ruangan. Ivy yang ternyata juga sedang menoleh ke arah ruanganku, mengangguk ketika mata kami bertemu.
"Ada apa beliau memanggilku lagi?" tanyaku. Ivy tidak menjawab, tapi bisa kulihat kalau dia mengangkat kedua bahunya. Artinya, dia juga tidak tahu menahu.
Akhirnya kututup telepon, bangkit dan menarik jas yang tersampir di bahu kursi. Tergesa aku berjalan keluar ruangan, berhenti sejenak di hadapan Ivy yang mendadak mengukir senyum, kemudian kembali melanjutkan langkah setelah membalas senyuman.
Agak bingung juga mengapa Bapak Dirut memanggilku lagi. Kemarin saja, makan siang kami tidak ada maknanya. Hanya penuh basa-basi. Bahasan mengenai masalah kantor hanya 10%, sisanya adalah putri tunggalnya--yang entah mengapa diajak--yang menguasai pembicaraan.
Aku mengetuk pintu yang di daunnya terdapat tulisan Direktur Utama. Setelah mendengar perintah dari dalam, aku segera membuka pintu dan masuk.
Ada Riri, sekretaris Pak Joseph di sana. Terlihat baru saja menerima berkas-berkas yang mungkin baru saja ditandatangani. Melihatku datang dia segera pamit meninggalkan ruangan. Tersisa aku dan Pak Joseph.
"Bapak memanggil saya?" tanyaku dengan sopan.
"Ah, Gavin! Sini mendekat!" Pak Joseph yang usianya tidak lagi muda, memintaku menghampiri.
Dengan enggan aku menghampiri, semakin enggan ketika melihat dia meletakkan sebuah kotak makan di meja. Aku pun berhenti tepat di hadapannya.
"Dari Amy," katanya, sambil menepuk kotak itu. "Dia memaksa. Aku tidak bisa menolak putri semata wayangku. Ambil saja, terserah mau kau makan atau kau berikan ke orang lain. Asal dia tidak mengetahuinya."
Aku menghela napas, berusaha tak kentara agar tidak terlihat tak sopan. Mataku menatap lekat kotak makan berwarna merah muda. Tadi pagi, jam mahal. Siang ini, hantaran makan siang. Kejutan apalagi yang akan diberikan oleh Amy nanti?
"Ayo, ambil ...." Pak Joseph meminta.
Maka, mau tidak mau, atas nama kesopanan, atas nama seorang bawahan yang patuh, kuambil juga kotak itu.
"Terima kasih," ujarku, lalu pamit untuk meninggalkan ruangan.
Belum juga sempat keluar, tiba-tiba Pak Joseph berkata, "Amy membuatnya dengan susah payah. Dia tidak pernah memasak sebelumnya. Khusus untukmu, dia masuk dapur."
Aku hanya bisa mendengkus halus, sekaligus melempar senyum. Mudah-mudahan senyum ini terlihat tulus, karena sesungguhnya aku tidak merasa ada sesuatu yang perlu diapresiasi.
Tolonglah, Zara bahkan tidak bisa memasak sampai dengan hari kami menikah. Sekarang? Dia seorang pro, meski aku jarang memakan hasil karyanya lagi.
Aku berjalan ke ruangan dengan kotak merah jambu. Nyaris melangkah masuk ketika melihat seorang office boy sedang menyapu, sontak kuhentikan langkah.
"Kamu!" panggilku, membuat office boy itu meletakkan sapu dan berlarian ke arahku. "Untuk kamu makan siang." Kuserahkan kotak makan ke tangannya.
Terdengar si office boy mengucapkan terima kasih berkali-kali. Aku mengangguk-angguk dan masuk ke ruangan. Ivy terlihat sedang berdiri di balik meja, kedua alisnya terangkat seakan bertanya.
"Aku memberinya kotak makan," sahutku seolah-olah menjawab pertanyaan. Sepertinya Ivy mendengar ucapan-ucapan terima kasih dari si office boy, yang baru saja berhenti.
"Kenapa?"Ivy melipat kedua tangan di bawah dada.
"Karena aku enggak tertarik dengan Amy. Lagipula Pak Joseph bilang, ini pertama kalinya dia memasak. Aku enggak bisa membayangkan rasanya ...." Aku mengulum senyum, Menahan tawa agar tak pecah.
"Kamu jahat ih!" Ivy memberengut, rengutan yang malah membuatku terbahak. Dia terlihat lucu dan menggemaskan.
"Kita mau makan apa siang ini?" tanyaku saat tawa mereda.
"Aku mau burger ...." Dia meraih tas di meja.
"Terserah Tuan Putri saja." Aku sedikit membungkuk, layaknya seseorang yang siap menerima perintah.
❤❤❤
Aku tidak pernah menyangka, kalau akhirnya aku akan mengatakan sebuah kebohongan besar pada Ivy. Kebohongan tentang cincin. Ini sedikit banyak membuatku merasa bersalah.
Malam ini, di rumah--saat Zara entah ke mana karena belum pulang, aku berbaring di ranjang. Menatap langit-langit dalam remang cahaya yang redup. Berkali-kali menarik dan menghela napas dengan kasar, setiap kali mengingat kebodohanku hari ini. Bagaimana bisa aku lupa melepas cincin dari jari manis?
Belum lagi drama baru dari Amy, putri tunggal Pak Joseph. Dia begitu agresif, padahal sudah mengetahui statusku yang sebenarnya. Pria yang sudah menikah. Apa-apaan jam tangan mewah dan bekal makan siang? Aku sama sekali tak habis pikir untuk wanita seperti itu. Yang tetap memaksa untuk mendekat padahal sudah tahu, incarannya sudah terikat.
Amy masih muda, lulusan luar negri yang sepertinya cerdas. Cantik, dan kaya. Aku rasa ada banyak pria yang mendekatinya. Lalu, kenapa aku?
Terdengar suara pintu yang terbuka di luar sana. Sepertinya Zara baru saja pulang. Lalu, langkah-langkah yang mendekat dengan perlahan ke arah kamar.
Segera kupejamkan mata, pura-pura tidur. Terdengar suara pintu kamar yang terbuka. Langkah menuju kamar mandi, dan suara air dari pancuran. Dia mandi.
Tidak lama kemudian, ranjang bergerak pelan. Tanda ada orang lain yang beranjak naik. Sebuah tangan menyelinap di balik selimut, diletakkan di atas perutku.
"I miss you, Gavin ...." Dan bisikan tepat di telinga. Selanjutnya, kepala yang bersandar di dadaku.
Tidak perlu menunggu lama, sampai napas-napas halus terasa berembus pelan. Zara tertidur.
Perlahan mataku terbuka, menundukkan kepala untuk melihat sosok yang tertidur. Tidak, aku tidak merasa sayang, tapi rasa jijik yang menguar seketika.
Kangen? Kangen apanya?
Ingin rasanya kujauhkan tubuh ini dari tubuhnya. Tapi jika aku terlalu banyak bergerak dan dia terbangun, akan ada drama baru. Sudah terlalu banyak drama hari ini.
Jadi, kuangkat salah satu tangan untuk menyangga leher belakang sendiri. Menatap Zara yang menggeliat dengan nyaman di dadaku.
Entah sampai kapan, kami berdua akan terus berpura-pura seperti ini?
❤❤❤
Seperti biasa aku mampir ke kedai kopi dekat kantor pagi ini. Memesan cappucino untuk Ivy dan latte untukku, baru setelahnya menuju kantor.
Sampai di lantai ruanganku, tidak sengaja bertemu dengan office boy yang kemarin kuberikan kotak bekal. Dia tersenyum. Tapi bukan senyum semringah, melainkan senyum takut-takut.
Kuhentikan langkah di dekatnya. "Makanannya enak?"
Dia mengangguk dengan ragu, membuatku yakin kalau ada yang disembunyikan. Bisa saja dia bilang enak, tapi sebenarnya rasanya luar biasa menyakiti lidah. Atau mungkin dia sakit perut dan buang-buang air setelahnya, cuma tidak mau mengaku karena tidak enak denganku. Semuanya bisa saja terjadi, mengingat yang kemarin itu adalah masakan pertama Amy.
Duh, aku jadi merasa bersalah.
"Kamu yakin, enggak apa-apa?" Kuulurkan tangan untuk menyentuh bahunya. Ofiice boy itu cepat mengangguk. "Baiklah." Masih sedikit ragu ketika kutarik tangan dari bahunya. "Nanti, kotak makannya tolong kasih ke ruangan saya," pintaku sebelum beranjak pergi. Bagaimana pun, aku harus mengembalikan kotak makan ke Pak Joseph. Tentu saja dengan sedikit basa-basi mengenai makanan yang enak, meski tidak pernah kucicipi.
"Pak!" Si office boy memanggil sebelum sempat aku sempat melangkah.
"Ya?"
"Anu, Pak. Uhm ... anu ...." Dia terlihat ragu.
"Anu-anu, apa?" Keningku mengernyit.
"Kotak makannya, diambil Bu Amy barusan."
Sontak kupejamkan mata saking terkejutnya.
"Tadi mau saya kasih ke ruangan Bapak, terus ketemu Bu Amy. Dia tanya, kok kotak makannya ada di saya? Saya bilang, dikasih Pak Gavin ...." Suara yang terdengar takut-takut itu membuat kepala ini pening seketika.
"Oke!" sahutku pada akhirnya sambil membuka mata.
Segera aku berbalik menuju ruanganku, sudah tahu apa dan siapa yang bakal menyambutku di sana. Astaga, ada Ivy! Apa yang harus kulakukan jika dia bertanya masalah Amy, yang bisa jadi bakal mengamuk.
Begitu mendorong pintu ruangan terbuka, Ivy terlihat duduk dengan tegang di kursinya. Segera aku menoleh ke kaca pembatas, terlihat Amy sedang duduk di kursi di hadapan mejaku. Posisinya membelakangi kami saat ini. Lalu, kotak makan merah jambu terlihat berada di atas meja.
"Pagi, Sugar," sapaku sambil meletakkan kopinya di meja. "Sepertinya aku harus membereskan sesuatu pagi ini." Aku tersenyum kecut.
"Be careful, Pak." Ivy memperingati. Aku mengangguk. Lalu melangkah masuk ke ruanganku, dan menutup pintu kaca dengan segera. Kuturunkan juga tirai pada kaca pembatas ruanganku dan Ivy yang selama ini selalu kubiarkan terbuka.
Amy segera memutar kursinya, dia menatapku dengan tangan yang terlipat di bawah dada. Pandangannya menelisik membuatku merasa tidak nyaman.
"Anda tidak pandai menghargai usaha orang lain, Pak Gavin," katanya.
Aku tersenyum, tidak menjawab. Melangkah ke arah kursi kerjaku dan duduk di sana. Amy mengikuti dengan pandangan, dan memutar kembali kursinya sehingga saat ini kami duduk berhadapan.
"Karena Anda terus mendesak, Nona Amy," sahutku. "Kamu tau statusku dan masih saja mencoba mendekati. Kamu cantik, muda, cerdas, kaya ... siapa pun bisa kamu dapatkan."
"I know!" Dia menyibak rambut. "Tapi aku kecewa. Orang yang membuatku terpukau sejak awal, malah tidak tau cara memperlakukan wanita dengan baik. Apa salahnya mencicipi masakanku dan mengenakan jam tangan yang kuberikan?" Dia melirik kotak jam di atas meja yang masih tertutup rapi.
"Telalu mahal. Akan ada pertanyaan dari istriku di rumah," sahutku yakin.
Amy terlihat kesal. Dia meraih kotak makan dan kotak jam tangan dari meja, lalu bangkit berdiri.
"Anda terlalu sombong, Pak Gavin!" serunya, bersamaan dengan pintu ruanganku yang terbuka. "Anda memang sudah beristri, tapi apa salahnya kalau kita berteman?"
Kemudian, terdengar suara pecahan beling yang memekakkan telinga. Sontak aku menoleh ke arah suara. Di sana telihat Ivy berdiri dengan tegang. Sementara cangkir-cangkir keramik yang sepertinya tadi berisi teh, pecah berserakan di ujung kakinya.
Sialan!
Picture: Pinterest
Yang Yang as Gavin Ivander
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top