Chapter 01: Dream or Reality?


Aku melangkah melewati gang kecil yang berada di antara gedung pencakar langit. Hari sudah gelap. Kala itu, aku dalam perjalanan pulang ke tempat tinggalku. Jalan ini kupilih karena ini adalah jalan pintas tercepat menuju tempat pemberhentian bus. Tidak ada hal aneh. Semua hal di sekitarku normal-normal saja dan tidak ada yang perlu diwaspadai meski sepi dan remang-remang. Tadinya ... aku berpikir seperti itu ....

Mataku terhenti pada seseorang. Aku tidak tahu mengapa mata ini berhenti padanya. Yang pasti, kurasakan sesuatu. Debaran jantungku terasa meningkat tanpa disadari. Aneh, seluruh tubuhku serasa dingin hanya melihat orang dengan jubah hitam panjang. Wajahnya tertutupi kerudung sehingga rupanya begitu misterius.

Ketika dia berjalan mendekat, debaran jantungku semakin meninggi. Kenapa ini? Apa yang terjadi padaku? Seluruh tubuhku serasa menengang. Tanpa disadari, semakin dia mendekat, kakiku ini refleks berjalan mundur. Eh? Eh!? Mengapa tubuhku berlari dan bergerak tidak sesuai dengan keinginanku? Ada apa ini!? Mengapa tubuhku ini bergerak di luar perintahku!?

Tubuhku ini terus berlari. Berlari dan berlari. Sesekali aku menoleh ke belakang dan melihat orang berjubah ini mengejarku. Seakan-akan, aku ini mangsa yang lari dari pemburu.

"Tolong!" Aku tidak mengerti, tapi mendadak aku berteriak meminta tolong. Mengapa aku meminta tolong? Apa yang sesungguhnya terjadi, sih!? Aku merasa sangat frustasi karena tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku sendiri.

"Tolong!" Sekali lagi, mulutku berteriak meminta tolong. Apa yang akan dilakukan pria berkerudung ini? Mengapa aku merasa takut? Dari mana pula perasaan ini datang?

Di sekitarku sepi. Ini terlalu ... sepi. Seharusnya ada orang yang mendengar jeritanku karena ini pertengahan kota. Mengapa aku merasa seperti ... semua orang menghindari tempat ini sehingga tidak satu pun orang lain yang terlihat?

Ketika aku menoleh ke belakang, pria itu sudah sangat dekat denganku. Saking kagetnya aku sampai terlonjak. Seakan-akan, baru melihat hantu. Mulutku ingin menjerit, tadinya. Sialnya, sebelum suara keluar dari bibirku, tangan pria itu mencengkram leherku.

Sakit ....

"Arg!"

Cengkraman pria ini serasa ingin mematahkan leherku saking kuatnya. Apa-apaan ini!? Dia ini manusia atau bukan!? Sekuat apapun aku memberontak, dia tidak menggubris! Dia kira sedang menggenggam sampah, apa!?

Sial ....

Napasku tertahan. Sesak sekali ....

Apakah aku akan mati? Siapa dia? Apa salahku hingga dia ingin membunuhku? Pandanganku membuyar. Seluruh tenagaku bagaikan terhisap keluar dari tubuh. Sesak ...

Kesadaranku akhirnya hilang dan tidak tahu apa yang terjadi setelah ini.

***

Tubuhku terlompat hebat. Napasku memburu dan menghirup oksigen secepat mungkin. Jantungku terasa sakit sekali akibat berdebar super kencang. Seluruh tubuhku dibasahi keringat. Mataku dengan cepat memeriksa lingkunganku. Ruangan ini remang-remang sehingga bisa kukenali. Eh? Tunggu, ini kamarku sendiri ....

Saat pintu kamarku terbuka perlahan, lagi-lagi aku terperanjat. Siapa itu!? Jangan-jangan pria berjubah hitam itu ....

Reflek tanganku menggenggam erat selimut. Tanganku mengepal hebat hingga bagian kuku-kuku ingin menembus kulit telapak tangan. Mimpi tadi masih terbayang dalam benakku. Tidak mungkin, kan, dia bisa ada di sini? Mustahil ....

Pintu terbuka lebar. Cahaya dari ruangan luar menyilaukan mataku hingga aku menyipitkan mata sedikit. Karena tidak berani untuk menutup mata, kupaksakan diri melihat siapakah orang yang datang ini. Dia membelakangi cahaya, tapi rambut merah kecokelatannya terlihat jelas. Mendadak, kurasakan seluruh tubuhku lemas. Tanganku tidak lagi menggenggam selimut dengan erat. Bukan pria itu ....

Astaga .... Entah mengapa aku merasa umurku baru saja berkurang 10 tahun. Tadi itu hanya mimpi sehingga tidak mungkin menjadi kenyataan. Rasanya aku ingin sekali menertawakan diriku yang lebay ini. kuseka keringat di dahi dan memandangi orang di pintu masuk kamar. Dia adalah Ayatane Lockhart, teman roommate-ku.

Ayatane, biasa kupanggil Aya, sudah tinggal bersamaku 3 tahun lebih. Wajahnya tirus dengan mata red scarlet. Tingginya 180 sentimeter, lebih tinggi 13 sentimeter dariku. Jika dikatakan ganteng ... harus kuakui, dia lebih ganteng dariku. Mungkin jika ada yang bilang dia seorang model majalah, maka akan banyak orang percaya. Tapi, dia bukan seorang model.

Sakeral lampu tidak jauh dari pintu masuk kamar. Sebelum masuk, kulihat Aya menyalakan lampu, lalu berjalan masuk. Bisa kulihat dia memandangiku dengan cemas.

Eh, tunggu, darimana dia tahu aku terbangun? Aku, kan, tidak bersuara sedari tadi. "Ke-kenapa, Aya?"

Kusadari ternyata wajah aya pucat. Mungkinkah dia juga mengalami mimpi buruk sepertiku? Heran, kok bisa bersamaan, ya?

"Ah, tidak ..." Keringat memenuhi dahi Aya. Sepertinya dia memang mengalami mimpi buruk.

Alisku kuangkat sebelah. "Yang benar?" Aku tidak begitu memercayai apa yang Aya katakan. Tadi kulihat kepanikan di matanya. Tidak mungkin, kan, jika dia tahu aku mengalami mimpi buruk?

Aya terlihat mengatur napas. Kini dia tidak terlihat panik lagi dan tenang seperti normalnya. Dia seperti merasa ... lega? Lega karena apa? Aku sebenarnya penasaran apa yang dipikirkan Aya, tapi waktu menunjukan pukul 02.12. Seharusnya kami melanjutkan istirahat karena nanti harus kerja.

"Iya. Aku terlalu terpengaruh mimpiku hingga tidak bisa membendakan nyata dan tidak. Maaf sudah mengganggumu, Lyner. Selamat malam." Aya tersenyum sebelum mematikan lampu kamar. Setelah itu, dia pergi setelah menutup pintu dengan pelan.

"..." Mulutku sedikit terbuka, tapi tidak sepatah kata pun keluar. Mimpi? Dia juga?

***

Suara dering HP membangunkanku. Rasa kesal menghampiri, tapi mau bagaimana lagi? Hari ini hari kerja. Tidak ada pilihan lain selain pergi kerja. Bolos? Oh tidak, aku kapok. Sudah pernah merasakan pedasnya mulut Bu Sheena, manajer perusahaan tempatku bekerja, membuat hatiku sakit. Mengapa? Mulutnya tajam sekali hingga mampu membuat hatimu berdarah.

"Ugh ..." Aku mengerang sambil mencari-cari HP-ku dengan tubuh menelungkup. Suara bising alarm tidak akan berhenti jika tidak kumatikan. Setelah hening, kepalaku masih tenggelam di bantal. 'ngantuknya ...

Suara ketukan pintu membangunkanku yang hampir memasuki alam tidur lagi.

"Lyner! Ini sudah jam 7! Kau akan terlambat!" Dari balik pintu kamar, bisa kudengar suara Aya dengan jelas. Ini sudah jadi rutinitas Aya. Kuminta dia membangunkanku setiap pagi. Aku ini punya kebiasaan buruk, yaitu terbangun oleh alarm, tapi tertidur lagi setelah dimatikan.

"Ya ...." Karena tertutup bantal, suaraku begitu kecil. Tidak tahu Aya mendengarnya ataukah tidak. Aduh, rasa kantuk ini terus menghantuiku....

Suara pintu terbuka memasuki telingaku. Kini aku mendengar suara langkah kaki. Suara itu berhenti tidak jauh dariku. Mendadak tubuhku berguling ke samping. Aku tidak kaget karena ini bukan pertama kalinya Aya memutar tubuhku.

"Ayo bangun!" Aya menarik tanganku hingga tubuhku berada dalam posisi duduk.

Aku dan Aya sangat dekat. Jika ditanya seberapa dekat ... mungkin seperti saudara! Aku mengenalnya ketika masa SMA. Awalnya dia, tuh, agak kaku dan tidak begitu terbuka. Hah, sungguh butuh perjuangan kala itu untuk membuat dia terbuka padaku. Dia itu pintar dan sering membantuku jika ada pelajaran yang tidak kumengerti. Sudah itu, dia sangat bisa diandalkan! Bagiku, dia sudah seperti seorang kakak yang selalu siap sedia membantu adiknya.

Aku menguap dengan mulut menganga. Setelah merenggangkan kedua tangan ke atas, kugosok bola mataku. "Pagi ..."

Kudengar suara desahan dari Aya. Mata ini masih sulit terbuka, maka Aya menyuruhku bangun dan mendorongku dari kamar ke kamar mandi. Tiap lupa dia melemparkan handuk ke mukaku. Lengkap sudah. Aku tidak bisa melihat apapun. Geez ....

Saat keluar dari kamar mandi, aku merasa sangat segar! Kulihat sarapan ada di atas meja. Semua ini tentu saja Aya yang buat.

Aya memiliki jadwal kerja lebih siang, jadi dia lebih banyak bersantai di pagi hari. Sebenarnya aku sedikit malu mengatakan ini, tapi adanya Aya di sini sudah seperti ibu! Ha ha ha .... Maksudku, dia bisa memasak, orangnya rapi sehingga apartment ini selalu bersih, dan disiplin dalam bekerja. Sedangkan aku ... ha ha ha ... sebaliknya. Mungkin kalau tidak ada dia, maka di sini sudah menjadi kapal pecah.

Oh ya, tempat tinggal kami ini sewa. Lokasi tempat tinggal kami ada di pusat kota. Harga sewanya tentu saja mahal. Jika aku sendiri, aku mana sanggup untuk menyewanya, tapi jika dibagi dua bersama Aya, tentu saja sanggup.

"Apa yang kau lihat? Cepat habiskan sarapanmu." Aya sudah sarapan tadi sehingga di meja hanya ada sarapanku saja.

"Ya ...." Kujawab dengan nada kekanak-kanakan, lalu menuju meja makan.

Setelah sarapan, aku langsung keluar dari apartment. Menggunakan lift, dari lantai 13 aku turun ke lantai 01. Ketika melewati lobi apartment menuju pintu keluar, kusapa satpam yang tengah berjaga. Di luar gedung apartment, udara penuh polusi memasuki paru-paruku. Tidak jauh dari wilayah gedung apartment, ada tempat menunggu bus. Selain ada beberapa puluh orang menunggu bus sepertiku, banyak orang melintas tempat ini.

Kepadatan kendaraan di jalanan-terutama pagi hari-sudah hal lumrah. Motor-motor menyalip melalui sela-sela antara mobil. Suara bising motor menjadi music ditelingaku. Bahkan suara ini sanggup mengalahkan suara earphone jika tidak kusetel dengan volume maksimal.

Hah ... ini dia perjuangan paling menyiksa di pagi hari. Selain berdesak-desakan di dalam bus padat, aku harus berebut masuk ke dalam bus. Jika gagal masuk, aku pun harus menunggu bus selanjutnya. Pagi ini sungguh sial. Sudah tiga bus lewat tanpa berhenti karena kepenuhan. Astaga, sudah hampir 1 jam aku menunggu. Dijamin aku akan datang terlambat bekerja. Ugh ...

Hm? Sebentar, mengapa aku merasa seperti familiar dengan situasi ini. Rasanya ... ini mirip dengan mimpiku. Tentu saja sebelum aku bermimpi bertemu dengan pembunuh itu. Mungkin aku salah. Ya, mimpi hanyalah mimpi.

Bus ke empat akhirnya tiba. Setelah berdesakan dengan penumpang lain, aku berhasil masuk. Ugh ... padat sekali. Ruang gerak nyaris tidak ada. Bus berjalan tidak terlalu cepat setelah pintu tertutup. Perjalanan lancar selama beberapa menit. Tidak lama kemudian, bus berhenti dan aku mendengar orang-orang di bus ribut.

"Astaga!"

"Ya Tuhan!"

"Kenapa? Kecelakaan?"

"Iya, ada kecelakaan."

"Kecelakaan kenapa?"

"Itu, tuh, mobil dari arah samping menabrak beberapa motor."

"Ya Tuhan, itu yang tertabrak ada yang sampai terlempar ..."

Pembicaraan antara sesama penumpang memasuki telingaku. Kecelakaan? Rasa penasaran menghinggapiku. Kupaksakan diriku untuk pindah ke sisi di mana aku bisa melihat kejadian kecelakaan. Mataku terbelalak ketika melihat lokasi kecelakaan. Astaga ...

Ini ... tidak salah? Lokasi kejadiannya, jumlah korban, posisi korban berada, dan posisi mobilpenabrak berhenti sama persis dengan mimpikutadi? Aku ... tidak sedang dalam mimpi, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top