Sirius
Aku berjalan gontai ke arah cermin kamarku, memantik rokok dan mengepulkan asapnya dari mulutku. Aku duduk di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambutku sambil sesekali menghisap nikotin ke dalam tubuhku.
Aku memperhatikan wajah putihku, meratapi nasib yang tak pernah memihak kepadaku. Apakah parasku kurang rupawan? Atau kecerdasanku memang tak pantas disandingkan dengan wanita karir lain di luar sana?
Aku bangkit dari bangku dan menggelar sajadah di samping ranjangku. Aku kembali ke kamar mandi dan menyucikan diriku, tak peduli apakah Tuhanku pernah menganggapku cukup suci untuk menghadap kepadanya. Aku memakai mukena, menghadap ke arah kiblat, dan mulai shalat isya.
Tak jarang aku menangis dalam do'aku, memohon ampun kepada Tuhanku, dan berharap takdir yang lebih baik bagi kehidupanku. Aku tak tahu dosa apa yang pernah dilakukan olehku atau keluargaku di masa lalu, mungkin ini jadi tugasku untuk membersihkan dosa mereka.
Pintu kamarku diketuk, tanda aku harus mulai bekerja. Aku pun bergegas keluar dan menuruni anak tangga, menuju sebuah ruangan dimana aku dan teman-temanku terlihat seperti sebuah komoditas yang dijajakan di etalase sebuah toko.
Malam semakin larut, pengunjung pun mulai berdatangan. Sudah ada beberapa temanku yang dipilih oleh laki-laki yang ingin menghabiskan waktunya dengan mereka. Kadang aku berharap tak ada yang memilihku, tetapi aku tahu aku harus makan dan bertahan.
Lalu datanglah kamu, dengan jas abu-abu dan dasi merah marunmu. Sesekali kamu membetulkan letak kaca matamu dan menyisir rambut rapihmu ke belakang khas eksekutif muda zaman sekarang. Seorang pramusaji membawakanmu secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya, kamu pun mulai menyesapnya. Sesuatu yang tak biasa di tempat seperti ini.
Aku terus memperhatikanmu di depanku, duduk penuh wibawa dan pesona. Aku menampar pelan wajahku, sadar aku tak boleh terpesona olehmu. Seorang perantara memanggilku dan menuntunku ke mejamu. Dadaku berdegup tak karuan. Benarkah ia memilihku?
Kamu menyapaku lalu mengulurkan tangan seraya ingin berkenalan denganku. Aku pun meraih tangan itu, halus, hangat, persis seperti kamu yang kubayangkan saat pertama kali melihatmu masuk dari pintu.
Tutur katamu lembut, indah, menghibur hati, dan memberi pengharapan bagi kenyataanku. Kamu meminta izin kepadaku untuk menemanimu menghabiskan malam, aku pun tak ragu mengiyakan. Tak pernah rasanya aku menemukan orang sesopan kamu dalam kehidupanku.
Aku pun mengajakmu untuk langsung ke kamarku. Langkahku menaiki anak tangga seirama dengan degup jantungku. Kalau aku boleh jujur, rasanya begitu indah membayangkanku melakukan dosa sebesar ini denganmu.
Aku membuka pintu dan mempersilahkanmu untuk masuk. Kamu membuka jasmu dan menggantungnya di balik pintu, melihat punggungmu pikiranku pun mulai lancang membayangkan kamu memimpin shalatku.
Kamu bertanya padaku apa yang biasanya pelangganku lakukan setelah masuk kamarku, aku pun hanya bisa tertawa kecil. Kamu mulai melipat lengan kemejamu, membuka jam tanganmu yang terlihat begitu mahal itu, dan melepas kacamatamu. Tak kusangka kamu meminta izin untuk mengambil wudhu dan meminjam sajadahku.
Aku menunjukkan arah kamar mandiku, lalu menggelarkan sajadahku untukmu seperti seorang istri yang berbakti pada suaminya. Tak lama kamu pun keluar dari kamar mandiku, melihat wajahmu secerah itu, tak sanggup rasanya aku harus membiarkanmu melakukan dosa ini bersamaku. Aku harus menolakmu.
Seusai shalat kamu pun berbaring di sebelahku, belum sempat aku berkata-kata, kamu sudah bercerita tentang harimu. Aku pun mendengarkan sambil sesekali menanggapi sebisaku.
Kamu terkejut mengetahui pendidikanku, dan bertanya mengapa aku rela bekerja seperti ini. Aku bercerita tentang betapa kejamnya kehidupan ini kepadaku. Kamu pun menceritakan sedikit tentang kehidupanmu, pekerjaanmu, dan betapa kesepiannya kamu di luar sana. Begitu kesepiannya kamu sampai harus ke tempat nista ini untuk mencari teman berbagi.
Tak seperti malamku biasanya, aku berbagi tawa, canda dan cerita. Begitu menyenangkannya kamu sampai aku melupakan tujuanmu kesini dan pekerjaanku disini.
Saat aku panjang bercerita, kusadari tak ada lagi candamu menanggapiku. Aku pun tersenyum melihat wajahmu yang begitu polos tertidur di pangkuanku. Aku memberanikan diriku untuk menyingkap lembut rambutmu sambil memperhatikan kerutan-kerutan di dahimu dan tanda kelelahan di sekitar matamu. Kamu pasti pekerja keras yang tak kenal waktu. Tak sadar aku pun mulai kehilangan kesadaranku dan terlelap.
Keesokan harinya, kamu datang lagi ke tempatku. Tak berbeda jauh dengan apa yang kita lakukan kemarin, kita pun kembali berbincang tentang kehidupan masing-masing. Begitu pula dengan keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi. Sampai hari ini kamu tak lagi datang ke tempatku, aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri.
Maafkan aku yang menggodamu, aku terbawa perasaanku. Begitu derasnya keinginanku untuk tenggelam ke dalam kamu, aku sampai menyakitimu. Sungguh, bukan itu maksudku, aku hanya ingin berbagi keindahan denganmu.
Esok harinya, lagi-lagi tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Aku hanya bisa menangis semalaman sampai aku diliburkan karena atasanku tak tega melihat keadaanku. Kamu menjadi satu-satunya kebaikan dalam hidupku yang penuh kejahatan. Kini aku merenggutnya dari diriku sendiri.
Aku tak boleh terus begini, aku tahu tak sepantasnya aku menyimpan rasa pada pelangganku sendiri. Malam ini, aku berniat untuk menghapus kesedihanku. Baru saja berniat untuk keluar kamarku, temanku memintaku agar aku menunggu di kamar saja. Katanya sudah ada yang memesanku, aku pun hanya bisa menurut.
Aku menunggu di ranjangku dengan resah, aku masih berharap bisa menemukanmu di bawah sana. Tak lama pintuku diketuk, aku pun mempersiapkan diriku agar tak terlihat ada kesedihan di wajahku.
Aku bergegas membuka pintu kamarku. Betapa terkejutnya aku melihatmu dibalik pintu, aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak memelukmu, namun air mataku tak bisa kutahan lagi.
Kamu berlutut di hadapanku, membuka sebuah kotak kecil dengan cincin indah di dalamnya dan mengucapkan kalimat itu. Aku tak henti mengucapkan syukur kepada Tuhanku seraya mengangguk tanda setuju.
Ternyata masih ada kebaikan dalam kehidupanku. Ternyata masih ada keadilan bagiku. Aku terus menunggu hari dimana seseorang menyelamatkanku dari kenistaan ini. Hari ini, kamu dengan tulus memintaku untuk meninggalkan masa laluku.
Aku memintamu untuk bangkit dan langsung memelukmu. Jadi, kamu perwujudan do'aku selama ini? Ternyata Tuhan benar-benar Maha Memaafkan. Ternyata di balik kehidupan yang penuh prasangka, masih ada orang-orang sepertimu yang melihat penuh ketulusan.
Yakinlah kamu, sesamaku. Di balik gelap dan dinginnya kehidupan, masih ada bintang yang bersinar terang. Seperti Sirius di langit malam, bagi mereka yang tak lupa kemana harus menghadap.
F I N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top