Supernova

"Ezra, tidak semua indah pada waktunya. Terkadang hal-hal yang tak kita inginkan terjadi untuk dijadikan sebuah pelajaran, dan memberi jalan pada sesuatu yang lebih baik. Seperti sebuah ledakan supernova, memberi jalan pada bintang baru untuk terbentuk menghiasi semesta."

Kata-kata itu masih terngiang di pikirannya. Ezra mengusap wajahnya berusaha mengumpulkan kesadarannya lalu memutar anak kunci untuk mematikan mobilnya. Suara mesin yang menderu kini berganti dengan gemuruh dari langit yang semakin mendung. Ia pun bergegas keluar mobilnya dan berlari ke arah café dengan nuansa industrial di dalamnya.

Suara bel saat pintu dibuka menyambut kedatangan Ezra ke café tersebut. Seorang pramusaji menyambutnya dan menunjukkan sebuah meja kosong yang di dekat jendela. Suasana café sedikit ramai, mungkin karena hujan besar sehingga banyak yang memutuskan untuk berhenti sejenak menikmati segelas minuman hangat daripada harus terjebak kemacetan.

Ezra memesan secangkir caffè latte dan sepotong red velvet. Ia tertawa kecil menyadari dirinya memesan sebuah red velvet, kue kesukaan Disa. Ia tak pernah mencoba kue itu sebelumnya karena alergi pada gula, tapi kenapa tidak? Rasanya alergi saja tak sebanding dengan apa yang ia alami beberapa hari yang lalu.

Selang beberapa menit kopi dan kue yang Ezra pesan datang, ia pun mengeluarkan sebuah buku dan headphone dari dalam tasnya. Sudah lama ia tak melakukan kegiatan kesukaannya seperti ini. Secangkir latte, buku, dan musik yang menenangkan untuk menghabiskan waktu.

Sesekali Ezra melihat ke arah jendela, ia selalu suka Jakarta saat hujan. Lampu-lampu yang terbiaskan oleh rintik air hujan, interaksi antar manusia saat berteduh di warung kopi atau pinggir jalan, anak-anak kecil dengan riang gembira bermain hujan, ia selalu suka untuk mengamati hal-hal kecil di balik sebuah kejadian.

Tak lama terlihat sebuah city car berwarna merah parkir di sebelah mobilnya. Seorang wanita muda keluar dengan payung berwarna hijau pastelnya dan berlari ke arah pintu café.

Ezra kembali menyesap kopi di depannya lalu membalik halaman buku yang sedang ia baca. Tiba-tiba wanita tadi datang menghampiri mejanya dan menepuk pundak Ezra.

"Om, saya boleh duduk disini? Enggak ada tempat kosong," ujar wanita berpayung hijau pastel. Ezra melihat ke sekeliling, memang tidak ada lagi bangku yang tersedia selain bangku kosong di depannya.

"Errr.. Umur saya masih 26. And yes you may," sahut Ezra dengan ramah.

Wanita itu duduk di depan Ezra lalu memesan secangkir latte dan red velvet persis dengan pesanannya. Ia lalu mengetik sebuah pesan singkat di ponselnya lalu menghela nafasnya.

"Having a rough day? Ezra," ujar Ezra basa-basi lalu mengulurkan tangannya mengajak wanita di depannya berkenalan."

"Karin. Hmm.. Biasa, namanya juga kacung korporasi," canda wanita itu.

"Hahahaha.. Don't you just bored with the life as a corporate slave?" ujar Ezra.

"Om, eh mas sendiri gimana?" tanya Karin balik. Ezra pun tersenyum kecil, merasa belum pernah ada wanita yang dengan antusias menjadi lawan bicara Ezra. Bahkan Disa, wanita yang mengisi kehidupannya 5 tahun belakangan selalu menghindari percakapan seperti ini dengannya.

"The truth is that everyone is bored, and devotes himself to cultivating habits," jawab Ezra.

"Albert Camus, The Plague," ujar Karin.

"Hahahaha.. Umur lo berapa bacaannya Albert Camus?" tanya Ezra mulai tertarik dengan wanita yang ada di depannya.

"23, dan lo bukan tipikal cowok bodoh yang cuma mikirin selangkangan," canda Karin.

"Hahahaha.. Emang menurut lo semua cowok begitu ya?"

"Mostly, satu hari gua pernah kenal sama cowok. Gua akui gua tertarik, tapi di penghujung hari yang dia pikirin cuma mau enggak gua dibawa ke apartment dia. Jadi apa lo udah berpikir buat ngajak gua pulang ke apartment lo?"

"Pffft.. Lo gak akan tertarik sama apartment gua isinya cuma miniatur mobil klasik."

"No way, i love classic cars miniature! Okay, gua mulai berpikir buat menyelundup ke apartment lo."

"Hahahaha.. Lo koleksi mobil apa?"

"Kebanyakan mobil-mobil Jepang. I love my Skylines!"

"Gua punya Skyline KPGC10 and i called her Midori."

"Gua punya Skyline KPGC110 and i called him Toru!"

"Lo bercanda," ujar Ezra tak percaya ada wanita yang memiliki hobi yang sama dengannya bahkan menamakannya dengan karakter dari buku kesukaannya.

Karin mengeluarkan ponselnya dan menperlihatkan koleksi-koleksi miniatur mobil klasik miliknya. Mereka pun berbincang seputar hobi mereka penuh antusias.

Tak terasa, café tempat mereka berteduh mulai sepi. Begitu juga dengan hujan yang mulai mereda. Kedua orang asing yang baru saja bertemu, saling bertukar cerita seakan mereka sudah saling mengenal untuk waktu yang sangat lama.

"Eat, Pray, Love? Lo serius baca ini?" tanya Karin melihat buku di sebelah ponsel Ezra.

"Hahahahahahaha.. Temen gua yang rekomendasiin. I just lost 'the one', menurut dia buku ini cocok buat yang baru aja ngalamin patah hati terhebat dalam hidupnya."

"Hahahahahahahaha.. Lo kan cowok. Masih ada gitu, cowok yang percaya sama konsep 'the one'? Lo mau tahu apa yang gua pikir denger kata 'the one'? The other one dan the next one. Ha-burn," canda Karin mendengar penjelasan Ezra.

"Jadi lo gak percaya sama yang namanya jodoh? Okay, let's hear your story then," tantang Ezra.

"Jodoh itu cuma konsep. Semua bisa jadi jodoh lo, bahkan mbak-mbak waitress yang nganterin kopi gua tadi."

"Hahahaha.. Okay, coba lo buat skenario bahwa mbak itu dijodohkan untuk jadi orang yang bakal menghabiskan sisa waktunya sama gua."

Karin tertawa kecil, merasa belum pernah ada pria yang bisa membuatnya merasa tertantang. Baginya, pria itu makhluk yang membosankan, cenderung menggurui, dan merasa lebih tinggi. Entah mengapa Ezra selalu punya cara untuk membuatnya kembali antusias.

"Jadi lo memutuskan bahwa omongan gua udah gak masuk akal..."

Ezra pun tertawa mendengar fiksi sembarangan dari Karin.

"Lo denger duluuu.. Lo ke kasir, berniat untuk bayar bill lo. Terus setelah lo perhatiin dari dekat, lo sadar wah mbak ini cakep juga! Terus mbak itu mulai genit ke lo, lo sebagai jomblo hopeless yang baca Eat, Pray, Love di sebuah café pun tertarik buat kenal sama mbak itu. Lo minta nomor teleponnya, lo mulai berkomunikasi, lo jalan ke mall sebagaimana anak sekarang pacaran, lo tembak, dua tahun kemudian lo menikah. Selesai."

"Hahahahaha.. That simple?"

"That simple," ujar Karin sambil menjetikkan jarinya.

"Terus kenapa sekarang lo masih sendiri disini ngobrol dengan orang asing?"

*deg*

Pertanyaan dari Ezra begitu sederhana, tapi menyentil Karin tepat di hatinya.

"Ya, belum ada yang ngajak kenalan kayak mbak waitress aja."

"Lo cantik, independen, pintar, masa' belum ada orang yang mencoba buat deketin lo?"

Keduanya kembali menyeruput latte mereka. Ezra tersenyum ke arah Karin dengan seringai menantang, wanita itu pun hanya tertawa kecil.

"Apa yang menarik dari pacaran? Selain lo bisa pergi ke mall jalan-jalan, ada yang bawain belanjaan lo, ada yang ngurusin lo saat lo sakit, ngingetin lo makan, dan hal-hal cheesy lainnya?" tanya Karin.

"Because clearly, you haven't meet the one Rin. Lo pernah dikecewakan sama seseorang yang menurut lo 'the one' bagi lo. Dan lo berhenti untuk mencari. Lo berusaha untuk terbang sebebas merpati yang gak membutuhkan rumah untuk pulang. Kenyataannya, lo bukan gak mau pulang, tapi lo gak tahu jalan untuk pulang."

"Are you the lost apprentice of Deddy Corbuzier?"

"Trust me Rin. I've been there."

"Terus apa yang lo lakuin sekarang?"

"Finding my way home."

"What if you don't have any home? And fate just tells you to wander."

"Then one day, you'll meet someone dumb enough to wander with you Rin. And that's the one. One who completes you to be who you are. I don't know, maybe i'm fated to wander as well."

"Hahahahaha.. Lo gak nyoba buat gombalin gua kan? Gak akan mempan, you're not my type."

"Terus kenapa lo masih duduk disini dengan cangkir kosong, berbicara hal seperti ini dengan gua yang bukan siapa-siapa untuk 3 jam."

Karin terdiam sejenak.

"Karena gua budak korporasi yang benci untuk pulang."

"Then wander, until you find yourself feeling home. Home is where your heart is Rin, it's not always a house."

Karin merapihkan tasnya dan memanggil waitress untuk meminta bill. Ezra pun ikut meminta bill miliknya. Mereka membayar bill mereka di kasir, dan berjalan ke arah mobil masing-masing.

"Mungkin gak gua ketemu lagi sama lo Rin?" tanya Ezra tiba-tiba sebelum masuk ke mobilnya.

"Hahaha.. Kayaknya enggak, gua bakal pergi dari kota yang membosankan ini. Try to wander Ez. Mungkin 'the one' lo bukan di kota ini."

"Hmm.. Mungkin, setelah gua merapihkan kepingan hati gua hahahahaha.. Damn i sounded so hopeless."

"You certainly are," ujar Karin menekan tombol kunci mobilnya.

"Nice keychain by the way," ujar Ezra memperhatikan gantungan kunci Pokémon Squirtle milik Karin.

"You got Bulbasaur for god's sake," sahut Karin melihat gantungan kunci mobil milik Ezra. Ezra pun tersenyum.

"Bye Rin."

"Bye Ez."

Mereka berdua mengendarai mobil ke arah yang berbeda. Di dalam mobil mereka berdua sama-sama memikirkan apa yang mereka bicarakan tadi. Mereka menyalakan radio mobil masing-masing dan lagu dari Arctic Monkeys pun mulai bersenandung di kabin mobil mereka.

So have you got the guts?
Been wondering if your heart's still open and if so I wanna know what time it shuts
Simmer down and pucker up
I'm sorry to interrupt. It's just I'm constantly on the cusp of trying to kiss you
I don't know if you feel the same as I do
But we could be together if you wanted to

(Do I wanna know?)
If this feeling flows both ways?
(Sad to see you go)
Was sort of hoping that you'd stay
(Baby we both know)
That the nights were mainly made for saying things that you can't say tomorrow day

Keduanya pun tertawa di mobil mereka masing-masing. Merasa dijahili oleh lirik lagu dari radio di frekuensi yang sama-sama mereka dengarkan.

***

London, 3 tahun kemudian

Karin mengusap kedua telapak tangannya berusaha menghangatkan jemarinya yang hampir membeku karena lupa untuk membawa sarung tangannya. Ia duduk di sebuah café dan memesan secangkir latte seperti kebiasaannya. Ia membuka buku environmental conservation miliknya dan mulai membaca.

Tiba-tiba dari belakang seseorang menepuk pundaknya dan memberikan sarung tangan cashmere kepadanya. Karin pun spontan menoleh ke belakang.

"I guess you won't remember me," ujar seseorang yang familiar dengannya.

"Ez! Can't believe i meet you here!" seru Karin.

Ezra menarik bangku di depan Karin dan duduk dengan secangkir latte di tangannya. Karin tak bisa menyembunyikan wajah antusiasnya.

"Where's your Eat, Pray, Love?" canda Karin sambil menepuk lengan Ezra pelan.

"From many things we talked about, all you remember is that book?"

Karin merogoh tasnya dan mengeluarkan buku yang sama dengan milik Ezra. Lelaki itu pun tertawa kecil sambil mengeluarkan buku miliknya dari saku mantelnya. Karin pun tertawa lepas.

"So, you actually learned a lot from that book?"

"I'm not proud to admit, yes."

"The day after we met, i bought my very own copy. So don't be shy. What brings you here anyway?" tanya Karin.

"Job, so after that day, i tried to move on. I started to chase my dream that i can't have if i end up with her."

"What's that?"

"Being a diplomat. To wander, as you said. How about you?"

"Well you know, f*ck my job and try to get my master degree as an environmentalist. You said home is where your heart is, and i always have mine to our mother earth."

Ada perasaan yang asing di dalam hati keduanya. Entah mengapa di kehidupan mereka yang tak sempurna, ada seseorang yang menanggapi kata-katanya dengan serius. Membuat mereka merasa disempurnakan.

"So here we are again, two strangers meet in a café sipping on a latte," canda Karin sambil menyesap latte di cangkirnya.

"The best kind of people are the ones that come into your life and make you see sun where you once saw clouds," ujar Ezra.

"The people that believe in you so much, you start to believe in you too. The people that love you simply for being you," sahut Karin.

"The once in a lifetime kind of people," ucap keduanya bersamaan.

"Still don't believe in fate Rin?" tanya Ezra.

Karin menggeleng dan menjawab singkat, "Not yet. But i'm starting to kinda like it."

Senyum keduanya pun mengembang.

"Hai. Ezra Sarira."

Ezra mengulurkan tangannya, mengulang kejadian tiga tahun yang lalu. Saat dua orang asing bertemu, dan memberi arti kepada yang lainnya.

"Karina Olivia."

"Boleh minta nomor telepon lo?"

Karin pun tertawa, Ezra masih mengingat ceritanya di café tempat mereka pertama bertemu.

"As simple as that kan?" canda Ezra.

"Hahahaha yes Ez, as simple as that," ujar Karin mengiyakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top