Destiny
Pemuda bersurai terang itu mulai berjalan menjauh dariku. Senyuman lemahnya membuat hatiku merasa tercabik-cabik.
"Selamat tinggal, Amatsuki-kun. "
Suara itu menghantui gendang telingaku. Walau begitu, tubuhku serasa memiliki kesadarannya sendiri. Aku tak bergerak, atau pun mencegahnya.
Disaat aku tersadar, semua sudah terlambat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"AAAAHHHH!!!! " Teriakanku memenuhi seluruh ruangan itu. Terdengar langkah buru-buru dari luar ruangan. Seketika itu pintu didobrak.
Brak!
"A-Ada apa, Amatsuki-kun??! " Teriak seorang pemuda bertubuh tinggi. Wajahnya sangat khawatir dan keringat mengalir dari dahinya. Keadaanku tidak lebih baik, bukan kesegaran setelah bangun pagilah yang kurasakan.
Namun, ketakutan yang teramat besar.
"Kamu... Luz? " Suaraku bergetar. Pemuda tinggi bernama Luz itu nampak sangat kebingungan.
"Tentu saja ini aku, apa Amatsuki-kun bermimpi buruk? " Tanyanya seraya tersenyum. Degupan di dadaku terasa semakin kencang.
'Tidak... Tidak mungkin itu ... Luz.' Pikiranku berkecamuk. Aku tak dapat mendengar kicauan Luz tentang caranya muncul disini dengan jelas.
"Aku tadi hanya ingin mengembalikan cas yang kupinjam kemarin, lalu aku sadar bahwa pintunya terbuka! Jadi aku seenaknya masuk ke apartemenmu, Amatsuki-kun. Ah! Aku benar-benar hanya ingin mengembalikam ini lalu pergi! Kemudian aku mendengar suara teriakanmu, aku khawatir... Jadi disinilah aku. " Jelasnya panjang lebar.
'Ya... Tidak mungkin dia Luz. Karena Luz yang aku tahu... Sudah meninggal. '
Pikiranku semakin berkabut. Aku ingat pernah meminjamkan cas pada Luz. Tapi itu hanya sekali itu saja. Aku juga selalu mengunci pintu karena aku orang yang selalu berhati-hati... Tapi hanya satu kali aku lupa mengunci pintu... Saat aku meminjamkan cas pada Luz...
Tunggu, apa maksudnya ini?
"Tsuki-kun-"
"Ama-"
"Amatsuki-kun! " Teriakan Luz membuatku tersadar dari lamunanku. Aku segera menoleh ke arahnya.
"Y-Ya? "
"Ada apa? Apa mimpi itu benar-benar buruk? Kau kelihatan pucat. " Tanyanya padaku khawatir. "Aku sudah memasak sarapan. Kalau tidak keberatan, mari kita makan bersama di apartemenku. " Ia tersenyum menenangkan. Kegelisahanku seketika sirna, aku mengangguk.
***
Dentingan peralatan makan memenuhi ruangan. Tak ada salah satu pun dari kami yang memulai percakapan. Luz tengah menikmati makanannya sendiri, sedangkan aku memikirkan segala sesuatu yang sedang kualami.
"Naa... Luz. Sekarang tanggal berapa ya? " Manikku bertabrakan dengan manik violetnya. Sudah lama sekali rasanya.
Dengan santai Luz menjawab. "Tanggal 16 Oktober. Apa Amatsuki-kun lupa? Ahaha, mungkin kau bermimpi menjalani kehidupan selama beberapa hari di dalam mimpimu, Amatsuki-kun? "
Klang!
Sendokku terjatuh ke lantai. Luz tersentak kaget, ia segera membantuku mengambilnya. Itu karena aku sama sekali tak bergerak dari tempatku.
"Amatsuki-kun... Apa kau sakit? Haruskah kupanggilkan dokter? " Luz berjongkok untuk mengambil sendok dan pergi ke tempat cuci piring. Ia kembali berjalan ke meja makan setelah mengambil sendok baru.
'Ini... Tidak mungkin terjadi... Seharusnya aku sudah melewati bulan ini... Seharusnya sekarang bulan Desember!'
Pertama adalah Luz. Ia hidup, tidak seperti yang kuingat. Ia seharusnya meninggal setelah Soraru menembaknya. Tepat, di kepalanya. Aku ingat sekali, saat darahnya terciprat di kemejaku. Tanganku gemetar, aku tak bisa membiarkan mimpiku menjadi kenyataan!
"Luz, apa rencanamu hari ini? " Tanyaku pelan.
"Rencanaku hari ini? Aku akan bertemu dengan Mafumafu-chan dan Soraru-san untuk membicarakan tentang tugas kuliah. Amatsuki-kun juga sekelompok denganku juga kan? Hari ini kelas libur, oleh karena itu kemarin kita sepakat untuk mengerjakannya hari ini, bukan? " Luz kembali ke tempat duduknya yang bersebrangan dengaku.
Wajahku semakin memucat. Darahku seolah tersedot dari tubuhku, keringat dingin mengalir dari pelipis.
'Soraru-san... Lalu Mafu-chan... Lalu tugas kelompok... Hari libur... ' Semua itu berputar di kepalaku. Aku ingat pernah mengerjakan tugas kelompok itu bersama mereka bertiga. Cuaca hari ini juga sama seperti hari itu.
'Apa aku... Kembali ke masa lalu? '
***
"Ah! Ama-chan, Luz-kun, selamat pagi~" Seorang pemuda albino dengan senyum manis menyapaku dengan semangat. Seorang pemuda bersurai kelam dengan tatapan dingin menusuk memandangiku dan Luz.
"Pagi. " Katanya dingin. Seketika itu aku merinding. Mafumafu masih hidup, dan Soraru memandangku dengan tatapan membunuh seperti dulu. Aku semakin berpegang teguh dengan pemikiran bahwa aku telah kembali ke masa lalu.
"Pa-Pagi... Mafu-chan. " Sapaku balik dengab suara bergetar. Mafumafu memandangiku dengan khawatir.
"Ada apa? Apa kamu sakit, Ama-chan?! " Tanyanya khawatir. Sepertinya wajah pucatku amat mengerikan sehingga banyak orang bertanya tentang itu.
"Kau seperti mayat. " Celetuk Soraru dengan nada datar. Iblis berdarah dingin ini sepertinya benar-benar ingin aku kehabisan darah dan menjadi mayat.
"Ahaha! Soraru-san bisa saja! Luz-kun, Ama-chan terlihat sangat pucat, apa kau tahu sesuatu? " Tanya Mafumafu pada Luz.
"Amatsuki-kun bermimpi buruk. Kurasa itu sangat mengerikan sampai ia sangat pucat. " Jelas Luz.
"Ah begitu? Kasihan sekali, Ama-chan. Ayo duduk dulu! Seharusnya kamu tidak perlu datang jika sedang sakit. " Mafumafu menarik kursi di sebelahnya. Soraru duduk dihadapan Mafu, sedangkan aku berhadapan dengan Luz. Pola tempat duduk ini, sama seperti yang kuingat.
Soraru menatap Mafu lembut. Dia benar-benar iblis dihadapan semua orang, tapi sangat baik dihadapan Mafu. Psikopat ini benar-benar menyukai Mafu sampai tingkat yang mengerikan.
Membunuh orang yang melukai Mafumafu.
Bisa ditebak untuk kedepannya. Luz tanpa sengaja melukai Mafumafu, hal itu membuat Mafumafu frustasi karena ia lumpuh. Kemudian... Kemudian ia bunuh diri. Soraru menyalahkan Luz. Itu adalah ajal bagi Luz. Dia benar-benar psikopat gila saat itu. Aku merasa ingin muntah.
"Ugh-"
"Ama-chan?! "
"Amatsuki-kun?! "
Kedua orang yang kutahu telah mati itu memandangku khawatir. Soraru masih acuh tak acuh seperti biasanya.
"A-Aku ingin ijin ke toilet sebentar. " Aku segera berjalan pergi tanpa berbalik. Toilet perpustakaan umum adalah tujuanku saat ini.
Aku menutup keras pintu toilet. Membiarkan diriku merosot ke lantai sesaat setelah berada di dalam. Aku mencoba menata pikiranku dan mengingat-ingat.
Yang kutahu, sebentar lagi mereka akan memutuskan untuk pergi ke gunung untuk mengamati hewan-hewan dan ekosistem disana. Kami pergi kesana, lalu Luz dan Mafumafu terpisah dari Soraru dan aku. Luz terperosok ke jurang, dan Mafu mencoba menyelamatkannya, yang berakhir mencelakai dirinya sendiri. Aku menyalahkan Luz, begitu juga Soraru. Tidak ada yang percaya dengannya. Mafumafu juga tak bisa berbuat apa-apa karena ia tidak bisa bicara juga. Ia bunuh diri tak lama kemudian di rumah sakit. Soraru sangat syok, dan langsung mengambil senapan pemburu milik ayahnya. Lalu membunuh Luz. Aku baru mengetahui bahwa itu semua adalah ketidak sengajaan saat membaca surat terakhir yang Mafumafu tulis. Tapi... Semua itu sudah terlambat. Luz meninggal. Mafumafu juga begitu. Soraru dipenjara. Dan aku sendirian.
Tapi sekarang, aku kembali ke masa lalu. Aku bisa mengubah takdir! Tidak, aku harus mengubahnya! Karena--
Krieet...
"Amatsuki-kun, apa kau baik-baik saja? Kau di dalam toilet lama sekali. " Suara Luz menyadarkanku dari pemikiranku yang begitu rumit. "Ah, kau ada disini rupanya! Kami sudah memutuskan untuk pergi ke gunung. Bagaimana menurutmu? " Luz berkeliling toilet dan akhirnya menjumpaiku yang memang tidak mengunci pintu. Wajahnya amat cerah dan senang mengingat rencana mereka untuk pergi ke pegunungan. Ia tak tahu bahwa rencana itu mengantarnya ke kematian.
"Begitukah? "
'Bagaimana ini? Aku sangat ingin menolak rencana itu untuk menghindarkan mereka berdua dari maut. Tapi aku juga tak tahu apa yang akan terjadi apabila kami mengubahnya... Resiko? Mana yang lebih beresiko? '
Luz tiba-tiba tertawa. " Ahaha, Sepertinya Amatsuki-kun banyak berpikir akhir-akhir ini. Kalau soal tugas atau semacamnya, aku bersedia membantumu kok! " Ia tersenyum lembut lalu membantuku berdiri tegak. "Aku membelikan minuman dari mesin minuman. Mungkin Amatsuki-kun akan merasa lebih baik? "
"Terimakasih, Luz. " Aku menerimanya. Segera meneguknya cepat, hingga tersisa setengah. Aku mengikuti Luz yang menuju meja kami.
Kami berempat kembali membicarakan tentang keputusan untuk pergi ke gunung. Sesekali aku menatap Luz.
Luz adalah alasan paling kuat aku ingin merubah takdir. Ia adalah sosok cahaya dalam kegelapan yang kualami di masa lalu ketika aku menyadari bahwa perasaanku kepada Mafu tak akan pernah tersampaikan. Ia benar-benar baik hati dan mau menggantikan posisi Mafumafu walaupun sulit. Sampai pada bulan November sebelum perjalanan, kami resmi berpacaran. Soraru menjadi sedikit lunak kepadaku saat mengetahui hal itu.
'Apa? Bagaimana aku menanggapi ini? Haruskah aku mengganti tempat? Tapi kemana? Alasanku harus meyakinkan, mereka harus menerima alasan itu! Tapi... Jika aku tak mengganti tempatnya dan mengantisipasi saja... Apa yang akan terjadi? Siapakah yang akan mati saat itu? Atau tidak ada yang akan mati? '
"Aku sangat ingin ke gunung, Soraru-san! Pasti menyenangkan, dan sejuk! Banyak hewan yang bisa diamati di sana. Kita pokoknya harus menyukseskan proyek 'Mengamati tanuki berhibernasi! ' oh! Tentu saja ini bukan mengamati Yamadanuki milik Urata-san lho, Soraru-san! Kita sudah sepakat bahwa bukan tanuki rumahan yang kita amati! " Kata Mafu seraya mengerucutkan bibirnya ke arah Soraru.
'Huh? Apa ini? Aku tak pernah mendengar percakapan ini... Apa ingatanku saja yang bermasalah ya?' Aku segera menepis pemikiran itu lagipula tidak penting juga. Aku mengamati Soraru yang tengah diomeli oleh Mafumafu.
Soraru. Mafumafu. Luz.
Ketiga orang itu akan membuat masa depan berubah. Baiklah, aku memutuskan untuk tetap memilih gunung. Lagipula Luz dan Mafumafu berkeras ingin kesana. Aku akan mengikuti skenario seraya mengawasi adanya bahaya sewaktu-waktu. Tanpa kusadari, Soraru juga sedang mengawasiku dengan tatapan dinginnya. Aku mengerutkan kening.
Pertama adalah peristiwa paling besar yang berpengaruh terhadap hubunganku dan ketiga orang ini.
***
Aku tengah membeli berbagai perlengkapan bersama Luz dua minggu kemudian. Itu adalah bulan November awal. Masih jauh dari hari keberangkatan yang menyamai libur kami di akhir November.
Luz memakai sweter berwarna abu-abu dan jaket biru tua. Ia memasakkanku sarapan sebelum kami berangkat. Itu adalah sarapan yang lezat, Luz benar-benar tahu seleraku.
"Terimakasih atas makanannya, ayo kita segera membeli peralatan. " Aku bangkit dari tempat dudukku sebelum Luz mencekalnya.
"Amatsuki-kun... Akhir-akhir ini kau jarang tersenyum. Apa ada sesuatu yang mengganggumu? " Ia menatapku khawatir. Namun aku hanya membalasnya dengan tersenyum.
"Apa aku terlihat jelek saat tidak tersenyum, hm? " Luz kemudian ikut tersenyum juga.
"Tidak, hanya saja aku lebih senang saat kau tersenyum. " Kami pun tertawa bersama.
Segera setelah sampai di pertokoan. Aku bersama memilih barang dengan Luz. Ia benar-benar memilih barang yang sama seperti sebelumnya. Terkadang aku berpikir bahwa semuanya hanyalah mimpi di siang bolong. Namun kenyataan berkata lain.
Luz terlihat bersinar saat ini, yang kuingat adalah aku menembaknya saat pulang dari berbelanja. Kami melanjutkan makan malam lalu beristirahat seraya berpelukan di apatemenku....
Aku tak melakukan lebih kok!
Tapi permasalahannya adalah aku sangat khawatir dan terus khawatir selama beberapa hari ini. Mimpi buruk itu terus berputar-putar di dalam kepalaku. Itu membuatku tidak fit. Ini bukan keadaan yang baik untuk menembak seseorang.
"Apa ada lagi yang belum kita beli, Amatsuki-kun? " Luz menoleh ke arahku. Aku mengecek daftar belanjaan lalu menggeleng.
"Itu sudah semuanya. Ayo pulang. "
"Tapi Amatsuki-kun, kau pucat sekali. "
Apa harus sekarang? Aku merasa akan pingsan jika masalah pertama saja tidak bisa kulewati.
"Luz... Sebenarnya ada hal yang terus mengganggu pikiranku... Semenjak aku menangis di pelukanmu saat di tolak oleh Mafumafu... Aku selalu memikirkannya. Dirimu, yang senantiasa di sampingku saat itu... Bahkan saat Soraru memukuliku, kau membelaku. Aku tersadar sekarang bahwa yang mencintaiku adalah dirimu yang tulus. Aku ingin memiliki perasaan yang sama denganmu, Luz. " Tatapanku saat itu benar-benar serius. Alasan dari ketidak percayaanku kepada Luz saat ia mengatakan bahwa ia tak bermaksud melukai Mafu adalah hatiku yang masih berada di orang lain, dan bukannya Luz. Aku telah melukainya, dan itu juga menyakitiku... Aku memutuskan untuk sepenuhnya dengan Luz hingga nafasku berhenti.
"A-Amatsuki-kun... Itu... " Luz memandangiku dengan berkaca-kaca. Ia kemudian tersenyum seraya berurai air mata bahagia. "Tentu saja aku bersedia. "
Selanjutnya aku melakukan sesuai yang kuingat. Aku takut akan takdir, tapi memeluk Luz benar-benar membuatku tenang.
***
Mobil Soraru berhenti pada salah satu jalan setapak untuk naik ke gunung. Kami harus berjalan dari sini. Mafumafu dengan riang menjadi pemandu kami. Ia dengan semangat menarik tangan Luz dan memimpin jalan.
Seingatku, Soraru yang kelelahan membuatku harus menungguinya sebentar. Itu adalah titik dimana kami terpisah. Aku harus mencegahnya bagaimanapun caranya. Luz dengan semangat memberitahu tentang hubungan kami sebelum berangkat mendaki, tentu saja ekspresi Soraru benar-benar melunak kepadaku setelah mendengarnya. Kami tidak diam-diam bermusuhan lagi setelah aku mengumumkan secara tidak langsung bahwa aku tidak akan mendekati Mafumafu lagi.
Soraru seperti yang kuduga mulai kelelahan. Bantal berjalan ini jarang sekali bergerak namun amat gesit dan kuat hanya jika Mafu dalam bahaya.
'Lho? Kenapa ia tidak berhenti? ' Aku masih memandangi Soraru intens. Ia memang kelihatan sangat kelelahan, namun tidak berhenti seperti seharusnya.
Aku mulai berpikir kembali. Keanehan. Sebuah keanehan dari Soraru terus kuamati. Ia membicarakan sesuatu yang aneh bersama Mafu. Ia tak berhenti saat ia merasa kelelahan. Ini... Jelas sangat aneh.
Angin dingin merayap melalui pori-pori kulitku. Aku menggigil kedinginan dari balik jaket tebal. Soraru tiba-tiba menepuk punggungku. Mungkin ia sudah lelah.
"Ada apa, Soraru-san? " Tanyaku kepadanya. Ia menatapku tajam, seharusnya tidak begini. Kami sudah berbaikan.
"Amatsuki... Aku ragu pada awalnya... Tapi sekarang aku yakin..." Mafumafu menengok ke arah kami berdua. Lalu segera menghampiri Soraru.
"Ah, Soraru-san sudah lelah ya? Kita istirahat sebentar ya!" Mafumafu kemudian menggelar tikar yang cukup lebar untuk kami, dan duduk diatasnya.
Ini aneh, Mafumafu seharusnya tidak sadar bahwa Soraru kelelahan. Ia seharusnya tetap menatap ke depan dan berjalan dengan semangat. Ini... Berbeda dari takdir.
"Amatsuki... Apa kau percaya takdir? "
Aku tersentak oleh perkataan Soraru. Wajahnya amat tenang sekarang. Aku meneguk ludah dengan susah payah.
"Jawab aku... Apakah kau juga... Kembali ke masa lalu? " Soraru berkata pelan sekali. Mafumafu dan Luz berada di dekat sana, namun sama sekali tak mendengar pembicaraan kami.
"Soraru... Hal seperti itu... " Aku bingung harus menjawab apa.
"Seandainya kau tahu apa bahaya di tempat ini, kenapa kau harus memilih tempat ini? " Lanjutnya tanpa menghiraukanku. Aku mulai mengerti maksud Soraru, kami harus menjawabnya bersama.
"Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika mengubahnya. " Ucap kami hampir bersamaan. Aku tersentak kaget, begitu juga dengan Soraru. Pandangannya menjadi tajam.
"Aku tak akan membiarkan itu terjadi pada Mafumafu untuk kedua kalinya. "
Jadi... Soraru juga kembali ke masa lalu?? Itulah penyebab keanehan yang kurasakan. Percakapannya dengan Mafu, sikapnya yang aneh dan berbeda. Itu karena ia ingin mencegah kejadian itu terjadi tanpa merusak skenario sebenarnya sama seperti diriku?
Dia benar-benar memiliki muka yang tebal untuk menyembunyikan semuanya.
"Aku juga tak akan membiarkanmu membunuh Luz. " Kataku menggeram. Kami sebenarnya adalah musuh. Orang yang kami sayangi terenggut dari tangan kami. Tapi aku juga berperan dalam pembunuhan Luz, jadi aku akan mendiamkan perbuatan Soraru agar tujuan kami tercapai.
"Yosh! Kita sudah selesai istirahatnya! Ayo lanjutkan perjalanan! " Mafu kembali memimpin jalan kami.
Beberapa menit setelah mengamati tanuki hibernasi (Lucu rasanya memulai masalah hanya karena pengamatan tanuki), kami akan pulang dan kembali ke mobil Soraru. Takdir sudah berubah, Luz seharusnya terperosok ke jurang saat berangkat, dan ia masih baik-baik saja sampai saat ini.
Tapi kurasa aku berharap terlalu cepat.
Zraaak!
"AAHHH!! " Luz berteriak keras saat ia mulai kehilangan pijakannya. Mafumafu yang berada di sebelahnya hendak menarik Luz sebelum Soraru menghentikannya.
"ITU BERBAHAYA! MAFU! "
"TIDAK! LUZ-KUN! "
GREP!
"LUZ! " Aku meraih tangan Luz dengan cepat. Tubuhku hampir tak kuat menahannya. Aku mulai tersenyum kecut.
'Jadi ini maksudnya bersiap-siaplah kapan pun? ' Aku mengingat-ingat perkataan Soraru tentang bersiap-siap. Sekarang aku mengerti, satu-satunya cara membayar apa yang telah kulakukan pada Luz adalah kematianku sendiri... Mungkin?
"Amatsuki-kun! Lepaskan aku! Kau akan jatuh! " Teriak Luz putus asa. Air matanya sudah mulai menumpuk di kelopak matanya. Aku pun juga begitu.
"Tidak! Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya! Luz, aku sangat menyukaimu! Bahkan nyawaku akan kuberikan untukmu! " Teriakku keras. Genggaman kami mulai mengendur. Aku harus segera melempar Luz sebelum kami berdua jatuh!
"Tidak! Kalian berdua tidak boleh mati! "
Grep!
Mafumafu memeluk pinggangku untuk menahanku jatuh. Soraru mengulurkan tangannya kepada Luz, kami bertiga bersama menarik Luz ke atas.
"Uwaah! " Teriak kami berbarengan. Nafas kami tersenggal-senggal. Jantungku terasa hampir copot dari tempatnya. Namun, Luz ada disini... Mafumafu dan Soraru juga... Tidak ada salah satu dari kami yang terluka atau bahkan mati. Tanpa sadar air mataku mengalir lebih deras.
'Syukurlah... Syukurlah... '
***
Kami menaiki mobil Soraru untuk pulang. Mafumafu dan Luz yang kelelahan karena hal-hal tadi langsung tertidur setelah sampai di mobil.
Aku duduk di sebelah Soraru untuk membiarkan Mafu tidur di kursi belakang bersama Luz.
"Tadi itu... Hampir saja. " Soraru memulai percakapan.
"Aku tidak menyangka kau akan menolongku. Kupikir kau menyuruhku mati untuk menyelamatkan Luz. " Kataku seraya melihat ke luar jendela.
"Tidak pernah. Aku tidak pernah berpikir untuk melakukannya. Aku menyadari kesalahanku saat itu. Aku... Menyesal, dan lagi Mafumafu tak akan menyukainya. " Katanya pelan. "Maaf... Dan terimakasih. "
"Aku juga... Berbuat salah. Maaf... Dan juga terimakasih. " Aku melihat melalui pantulan jendela. Soraru yang tersenyum tulus. Aku pun juga ikut menaikkan sudut bibirku.
The End.
Halo-halo-halo~
SinSanSen disini ~\(≧▽≦)/~
Jujur saja, ini cerita oneshoot paling sulit yang pernah ku tulis :'v (dia yang mikir sendiri, dia yang nantangin diri sendiri, dia sendiri yang nulis, dia yang repot sendiri :'v)
Cerita ini adalah request dari Neko_Kun91 terimakasih sudah merequest~
Cerita ini sengaja diberi sudut pandang orang pertama agar kalia bisa merasakan tekanan Amatsuki saat takdir seluruh sahabatnya berada di tangannya. Stress, panik, dan ketakutan mendalam yang Amatsuki rasakan benar-benar terlepas dari sifat aslinya karena kejadian itu.
Plot twin juga baru kali ini aku buat :v ada yang sadar gak kalau Soraru juga berasal dari masa depan? Enggak kan?! Semoga enggak :v
Cerita ini bener-bener padat agar bisa terselesaikan secara oneshoot :'v sampai 2k lebih lho! Sampai-sampai tadi hampir salah ketik 'bersambung' dan bukannya 'the end' :v
Oke deh! ketimbang makin panjang nih cerita, kita akhiri dengan vote, dan komen ya! Terimakasih sudah membaca!
Arigatou, senpai-tachi
\(-ㅂ-)/ ♥ ♥ ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top