Metéora

W a k t u m u  t e l a h  t i b a . . .

Suara itu membangunkanku, menyadarkan keberadaanku dalam relativitas ruang dan waktu.

Tugasku di semesta sesungguhnya sederhana, mengapung di kehampaan sampai tiba waktuku berkelana.

"Bumi?" tanyaku dalam hati seiring penjelasan dari suara itu. "Kesanakah aku harus berlabuh?"

Aku pun penuh antusias untuk menempuh perjalanan ribuan tahun cahaya ke titik biru yang diam-diam ku perhatikan dari jauh.

Penuh persiapan, ku pastikan kordinatku. Aku tak mau melenceng dari tujuanku. Yakin akan arahku menuju, aku pun melesat kencang dari diamku.

Di perjalanan aku terus membayangkan keindahan pesonamu. Seperti apa parasmu saat aku mendarat di permukaanmu wahai planet biru pujaanku? Aku pun makin tak sabar, seandainya lajuku tak tertahan oleh ketentuan dari sang pencipta, aku pasti sudah melesat secepat yang kumau.

Tahun demi tahun pun berlalu, semangatku pun semakin menggebu. Tak terasa, aku sudah di pintu masuk galaksimu. Pesona birumu semakin terpancar saat aku semakin mendekatimu.

Masuk ke tata suryamu, aku pun memelankan lajuku. Kunikmati pemandanganmu dari kejauhan selagi ku mampu. Tiba-tiba terpikir olehku, apakah kamu mengharapkan kedatanganku?

Bagaimana jika ternyata kamu tak mengharapkanku? Bahwa keberadaanku di dekatmu akan menganggumu? Kalau kehadiranku akan menghancurkanmu? Aku pun berhenti sejenak untuk merenung, dan mengorbit mengelilingimu.

***

Sepasang anak manusia, menyesatkan mata dalam keagungan langit di malam hari.

"Komet?"

"Dimana?"

"Disana."

"Mungkin. Atau meteor."

"Ke arah bumi? Lalu kita semua mati?"

"Hahaha.. Bisa jadi."

"Kamu sudah siap mati?"

"Belum. Tapi akan sangat menyenangkan untuk mati saat ini."

"Kenapa?"

"Kamu disini, menemani."

"Apakah kamu akan mengatakan hal yang sama satu tahun dari sekarang?"

"Ya."

"Bagaimana dengan tiga tahun?"

"Mungkin."

"Lima?"

"Sudah habis masa jabatanku."

"Kamu, selalu saja bisa bercanda."

"Salahmu sendiri, selalu tertawa."

"Kenapa dengan tawaku?"

"Mengesalkan."

"Kenapa?"

"Membuatku semakin jauh, jatuh ke dalam kamu."

"Jangan terlalu jauh. Sekarang."

"Aku tahu."

"Maafkan aku."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan."

"Aku selalu bilang, kamu bukan yang aku mau. Dan aku akan mencarinya, dan itu bukan kamu."

"Aku tahu."

"Tapi kenyataannya, aku selalu kembali kepadamu."

"Itu cukup untukku."

"Bagaimana itu bisa mencukupkanmu?"

"Kukunci ingatanku akan waktu yang menyenangkanku. Kubatasi tatapku akan paras yang selalu kurindu. Kujaga lisanku akan bahasa yang tak kunjung menjemuiku."

"Apa itu?"

"Kamu."

"Apa yang kamu harapkan untukku?"

"Saat ini? Biarkan aku jadi patronus saat
waktu terasa menyulitkanmu. Sebuah ingatan paling menyenangkan yang melindungimu saat mimpi mulai menjauh darimu dan pikiran buruk mengejarmu."

"Bagaimana dengan nanti?"

"Tak pernah aku berharap kurang dari kebahagiaanmu."

"Bagaimana kalau itu bukan kamu?"

"Tak akan habis inginku untuk membuktikan kepantasanku."

"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Hiduplah sebagaimana kamu."

"Bagaimana denganmu?"

"Jangan pikirkan aku. Anggap saja aku meteor itu. Yang mengorbit di sekitarmu, menunggu tiba waktuku."

"Apa yang akan kamu lakukan saat waktu itu tiba?"

"Bergegas menuju kamu. Membiarkan diriku terbakar di atmosfermu."

"Apakah kamu tidak terluka?"

"Pasti. Tapi semua bergantung kepadamu, apakah setelah semua yang telah kulalui kamu akan menyambutku?"

"Mungkin iya. Mungkin tidak."

"Kalau begitu, setidaknya aku pernah ada di langitmu. Menghiasi harimu dengan keindahan fenomena yang terpancar dariku."

"Peluk."

"Kamu, selalu saja bisa meredakanku."

***

"Maafkan aku, ini sudah takdirku untuk hadir di dalam kamu."

Aku pun melanjutkan misi yang dibebankan kepadaku. Tak mengindahkan apakah aku akan menyakitimu dengan kehadiranku.

Aku pun terbang perlahan mulai memasuki atmosfermu, tak mau kamu terganggu akan kedatanganku.

Panas mulai menghampiri tubuhku. Tak sadar, api mulai menyelimutiku. Aku tak tahu, apakah kamu lebih tersiksa daripada aku, aku pun berusaha tak memperdulikan sakitku.

Habis sudah dayaku, kekuatanku semakin menjauh saat pertahananmu mulai membakar kesadaranku. Aku pun melesat cepat menuju kamu.

Aku tahu, ini yang harus kulalui untuk membuktikan kepantasanku. Aku memutuskan untuk memejamkan mataku saja, tak mengindahkan apa yang sedang terjadi kepadaku.

Aku bisa merasakan tubuhku semakin mendekat kepada permukaanmu. Sebelum hilang sadarku, aku pun berharap, sesampainya aku disana, aku tak melukaimu, dan kamu menyambutku dengan sikap terbaikmu.

Dengan sisa kesadaranku, aku pun berbisik, berharap pesanku sampai kepadamu. "Planet biruku, terimalah aku."

Terdengar samar-samar suaramu di dalam tidurku. Bersenandung riang. Apakah sesungguhnya kamu juga mengharapkan aku sebagaimana aku mengharapkan kamu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top