Chapter 07: Man in Black.
Bus yang kunaiki mendadak berhenti. Sepertinya mogok sehingga seluruh penumpang dimintai turun. Supir bus mengecek kondisi mesin mobil dan tidak mengubah apa-apa. Bus tetap mogok sehingga supir bus meminta penumpang untuk menaiki angkutan umum lain atau menunggu bus selanjutnya melintas jika tempat tujuan masih jauh.
Beberapa penumpang bus ada yang memutuskan untuk menunggu bus selanjutnya melintas. Ada pula yang memilih angkutan umum lain seperti angkot atau ojek. Hanya sedikit penumpang yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, seperti diriku.
Lokasi apartmentku sudah tidak begitu jauh dari lokasi bus mogok. Paling sekitar 15 sampai 20 menit menuju ke sana menggunakan jalan pintas yang kuketahui. Jalan pintas yang kupilih ini agak remang-remang di malam hari. Ini sebuah gang dengan tembok pagar setinggi dua hingga tiga meter di kiri dan kananku. Dibalik tembok-tembok ini tentu saja sebuah rumah besar dan juga gedung perkantoran.
Hari masih cukup terang meski matahari sudah terbenan sebagian. Gang ini terasa sepi sekali, tidak seperti biasanya. Padahal jalan ini cuma ada satu arah dan tidak ada belokan. Minimal seharusnya ada dua sampai lima orang yang biasanya melintas ketika aku melewati tempat ini.
Aneh. Sangat janggal sekali jika hanya ada aku saja di gang ini. Oh well, mungkin aku sedang paranoid saja. Bisa saja orang yang biasa melintas di gang ini tidak bisa lewat karena suatu hal? Jangan-jangan ujung jalan ini ditutup lagi!? Astaga, kalau benar ada jalan yang ditutup, maka aku harus kembali lagi dong?
Duh, jika benar, maka perjalananku akan menjadi lebih panjang kalau harus mengambil jalan lain. Ada sih beberapa jalan pintas lain selain ini, tapi jarak tempuhnya lebih jauh. Mana lagi aku lapar. Seharusnya tadi aku cari tempat makan dulu, baru jalan pulang. Haa ... strategiku salah.
Kalau ujung jalan benar-benar ditutup, nanti pas balik aku cari makan dulu, baru ...
Hm? Oh, ada orang di depan sana. Orang ini aneh sekali. Dia memakai pakaian serba hitam dari sepatu hingga pakaian. Bahkan dia memakai sarung tangan hitam! Sudah itu, wajahnya tertutup kerudung hingga mengesankan sebagai ... Grim Reaper?
Tidak tahu mengapa, tapi ada kesan seperti itu. Soalnya, kalau disamai dengan flim-flim ataupun manga yang menggambarkan seperti apa Grim Reaper, maka aku bilang orang ini mirip sekitar 70 hingga 80 persen. Wajahnya saja tidak terlihat sama sekali. Minimal, seharusnya bagian hidung ke dagu masih terlihat, tapi ini tidak terlihat apa-apa. Seakan-akan ... tidak ada wajah dibalik kerudung.
Mendadak aku merinding hingga berhenti melangkah. Rasanya ... orang seperti ini pernah kulihat? Tapi di mana, ya?
Tiba-tiba sekali, berbagai memori tentang kematian "diriku" muncul sekilas di ingatan. Dari memori kematian itu, pembunuh "diriku" memberi kesan kuat karena menggunakan pakaian serba hitam. Selain itu, wajah pembunuh "diriku" tidak pernah terlihat sama sekali hingga di ujung hidup.
Tanganku mencengkram dengan erat tali tas punggung di bahu kiri. Mungkinkah yang di harapanku ini ...?
"Um, se-selamat sore ..." Kucoba sapa orang serba hitam ini. Jarak antara kami berdua masih cukup jauh, sekitaran 5 hingga 6 meteran.
"..."
Tidak ada respon darinya membuatku risau. Dia ... bukan seperti yang kuduga, kan?
"Uh, kau datang dari depan sana?" Kutunjuk arah depanku, tempat yang ingin kulewati. "Apakah jalan depan sana tertutup? Dari tadi aku tidak melihat satu pun orang kecuali ... kau."
Dia tidak meresponku, tapi langsung berjalan mendekatiku. Entah mengapa perasaan tidak nyaman yang kurasakan semakin menguat. Aku tidak tahu mengapa, tapi rasanya hatiku terus berteriak kencang, menyuruhku segera lari!
Kakiku berlari menjauhinya secara impulsif. Ada rasa teror yang datang entah dari mana. Sambil berlari secepat mungkin, aku melirik ke belakang. D-dia mengejarku!? Jangan bilang orang ini ... pembunuh!? Siapa dia!? Ma-mau apa dia!? Jangan bilang dia ingin membunuhku seperti yang kulihat di memoriku!? Apa salahku!?
Arg! Apapun itu, kabur darinya adalah hal yang paling penting! Hal lain urusan belakangan! Yang penting, jangan sampai tertangkap olehnya!
Secepat apapun lariku ini, jarak antara aku dan orang ini semakin dekat dan dekat! Rasanya aku ingin menangis, tapi tidak ada setetes pun air mata! Jika tahu bakalan ketemu pembunuh yang sama dengan di memori parallel, maka aku akan meningkatkan kekuatan tubuhku sedari awal ....
Arg! Penyesalan memang selalu datang terlambat! Yang sudah terjadi, maka terjadi. Menyesal tidak ada gunanya sekarang! Aku harus memikirkan bagaimana caranya agar bisa lolos darinya karena tahu orang ini memiliki kekuatan super abnormal, begitu yang ada di memori parallel.
Berpikir Lyner! Berpikir!
Saat aku melirik lagi, tangannya terlihat ingin menangkapku. Aku tahu jika sampai tertangkap, maka tamatlah riwayatku! Tanpa pikir panjang, kugunakan tas punggungku untuk memukul orang ini sekuat tenagaku. Pukulanku berhasil membuatnya oleng ke kiri, tapi tidak sampai terjatuh.
Aku segera kembali lari sekuat tenaga dan berhasil membuat jarak lagi dengannya. Untunglah gang ini tidak begitu panjang! Berlari kurang dari 5 menit membuatku berhasil keluar dari gang dan bertemu dengan keramaian orang. Di tengah keramaian seperti ini, tentu aku bisa meminta pertolongan tanpa rasa khawatir!
Saat menoleh ke dalam gang, aku kira orang serba hitam itu masih mengejarku. Sayang aku salah. Dengan mata terbelalak, kutatapi gang kosong itu. Seakan-akan ... orang serba hitam itu tidak pernah mengejarku sama sekali.
Aku ... tidak salah lihat, kan? Dengan napas terengah-engah, kucubit lenganku dan terasa sakit. Tidak, ini bukan mimpi. Ini kenyataan. aku masih ingat dengan jelas sensasi benturan ketika memukul orang itu dengan tas punggung. Aku sangat yakin tasku membentur sesuatu, tidak sekadar mengayun menghembus angin.
Jujur, seluruh tubuhku mendingin. Sedari tadi, bulu kudukku merinding dan tidak menghilang sampai sekarang. Gara-gara kejadian ini, aku jadi khawatir untuk melewati jalan sepi lagi. Sebaiknya aku mencari jalur pulang yang ramai dilalui orang meski harus berjalan lebih jauh dari biasanya.
Aku terus menarik napas dan menghela. Jantungku masih berdebar kencang dan sulit untuk tenang. Selain itu, rasa lapar membuatku merasa tidak nyaman dan mual. Sebaiknya aku cari makanan dulu sebelum berjalan pulang ...
***
Saat sampai di depan pintu masuk apartment, waktu menunjukan hampir pukul 8 malam di jam yang ada di tangan kananku. Meski sudah mengisi perut dengan sedikit air, aku masih merasa mual. Bulu kudukku masih merinding sehingga sepanjang perjalanan pulang terus kupijit-pijit, berharap segera menghilang.
Ketika membuka pintu apartment, lampu ruang tamu sudah menyala. Si-siapa yang ada di dalam? Mungkinkah pria serba hitam itu? Tidak, mustahil. Tidak mungkin dia mendadak muncul di sini, kan? Mungkinkah ... Aya?
"... Aya? Kau sudah pulang?" seruku dengan perasaan cemas. Aku masih di dekat pintu keluar. Jika tidak ada jawaban dalam beberapa menit, aku akan segera keluar tanpa mengecek isi apartment. Biarpun itu cuma maling yang memasuki tempat ini, rasa khawatir membuat nyaliku ciut.
"Ya." Kulihat Aya berjalan dari ruang tamu menuju tempatku berada. Untunglah kekhawatiranku salah sehingga bisa sedikit merasa lega. "Kau pulang lebih lambat dari biasanya, Lyner? Habis lembur?" Aya tampak memerhatikanku. "Kenapa kau terlihat pucat? Sakit?"
Sakit? Ha ha ha ... aku sangat berharap bahwa aku tengah sakit jiwa sehingga apa yang kulihat tadi merupakan halusinasi. Sayangnya, mentalku normal dan sepanjang sejarah hidupku hingga saat ini, aku tidak memiliki riwayat sakit jiwa atau gangguan mental. Haa ....
Tapi ... bisa jadi apa yang kuduga tentang orang serba hitam itu salah. Bisa jadi, tapi aku merasa khawatir untuk membuktikannya. Hatiku mengatakaan—saat berlari tadi, jika ... sampai tertangkap, maka aku akan menyesal. Menyesal karena tidak akan ada kesempatan ke dua jika terbukti dia seorang ... pembunuh.
"Lyner?"
Ah, Aya terlihat khawatir karena sedari tadi aku diam dan tidak menjawab pertanyaannya. Bagaimana ini? Aku ingin sekali menjelaskan kejadian ini, tapi hal ini hanya akan membuat Aya semakin cemas. Apalagi jika ini berkaitannya dengan memori paralelku. Ini sesuatu yang tidak pasti, tapi ada kemungkinan pasti juga.
"Kau sakit?" Aya mendadak memegang dahiku. Mungkin ingin mengecek temperatur tubuhku. "Kau .... Kenapa kau terasa agak dingin?" Dia mengernyit ketika menanyaiku. Aya memegangi leherku juga. Sepertinya dia ingin memastikan apakah aku benar-benar dingin. "Ya, suhu tubuhmu agak rendah. Duduk dulu di sofa. Aku akan membuatkan minuman hangat untukmu."
Aya menarik lenganku agar berjalan melewatinya, lalu mendorong punggungku menuju ke ruang tamu. Setelah melihatku duduk, dia menuju arah dapur. Kudengar suara pematik kompor dari arah dapur. Aya pasti tengah memasak air.
Tidak lama, Aya kembali membawa dua gelas teh manis panas. Setelah meletakan di meja, Aya duduk di sampingku. Dia tidak berkata apa-apa. Tidak bertanya, tapi diam menatapku.
Sebenarnya, tadi, setelah menemukan tempat makan, ujung-ujungnya aku tidak jadi makan. Nafsu makanku hilang meski melihat makanan enak di depanku. Aku pun tadi langsung membayar makanan dan meninggalkan tempat itu tanpa menyentuhnya sedikit pun. Minuman saja yang kusentuh, tapi hanya sedikit.
Aku merasa tidak tenang meski sudah berada di tengah keramaian. Serasa ... ada yang mengawasiku. Beberapa kali aku menoleh ke belakang, kiri, dan kanan untuk memastikan apakah ada yang tengah melirik atau mengikutiku saat berjalan pulang. Aku tahu ini terkesan paranoid, tapi kondisi ini impulsif karena aku tidak bisa merasa tenang!
Anehnya, setelah berada di sini, aku merasa sedikit lebih tenang. Mungkin karena ada Aya yang bisa selalu kupercaya? Oh ya, kenapa, ya, Aya pulang lebih cepat dari biasanya? Aku belum menanyakannya tadi.
"Aya, mengapa kau pulang lebih cepat dari biasanya?" Kulirik Aya di sampingku.
"Hari ini pekerjaanku tidak begitu banyak. Lembur kemarin membuat kerjaanku lebih sedikit hari ini." Aya tersenyum kecil. "Kau pasti mengira aku mengambil cuti gara-gara mendengar curhatan kemarin, ya?"
Err ... sebenarnya perkataannya tepat sasaran. Kukira dia mengambil cuti hari ini gara-gara mengkhawatirkan apa yang kuceritakan.
"Minum dulu. Aku tidak tahu apa yang membuatmu terlihat pucat pasi sejak pulang, tapi kau bisa menceritakan kapan pun kau mau. Aku ada di sini." Aya menepuk punggungku dengan pelan.
Aku mengangguk pelan. Kuambil cangkir teh di meja. Masih terasa panas sehingga kutiup-tiup supaya suhunya turun sedikit. Manis dan hangatnya teh membuatku merasa lebih tenang dari sebelumnya. Rasa khawatir masih ada, tapi tidak separah tadi. Rasa merinding bagian belakang leher hilang ketika tubuhku menghangat.
"Um, Aya, sebenarnya selain prediksi tentang kejadian kecelakaan, ada hal lain yang membuatku khawatir tentang memori parallel ini ...." Tanganku memegang erat cangkir teh. Mataku sedikit melirik Aya, tapi kembali lagi ke cangkir teh.
"Apa itu?"
"Ini ...tentang kematianku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top