A Ring

Ivy's pov written by Putrie-W

Kalau kata orang kasmaran adalah hal yang menambah semangat, itu sangat benar. Dengan adanya Gavin di sini hari-hariku agak berbeda. Lelah menyelesaikan setumpuk pekerjaan rasanya akan lenyap ketika Gavin memberi kata-kata motivasi. Lucu memang, tapi kenyataannya begitu.

“Ada jadwal terbaru untuk aku hari ini?” Gavin bertanya setelah meletakkan segelas kopi di mejaku.

Aku langsung membuka catatan kecil yang khusus untuk mencatat segala jadwal Gavin. Lalu memastikan dengan saksama sebelum menyampaikan informasi agar tidak ada kesalahan dalam bentuk apa pun.

“Jam sepuluh ada meeting bulanan para pemimpin divisi. Jam satu makan siang dengan direktur utama bersama putrinya. Jam—”

Stop it.” Kututup catatan tadi, lalu menatap Gavin penuh tanya. Dia tampak tidak senang. “Kenapa makan siang harus sama putrinya?”

Kedua bahuku terangkat, kemudian kuturunkan lagi. Tanda aku juga tidak tahu alasan mengapa sang direktur mengajak putrinya untuk makan bersama. Karena informasi yang aku dapatkan hanyalah sebatas pengakraban diri dengan seorang Gavin yang berkompeten.

“Jangan-jangan aku mau dijodohin.”

Tawaku seketika pecah, lalu memukul pelan tangan Gavin yang berada di sisi tangan kananku. Dia mengaduh, padahal aku yakin tadi sama sekali tidak sakit. Pandai berpura-pura!

“Nggak usah ngawur, deh. Sekalipun beneran, Bapak pasti tolak, ‘kan?”
Senyumnya lebar diiringi tangan yang mengusap lembut kepalaku. Salah satu kebiasaan Gavin yang terasa begitu hangat.

“Ya, dong. Kan aku punya kamu, Sugar.”

Serius, aku bisa diabetes jika diperlakukan seperti ini terus. Gavin sangat manis dan sempurna dalam semua aspek. Di malam-malam sunyi, aku sering mensyukuri berkat Tuhan yang sudah mengirimkan Gavin ke dalam hidupku. Meski kami sangat baru dalam menjalani hubungan, tapi aku bisa merasakan kalau dia tulus.

“Jadwal kamu apa hari ini?” tanyanya setelah puas mengusap kepalaku.

“Ada interviu dengan calon karyawan baru. Makan siang di kantin. Terakhir, kembali ke sini dan kasih Bapak laporan tentang calon karyawan yang lulus interviu.”

Gavin mengangguk-angguk. Tidak lama kemudian kami berpisah karena dia kembali ke ruangannya. Kami sama-sama sibuk bekerja, hingga tidak sempat saling mengirimkan pesan. Terakhir berkomunikasi saat dia berpamitan untuk menghadiri meeting.

Waktu menunjukkan pukul 3 sore ketika Gavin kembali. Wajahnya agak lesu, bahkan terlihat tidak bersemangat menghampiri mejaku. Menangkap sesuatu yang tidak beres dalam makan siangnya bersama direktur utama, aku mengulas senyum terbaik. Berusaha menularkan energi positif untuknya.

“Lelah banget kayaknya.”

“Langsung hilang kalau lihat kamu, Sugar.” Bisa banget, deh! “Oh, iya, langsung ke ruangan, ya bahas hasil interviu tadi.”

Tanpa jeda lagi, aku dan Gavin beranjak ke ruangannya. Kami duduk berhadapan dengan beberapa map yang tergeletak di meja. Sejenak dia menyandarkan tubuh pada kursi kebesarannya, tapi tidak lama setelah itu kembali duduk tegak. Sikapnya menandakan kalau dia siap mendengarkan kata-kataku.

“Jadi, Pak—”

“Gavin,” koreksinya. Wajahnya datar saja mengucapkan itu barusan, sedangkan aku menatap malas. Aku kan hanya ingin menghormatinya selagi di kantor. “Cuma kita berdua di sini, Ivy. Stop call me Pak. Aku bukan bapak kamu.”

Seketika hatiku seperti disentil mendengar kata bapak kamu. Meski tidak kembali terbuka, tapi luka lama itu masih terasa perihnya. Gairah bekerjaku langsung jadi memudar karena perasaan tidak nyaman ini.

Sorry. Apa kata-kataku nyakiti kamu?”

Pelan, aku menggeleng dengan wajah tertunduk. Untuk saat ini, aku tidak mau menatap Gavin. Bukan karena baru saja dia mengingatkan akan pedih yang bertahun-tahun lalu aku dapatkan. Tapi, karena aku tidak ingin dia melihat bagaimana lukaku masih ada melalui mata yang menahan panas.

“Sayang, kamu baik-baik aja?”

Terdengar langkahnya mendekat, disusul sentuhan di pipi kananku. Masih tidak ingin menangis di depan Gavin, kuusahakan agar mata tidak lagi terasa panas. Sayangnya, sebuah dekapan yang menghangatkan tubuh melunturkan usahaku. Untuk pertama kali, Gavin memelukku setelah memutar kursi agar menghadapnya. Posisinya yang berdiri dan aku masih duduk, membuat kepalaku terbenam di bagian perutnya.

“Kalau mau nangis, nangis aja. Nggak ada larangan buat nangis.”

“Kelihatan cengeng nggak, sih?” tanyaku lirih.

“Gemesin malah, jadi pengen cubit.”

Meski air mataku masih menetes hingga membasahi kemeja Gavin, tapi senyumku perlahan terbit karena kata-katanya barusan. Biasanya aku memang selalu menghindari topik seputar sosok ayah, terutamanya ayahku. Aku benci mengingat bagaimana dulu air mata Mama seakan-akan enggan berhenti ketika Papa pergi. Aku benci sekali, sangat benci. Saking bencinya aku bahkan ingin menangis setiap ada yang menyinggung tentang pria itu.

“Udahan nangisnya?”

Aku mengangguk pelan, tapi menahan agar Gavin membatalkan niatnya untuk melepas pelukan. Jika tadi aku tidak membalas perlakuannya, kini aku malah melingkarkan tangan di pinggangnya. Baru saja aku mendapat kenyamanan yang luar biasa.

“Sebentar lagi. Jangan lepas dulu, Gavin.”

“Apa aku harus open jasa pelukan?” Ck! Seketika aku mendongak mendengar kelakarnya barusan. Gavin ternyata menunduk, hingga pandangan kami beradu. Dia tersenyum penuh kehangatan, lalu mengusap mataku. “Kamu nggak harus jaga imej di depanku, Sugar. I love the way you are.”

Beberapa menit kemudian, aku sudah melepaskan diri darinya. Basah di wajahku sudah hilang, tapi tidak dengan yang di kemeja Gavin. Berkali-kali aku minta maaf padanya dan Gavin tetap kukuh mengatakan itu bukanlah masalah. Ah, satu berkat lagi aku dapatkan melalui kebaikan Gavin.

Sebenarnya aku paling tidak suka mencampuradukkan waktu bekerja dengan hal pribadi. Yang tadi itu sungguh di luar kendali. Syukurnya Gavin adalah bos yang baik. Mungkin kalau orang lain, aku sudah kena marah.

“Semua CV ini yang lolos interviu?” Gavin memulai pembahasan pekerjaan kami.

“Nggak. Kamu yang harus tentuin mana yang lolos dan nggak berdasarkan penilaian aku terhadap kekurangan dan kelebihan tiap peserta interviu.”

Satu map kuambil, lalu membuka dan menunjukkan pada Gavin. Di kertas itu terpampang sebuah foto perempuan dengan sedikit senyuman. Aku jelaskan pada Gavin bahwa peserta ini cukup berkompeten dalam posisi pemasaran yang di lamarnya.

“Apa masalah dia? Kamu kasih tanda X di bagian atas.”

“Sayangnya dia terpancing untuk menceritakan kekurangan perusahaan sebelumnya. Bukan nggak mungkin, kalau suatu hari nanti dia keluar dari perusahaan kita, kekurangan kita juga akan dia jabarkan. Seperti yang kita tahu, kekurangan di dalam perusahaan adalah rahasia yang harus dijaga.”

Dia mengangguk-angguk, lalu memintaku untuk melanjutkan diskusi kami. Tidak terasa, semua hal sudah aku bahas dengan Gavin. Map-map tadi juga sudah aku rapikan. Sekarang, tinggal berdiri dan kembali ke meja. Tapi, tangan Gavin yang memegang tanganku mencegah kaki untuk bergerak.

Kutatap Gavin dengan wajah yang menghangat. Senyum lembutnya juga lagi-lagi berhasil menghantarkan rasa nyaman.

“Jangan sungkan kalau mau cerita. Aku ada buat kamu.” Lalu tangannya mengusap lembut jemariku.

Perhatianku kini tertuju pada usapan lembut Gavin. Awalnya merasa senang dan nyaman. Tapi itu sebelum aku melihat sesuatu yang mungkin luput dari perhatianku selama ini. Sesuatu yang membuatku dengan cepat melepaskan tangan Gavin dan kembali ke meja setelah berpamitan. Sesuatu yang berhasil mengentak dada. Dan itu adalah ... bekas cincin di jari manis Gavin.

Sebuah cincin pasti pernah tersemat di jari manisnya untuk waktu yang lama, hingga meninggalkan bekas. Tapi pertanyaanku besarku adalah cincin apa yang Gavin pakai di tangan kanannya?

♥️♥️♥️

Sebenarnya aku tidak suka menyimpan pertanyaan atau rasa penasaran sendirian. Tapi untuk hal kemarin, aku memberikan pengecualian. Pikiran-pikiran baik aku masukkan ke dalam kepala. Tidak ada yang salah kalau seorang laki-laki pernah memakai cincin. Bahkan banyak juga laki-laki yang menyematkan lebih dari dua cincin di jari-jarinya.

Apa yang aku lihat kemarin tidak aku bicarakan dengan Gavin sama sekali. Aku bersikap biasa padanya pagi ini meski baru saja menerima sebuah kotak kecil yang dititipkan oleh putri sang direktur utama. Baiklah, sepertinya aku sedikit paham situasinya. Si putri yang cantik itu tengah mengincar Gavin. Bisa jadi makan siang mereka kemarin juga membicarakan perihal itu.

“Buang aja. Aku nggak mau terima, karena aku nggak suka dia,” kata Gavin sesaat setelah berdiri di dekat mejaku.

“Nggak boleh gitu, dong. Kan kasian udah dibawain hadiah pagi-pagi gini.”

Masih terlihat tidak senang, Gavin berdecak lalu meraih kotak di meja dengan kasar. Dibukanya kotak tadi, hingga terpampang sebuah jam dengan merek ternama. Bisa aku bayangkan berapa harganya dan siapa pun yang mendapatkan hadiah itu pasti senang. Sayangnya Gavin tidak memberikan reaksi tanda-tanda kegirangan. Dia malah menutup kotak dan meletakkannya lagi.

“Aku nggak suka. Padahal kemarin juga udah aku kasih tahu pas makan siang.” Senyumku terkulum melihat ekspresi Gavin. Sangat imut jika dia sedang kesal seperti ini. “Emangnya kamu nggak cemburu ada yang kasih aku hadiah gini?”

Eh? Kenapa jadi menyinggung perasaanku?

“Setiap orang itu berhak punya perasaan ke orang lain. Sekarang sih tergantung situasinya aja. Terus yang utama juga, rasa yang dituju itu bakal berbalas atau nggak.”

“Hemmm. Tergantung situasi?” Mata Gavin menyipit.

“Misalnya aku udah nikah, terus suka lagi sama laki-laki lain, ya nggak apa-apa. Asalkan aku tahu diri, tahu batasan. Rasa sukanya cukup dipendam aja, jangan kebablasan. Karena nantinya pasti ada hati yang patah.”

Seperti terkejut atas ucapanku, Gavin sedikit bergerak dari tempatnya berdiri. Sejenak dia diam, lalu berkata, “Oh, Sugar-ku dewasa banget.”

Lalu tangannya terulur ke arah kepalaku, tapi seketika aku tahan dengan genggaman pelan. Gavin mengerutkan kening saat aku berdiri dengan masih memegang tangannya.

“Gavin, ada cincin di jari manismu,” kataku, bersamaan dengan tangannya yang kuangkat tinggi. Jari-jari tangan kanan Gavin kini sejajar dengan wajahnya, hingga cincin di jari manis itu juga bisa terlihat jelas.

Gavin memakai cincin yang biasanya aku lihat di toko-toko emas sebagai cincin pernikahan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top