Chapter 02: The Second Accident.

Pagi ini, aku terbangun seperti biasanya. Eh, salah. Hari ini sedikit berbeda karena aku bangun sebelum dibangunkan Aya. Tentu saja dia heran melihatku bangun sebelum membangunkanku. Ada alasan mengapa hari ini aku terbangun sendiri.

Kejadian kemarin pagi ... masih terbayang-bayang di ingatanku. Aku memang tidak terlibat langsung dalam kecelakaan itu, hanya saja ... well ....

Aku mendesah dalam. Rasanya sulit memercayai bahwa kejadian kemarin sungguh-sungguh sebuah kenyataan. Maksudku, jika kau sudah melihat kejadian ini dalam mimpi, lalu melihatnya lagi dalam kenyataan, tentu saja akan bertanya-tanya ini mimpi apa kenyataan.

Kemarin saat di tempat kerja, aku sulit konsentrasi gara-gara terus memikirkan kejadian ini. Masih sulit bagiku untuk menganggap ini cuma sekadar kebetulan saja ....

Aku menaiki bus untuk menuju ke tempat kerja seperti biasa. Saat di bus, mataku terus melirik ke luar jendela. Saat kecelakaan terjadi, kejadiannya terlewatkan olehku dan baru dilihat setelah mobil sudah berhenti menabrak. Melewati lokasi kejadian kecelakaan, masih ada polisi berjaga di sekitar, tapi garis kuning yang mengelilingi lokasi kejadian sudah tidak ada. Arus lalu lintas padat lancar sehingga berjalan tidak terlalu cepat. Kali ini, aku tiba di kantor sekitar 10 menit sebelum jam kerja.

Berbeda dengan kemarin, akibat kecelakaan itu, aku terlambat hampir 1 jam. Waktu itu arus lalu lintas terhenti total. Manajer kantor, Bu Sheena, memarahiku habis-habisan meski sudah diberitahukan alasan keterlambatan. Aku bahkan sudah memberitahukan keterlambatanku melalui telepon, tapi tetap saja sanksi diberikan.

Kantorku ini gedung berlantai 10. Ruang kerjaku berada di lantai 3. Selain lift, jika sedang buru-buru biasanya aku bisa menggunakan tangga. Lantai 3 terbagi dalam beberapa ruangan. Ruangan ini hanya disekat dengan tripleks. Karena itu, jika ada yang berbicara keras-keras bisa terdengar di ruangan sebelah. Terkadang aku suka menguping gosip kantor dari ruangan sebelah. He he he ....

Ruanganku berada di sisi timur. Matahari pagi selalu masuk ke dalam gedung berkat kaca jendela yang besar. Setiap hari, rasa panas dari jendela sering membuatku keringatan. Ruangan ini memang memiliki AC. Hanya saja, jika terjemur di bawah sinar matahari seperti ini, tentu saja dingin dari AC tentu saja kalah.

"Pagi." Kusapa rekan kerja yang sudah datang lebih dahulu.

"Pagi juga."

Beberapa dari mereka ada yang balas, tapi ada juga yang acuh karena tenggelam dalam aktivitasnya. Entah itu bermain HP atau sibuk dengan computer masing-masing. Adanya sambungan internet gratis sering dimanfaatkan para pekerja di sini untuk browsing berita atau bermain game sebelum jam kerja dimulai.

"Hei." Kusapa rekan kerja yang memiliki meja kerja tepat di sampingku. Baju yang dikenakan rekanku ini kemeja putih dengan celana kain hitam, sama sepertiku. Bedanya, warna kemejaku hitam.

"Hei, Lyner. Tumben kau datang pagian." Dia menyapaku dengan senyum,

Rekan kerja di sampingku ini bernama Gilbert Trister, umurnya 27 tahun. Dia seorang lelaki yang suka santai dan bergosip. Tentu saja tidak separah para perempuan yang bergosip di ruangan sebelah. Meski begitu, herannya segala informasi di kantor ini diketahuinya. Mungkin karena dia sering mendengar gosip dari wanita-wanita di ruangan lain. Well, dia sangat friendly sih. Siapa pun mudah menjadi temannya, apalagi aku.

Selain itu, dia juga cukup popular dengan tampangnya yang ... lumayan. Tingginya 185 sentimeter, lebih tinggi 18 sentimeter dariku. Iri rasanya aku melihat dia jauh lebih tinggi dariku. Jika dia ada di sampingku, rasanya aku terlihat pendek. Apalagi tingginya dengan Aya hanya berbeda 5 sentimeter. Haa ....

Kulitnya sedikit kecokelatan sepertiku gara-gara kami berdua sering terjemur di balik kaca. Well, tidak masalah sih. Toh, yang namanya cowok mana peduli mau kulitnya cokelat atau putih.

"Haa ..., seperti yang kau ketahui, kemarin aku terlambat bukan karena sengaja, tapi karena memang terjadi kecelakaan," ucapku sambil duduk di kursi kerja. "Sampai sekarang, kejadian kemarin masih menggangguku."

"Eh? Tumben amarah Bu Sheena masih berefek padamu." Gilbert menertawaiku.

"Hmph! Bukan itu!" Rasanya kesal sekali mendengar dia menertawaiku. "Kecelakaan di jalan kemarin yang masih mengangguku."

"Hm? Memangnya ada kenalanmu di kecelakaan itu?" Bisa kulihat sifat gosip Gilbert langsung aktif. Tadinya dia terkesan santai, tapi kini kesan itu hilang.

"Tidak. Tidak ada yang kukenal." Aku mendesah dalam hati.

"Hm .... Lalu apa mengapa kau masih memikirkannya?"

"Soalnya, sebelum aku melihat kecelakaan itu, sesungguhnya ..."

Kuambil jeda dan memikirkan kata-kata selanjutnya. Haruskah kulanjutkan atau berhenti sampai di sini saja? Aku tahu bahwa kejadian yang di dalam mimpi pasti kebetulan semata dengan kecelakaan di kemarin.

"Apa?"

Perkataan Gilbert menyadarkanku dari lamunan. Kuperhatikan ekspresi Gilbert, ekspresi penasaran ditunjukan akibat jeda ini. Kulanjutkan atau kehentikan, ya? Entah mengapa, aku merasa jika diceritakan, Gilbert akan berkata ini hanya kebetulan semata. Jika tidak diceritakan, aku juga merasa bahwa Gilbert akan menggangguku sepanjang hari dengan pertanyaan. Dari mana datangnya pemikiran ini?

Kuputuskan untuk melanjutkannya untuk melihat reaksi Gilbert. "Sesungguhnya, aku sudah pernah melihat kejadiaan kecelakaan kemarin sebelum kecelakaan terjadi."

"Haa?" alis Gilbert terangkat sebelah. Tentu saja dia tampak tidak percaya. "Bagaimana bisa?"

"Aku tahu ini terdengar aneh, tapi begitulah yang terjadi. Sebelum kecelakaan, aku memimpikan kecelakaan itu dan kejadiaanya persis, tapi tidak semua sama." Aku mendesah setelah menceritakannya.

"Tidak semua sama? Coba jelaskan lebih spesifik."

"Begini, dalam mimpi, kecelakaan yang terjadi memakan korban luka sebanyak 12 orang dan meninggal 2 orang. Pelakunya seorang pria paruh baya pecandu narkoba. Lokasi kecelakaan, posisi korban, dan pelaku berada masih kuingat dengan jelas di mimpi.

"Masalahnya, posisi, jumlah korban, dan ciri-ciri pelaku kecelakaan kemarin sama persis. Hanya saja, di dalam mimpi, seharusnya aku menyaksikan bagaimana kecelakaan ini terjadi. Sedangkan kemarin, aku tidak menyaksikan langsung kecelakaan terjadi. Di sana bedanya." Wajah serius kutunjukan pada Gilbert.

Ekspresi Gilbert ikut-ikutan serius denganku. "Teman, mungkin ini hanya kebetulan saja." Mendadak ekspresi serius Gilbert hilang dan berganti santai. "Kebetulan itu memang jarang terjadi, jadi jangan terlalu dipikirkan. Selama ini tidak melibatkanmu, maka jangan buang-buang tenaga untuk hal tidak penting."

Perkataan Gilbert terasa ringan dan remeh, begitu yang kurasakan. Kebetulan. Perkataannya mungkin ada benarnya. Jikalau terjadi lagi, maka bukan kebetulan namanya dan seharusnya baru nanti kupikirkan, bukan sekarang.

Oh well, untuk saat ini sebaiknya kulupakan kejadian kemarin dan fokus pada pekerjaan. Gara-gara terlambat kemarin, Bu Sheena dengan teganya memberiku tumpukan pekerjaan sebagai sanksinya. Astaga .... Untuk beberapa hari kedepan, aku tidak bisa bersantai di kantor akibat tumpukan kerjaan ini. Sungguh tidak adil. Kecelakaan kemarin, kan, penyebab aku terlambat, bukan karena sengaja. Haa ...

"Pasti kau mengeluh dalam hati, ya, soal hukuman Bu Sheena?" Gilbert menyengir padaku.

Ugh, rasanya aku ingin menonjoknya saking kesalnya. Kenapa pula dia harus ikut-ikutan mengingatkanku akan hukuman yang menyebalkan ini! Haa ...

***

Langit sudah berwarna jingga ketika aku mau pulang. Hari ini aku lembur 1 jam dengan harapan pekerjaanku bisa berkurang cukup banyak. Sayangnya, itu hanya harapan belaka. Kerjaanku masih menumpuk!

Astaga, Bu Sheena kejam sekali ....

Pekerjaan tambahan dari hukuman kemarin saja belum selesai, dia masih tega menambahkan lagi. Selain aku, masih ada beberapa yang lembur. Tentu saja Gilbert sudah pergi ketika jam kantor berakhir. Gilbert ini kerjanya sangat efisien. Dia tahu mana yang harus diprioritaskan mana yang tidak. Jarang sekali kulihat dia ditegur atas kesalahan. Duh, seandainya aku bisa seperti dia.

Dari gedung kantor, aku harus berjalan sekitar 10 menit untuk menuju tempat pemberhentian bus. Kulihat jam di tangan kiriku. Waktu menunjukan 6.04 malam. Bus datang setiap 15 hingga 30 menit. Ada kemungkinan ketika aku sampai di pemberhentian bus, maka akan mendapatkan bus saat sampai.

Jalanan ramai dan bising sudah biasa. Kulewati jalan raya ketika lampu merah memberhentikan puluhan kendaraan di jalanan. Mendadak, ada rasa tidak nyaman menghampiriku. Hm? Mengapa aku mendadak merasa tidak nyaman?

Mataku memerhatikan sekitarku. Tidak tahu mengapa, instingku mengatakan aku harus cepat-cepat menyeberang. Selain itu, debaran jantungku juga meningkat.

Kupingku menangkap suara di langit. Awalnya kecil dan terasa jauh, lama kelamaan semakin dekat dan dekat. Setelah menyeberang dan berada di trotoar, aku menoleh ke atas. Sebuah pesawat hendak melintas di atas. Tidak terjadi apa-apa pula. Mungkin aku yang paranoid?

Kugelengkan kepalaku sambil tersenyum. Astaga, aneh-aneh saja diriku ini. Sebaiknya aku segera ke pemberhentian bus sebelum busnya datang ....

Eh? Pesawat?

Aku segera menoleh kembali. Aku tahu apa yang akan terjadi. Ini juga pernah kulihat dalam mimpiku. Pesawat itu ... tidak jatuh, tapi ada sebuah benda yang jatuh.

Mataku melekat erat pada pesawat di atas. Tidak disadari sambil melihat pesawat itu, aku terus melangkah mundur sehingga menabrak pejalan kaki lain. Kuacuhkan mereka yang marah akibat tertabrak. Dalam hati, aku menghitung mundur. Apakah benda itu benar-benar jatuh sesuai mimpi ataukah salah, kuharap ini tidak benar-benar terjadi.

Mendadak aku menahan napas. Astaga .... Astaga .... Aku tidak memercayai ini. Ini sungguh ... terjadi!

Meski aku sudah menyiapkan mental karena sudah tau akan terjadi, tetap saja aku kaget. Benda itu jatuh di pinggiran jalan raya. Cukup jauh dariku, tapi kepanikan yang terjadi membuat lalu lintas kacau balau. Beberapa mobil di dekat lokasi benda itu jatuh refleks mundur dan menabrak kendara-kendaraan di belakang.

Mereka yang masih terperangah akibat kejadian ini tidak siap siaga ketika kendaraan di depan mendadak mundur. Pemotor pada jatuh karena tertabrak. Sedangkan untuk korban-korban, baru beberapa orang berusaha menolong. Sama seperti mereka, aku pun terperangah hingga tidak tahu harus berbuat apa.

Benda yang jatuh ini adalah bagian dari kerangka pesawat. Jika mimpiku tidak salah, benda ini adalah bagian lapisan besi di bagian sayap pesawat. Jatuh dari ketinggian lebih dari 10.000 kaki tentu saja membuat selempengan besi ini menjadi sangat berat ketika jatuh. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana kondisi korban malang yang tertimpa lempengan besi ini ....

=====================================================
ohmytensionfly
JuliaRosyad9 deanakhmad sicuteaabis veaaprilia awtyaswuri cha2_riyadi princessteacha
rioni_rin RainbowTears15 simbaak hijrah Tree_NoktahTNT Bae-nih irmaharyuni
Metha_S

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top